sepasang kaos kaki hitam

suatu kisah yang terlalu indah untuk di lupakan

akhir bulan September 2000...

Gue lulusan SMA tahun 1997 dan memutuskan meneruskan kuliah sampai berhasil mendapatkan ijazah Diploma 3 yg gue selesaikan hanya dalam waktu dua setengah tahun di sebuah fakultas di kota kelahiran gue.
dan berbekal ijazah itu gue coba mengirim lamaran ke beberapa perusahaan di ibukota karena gue pikir perusahaan di kota tempat gue tinggal nggak begitu menjanjikan. makanya gue pilih ke luar kota, siapa tau peruntungan gue memang di sana. namun berbulan-bulan gue tunggu tetapi belum juga ada jawaban dari lamaran gue.

sudah hampir genap satu tahun gue menganggur di rumah membebani orangtua. dan pada pertengahan Agustus tahun 2000 gue mendapatkan sebuah surat panggilan dari sebuah perusahaan produsen alat-alat elektronik di Karawang. gue sendiri heran karena seingat gue, gue hanya mengirim lamaran ke perusahaan di Jakarta dan Bandung. tapi namanya pengangguran, gue ambil aja kesempatan ini.

dan berangkatlah gue ke Karawang...

di Karawang gue nggak punya kenalan siapa-siapa. maka gue keliling di sekitar perumahan yg letaknya dekat ke kawasan industri biar lebih dekat dengan kantor. selama tes berlangsung gue numpang tidur di sebuah mesjid. untungnya tes nya cuma tiga hari. setelah ada keputusan gue diterima kerja magang, gue putuskan mencari kosan. dengan bantuan tukang ojek yg gue kenal sewaktu ngobrol-ngobrol di mesjid, gue akhirnya menemukan sebuah kontrakan di daerah Perumahan Teluk Jambe.

kontrakan itu lumayan laris. dua lantai di bawah sudah terisi penuh dan hanya ada sisa satu kamar di lantai tiga.

"tinggal yang ini Mas," kata Pak Haji pemilik kosan menunjuk pintu sebuah kamar di ujung koridor..

gue memandang berkeliling sementara Pak Haji membukakan pintu untuk gue melihat-lihat kamarnya. di lantai atas ini cuma ada enam kamar. masing-masing kamar sudah dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi di dalamnya. dengan harga sewa seratus ribu rupiah per bulan, gue terima dan mulai hari itu gue resmi jadi penghuni kamar nomor 23. kamar-kamar di sini terpisah koridor selebar kurang lebih dua meter. tiap sisi ada tiga kamar yg saling berseberangan. gue sendiri merasa cukup beruntung karena mendapat kamar yg posisinya paling ujung. kamar gue dan kamar di depan disambung oleh sebuah tembok pendek berukuran setengah meter sebagai pembatas.

besok gue sudah mulai kerja, maka hari ini juga gue berbenah kamar. menyapu dan mengepel serta membersihkan dinding dari sarang laba-laba yang menempel. nampaknya kamar ini sudah lama tidak ditempati. dan sesi bersih-bersih itu selesai pukul setengah lima sore. gue sedang duduk di kursi kecil depan kamar saat kamar sebelah gue mulai menyetel lagu dengan volume kencang. beginilah nasib anak kos baru, cuma bisa jadi pendengar setia.

setelah capek bersih-bersih dan menyempatkan mendengar tiga buah lagu yg disetel kamar sebelah, gue turun keluar mencari warung makan. limabelas menit kemudian gue sudah berjalan di tangga menuju kamar gue dengan sekantong nasi bungkus di tangan. anak-anak kamar sebelah gue nampaknya masih asyik tidur di kamar mereka, karena gue tau rata-rata penghuni kosan ini adalah karyawan yg bekerja di kawasan industri.

hanya ada satu pintu yg terbuka, pintu kamar seberang gue. di depan pintu seorang wanita sebaya gue sedang duduk memeluk lutut dan memandang kosong ke lantai di bawahnya. rambutnya panjang dibiarkan tergerai sedikit menutupi wajah. hidung mancung dan berperawakan lumayan tinggi. saat itu dia mengenakan sebuah celana jeans pendek se paha, tapi yg menarik perhatian gue adalah kaos kaki yg dipakainya itu. kaos kaki panjang sampai menutupi lutut. Karawang adalah kota yg panas, maka gue sendiri aneh melihatnya memakai kaos kaki yg begitu panjang.

"sore Mbak," sebagai "anak baru" gue memberanikan diri menyapa supaya dinilai sopan.

diam. wanita itu bergeming. jangankan membalas sapaan gue, mengangkat kepalanya pun tidak.

"selamat sore Mbak..." kali ini gue coba keraskan suara.
dia tetap diam.

"sialan," omel gue dalam hati. maka gue putuskan langsung masuk ke kamar dan menyantap nasi bungkus gue.

nggak ada yg spesial di hari pertama gue di kosan. kecuali momen mati lampu pada jam delapan malam, gue memutuskan segera beranjak tidur karena besok pagi gue tidak boleh terlambat datang ke kantor. gue cukup senang listrik mati, karena itu artinya gue bisa dengan tenang tidur. kamar sebelah gue mendadak menjadi "bisu".

entah sudah jam berapa saat itu, dalam kondisi kantuk yg mulai menjalari mata, samar-samar gue seperti mendengar sebuah suara. asalnya dari luar, entah dari sebelah mana. sebuah suara isak tangis seorang wanita, gue yakin. isakan kesedihan yg dalam.

bulu kuduk gue merinding. pikiran gue mulai membayangkan kelebatan-kelebatan sosok yg bahkan nggak pernah gue tau keberadaannya. gue menaikkan selimut sampai menutup kepala. suara itu hilang.

gue diam memasang telinga berusaha menangkap suara-suara lagi. tapi tidak ada suara apa pun. beberapa menit gue masih terjaga memastikan. tetap sunyi. hanya suara degup jantung di dada gue yang terdengar mengalun berkejaran dengan suara detik jam di dinding...
esok paginya gue terbangun dengan kepala pening. agaknya gue salah posisi tidur semalam. gue lihat jam setengah enam pagi. buru-buru gue mandi, gue harus sudah di kantor jam tujuh meski jam masuk adalah jam setengah delapan. hari pertama ini gue harus memberikan kesan yg baik kepada atasan gue.

selesai mandi gue bergegas mencari sarapan. pagi begini ada penjual nasi uduk "dadakan" di depan kos jadi gue nggak perlu repot-repot nyari sarapan. seperti yg sudah gue bilang, penghuni kontrakan ini kebanyakan karyawan pabrik. lapak nasi uduk ini sudah dipenuhi antrian mereka yg hendak berangkat shif pagi.

gue berdiri di belakang antrian. dari sini gue bisa melihat pintu kamar gue di atas. dan di tembok pembatas itu, gue melihat dia. wanita yg kemarin gue temui di depan pintu kamarnya. dia sedang memandang kosong seperti kemarin. dan saat gue perhatikan ekspresi hampa nya, gue jadi teringat suara tangisan yg gue dengar semalam.

apa mungkin tangisan itu adalah suara dia? kalau dilihat dari sikapnya, kemungkinan besar memang benar. wanita berkaos kaki hitam, begitu gue memanggilnya mulai hari ini.

dan pagi itu pun gue memulai hari pertama gue kerja, atau lebih tepatnya disebut magang. setelah lewat masa magang selama 1 tahun, gue akan dipromosikan sebagai staff di bagian General Affair sesuai fresh graduate gue. suasana kantor cukup menyenangkan dan bersahabat. meski sangat terkesan kikuk, gue mencoba secepat mungkin beradaptasi dengan lingkungan kerja yg baru ini.

karena ini hari pertama, gue cuma diberi tugas ringan. mengecek data kelengkapan barang keperluan karyawan dan beberapa tugas ringan lainnya. gue lebih banyak nganggur. nganggur bikin gue bengong. dan orang bengong pasti melamun.

maka mulai melintas pertanyaan-pertanyaan aneh di benak gue. tentang wanita berkaos kaki hitam itu. apa yg selalu dilamunkan oleh dia? apa dia menderita depresi berkepanjangan? karena gue lihat nggak ada sedikitpun ekspresi ceria di wajahnya. dan lambat laun otak gue mulai dipenuhi bayangan-bayangan wanita itu.

gue mesti cari tahu. dan sorenya sepulang kerja gue beranikan diri berkenalan dengan penghuni kamar sebelah gue yg selalu "berisik". sore itu dia menyetel lagu band yg sedang naik daun saat itu.

"kerja dimana Mas?" Indra, nama laki-laki itu. kami mengobrol di teras kamarnya.
"di SH**P," jawab gue.

"udah lama?"

"baru kemaren kok. semalem baru gue tidur di sini."

Indra mengangguk. dan kami mulai larut dalam obrolan ringan. setelah gue rasa cukup akrab sebagai orang baru, gue beranikan diri bertanya tentang 'dia'.

"oh iya Ndra, lo tau nggak cewek penghuni kamer depan gue?"

"emang ada ya yg nempatin kamer itu?" dia malah balik tanya.

"lah..kemaren gue liat kok. cewek yg pake kaos kaki item panjang itu?"

"lo liat setan kali?" Indra tertawa lebar. "hahaha.. sorry cuy. gue nggak hafal soalnya balik gawe gue 'ngebo' di kamer. keluar kalo nyari makan doang, abis itu molor lagi. sama kamer sebelah juga gue nggak kenal. cuma sama lo aja. itu juga lo nya yg ngajak kenalan duluan.."

gue menggaruk kepala yg sebenernya nggak gatal. rupanya gue salah pilih informan. dan rasa penasaran gue semakin membubung dalam dada. gue sengaja membuka sedikit gorden jendela kamar gue supaya bisa mengintip keluar kalau-kalau wanita itu menampakkan dirinya. gue ingin sekali melihat dengan jelas wajahnya tanpa tertutup rambut.

berjam-jam gue duduk di samping jendela yg kacanya rendah ini. tapi pintu kamar di depan gue tidak bergerak se inchi pun. entah berapa lama gue duduk dalam diam mengawasi dengan saksama.

tapi nampaknya malam ini misi gue nggak membuahkan hasil. gue malah tertidur di samping jendela dan bangun keesokan paginya dengan kepala lebih sakit......

minggu pertama gue lalui tanpa kejadian aneh seperti malam pertama. rentang waktu ini gue gunakan untuk mengenal orang-orang di sekitar gue. selain Indra yg sekarang sudah jadi teman dekat gue, dua kamar lain dihuni karyawan sebuah perusahaan pabrikan mobil ternama. mereka terlalu sibuk dengan jam lemburnya jadi gue nggak begitu sering bertatap muka. sementara satu lagi kamar ditempati sepasang suami istri yg sama-sama berkarir sebagai karyawan swasta.

gue sekarang sudah akrab dengan Indra. hampir tiap malam gue numpang nonton tivi di kamarnya karena dengan bekal yg gue bawa dari kampung nggak mencukupi untuk membeli barang-barang kebutuhan sekunder. yg penting bulan pertama ini gue punya tempat untuk tidur dan mandi dulu. kebutuhan lainnya akan gue pikirkan nanti.

gue berhasil membuat Indra "tobat" dari kebiasaannya menyetel lagu menggunakan speaker aktif dengan volume berlebihan. gue menyarankan dia untuk memakai headset dan sekarang dia jadi maniak headset kalau balik kerja. dan sekarang lantai atas sudah sepi dari kegaduhan.

satu bulan berlalu sejak kejadian malam pertama, dan anehnya satu bulan ini gue nggak pernah sekalipun bertemu lagi dengan 'wanita berkaos kaki hitam'. berkali-kali saat hari libur gue tongkrongin depan kamarnya sambil main gitar milik Indra. gue yakin kalau kamar ini memang berpenghuni, orangnya pasti akan keluar. tapi nyatanya gue nggak mendapatkan hasil apapun. kamar ini seolah ditinggal begitu saja oleh pemiliknya. entah sudah berapa lama dia nggak balik ke kamarnya.

kadang gue coba beranikan diri mengintip ke dalam lewat celah di jendela. tapi kaca jendela tertutup rapat kertas koran yg ditempel dari dalam.

dan karena nggak juga membuahkan hasil, minggu ketiga dan keempat gue nggak lagi begitu tertarik dengan 'wanita berkaos kaki hitam'. gue nggak lagi mengintip dari balik jendela ataupun nongkrongin kamarnya. aktifitas gue kembali normal seolah tanpa terjadi sesuatu apapun. dan meski Indra masih menganggap yg gue lihat waktu pertama di sini adalah penampakan hantu, gue nggak begitu menakutkannya.

satu bulan pertama berhasil gue lalui dengan baik. karena gue mulai masuk job training pada pertengahan menjelang akhir September, gue baru menerima gaji pertama di akhir bulan berikutnya. setelah mengambil uang secukupnya dari ATM gue balik ke kosan membawa beberapa makanan dari mini market. sekali-kali gue traktir si Indra makan-makan karena selama satu bulan ini gue memang sering ditraktir olehnya dan gue juga sempat pinjam uang ke Indra karena bekal gue habis. maka gajian ini gue lunasi hutang gue. hehehe..

kamar Indra masih tertutup pagi itu. semalam dia masuk shif malam. gue putuskan menunda dulu acara makannya sampai dia bangun. lalu gue duduk di kursi depan kamar gue sambil main gitar nggak jelas sesuka hati.

gue sudah nggak begitu penasaran lagi dengan penghuni kamar depan gue karena lelah dengan pengintaian tanpa hasil. gue mulai berpikir untuk menerima argumen Indra bahwa yg gue lihat waktu itu adalah penampakan hantu. maka alangkah terkejutnya gue pagi itu ketika dari bawah terdengar suara kaki menapaki anak tangga menuju lantai atas dan yg muncul kemudian adalah dia !! wanita berkaos kaki hitam itu !!

mata gue langsung terpaku menatap sosok yg berjalan menuju kamarnya. dan sama seperti yg gue lihat waktu pertama kali, dia kali ini juga memakai kaos kaki hitam panjang. saat itu dia memakai kaos oblong putih dan rok pendek selutut. rambutnya diikat ke belakang. gue berhasil melihat wajah wanita itu secara utuh ! bahagianya gue...

dan jantung gue tiba-tiba berdegup sangat kencang ketika wanita itu menoleh dan tersenyum ke arah gue. gue balas senyumannya dengan cengiran culun.

"anak baru yah?" dia bertanya sambil tangannya membuka kunci pintu kamarnya. nada suaranya terdengar sangat ramah dan bersahabat.

gue mengangguk. dan dia tersenyum lagi sebelum akhirnya masuk ke kamar lalu menutup lagi pintunya. secara refleks gue bergegas ke kamar Indra mengetuk pintunya dengan keras.

"Dul, bangun Dul.." teriak gue sambil tangan gue tetap menggedor pintu. beberapa lama nggak ada jawaban sampai akhirnya kepala Indra yg gundul plontos itu muncul dari balik pintu yg terbuka. mukanya kusut dan berminyak.

"apaan sih ganggu orang tidur aja?!" Indra menggerutu.

"cewek itu Ndul," kata gue bersemangat.

"cewek mana??" Indra kesal.

"cewek depan kamar gue ! dia barusan dateng tuh, ada di kamernya !!"

"terus apa hubungannya sama gue?"

"gue mau buktiin kalo dia bukan hantu. gue mau lo ketemu langsung sama orangnya !"

"busyet..gue baru tidur satu jam udah maen bangunin aja buat yg nggak jelas!"

"lo tadi tidur jam tujuh, sekarang jam sembilan. berarti lo tidur dua jam."

"iya..beda dikit!" lalu Indra menutup pintu lagi dan terdengar suara gerendel yg dikunci dari dalam.

beberapa kali gue panggil lagi tapi dia enggan menjawab. gue berdiri terpaku menatap pintu kamar di depan gue. gue yakin hari ini semua pertanyaan gue akan terjawab...

ada semacam rasa senang saat memandang wanita itu tersenyum. love at the first sight atau entah apapun itu namanya, gue seperti terkena addict. gue ingin melihatnya tersenyum lagi. ekspresi tenang dan menyenangkan yg gue lihat pagi ini benar-benar berbeda dari yg pertama gue temui dia tengah murung dan melamun. entahlah, apa sekarang beban pikirannya sudah hilang? apa masalah yg menghantuinya sudah benar-benar bisa diatasi?

gue nggak peduli itu. yg gue pedulikan adalah gimana caranya gue bisa ngeliat dia senyum lagi ke gue.

dua jam sudah gue duduk mengamati kamarnya tanpa bergeser se inchi pun dari posisi gue. sambil menikmati makanan yg akhirnya gue habiskan sendiri, gue menunggu dia membuka pintu dan menampakkan diri. saat itulah nanti gue akan coba berkenalan atau sekedar say hayy.

lampu dalam kamarnya masih menyala. saking konsentrasinya gue sampai nggak menyadari kehadiran Indra di depan pintu kamar gue.

"ngapain lo Ri bengong gitu?" kata Indra sambil kucek-kucek mata dan menguap lebar.

gue menoleh ke arahnya yg menatap gue heran.

"gue pengen buktiin ke elo," kata gue.

"bukti apaan?" sahutnya malas.

"tuh liat," gue menunjuk kamar wanita itu.

"apaan yg lo maksud?"

"tuh liat lampu kamer nya nyala. berarti ada orang di dalemnya kan?" gue mengamati ekspresi wajah Indra.

"mana? apanya yg nyala??" katanya datar.

"itu lamp.........." gue terdiam saat menoleh ke depan dan mendapati lampu kamar di dalamnya mati. keadaan di dalam sana gelap total. gue nggak percaya ini. gue kedipkan kedua mata gue berkali-kali, berharapa pada kedipan ke sekian gue akan melihat lampunya menyala lagi dan gue akan bilang ke Indra 'tuh kan..'

tapi lampu itu tetap mati.

"ckckck..." Indra geleng kepala. "lo beneran liat setan kali Ri!"

gue diam. gue tau posisi gue saat ini nggak menguntungkan untuk melakukan debat dengannya. gue hanya heran, kenapa wanita ini sepertinya enggan menampakkan diri ke orang lain.

"ngapain lagi lo, Ri?" tanya Indra begitu melihat gue bergerak ke pintu kamar depan gue.

"permisi..." gue mengetuk pintu. gue tunggu beberapa detik, dan gue ulangi lagi ketukan saat nggak ada sahutan dari dalam.

"serah lo deh Ri. mau lo bilang cewek pake kaos kaki item, atau kaos kaki nya dipake cewek...lo kayaknya butuh dukun," Indra berkomentar.

"dukun? buat apaan?"

"kali aja lo mau melahirkan." jawabnya asal. "gue bawa makanannya ya. thanks," lanjut Indra sambil meraih kantong berisi makanan dari atas kursi lalu masuk lagi ke kamarnya.

gue diam memandang pintu kayu di hadapan gue saat ini. ingin sekali gue mendobraknya dan memastikan wanita ada di baliknya. tapi rasa penasaran gue perlahan diselimuti rasa takut yg tiba-tiba.

"jangan-jangan emang hantu??" batin gue dalam hati.

"Ndra..." gue berjalan ke kamar Indra. "utang gue berapa ke elo?"

Indra sedan nonton berita di tivi.

"pego. eh, emangnya lo udah ada buat bayarnya?"

"ada dong. kemaren gue gajian," gue mengambil dompet lalu memberikan sejumlah uang yg dimaksud ke Indra.

"thanks ya. laen kali gue nganjuk lagi ke elo. hehehe..."

Indra hanya menggerutu pelan.

"eh, ada temen gue mau kenalan sama elo Ri." kata Indra.

"temen? siapa? cewek apa cowok?"

"cewek. cakep lagi," Indra mengacungkan jempol tangannya.

"serius lo?"

Indra mengangguk mantap.

"kok bisa, mau kenalan sama gue?" tanya gue heran.

"temen gue namanya Desi, biasa pada manggil Echi. temen sekolah dulu sih, ketemu lagi di sini. doi lagi patah hati ditinggal kimpoi mantannya, jadi ya butuh temen ngobrol gitu. tapi inget, jangan macem-macem lo. jangan di apa-apa in deh."

"busett...kayak gue penjahat kelamin aja," sahut gue. "lagian kan udah ada elo? kenapa nggak sama lo aja ngobrolnya?"

"kan gue sama dia udah kenal? ya sama temen sekolah gimana sih rasanya? gue pikir sama lo bakal nyambung deh."

"ya udah bawa sini aja anaknya."

"beneran? entar malem gue suruh ke sini deh."

gue mengangguk setuju lalu beranjak pergi.

"eh eh...mau ke mana lo?"

"tidur," jawab gue singkat.

"inget lho pesen gue tadi!"

"iyaa bawel lo!"

gue masuk ke kamar. sepintas gue pandangi pintu kamar di seberang gue. tertutup rapat dan gelap di dalamnya. mungkin tadi memang benar-benar hantu? atau gue yg berhalusinasi? entahlah, yg pasti saat ini gue butuh yg namanya tidur...

malam minggu itu Indra benar-benar membuktikan ucapannya. sekitar jam setengah delapan malam dia muncul di atas tangga bersama seorang wanita yg baru gue lihat. mereka berjalan ke arah gue yg sedang duduk di atas tembok beranda pembatas kamar.

"Chi, ini dia cowok yg gue ceritain ke lo." Indra menunjuk gue. "Ri, kenalin nih Echi."

kami berjabat tangan.

"salam kenal ya," kata Echi seraya tersenyum.

Echi bertubuh pendek, tingginya sekitar di telinga gue kalau kami sama-sama berdiri. kulitnya putih dan berambut panjang sebahu. sebenarnya gue yakin wajahnya manis, tapi agaknya dia sedikit over dengan make up yg dipolesnya di wajah.

"ya udah kalian ngobrol-ngobrol aja dulu, gue mau ngapel." Indra meninju lengan gue pelan. "inget pesen gue tadi pagi."

gue cuma nyengir. Indra mengedipkan matanya ke Echi lalu beranjak turun ke tangga.

"kalian ada 'pesen' apa sih?" Echi tertarik dengan ucapan Indra tadi.

"eh, enggak kok bukan apa-apa. biasalah Indra emang ngaco. hehehe..."

gue turun dari duduk gue lalu berjalan mengambil kursi di depan kamar.

"duduk," gue mempersilakan Echi.

"lo sendiri?"

"biar gue berdiri aja gak papa kok."

"kita ngobrol di kamer lo aja deh biar bisa sama-sama duduk."

"udah gak papa nyantai aja lah. gue lagi pengen menikmati udara malem," gue memandang ke depan. lampu-lampu pabrik di kejauhan sana seperti kunang-kunang di tengah ladang. gue kerap menikmati pemandangan ini yg sering membuat gue kangen kampung halaman.

"lo udah kenal lama sama Indra?" Echi membuka pembicaraan.

"belum sih. gue baru ke sini sebulan yg lalu, kurang lebih.." gue biarkan angin malam berembus menerpa wajah gue dengan sejuknya. "lo sendiri temen sekolahnya kan?"

Echi tertawa. saat itulah kawat giginya tampak berkilat tertimpa cahaya lampu.

"kok malah ketawa?"

"enggak papa lucu aja kalo inget jaman sekolah dulu," kata dia. dan Echi mulai bercerita tentang dia dan Indra yg dulu di sekolah sering cekcok adu mulut gara-gara hal sepele. Indra terkenal murid yg suka nyontek, dan setiap ada kesempatan menangkap basah dia yg lagi nyontek, Echi pasti langsung melapor ke guru yg mengajar. jadilah mereka sering ribut.

sejauh ini penilaian gue terhdap Echi adalah dia anak yg smart. dia juga pintar membawa suasana dengan candaannya yg fresh. samasekali nggak gue lihat kemurungannya akibat broken heart seperti yg diceritakan Indra tadi pagi.

kami larut dalam obrolan ringan sebagaimana dua orang yg baru kenal. gue sendiri belum berani menanyakan hal-hal yg bersifat pribadi darinya dan nampaknya dia pun sama. cukup lama kami ngobrol tanpa terasa sudah hampir jam sepuluh malam. anak-anak kos di lantai bawah yg tadi terdengar rame dengan obrolan dan nyanyian kini lebih menyepi. mereka mulai beranjak tidur. di lantai atas sendiri cuma ada gue dan Echi. dua kamar yg lain penghuninya sedang lembur shif malam dan pasangan suami-istri di depan kamar Indra sudah sejak awal mengunci pintu. dan kamar di seberang kamar gue, entahlah gue nggak mengerti.

"eh iya, keasyikan ngobrol sampe lupa ngasih minum," kata gue. "mau minum apa? adanya aer putih doang sih. hehehe..."

"udahlah gak perlu repot-repot."

saat itu gue dan Echi berdiri bersebelahan bersandar pada tembok beranda. gue pandangi Echi yg sedang menikmati lampu-lampu di seberang sana.

dan saat itulah gue melihatnya!!

kedua mata yg mengintip dari celah kertas koran di kaca jendela. dari seberang kamar gue. wanita itu...

dia kah itu?

"kenapa?" Echi bertanya melihat perubahan ekspresi di wajah gue.

"ah, ng....anu....enggak papa enggak papa kok," gue tarik nafas panjang. "kita turun aja yuk cari makan? gue laper nih."


"mau makan apa?"

"pecel lele aja deh, yg di deket wartel itu enak lho. mau?"

"boleh deh.."

walau keheranan Echi mengikuti gue turun keluar mencari kedai nasi pecel langganan gue. di sana kami ngobrol-ngobrol lagi. kami sudah lebih saling kenal sekarang. dan malam itu gue akhiri dengan mengantar Echi sampai pertigaan untuk menggunakan angkot balik menuju kosannya..

gue tapaki anak tangga menuju kamar. tiba di anak tangga terakhir mata gue terpaku pada sosok wanita yg duduk di beranda sambil memandang kosong ke depan seperti biasanya. malam sudah larut saat gw balik mengantar Echi, dan wanita itu seolah tidak peduli dengan dingin angin ataupun gigitan nyamuk di lengannya. dia benar-benar seperti patung.

gue masuk ke kamar dan menutup pintu tanpa menyapa wanita berkaos kaki hitam itu. lalu gue mulai berguling di atas kasur mencoba mencari posisi yg pas untuk segera tidur. lima menit...sepuluh...duapuluh....sampai setengah jam, mata gue enggan terpejam.

gue duduk. memandang hampa atap kamar lalu memutuskan keluar untuk sekedar menghirup udara segar. dan wanita itu masih di tempatnya. sama persis posisi duduknya seperti yg terakhir gw lihat.

"nih," gue menyodorkan lotion anti nyamuk kepadanya. ada lebih dari lima ekor nyamuk yg sedang asyik menyedot darah di lengan kirinya.

"..............."

wanita itu diam. bola matanya bahkan nggak bergeser satu milimeter pun dari tempatnya.

"ya udah gue aja yg pake," kata gue, lebih tepatnya pada diri sendiri. semenit kemudian kulit gue sudah terlindung dari nyamuk.

gue pandangi wajah wanita itu, lalu mencoba mengikuti arah pandangan matanya. hanya menatap deretan lampu-lampu di kejauhan sana.

"ngeliatin apa sih mbak?" tanya gue.

sunyi.......

"lagi sariawan ya?" kata gue lagi.

tetap sunyi..........

"mau kopi?"

masih sunyi...............

"udaranya dingin banget yah?"

"sendal jepit gue putus."

"tadi di jalan tukang nasi gorengnya brewokan."

aaaahhh.....mulut gue nyaris berbusa mencoba berbicara pada wanita itu tapi tetap nggak ada jawaban satu huruf pun dari mulutnya.

gue mulai kesal. gue masuk kamar, mengambil gitar dan kembali ke beranda lalu duduk di tepian tembok. tanpa memedulikan orang di sebelah gue mulai bernyanyi. ada lagu yg liriknya tepat sekali untuk menyindir wanita ini. sebuah lagu yg waktu itu lagi in banget. dengan sedikit serak tapi banyak fals nya gue coba menyanyikan 'Pelangi di Matamu' milik Jamrud.

"tigapuluh menit kita di sini tanpa suara..."

gue yakin lirik awal lagu ini ngena banget. itu kalau dia mendengarkan.

"dan aku resah...harus menunggu lama...kata darimu......"

gue terdiam. suaranya terdengar dalam. ya, wanita di samping gue tanpa gue duga melanjutkan liriknya. kedua mata gue melongo menatap wajahnya. dia samasekali nggak bergerak dari tempatnya duduk, hanya bibirnya yg tipis terbuka perlahan melantunkan lirik lagu.

gue speechless. jari-jari gue mendadak kaku untuk memetik senar di tangan gue. tapi wanita itu tetap bernyanyi meski tanpa iringan gitar dari gue.

setelah bisa menguasai diri lagi gue kembali memetik gitar membiarkan dia yg bernyanyi. memang ada beberapa kata dalam liriknya yg salah tapi over all ini adalah lagu yg indah dinyanyikan di malam hari bareng seorang wanita.

tepat saat lagu selesai wanita itu turun dari duduknya, tanpa memandang gue, lalu beranjak ke kamarnya. lampu dimatikan. dan hanya hening yg tersisa sekarang.

sampai detik ini gue masih belum yakin kalau yg tadi itu benar-benar terjadi. mimpi apa gue denger dia nyanyi sementara untuk bicara pun dia pelit.

"woy..belom tidur lo?" Indra tiba-tiba muncul dan membuyarkan lamunan gue.

"eh, tadi dia di sini lho. di sebelah gue. kita nyanyi bareng malah, lagunya Jamrud itu lho! yg jam dinding nya bisa ketawa," gue mencecar Indra dengan antusias yg agak berlebih.

Indra geleng kepala sambil elus-elus dadanya.

"gue juga sebenernya pengen ketawa," katanya sambil berjalan mendekati gue. "awalnya gue pikir lo becanda waktu bilang ketemu cewek itu, tapi kayaknya lo beneran deh."

"kan gu..."

"beneran gila lo!" sela Indra. "mana? mana cewek itu sekarang? gue jadi prihatin sama lo. besok kita ke psikiater deh, kalo nggak dukun aja buat periksain otak lo yg mulai jereng itu."

"gue serius, Dul."

"serius gila nya? hahaha..."

gue tarik napas panjang. lagi-lagi percuma untuk mendebat Indra.

"udah deh jangan bahas itu. gimana tadi sama Echi nya?" tanya Indra mengalihkan topik.

"engga gimana-gimana kok. biasa aja."

"biasa kayak gimana maksud lo?"

"setau gue yg namanya 'biasa aja' ya nggak gimana-gimana deh."

"itu kata elo. kalo kata gue, kayaknya lo suka deh sama dia. iya kan?"

"ah, ngasal aja lo."

"alaah...sama gue aja pake rahasia-rahasiaan." Indra menyalakan rokoknya. "terus gimana kelanjutannya?"

"tau deh, ketemu aja nggak tau kapan."

"makanya beli HP doong biar bisa SMS an. canggihan dikit napa? nih kayak gue," Indra mengeluarkan Nokia 3315 nya. (jaman segitu ni HP masih tergolong kelas atas cuy! gue aja belom punya HP saat itu)

"tuh liat bisa bikin gambar sendiri. canggih kan??" lanjut Indra menunjukkan layar monochrome kuning bergambar sebuah logo nama dirinya. saat itulah ada panggilan masuk. Indra segera ke kamarnya.

tinggal gue sendirian lagi. cukup lama gue termangu menatap pintu kamar itu. dan akhirnya gw habiskan malam dengan menyanyikan lagi lagu itu berkali-kali.

harusnya minggu pagi yg mendung itu gue habiskan dengan meringkuk di bawah selimut sampai siang karena semalaman tadi gue begadang di kamar Indra main Play Station sampai jam empat pagi. selepas subuh gue baru bisa terlelap. tapi suara ketukan di pintu sangat mengusik kenyamanan gue pagi itu. awalnya gue abaikan, tapi makin diabaikan suaranya malah semakin keras.

"iya bentar!" gue menggerutu dengan kesal lalu keluar dari balik selimut ke arah pintu.

"hay Ri..." gue mendapati Echi tersenyum lebar ke gue. "baru bangun ya?"

"eh, kamu Chi." gue buru-buru mengusap wajah gue dengan sarung yg melingkar di pundak gue.

"tadi lagi tidur ya?" tanya Echi lagi.

"ya begitulah. hehe.." gue nyengir pait. gue yakin saat itu gue culun banget. muka kusut, rambut acak-acakan ditambah sisa-sisa iler yg mungkin masih menempel di pipi. (gak usah dibayangin ya! )

"masuk gih," gue mempersilakan Echi masuk sementara gue bergegas cuci muka di kamar mandi.

"gue ganggu tidur lo ya Ri?"

"enggak kok nyantai aja lah kayak di pantai," suara gue menggema di dalam kamar mandi kecil itu.

"lo nggak lembur?" tanya Echi lagi begitu gue keluar dari kamar mandi dan menyeka wajah dengan handuk.

"staff mana dapet lembur sih? paling yg lembur orang-orang di jalur produksi aja." gue duduk bersandar di dinding, seberang tempat Echi duduk. gue nyalakan sebatang Marlboro sambil sedikit merapikan sisiran rambut.

"tumben amat pagi-pagi gini lo ke sini? perasaan baru semalem kita ketemu deh?" asap dari mulut gue mulai memenuhi seantero kamar.

"gue beliin lo sarapan. nih," Echi menyodorkan bungkusan plastik hitam yg sejak tadi dipegangnya.

"apaan tuh?"

"cuma nasi uduk kok. kebetulan lewat depan gang masih ada yg jual. sok dimakan, nanti basi dulu."

"wah lo tau aja gue laper," gue meraih bungkusan itu. "sory yah ngerepotin."

"enggak papa kok, enggak ngerepotin juga."

"yaa gue basa-basi aja biar lo nggak kapok beliin sarapan buat gue. yg sering aja ya?"

"yeeeey.....enak aja. tekor dong gue?! hehehe."

"kok belinya cuma satu? lo udah sarapan?"

"tadi gue belinya memang pas udah mau abis. itu juga cuma ada segitunya kok."

"lo udah sarapan belum?"

Echi menggeleng.

"ya udah kita barengan aja," gue mengambil dua buah sendok dari rak kecil di samping dispenser.

"entar lo nya kurang nggak?" Echi menerima sendok dari gue dengan ragu.

"udah nyantai aja, kalo kurang entar gue beli lagi di gang sebelah ada yg jualan." gue terpaksa mematikan rokok gue dulu di asbak.

"yakin nih?" tanya Echi lagi.

"yaelaah masih nanya aja nih anak. udah ayo makan," gue mulai melahap sendokan pertama. awalnya ragu tapi kemudian Echi melakukan hal yg sama.

dan akhirnya kami sarapan sepiring berdua. hanya butuh sepuluh menit untuk menghabiskan nasi di piring.

"thanks ya Chi," gue bersendawa kecil setelah minum.

gue duduk lagi di tempat gue tadi. menyulut kembali sebatang Marlboro sebagai "hidangan penutup" sarapan pagi itu. gue lirik jam dinding menunjukkan pukul sembilan lewat seperempat. berarti tadi gue tidur hanya sekitar tiga jam.

hufft......gue mengembuskan asap putih dari mulut gue, berharap rasa kantuk yg masih menggelayuti mata gue juga ikut pergi bersamanya.

"Indra lembur ya?" tanya Echi membuyarkan lamunan sekaligus membuat gue terjaga dari lelap yg sempat menghinggapi gue beberapa detik yg lalu.

"eh, enggak kok. semalaman gue begadang sama dia maen game. jam segini mah di masih asyik sama bantalnya."

"kalian begadang sampe pagi yah?"

gue mengangguk.

"wah berarti tadi gue beneran ganggu dong? lo pasti masih ngantuk ya, Ri?"

gue tersenyum.

"kurang lebih seperti itu," nggak ada gunanya basa-basi pura-pura nggak ngantuk.

"emh...ya udah deh lo lanjutin aja lagi tidurnya."

"nah terus elo nya?"

"gue jagain lo tidur deh," katanya tanpa nada terpaksa. "lo punya koleksi novel kan? lo tidur aja, gue mau baca novel deh."

"enggak bosen tuh? kalo nggak kuat dan mau balik, ya balik aja nggak usah ngerasa nggak enak sama gue."

"lo ngusir nih ceritanya?"

"hehehe.. enggak kok bukan gitu. ya udah tuh novelnya ambil aja," gue menunjuk tumpukan buku di atas lemari kecil di sudut kamar. "bentar gue abisin dulu rokoknya. tanggung nih."

beberapa saat kemudian Echi sudah larut dalam novel yg dibacanya. gue menikmati hisapan terakhir rokok gue, setelah itu beranjak ke kasur. rasanya nyaman sekali merebahkan tubuh ini.

"jangan lupa doa dulu," Echi mengingatkan.

"wah gue hafalnya doa makan nih."

Echi menepuk kaki gue. gue sudah memejamkan mata saat gue rasakan kehangatan mulai menyelimuti tubuh gue. gue membuka mata. Echi menutup tubuh gue dengan selimut.

"thanks Chi. lo baik banget yah?"

"udah tidur sana jangan banyak komentar." Echi duduk di samping kasur tepat di sebelah kepala gue. dia kembali asyik dengan novel yg dipegangnya.

ah, pagi yg dingin ini gue rasakan mendadak hangat. entah karena selimut ini atau karena sosok wanita di samping gue. yg jelas nggak butuh waktu lama buat gue masuk ke dunia mimpi.....

hari-hari gue kini sedikit banyak berbeda dengan sebelumnya. Echi hadir menjelma jadi pengisi kekosongan yg gue rasakan sebelumnya. kalau nggak Echi yg menginap di kamar gue, maka gue yg ngandong ke kosannya. kebetulan kami berdua sama-sama non shift jadi nggak ada istilah jam kerja malam.

layaknya pasangan lain yg tengah dimabuk asmara, gue dan Echi juga kerap memilih menghabiskan waktu berdua meski harus menolak jam lembur yg ditawarkan bos di kantor. gue pikir gaji tanpa lembur gue sudah lebih dari cukup. selain itu Echi adalah tipe cewek yg pengertian. nggak harus selalu cowok yg nraktir cewek, beberapa kali gue bahkan makan gratis dari dia.

soal Indra, awalnya dia heran karena gue sering nggak menampakkan diri di kosan. setelah gue beritahu kalo gue udah jadian sama Echi dia cuma tertawa lebar sambil tetap ngomong "jangan diapa-apain dulu!" yg gue jawab "udah terlanjur!"

jarang balik ke kosan, itu berarti gue juga jarang ketemu Indra. apalagi dia kan kena shift. makin jarang lah gue ketemu tuh anak. hari libur gue lebih suka menghabiskan waktu di kosan Echi atau sekedar jalan-jalan ke alun-alun kota bareng dia. yah pokoknya asal bareng Echi semua berasa indah deh. hehe...

memasuki bulan keempat gue kerja, gue memutuskan membeli sebuah handphone untuk mempermudah komunikasi gue dengan teman-teman dan juga Echi tentunya. sebuah handphone mungil dengan layar monochrome warna biru gue ingat betul handphone pertama yg gue punya waktu itu. dengan fasilitas seadanya hp itu tergolong elit lho pada masanya.

perlahan tapi pasti gaya hidup gue yg dulu seadanya dan gue usahakan sesederhana mungkin, kini mulai berubah ke arah glamour dan foya-foya. sebagai jiwa muda yg masih berkobar waktu itu gue merasa sedang dalam momen terbaik di hidup gue. berpenghasilan lumayan plus punya pacar cantik dan setia membuat gue mabuk kepayang. beberapa kali bahkan gue mabuk beneran bareng Echi di kosannya.

sudah setengah tahun kini gue bekerja di Karawang. meski jarang ditempati, tapi gue memilih bertahan di kosan gue. selain gue juga malas mencari lagi kosan yg lain, ada Indra yg membuat gue memutuskan bertahan di sana. bagaimanapun Indra tetap sahabat terbaik gue di kota ini. dia yg pertama gue kenal dan dia juga yg kerap membantu saat gue sedang kesulitan alias bisa ngutang dulu gitu! hehehe.. tapi gue akui Indra memang orang baik kok. walau jarang bertemu kami tetap berteman baik.

dan hari itu genap sudah dua minggu berturut-turut gue nggak balik ke kosan. kangen juga pengen tidur di ruangan kecil itu. pengen maen gitar punya Indra lagi. maka sepulang kerja gue kirim pesan ke Echi bahwa gue nggak ke kosannya malam ini.

"wah tumben lo balik," Indra menyambut gue di gerbang bawah. "masih inget kamer lo ya??"

"iya gue kangen nih sama kamer gue. pengen maen gitar juga. lo ngapain di sini?"

"abis balikin setrikaan temen. punya gue mendadak eror soalnya."

kami berjalan menapaki tangga menuju lantai atas sambil berbincang ringan. rasanya seperti kembali ke rumah sendiri saat gue pandang berkeliling kamar-kamar di sini.

"wah elo kumat lagi nih ya," gue mengomentari volume kencang dari speaker aktif di kamar Indra.

"kan elo jarang balik? nggak ada yg protes lagi. lagian juga di sini sepi kalo lo nggak ada. kan lo tau gue nggak begitu interaktif sama tetangga kamer."

kami duduk di beranda. dan saat itulah mata gue menatap pintu kamar di seberang kamar gue. kamar yg sampai sekarang masih menyimpan rasa penasaran gue. wanita itu....dia cukup terpinggirkan beberapa bulan ini saking sibuknya gue pacaran sama Echi.

"eh, kamer yg itu masih ada penghuninya enggak?" gue menunjuk kamar itu.

"tau deh gue juga nggak ngerti," Indra geleng kepala. "bener kata lo sih, emang ada cewek yg nempatin kamer itu. tapi jarang keliatan keluar masuk nya. gue beberapa kali pernah liat dia di kamer ini."

"terus?" gue seperti disulut penasaran lagi.

"terus apanya? ya biasa aja."

"bukan. maksud gue, cewek itu masih pake kaos kaki item panjang?"

Indra mengangguk lagi.

"menurut lo tuh cewek orang apa setan sih??" tanya Indra.

"jelas orang lah. mana ada setan pake kaos kaki?"

"ya kali aja dia lagi kedinginan?"

gue tertawa kecil. gue seperti mendapat sesuatu yg sempat hilang. rasa penasaran itu, yg sempat sirna beberapa waktu terakhir, kini mulai menjalar lagi di otak gue. terakhir gue ketemu cewek itu ya pas lagi nyanyi tengah malem itu aja. setelah itu dia seolah lenyap. atau gue yg melenyapkan diri ya??

yg pasti malam itu gue duduk lagi di tembok beranda. sambil menyetem gitar milik Indra, gue berharap wanita itu akan muncul lagi malam ini. gue pengen ketemu dia.

Indra lagi shift malam jadi gue sendirian di sana. dan sengaja malam ini gue akan menyanyikan lagu yg sama yg dulu pernah dinyanyikan wanita itu. baru saja gue masuk intro, terdengar sebuah suara dari belakang gue melantunkan lagunya. suara yg cukup melekat di pikiran gue.

wanita berkaos kaki hitam itu. dia ada di belakang gue...

bukan. itu bukan dia...

suaranya lain. eh, iya itu dia. tapi bukan! cara menyanyinya lain!

ah, daripada bingung sendiri gue balikkan badan dan...

"hemmpph........" gue cukup dibuat terkejut saat mendapati sosok Echi berdiri di belakang gue. nyaris saja gue terlompat ke bawah.

"kamu ngagetin aja Chi," gue sedikit terengah karena benar-benar terkejut tadi. "by the way kok lo ke sini gak bilang dulu sih?"

Echi tersenyum simpul. sangat sederhana dengan sedikit sudut bibirnya terangkat ke samping. beda dengan cara dia tersenyum biasanya.

"lo kenapa Chi? kok murung gitu?" tanya gue lagi mendapati Echi yg berdiri mematung di samping gue.

Echi menggeleng perlahan.

"mau bikin kopi?" gue menawarkan.

Echi menggeleng lagi.

"atau lo laper?"

dijawab dengan gelengan lagi. gue turun dari tempat gue duduk. menyandarkan gitar ke dinding lalu berdiri di samping Echi. gue raih dan genggam tangannya. dingin...

tadi sore memang sempat hujan cukup lama dan baru selesai menjelang malam. Echi pasti kedinginan. maka gue pun memeluknya.

"kok agak bau lumpur-lumpur gitu yaa?" gue membatin dalam hati. gue cari ke sekeliling dan di bawah sana ada kubangan lumpur becek tergenang air berwarna cokelat. pasti asal baunya dari sana.

gue membelai pelan rambutnya. entah kenapa malam ini gue merasa sangat damai dengan memeluk Echi sambil menatap langit yg pekat bersih nyaris tanpa bintang. mungkin mereka masih sembunyi gara-gara hujan tadi.

"Ri..." akhirnya Echi bicara.

"kenapa, sayang?" sahut gue di telinganya.

"lo liat bintang itu?" Echi menunjuk satu-satunya bintang yg bersinar di selatan langit.

"gue liat." jawab gue.

"seandainya gue jadi bintang itu, lo mau nggak tiap hari bolak-balik bumi-langit buat ketemu gue di sana?" itu pertanyaan teraneh yg pernah gue denger dalam hidup gue.

"kok nanyanya gitu?" gue tertawa kecil. "apapun akan gue lakukan buat elo, Chi." ciee...gue mulai gombal.

Echi diam merenungi kalimat gue barusan. gue memeluknya makin erat. ah, betapa gue ingin selalu seperti ini. bersama melewati malam dan tak pernah terganti sampai nanti.

beberapa menit kami sama-sama diam. hanya menatap langit tanpa bicara. tiba-tiba nada dering hp gue berbunyi dari kamar Indra. gue lagi nge charge soalnya jadi nggak gue bawa.

"bentar ya sayang, gue angkat telepon dulu." gue lalu bergegas ke kamar.

bokap gue dari kampung nelepon. hanya pembicaraan ringan menanyakan kabar gue di sini dan sedikit perlu dengan uang. nggak lama, hanya sekitar sepuluh menit lalu gue keluar lagi hendak menemui Echi.

"heyy..." gue berseru tertahan mendapati beranda kosong tanpa seorang pun di sana. "Chi, lo di mana say? mau maen petak umpet yah??"

gue tertawa sendiri. tapi bingung juga karena di sini nggak ada tempat buat bersembunyi. gue tunggu lima menit dia nggak muncul juga. maka gue cek ke bawah. gue coba tanya ke temen-temen yg gue kenal dan katanya mereka nggak memperhatikan karena lagi asyik di kamar masing-masing. gue coba keluar siapa tau Echi lagi di warung depan kos, tapi nggak ada juga.

maka gue memutuskan kembali ke atas, mencoba menghubunginya lewat hp. baru aja gue buka pintu kamar, hp gue berbunyi tanda sms masuk.

Gue balik dulu ya, Ri...

begitu pesan dari Echi. langsung gue balas seperlunya ditambah sedikit basa-basi seperti biasanya. gue lalu rebahan di kasur. jam kecil di atas televisi menunjukkan pukul setengah sembilan malam. sudah waktunya tidur. besok pagi-pagi gue harus ke kosan Echi dulu sebelum berangkat kerja karena pakaian ganti gue memang ada di sana. di kamar gue sendiri hanya ada beberapa untuk perlengkapan tidur.

"permisi.." seseorang mengetuk pintu kamar.

bergegas gue buka pintu dan gue lihat penghuni kamar seberang Indra berdiri menenteng gitar milik Indra.

"udah mau tidur ya Mas? ini gitarnya ketinggalan di luar, barangkali ilang kan sayang." dia menyerahkan gitar itu.

"eh iya Pak, tadi saya lupa. makasih banyak Pak."

beberapa saat setelah itu gue sudah rebahan lagi di kasur. malam ini gue pengen ditemani lagu-lagu Mariah Carey. gue cari kaset CD nya di tumpukan kaset di atas VCD lalu gue setel dengan volume seperlunya. damai sekali nampaknya malam ini.

gue pejamkan mata. dan bayangan-bayangan wanita berkaos kaki hitam mulai muncul di benak gue. gue buka mata dan seketika bayangan itu lenyap. saat gue pejamkan lagi mata gue, yg muncul di hadapan gue sekarang adalah wajah Echi.

senyuman teduhnya menghantarkan gue ke alam mimpi...

"tok tok tok!"

ketukan di pintu membangunkan gue dari tidur. ketukannya makin cepat terdengar dan hampir saja pintu roboh kalau gue nggak cepat-cepat membukanya.

"apaan sih lo Ndra?" gue mendengus begitu tau yg mengetuk pintu adalah Indra. "masih pagi juga udah gedor-gedor kamer orang."

"ini kan kamer gue?"

"iya iya. gue ulangi deh, ngapain pagi-pagi gedor kamer elo?"

"buruan pake pakean lo!" kata Indra tetap berdiri di tempatnya.

"ada apaan emang?"

"sms gue masuk nggak sih??"

gue cek hp yg masih tersambung dg charger. di layarnya terdapat pemberitahuan memori pesan penuh. maka gue segera hapus semua pesan di inbox dan satu pesan baru dari nomor Indra langsung masuk.

'Echi kecelakaan. dia dirawat di RS Dewi S*i. nanti gue jelaskan lagi, ketemu di sana aja.'

"maksudnya apaan nih?" tubuh gue bergetar cukup hebat. gue berharap yg gue baca ini hanya sms lelucon.

"tadinya gue mau kita ketemu di sana, tapi gue sms elo kok nggak masuk-masuk ya jadi gue pastikan aja ke sini."

"lo becanda kan?"

"gue tau batasan-batasan becanda Ri. ini serius! semalam gue dapet kabar dari family nya Echi, gue kenal baik keluarganya dan mereka tau gue juga ada di karawang yaa jadi mereka ngehubungin temen terdekatnya Echi yaitu gue."

"terus gimana keadaan Echi sekarang??"

Indra menarik nafas berat.

"dia lagi sekarat. kepalanya mengalami pendarahan hebat, itu yg gue denger dari kakaknya yg ngehubungin gue."

"kok bisa? emang gimana kronologinya?"

"yaah...katanya sih Echi lagi nyebrang mau ke mini market gitu, tanpa dia tahu dari arah kanan ada motor yg melaju kencang dan terjadilah tabrakan maut itu. sayangnya pelaku penabrakan itu kabur."

seketika darah dalam tubuh gue memanas. tulang-tulang gue seolah lemas. gue terduduk dalam diam.

"bukannya lebih baik sekarang kita pastikan keadaannya di rumah sakit?"

gue mengangguk. maka setelah merapikan diri seperlunya gue dan Indra bergegas turun keluar.

"lo napa Ndra?" tanya gue melihat Indra berjalan agak tertatih di belakang gue.

"udah sejak tiga hari yg lalu, gue kecelakaan kerja di pabrik. kebentur mesin gitu."

"ya udah gue aja yg bawa motornya," gue berjalan ke tempat parkir. "motor lo mana Dul?"

"tuh yg Sup*a item. gue lagi pake punya cewek gue. motor gue lagi turun mesin di bengkel kemaren."

dan berangkatlah kami berdua menuju rumah sakit tempat Echi dilarikan. saat itu fajar baru menyingsing tapi gue abaikan rasa dingin yg menusuk sekujur tulang dalam tubuh. kami memacu menembus kabut yg memang masih kerap muncul di pagi hari di karawang. gue nggak peduli. seperti yg gue bilang semalam pada Echi, gue akan lakukan apapun untuknya...

-----

ahh.....rasanya sangat sakit. teramat sangat sakit melihat tubuhnya terkapar tak berdaya. dengan nafas masih tercekat di kerongkongan gue cuma bisa terdiam merelakan mobil ambulans yg membawa tubuhnya berlalu dari tempat ini.

"sabar yah Ri..." Indra menepuk bahu gue pelan. "gue tau yg lo rasain saat ini."

entah sudah berapa lama gue menangis. waktu berjalan sangat lambat.

pagi tadi, gue datang saat tim dokter menyatakan menyerah. pendarahan di kepala Echi begitu hebat sehingga nyawanya tidak tertolong lagi. keluarga Echi memutuskan untuk memakamkan jasadnya di kota kelahirannya Surabaya.

nggak perlu bertanya bagaimana rasanya kehilangan orang yg kita sayang dengan begitu tiba-tiba. samasekali nggak pernah terfikir tentang kepergiannya ini. gue dan Echi sedang dalam hubungan yg harmonis dan mulai membicarakan hal serius tentang hubungan kami. tapi kini semua itu tinggal lalu. menyisakan setitik perih yg mengendap di hati.

menurut info yg gue dapat, Echi mengalami kecelakaan naas itu sekitar jam delapan malam.

"nggak mungkin!" gue masih mencari titik lemah kenyataan di hadapan gue. "semalem itu Echi ke sini. gue dan dia berdiri di sini! kita malah pelukan gitu!" gue menunjuk tembok beranda dimana semalam gue yakin gue berdiri di samping Echi.

"Ri, Echi itu ketabrak jam delapan. terus dilarikan ke rumah sakit jam setengah sembilan..kan lo liat sendiri jam masuknya tadi." Indra mencoba menjelaskan.

"terus kalo gitu yg semalem ngobrol sama gue siapa Ndra??" suara gue meninggi diiringi airmata yg jatuh. "yg gue peluk itu siapa??? lo mau bilang kalo itu setan lagi?!!"

Indra diam. dia nggak berani mengkonfrontir gue. dia lagi-lagi menepuk bahu gue mencoba menenangkan emosi yg tengah mengurung gue.

"gue tau lo sayang banget sama Echi, dia juga sayang sama lo. dia selalu cerita ke gue kalo dia tuh pengen lo jadi yg terakhir buatnya."

Indra diam. gue masih sesenggukan menangis.

"gue nggak bilang yg semalem itu setan atau apa lah itu..tapi gue yakin, kehadiran Echi waktu itu karena dia pengen ada di samping lo menjelang saat terakhirnya. mungkin itu semacam ucapan perpisahan buat lo."

sms itu! gue ingat sms terakhir dari Echi. segera gue cek hp. tapi gue terhenyak, karena tadi pagi gue menghapus semua inbox di hp gue. dan dalam terapi kejut itu, mendadak gue rasa semuanya menjadi gelap....

gue pandangi coretan di kertas kecil di tangan gue. sudah dua hari ini gue sering menatap berlama-lama deretan angka itu meski tanpa hasil apapun. dua hari yg lalu saat gue ke kantor Polsek gue mendapat informasi tentang identitas pelaku tabrak lari Echi. salahsatu saksi berhasil menghafal plat nomor sepeda motor yg melarikan diri itu.

sebuah sepeda motor Me*a P*o berplat nomor N 6689 M. untuk identitas pelakunya, sayang belum ada kejelasan karena saat kejadian si pelaku menggunakan helm full face dan jaket kulit serta celana jeans hitam sehingga cukup menutup ciri-ciri fisiknya. yg pasti dia memiliki tinggi badan se Indra lah..lumayan tinggi. pihak Polisi sedang melacak keberadaan kendaraan asal kota Malang itu (huruf N adalah kode nopol Malang).

hal ini juga menjadi ironi sendiri buat gue. dimanapun gue berada, setiap gue melihat sepeda motor melintas gue jadi selalu tertarik untuk memperhatikan plat nomornya. siapa tau si pelaku kebetulan lewat di depan gue, kan bisa langsung gue hajar tuh orang. tapi gue jadi nggak tenang. gue selalu merasa si pelaku bisa muncul kapan saja, maka sekali gue lengah gue akan kehilangan dia. dan sore ini gue duduk di tembok balkon kamar gue memandang kendaraan yg lalu lalang di bawah. entah sudah berapa ratus kali gue membaca plat nomor kendaraan yg gw lihat sejak mendapatkan informasi dari Polisi.

"berdoa aja semoga si pelaku lewat terus nyapa lo," kata Indra yg tiba-tiba muncul di belakang gue sambil menenteng gitar.

gue tersenyum kecut.

"ayolah bro...almarhum Echi udah tenang di sana. jangan bikin dia sedih dengan tangisan kita," Indra coba menghibur.

"lo nggak tau sih gimana rasanya.." sahut gue lirih tanpa menoleh ke arahnya.

"oke gue gak tau gimana rasanya kehilangan pacar dg cara seperti ini, tapi gue tau rasanya kehilangan sahabat," Indra duduk di sisi lain tembok. "waktu sekolah dulu gue emang nggak terlalu deket sama Echi, malah lebih cocok disebut Tom and Jerry daripada sahabat. tapi gue beruntung sekolah di Surabaya, gue jadi kenal sama dia."

"emang lo aslinya darimana?"

"gue lahir dan tumbuh di Sidoarjo. tapi pas SMA gue ikut Pakde gue di Surabaya sampe lulus kuliah, baru kerja di sini."

"wah selama ini gue kira lo arek-arek Surabaya asli."

"weleh weleh...koe nang endi wae toh le...le...." dia geleng kepala lalu tertawa.

"kaki lo gimana, udah sembuh?"

"yaah lumayan lah udah bisa lari sedikit sedikit."

gue kembali diam melamun. pikiran gue menerawang membayangkan Echi lagi. ah, betapa sakitnya rasa ini. gue akan membalasnya Chi, begitu gue ketemu pelaku tabrakan itu, gue akan membalaskannya! gue bersumpah gue akan buat perhitungan dengan dia!! bukankah hutang nyawa harus dibayar nyawa juga???

"kadang nggak semua pembunuh itu dihukum mati," kata Indra seolah bisa membaca yg ada di pikiran gue saat ini. "hutang nyawa memang layak dibalas nyawa, tapi bukan kita yg pantas membalasnya. ada yg lebih berwenang menentukan balasan yg tepat. kalau dirasa balasan dari lembaga hukum kurang memuaskan, kita selalu punya Tuhan sebagai harapan. Dia yg tau segalanya."

gue diam mendengarkan advice nya itu. kalau saja bukan seorang sahabat baik yg bicara, sudah pasti gue akan tolak mentah-mentah paradigma nya tentang hukuman Tuhan. gue yakin sore ini akan jadi debat yg menyenangkan. tapi gue menghormati Indra. pikiran gue lagi keruh, gue nggak mau menambah keruh lagi dengan debat kusir yg sia-sia.

dua minggu sudah berlalu sejak kecelakaan naas itu. dan Indra kerap men support gue supaya cepat bangkit dari keterpurukan karena kehilangan Echi. gue tau dia pasti iba melihat gue yg akhir-akhir ini jadi pemurung. he's my best friend. thanks guys gue nggak tau apa jadinya gue tanpa elo, mungkin gue udah nyusul Echi kali yaa...

"pinjem pick punya elo dong Ri," suara Indra membuyarkan lamunan gue.

"lah..bukannya lo punya pick kesayangan yg selalu lo bawa kemana-mana itu?"

Indra memang punya sebuah pick bertandatangan Ahmad Dhani personil grup band Dewa19. pick itu didapatnya waktu masih aktif di fans club nya Dewa19 semasa kuliah dulu. sekedar info, Indra memang fans berat sama grup band itu.

"gue lupa naro dimana. lo punya kan? gue nggak biasa gitaran pake jari doang."

gue merogoh saku jeans dan mengeluarkan sebuah pick berwarna orange. pick murahan yg gue beli di toko pinggir jalan. Indra mengambilnya dan kemudian mulai memetik gitar di tangannya.

gue pikir gue akan menghabiskan sore itu dengan mendengarkan Indra bernyanyi, tapi kami sama-sama terdiam saat mendengar suara itu.

"suara cewek nangis!" kata Indra.

"dari kamar itu," gue menunjuk kamar seberang. kamar wanita berkaos kaki hitam..

suaranya jelas. bukan hanya desiran angin, tapi benar-benar nyata seperti yg pernah gue dengar. gue beranikan diri mendekat dan mengetuk pintunya.

"Ri, itu..." Indra menunjuk bawah kaki gue.

dari celah sempit di bawah pintu kamar, ada sesuatu keluar mengalir. cairan berwarna merah. merah pekat dan kental...

DARAH.....!!!!!

"heyy...apa yg terjadi? lo baik-baik aja kan?!" gue gedor pintunya berkali-kali. "buka pintunya!"

panik. berapa kali pun gue memutar handle pintu itu bergeming. tidak ada respon dari orang di dalam. hanya suara tangisnya yg kini lenyap.

"minggir.." Indra memasang kuda-kuda. gue menepi dan kemudian dia menghempaskan tubuhnya ke pintu berusaha mendobraknya.

"aaaaarrggggh..." suara Indra terdengar miris. dia terhuyung mundur sambil pegangi kaki kanannya yg kesakitan akibat benturan tadi.

"ah lo belagak di film laga aja," komentar gue. aneh memang di saat seperti ini gue pengen ketawa.

cairan merah di bawah pintu masih menjalar sampai nyaris menyentuh ujung kaki gue. gue gedor lagi pintunya. tetap tidak ada jawaban.

"bongkar aja jendelanya," Indra mengusulkan. "nih ambil obengnya di bagasi motor gue."

dengan gelagapan gue menangkap kunci yg dilemparnya. bergegas gue turuni tangga menuju tempat parkir di bawah. bukan tempat parkir khusus memang, hanya halaman kosong yg cukup luas di depan bangunan kamar-kamar ini.

"lagi ngapain lo Ri sama motor gue?" seorang penghuni kamar di bawah muncul ketika gue bersikeras memutar kunci bagasi salahsatu motor di sana.

"gue mau ambil obeng punya Indra, tapi kok nggak kebuka-buka ya dari tadi?" gue sedikit menggerutu.

"jelas nggak bisa. itu kan R* King gue? punya Indra mah yg itu tuh, yg plat nya 'W'."

"upz, sorry bos. gue buru-buru soalnya."

dan semenit kemudian gue sudah berlari lagi menaiki tangga menuju lantai atas. sempat terpeleset dua kali, gue tiba di sana tepat sesaat setelah Indra terhuyung lagi. rupanya dia masih berusaha mendobrak pintu.

"minggir," giliran gue yg beraksi. dengan cekatan gue berhasil melepas engsel jendela kurang dari dua menit.

jantung gue berdebar menebak-nebak apa yg akan gue lihat di balik jendela ini. ada sebuah gorden warna merah terpasang di lubang jendela. bersama Indra gue turunkan daun jendela dan menyandarkannya ke tembok.

"lo aja yg masuk, gue nggak bisa lompat," kata Indra.

nggak butuh instruksi yg ke dua kali buat gue menyibak gorden merah itu dan bau amis langsung menyeruak menusuk hidung. gue sibakkan lebih lebar sementara mata gue terperangah menatap pemandangan di dalam ruang kecil berukuran nggak lebih dari 4x4 meter itu.

sebuah ruangan dengan pencahayaan redup dari bohlam kuning yg kusam yg tergantung di atap. keadaannya nyaris gelap dan gue harus memicingkan mata supaya bisa melihat lebih jelas. sampai akhirnya mata gue bisa beradaptasi dengan kegelapan di dalam sana tangan gue meraba pintu dan membuka gerendelnya.

gue dan Indra segera masuk ke kamar pengap itu. yg pertama menarik perhatian gue adalah bercak darah di depan pintu, yg tadi mengalir keluar lewat celah sempitnya. nampak seperti bekas diseret dan tetesan-tetesannya menitik menuju ruangan yg lebih kecil di sana, kamar mandi. gue dan Indra saling pandang. rasanya kali ini pikiran kami sejalan. maka buru-buru kami buka pintu kamar mandi dan.....baru kali ini gue melihatnya!!

perempuan itu setengah bersandar pada bak mandi kecil di sana. dia mengenakan pakaian lengkap plus kaos kaki merah, ups itu bukan kaos kaki merah. itu darah!!

darah yg mengalir deras hampir menutupi kedua betisnya. kedua telapak tangan perempuan ini juga bersimbah darah. dan di samping tubuhnya ada sebuah belati kecil berlumuran cairan merah.

gue nyaris muntah melihat ini semua. tubuh gue bergetar lebih cepat dari detakan jantung gue.

penampilan perempuan itu sangat mengenaskan. dengan sebagian rambut panjangnya yg menutupi wajah, gue masih bisa mendengar dia terisak pelan menahan sakit.

"gotong dia keluar," kata Indra.

baru saja gue hendak meraih punggungnya ketika tiba-tiba dia mengambil belati dan mengacungkannya tepat di wajah gue.

"jangan sentuh gue!!" teriaknya parau. melengking dan tercekat. mengerikan untuk didengar.

gue diam. Indra juga diam. menunggu apa yg mungkin terjadi.

"keluar kalian!" teriaknya lagi tetap dengan pisau yg teracung di wajah gue.

"tenang Mbak...kita nggak ada maksud apa-apa kok," gue coba berdiplomasi.

"kalian brengsek!! kalian sama aja dengan mereka!!" dia menangis. lebih kencang. sambil tangan yg memegang belati dipukul-pukulkan ke dinding bak mandi. ada kengerian sendiri saat mendengar tiap helaan nafas yg dia lakukan.

"lebih baik kalian pergi..." suaranya lebih rendah sekarang.

gue dan Indra saling pandang. lalu seolah dikomando, gue cekal pergelangan tangannya dan sebisa mungkin gue lepas belati di genggamannya. bunyinya bergemerincing saat mata pisau beradu dengan lantai. perempuan itu sempat memberontak tapi tenaganya yg lemah menjadi sia-sia melawan kami.

dengan kaki dan tangan yg masih kejang-kejang memberontak dia berusaha melepaskan diri. untung tangan gue berhasil menutup mulutnya mencegah dia berteriak menarik perhatian yg lain.

"bawa ke kamar gue dulu," kata Indra. "biar nggak memancing keributan."

dan walau susah payah beberapa saat kemudian kami berhasil memindahkannya ke atas kasur di kamar Indra...

"DIAM!!!" sebuah tamparan mendarat di pipi kiri wanita itu. seketika dia berhenti memberontak.

dengan cukup terkejut gue menatap bergantian Indra dan wanita itu. gue nggak nyangka Indra akan melakukan hal itu, menampar si wanita.

"gue mau nolong lo...please lo jangan berontak terus," suara Indra terdengar bergetar.

wanita itu diam. nafasnya terengah-engah. saat ini seprai kasur Indra yg berwarna putih sudah nyaris ber metamorfosa jadi warna merah gara-gara darah yg terus mengucur dari kaki si wanita ini.

"Ri, lo lap dulu lukanya. gue bikin perban deh," Indra bergegas membuka lemari baju dan mulai menggunting di bagian depan dan belakang baju yg dia ambil.

"sorry," gue pegang kaki wanita itu dan mulai menyeka darah dari kakinya dengan secarik kaos yg diberikan Indra tadi.

lukanya cukup dalam. meski sekarang darah yg mengucur nggak sebanyak di awal tadi. wanita itu meringis kesakitan saat gue menyentuh lukanya.

and did you know? yg bikin gue merinding bukan darahnya, tapi bekas luka yg ada di sekujur kaki wanita itu, memaksa gue menelan ludah menahan ngeri. banyak sekali luka sayatan di sana, mulai dari paha sampai telapak kaki!! kebanyakan luka lama yg membekas dan belum sepenuhnya menutup, dan ada tiga luka baru yg gw lihat masih mengucurkan darah. rupanya luka inilah yg membuat kami mandi darah hari ini.

saat itu si wanita mengenakan celana jeans pendek biru, tapi sekarang sudah nyaris menjadi merah juga. dan gue bener-bener shock nyaris pingsan melihat semua goresan luka sayat di kaki wanita itu.

apa yg sebenarnya terjadi?? kenapa bisa begitu banyak luka?? siapa yg melakukan ini padanya??? percobaan pembunuhan kah?? atau bunuh diri?? karena di kamar tadi nggak ada orang lain selain wanita itu.

aah, pertanyaan-pertanyaan gila ini mendadak memenuhi ruang kecil di otak gue yg nyaris saja pecah menerima kengerian di depan gue. seumur hidup baru kali ini gue mengalami yg seperti ini!!

dengan beberapa potongan panjang kain dari kaos yg diguntingnya, Indra membalut betis wanita itu. gue sendiri berinisiatif mengelap darah dari tangan si wanita. dia nampaknya sudah lebih menguasai diri sekarang.

dia masih menangis pelan. dari wajahnya gue bisa melihat ada penderitaan yg teramat dalam di sana. entah apa itu, mungkin sesuatu yg sangat sulit untuk dihadapi.

wanita berkaos kaki hitam....kali ini tanpa kaos kaki hitamnya. tunggu, apa dia memakai stocking panjang itu untuk menutupi luka-luka di kakinya?? kalau dilihat dari bekasnya, luka-luka itu jelas adalah luka yg dibuat beberapa waktu yg lalu. cukup lama. berarti, apa mungkin dia sendiri yg membuatnya? tapi untuk apa dia melukai dirinya sendiri?? bukankah itu menyakitkan?? apa tujuannya melakukan hal itu??

huuffftt......gue sandarkan punggung ke dinding. hanya bisa menatap wanita yg tergeletak lemah di atas kasur. mungkin dia tertidur. Indra sudah selesai membalut dan dia baru keluar dari kamar mandi setelah mencuci bekas darah di tangannya.

"buruan mandi, kita akan bawa dia ke rumah sakit," kata Indra.

"jangan...." wanita itu berkata lirih. "jangan bawa gue ke rumah sakit. jangan bawa gue ke sana.."

"eh, cewek aneh. lo itu mengalami luka serius. lo butuh pertolongan yg layak."

"nama gue Mevally, bukan cewek aneh."

Mevally..........akhirnya gue tau namanya.

"oke lah siapapun nama elo, kita harus ke rumah sakit. H-A-R-U-S!!"

"gue nggak apa-apa!" Mevally mencoba bangkit dan duduk.

"nggak apa-apa lo bilang??" Indra kernyitkan dahi. "mandi darah gitu lo bilang nggak apa-apa??? lo nggak ngerasain sakit apa??! gue yg liatnya aja ngeri!"

"gue nggak apa-apa! gue udah biasa!" Meva bersikeras menolak.

hey..apa maksudnya udah biasa?? apa wanita ini benar-benar gila untuk melukai dirinya sendiri??!

"terus, lo pikir lo hebat gitu?? dengan semua luka di kedua kaki lo, lo pikir lo cewek keren?? lo anak Banten yah?" Indra mencibir.

Meva menangis lagi sambil terduduk. gue yg sejak tadi diam mendengarkan jadi iba dengannya. pasti beban di pikirannya sudah melebihi batas yg sewajarnya. ada semacam guncangan hebat yg menerpa dirinya gue yakin.

gue geleng kepala melihat penampilan cewek yg satu ini. sangat acak-acakan. dengan rambut basah oleh keringat dia nampak semakin berantakan.

"ya udah kalo gitu lo tidur aja dulu," gue angkat bicara. "jangan nangis aja."

gue ambilkan segelas air dan menyerahkannya ke Meva. dia memegangnya dengan bergetar.

"minum," kata gue.

dia menurut.

"makasih," ujarnya pelan seraya mengembalikan gelas ke gue.

"lo tiduran aja dulu, jangan banyak gerak." gue membimbingnya merebahkan badan di kasur.

gue sandarkan lagi punggung gue ke dinding. memandang kosong sosok wanita yg tertidur di depan gue. hari ini seperti mimpi. dari dulu gue memang pengen tau tentang wanita ini. tapi bukan dengan cara semacam ini. entahlah, gue harus bersyukur atau apa.

wanita berkaos kaki hitam. dia memang wanita yg misterius........

"Ri...bangun Ri....." sebuah tepukan di bahu membangunkan gue. "ikut gue."

kepala gue mendadak pening. gue baru saja tertidur selama beberapa menit. tidur sebentar selalu nggak baik buat gue. perlahan gue bangkit dan mengikuti Indra ke tembok balkon. bahkan saat itu gue nggak menyadari pakaian gue masih belepotan darah wanita itu.

"kita harus bereskan ini sebelum yg lain tau," kata Indra melirik percikan darah yg menghubungkan dua pintu kamar.

"gimana sama si Meva? kita perlu bawa dia ke rumah sakit."

"enggak. lo tau sendiri kan dia ngotot nolak ke rumah sakit? biar gue minta dokter kenalan gue ke sini. makanya gue butuh bantuan lo. lo beresin kamernya sementara gue jalan yaa?"

gue mengangguk. dan lima menit kemudian mulailah gue membersihkan noda darah di lantai sekitar pintu.

"gue nggak lama kok. magrib juga balik," kata Indra sambil lalu. langkah kakinya menuruni tangga terdengar semakin menjauh.

hufft....gue berdiri mematung menatap pintu kamar Meva. saat berjalan masuk ke sana bau amis langsung menyeruak. bau darah. gue memutar kepala menyapu pandangan ke semua sudut kamar.

hati gue mencelos ketika gue sadar banyak darah di kamar ini. terlalu banyak darah! bekas darah yg mengering di lantai dan tembok.

O my gosh!! pantas saja wanita itu jarang terlihat di sini. dia menjadikan kamar ini hanya semacam laboratorium praktek atau entah apa namanya. hanya ada sebuah rak buku kecil di dalam sini. padahal buku-bukunya sendiri berserakan di lantai.

dan beberapa pasang stoking hitam.........

"tempat macam apa ini???" gerutu gue dalam hati.

gue mendekat ke dinding kamar dekat pintu. jejak tangan berlumur darah membekas jelas dengan beberapa tetes yg baru saja menempel di sana. bahkan sidik jari wanita itu nampak jelas di dinding bercat putih ini.

melihat semua ini maka nggak butuh waktu lama buat gue sepakat dengan hati gue bahwa Mevally, wanita berkaos kaki hitam itu memang gila! ada semacam gangguan jiwa gue yakin itu.

sambil berharap kamar yg sedang gue tempati ini belum jadi lokasi pembunuhan berantai gue bersihkan bekas darah di lantai. beberapa kali gue mengalami kesulitan dengan bercak kering di tembok sebelum gue putuskan menyerah. biar nanti tembok ini dicat ulang untuk menghilangkan bekas darahnya.

lantai sudah gue pel dan buku-buku itu bertumpuk di tempat yg semestinya. kaos kaki hitam wanita itu gue bawa ke kamar Indra. gue yakin dia akan butuh ini nanti. Indra datang saat matahari sudah benar-benar terbenam. dia bersama seorang lelaki paro baya yg kemudian gue kenali adalah Dokter Yusuf.

"dia menderita non-suicidal self injury," kata Pak Dokter saat kami bertiga keluar dari kamar. dia baru saja melihat keadaan Meva.

"apaan tuh Dok?" gue bingung.

"kalo dilihat dari bekas luka-luka yg ada, itu adalah bekas luka yg sengaja dia buat sendiri," Dr. Yusuf coba menjelaskan.

gue merinding sendiri mendengarnya.

"orang bodoh mana yg mau melukai dirinya sendiri??" gue masih sulit mempercayai yg gue dengar barusan. "apa enaknya ngelakuin kayak gitu, nyobek-nyobek kulit tubuh?!"

"itulah yg saya maksud. non-suicidal self injury atau biasa disebut self injury saja, adalah penghancuran disengaja diskrit jaringan tubuh tanpa maksud bunuh diri," nampaknya Dr. Yusuf mencari bahasa yg mudah gue mengerti. gue dan Indra memperhatikan dengan ekspresi ngeri. "kita coba untuk menghancurkan tubuh kita, tapi kita nggak bermaksud untuk bunuh diri. beberapa perilaku menyimpang ini seperti memotong, membakar dan ukiran kulit untuk mematahkan tulang, atau menempelkan pin dan jarum pada bagian tertentu tubuh kita. biasanya tangan dan kaki jadi sasaran empuk penderita ini melampiaskan keinginannya."

nafas gue seperti tertahan di kerongkongan. bulu kuduk gue mendadak berdiri.

"saya baru denger ada yg kayak gitu Dok," komentar Indra.

"kok bisa...punya hobi ngelukain diri sendiri?" gue mendukung pernyataan Indra. "dia gila tingkat tinggi ya?"

Dr. Yusuf menggeleng.

"penderita self injury ini normal. samasekali nggak menderita kegilaan."

"tapi kenapa bisa kayak gitu??"

"mereka melakukan self injury saat pikiran mereka kalut, takut, pusing atau semacamnya yg sifatnya berlebihan. karena menurut mereka, dengan cara ekstrim seperti itu bisa menenangkan mereka dan membawa rasa lega. mereka menggunakan self injury untuk mencoba merasa lebih baik dalam jangka pendek."

gue dan Indra terdiam. kami hanya saling pandang keheranan takjub, aneh dan tentu saja ngeri mendengar penjelasan tadi!!

"terus..kami mesti gimana Dok?" tanya gue.

"lebih baik bicarakan dengan psikiater, karena ini bukan soal medis belaka, faktor psikis lebih berperan dalam hal ini."

gue benar-benar shock! kegilaan apa ini?? mana ada orang yg mau melukai dirinya sendiri?? hanya orang-orang bodoh yg nggak mensyukuri hidup.

huuffftt.....gue terduduk di kursi depan kamar. sambil mencoba membayangkan rasa sakit akibat melukai diri sendiri, diam-diam gue justru merasa lebih baik kalau wanita itu adalah hantu...

"jadi gimana nih selanjutnya?" tanya gue ke Indra sambil menatap tumpukan obat yg tadi diberikan dokter.

Indra diam sebentar.

"kita tunggu dia bangun dulu, baru kita bicarakan baik-baik apa yg harus kita lakukan." jawabnya.

potongan kain di kedua kakinya sudah diganti dengan perban oleh dr. Yusuf. wanita berkaos kaki hitam itu kini jadi wanita "berkaos kaki" putih. dalam hati gue sendiri nggak pernah menyangka kaos kaki hitam yg dipakainya ternyata untuk menutupi bekas-bekas luka yg dibuatnya sendiri. muncul rasa iba sekaligus takut melihat sosok wanita yg sekarang sedang tertidur di kasur.

gue melangkah keluar kamar menuju tembok balkon favorit gue. haah...betapa tadi gue masih meratapi kesedihan karena kehilangan Eci dan beberapa jam terakhir pikiran gue tersedot ke wanita berkelainan jiwa bernama Mevally. sekarang waktunya gue mengistirahatkan otak gue.

gue duduk di kursi kecil depan kamar yg gue taroh di sudut tembok balkon. sambil menjulurkan kaki gue coba pejamkan mata. menikmati heningnya malam yg sejuk ini.

"Ri," belum juga lima detik gue pejamkan mata suara Indra terdengar memanggil di sebelah kiri gue berada.

"apa?" gue menoleh.

"gue mau buang pakaian bekas tadi," katanya mengangkat sebuah kantong hitam berisi pakaian berlumur darah yg tadi kami pakai sebelum mandi. "sekalian beli nasi goreng. lo mau nitip?"

"boleh tuh."

sial, begitu tersedotnya pikiran gue sampai-sampai gue lupa sejak siang tadi gue belum mengisi perut.

"pedes nggak? telornya dicampur apa dipisah?" tanya Indra lagi.

"pedes tapi telornya dipisah." itu adalah menu favorit gue kalau makan nasi goreng. ternyata Indra masih belum hafal juga padahal gue sering nitip beli nasi goreng ke dia.

"ya udah tolong lo jagain cewek ini yah.." lanjut Indra lalu melangkah menuruni tangga. suara sandalnya beradu dengan lantai keramik terdengar seperti sebuah irama yg memecah keheningan malam ini.

heyy...kok gue baru sadar yaa malam ini sepi banget nih kosan? pada kemana para penghuni kamar yg biasanya begitu berisik dengan lagu-lagu dari speaker mereka? sekarang malah suara jangkrik yg bersahutan menyanyikan senandung mereka.

dan tiba-tiba gue melihatnya! Echi! dia berdiri di depan tempat gue duduk!!

aah..itu di dalam pikiran gue aja. ketika gue buka kedua mata gue, nggak ada siapapun di sana. hanya sebuah kekosongan yg begitu hampa. sama dengan yg gue rasakan sekarang dalam hati gue.

sangat menyakitkan rasanya mendapati kenyataan orang yg kita cintai harus direnggut dengan cara yg begitu tragis. kadang gue menerka seperti apa wajah "malaikat pencabut nyawa" yg sudah membuat gue merasakan sakit yg sangat ini. dan jantung gue selalu berdegup kencang tanda emosi gue naik setiap mencoba menerka hal itu.

gue menarik nafas berat. ah, rasanya nafas gue selalu berat setelah kehilangan Echi. entah apa yg harus gue katakan buat menggambarkan sakit ini.

gue hanya diam membiarkan otak gue bermain dengan bayangan-bayangan yg berkelebat nggak jelas. entah sudah berapa lama gue terdiam saat sebuah suara membawa gue ke alam sadar.

"woii...malah molor di depan kamer!" suara Indra mengagetkan gue.

"eh, lo udah balik Dul. kok gue nggak denger suara lo ya?"

"orang tidur mana bisa denger suara?" Indra tertawa.

dia menarik kursi dari depan kamar nomor 21 dan menyeretnya ke dekat gue.

"laper banget nih gue," katanya.

"kok elo beli tiga bungkus? lo mau makan dua?" tanya gue melihat jumlah bungkusan nasi di kantong di tangan Indra.

"gue beliin buat cewek itu. kasian dia juga laper gue yakin."

kami mulai menyantap nasi di tangan kami. ah, akhirnya perut gue terisi juga..rasanya seperti dua tahun kelaparan! (lebay...lebay....)

"udah jam sepuluh nih," gue mengecek jam di hp. "tuh cewek belum bangun juga, dan gue yakin nggak akan bangun sampe besok pagi. jadi gimana?"

"kita tidur aja deh. besok gue kan shif pagi."

"ya udah gue duluan yaa," gue buka pintu kamar gue.

"eeh...mau kemana lo?" Indra menarik leher kaos gue.

"kan lo bilang kita tidur dul??" protes gue.

"tidur dimane lo?"

"ya di kamer gue laah. masa di kamer lo?!"

"ide bagus. lo tidur di kamer gue."

"lho, kok gitu? kan ada si Meva di sana? lo mau temen lo ini diperkosa sama tuh cewek??"

"aje gile! otak lo isinya bokep mulu!" Indra menepuk jidat gue. "tenang aja lo nggak akan diperkosa sama dia. paling juga kepala lo dikuliti pake silet pencukur jenggot!"

"ogah ah! gue tidur di kamer gue!"

"ya udin gue ikut."

"dari tadi kek bilang lo numpang di kamer gue gitu..kan nggak perlu debat nggak penting."

"yaah...penting nggak penting serah lo aja dah."

dan kami mulai mencari tempat yg nyaman untuk mengirim kami ke alam mimpi.

"eh, pintu kamer gue belum ditutup." kata Indra.

"ya udah tutup sana."

"lo aja deh yg nutup."

dengan terpaksa akhirnya gue beranjak keluar hendak menutup pintu kamar Indra. wanita itu masih tertidur di sana. gue sempatkan memandang wajahnya sesaat. hmm...manis juga sebenarnya. dan wajah itu pun menghilang tertutup daun pintu yg gue tutup..

"HUUAA.....JAM SETENGAH SEMBILAAN!!" setengah berteriak gue bangun dan menatap jam dinding.

"berisik. gue juga tau," kata Indra dengan santai sambil kucek-kucek mata.

"lo kok nggak bangunin gue dul?"

"nih, lo liat gue juga masih ileran noh.." dia menunjuk mulutnya. "gue juga baru bangun."

gue pandangi lagi jam dinding. berharap dengan begitu jarum-jarumnya akan berputar mundur. tapi gue tau itu nggak mungkin. hari ini pertama kalinya gue bangun kesiangan di hari kerja.

"santai aja lah nggak usah dibikin panik," kata Indra lagi. dia rebahkan diri di kasur.

"busett..kesiangan gini malah nyantai?!"

"terus mau ngapain? maksain berangkat? kebayang nggak gimana bos lo bakal ngomelin plus maki-maki lo gara-gara dateng terlambat dua jam?"

gue diam. sepertinya gue mendapat pembenaran dari statement Indra.

"so?" tanya gue pelan.

"tidur lagi."

gue diam lagi. masih memikirkan mana yg lebih baik..memaksakan berangkat dan mendapat 'kopi anget' dari bos yg galak atau melanjutkan tidur seperti kata Indra. menganggap hari ini adalah hari kemerdekaan sehingga sekolah diliburkan.

"ngapain puyeng-puyeng? tinggal bilang aja kalo kita sakit. beres kan?"

"sakit kan mesti ada surat keterangan dari dokternya?"

"halaaah...gampang itu mah. bayar sepuluh rebu juga dapet kertas gituan mah."

gue masih berpikir.

"kelamaan mikir lo," kata Indra. "udah lo tau beres aja. entar sore gue bikinin surat sakit buat elo."

"serius lo dul?"

"dua rius, empat, lima, serebu rius gue jamin deh!" dia tertawa lebar.

"asli nggak nih? gue kan nggak pernah bolos gawe. gue nggak pengalaman kayak gituan."

Indra mengacungkan jempol tangannya.

"tenang aja," katanya.

dan terbujuk kata-kata Indra akhirnya gue rebahan lagi di kasur. terlanjur kesiangan Ri, ngapain berangkat? kira-kira kalimat itu yg menghibur gue dari kegalauan. maklum aja, selama enam bulan ini absen gue di kantor sangat baik. baru kali ini gue nggak masuk.

"eh, gimana sama si cewek itu?" mendadak gue ingat Mevally.

"mana gue tau? kan tadi gue udah bilang gue baru bangun. lo coba cek deh ke kamer gue, jangan-jangan dia kabur."

"kenapa sih kalo bagian yg kayak gitu pasti gue yg kena?"

"yaelaah.....timbang ngecek doang jual mahal amat lo? kagak ada pahalanya pisan."

"lo deh yg liat."

"ya udah anggep aja tuh cewek masih ada di kamer gue. beres kan?"

"ah, elo mah suka ngegampangin masalah."

"lha, daripada gue bikin susah? pilih yg mana hayoo??"

gue mendengus kasar.

"iya..iya...gue yg ngecek."

gue lalu beranjak keluar menuju kamar sebelah. pintunya masih tertutup. dengan pelan gue buka pintu dan mendapati wanita itu sedang duduk bersandar ke dinding kamar. sebagian rambutnya menutupi wajahnya dengan mata terpejam.

"hey, met pagii..." gue coba menyapanya.

hening. nggak ada jawaban. padahal gue yakin dia mendengar suara gue.

"met pagii Va.." gue ulangi salam gue.

matanya terbuka. dan dia menatap gue. cuma ada kengerian sendiri melihat tatapannya. gue tunggu dia menjawab salam gue.

"kok nggak jawab salam gue?" gue masih pura-pura menganggap dia nggak mendengar suara gue tadi. "met pagi..."

senyum di wajah gue hilang mendapati kamar tetap hening. wanita itu belum mau mengucapkan sepatah kata pun. hanya sebuah tatapan tajam yg nyaris menusuk menembus kepala gue.

"bangun jam berapa tadi?" gue masih sok ramah. malah sekarang gue duduk di tepi kasur.

sh*t !
wanita ini masih membisu !

"sabar Ri...sabar......" gue dalam hati.

gue alihkan pandangan dari matanya. aneh memang ditatap dengan cara seperti itu. sambil berjaga-jaga siapa tau wanita ini melakukan hal ekstrim, gue mengajaknya bicara lagi.

"lo laper nggak? dari kemaren belum makan kan?" gue ingat nasi goreng semalam yg membusuk di pojok kamar gue.

guys, dia masih clep diem! cewek macem apa sih sebenernya dia???

"gue beliin sarapan ya? nasi atau bubur?"

aaaaarrrgggghh..!!! sumpah pengen banget gue getok kepala tuh cewek! dia bener-bener nggak nanggepin gue yg udah cape ngomong?!

"ya udah gue beliin bubur aja ya," entah kenapa mulut dan hati gue nggak kompak banget.

gue bergegas ke kamar gue, cuci muka lalu turun keluar ke warung nasi langganan gue. biasanya di sana juga sekalian jual bubur. tapi katanya buburnya udah habis jadi ya terpaksa gue jalan ke depan gang ke tempat mangkal tukang bubur sop.

dari sana gue balik ke kamar membawa dua bungkus nasi uduk buat gue dan Indra, serta sekantong kecil bubur sop buat cewek aneh plus nyebelin itu.

"nih, silakan dimakan." gue menyodorkan mangkuk berisi bubur dan segelas air dari dispenser. "kalo udah makan, lo minum obatnya. nih obatnya."

gue sodorkan bungkusan obat ke dekat mangkok.

"nggak perlu gue suapin kan?" canda gue.

sepi.

"ah, cape juga ngomong nggak diladenin! serah lo deh!" gue kesal.

gue masuk ke kamar gue dan langsung melahap nasi uduk tanpa sela, menghiraukan ekspresi keheranan Indra. mending Ndra, lo cuma heran. gue nih cape plus kesel daritadi ngomong nggak diladenin!!

"dasar cewek aneh!" omel gue dalam hati.

gue hirup rokok di tangan gue dalam-dalam.

"tumben-tumbenan lo ngudud Ri," Indra berkomentar setengah mengejek. siang itu gue dan Indra duduk-duduk di tembok balkon menikmati 'bolos bersama' hari itu.

"lo pikir gue banci?" balas gue.

"eits..jangan salah lo, banci juga ngudud."

"ngudud beneran atau apa nih? yg jelas dong kalo ngomong."

Indra tertawa lebar.

"itu mah hobi lo Ri."

"najis, ogah gue biar dibayar mahal juga."

"jadi lo mau kalo nggak dibayar?"

giliran gue yg tertawa.

"nggak usah bahas masa lalu lo deh," kata gue.

saat itulah pintu kamar Indra terbuka dan Meva keluar berjalan agak tertatih. perban di kedua kakinya pasti sudah membuatnya tidak nyaman.

"mau ke mana lo?" Indra bertanya padanya.

"percuma nggak akan dijawab," kata gue mengingatkan.

"mau ke kamer gue."

gue menoleh kaget. bercampur kesal gue rasa. nggak salah nih cewek ngomong? apa gue yg tadi salah denger yaa? ah, kali aja tadi gue berhalusinasi seolah denger dia ngomong.

"lo kebanyakan dosa sih.." Indra berbisik lalu tekekeh geli.

gue hanya mencibir pelan.

"butuh bantuan?" kata Indra lagi pada Meva.

"nggak perlu, gue bisa sendiri," jawab Meva tanpa menoleh ke arah kami.

beneran loh, cewek itu ngomong!

gue dan Indra saling pandang.

"padahal kalo sama gue dia nggak mau ngomong loh," gue menggerutu kesal.

mata gue menatap lekat sosok wanita itu. dia akhirnya sampai di depan kamar dan masuk ke dalamnya.

"mumpung dia udah pergi, gue ganti seprai kasur dulu deh." Indra bergegas menuju kamarnya dan sepuluh menit kemudian dia sudah kembali lagi dengan gitar cokelat kesayangannya.

"kayaknya bulan ini gue tekor nih," katanya. "mesti beli baju sama seprai baru. gara-gara cewek itu." dia memonyongkan mulutnya ke arah pintu kamar Meva.

"tuh cewek pembawa sial kali yaa?"

"ssstt...jangan kenceng-kenceng entar dia denger marah lho."

"iya gue pelanin deh suara gue," sengaja gue keraskan volume suara gue.

Indra seperti membisikkan kalimat 'bego lu!' tapi entahlah gue sendiri nggak yakin karena biasanya dia bilang 'goblok lu!'.

"kalo gue sendiri nggak mau men judge terlalu dini soal cewek itu," kata Indra. "yg gue pikirkan sekarang adalah apa yg harus kita lakukan sama dia. biar kita nggak kena dampak dari kebiasaan anehnya. gue yakin dia masih punya kemungkinan buat nyerang orang-orang di sekitarnya."

"tapi kan dia cuma melukai diri sendiri? dokter sendiri yg bilang gitu kan?"

"ya sapa tau aja gitu. waspada bos, waspada."

"kalo gue sih nggak takut dia akan nyerang kita. yg gue takutkan gue nggak bisa nahan emosi gara-gara dicuekin sama dia!"

"hahaha....itu mah tergantung elo nya aja, kebanyakan dosa sih."

"gue masih punya stok pahala banyak, jadi tenang aja."

"kalo dosanya lebih banyak ya percuma aja lah," Indra nyengir lebar. "eh, tapi dia nggak sepenuhnya cuek kok. tadi gue ke kamer kan..bubur sama obatnya udah dia makan tuh."

"baguslah. ternyata dia bisa laper juga toh."

rokok di tangan gue habis. gue lempar asal-asalan ke bawah.

"lo kasian nggak sih sama si Meva?" tanya gue.

"jelas gue prihatin lah. nggak kebayang deh kalo gue yg punya keanehan macem itu. iiiihh....sumpah ngeri gue."

"menurut lo kita mesti ngapain?"

"ngapain apanya? ya udahlah biarin aja toh dia bukan siapa-siapa kita kan? kenal juga enggak. tapi yg namanya waspada ya tetep kudu dijaga. biar gimanapun kita yg paling deket sama kamer dia. kamer sebelahnya kan udah pindahan."

"pindah? Mang Eko sama istrinya emang pindah kemana? kok gue nggak pernah liat mereka angkut-angkut barang?"

"ya iyalah nggak akan tau, elo sih ngayap mulu. mereka udah lama pindah kok, dapet dua bulan lah. katanya sih pindah ke Gempol gitu biar lebih deket ke tempat kerja."

gue mengangguk pelan.

"by the way enaknya ngapain nih?" tanya Indra.

"lo udah nenteng gitar kan? ya udah tinggal nyanyi aja."

"lagu apa? request deh, terus salamnya buat sapa aja?"

"haha..lo kata request lagu di radio?" gue menyulut sebatang rokok lagi. lumayan lah gratisan, rokok ini punyanya Indra. tiba-tiba gue teringat sesuatu. "eh, lagunya Jamrud aja yg lagi tenar sekarang. lo apal kan?"

"yg mana?"

"yg ceritanya jam dinding bisa ketawa tuh."

"oh itu. gue tau kok, tapi lo yg nyanyi yaa."

gue mengangguk.

Indra mulai asyik dengan gitarnya. gue pun bernyanyi. sambil nyanyi sekali-kali gue lirik kamar Meva, berharap pintunya terbuka dan dia menghampiri tempat ini. kayaknya lagu ini memang lebih cocok dinyanyikan duet bareng cewek. seperti waktu malam itu..

hey..heyy...kan dia nyebelin? bikin kesel? kok bisa-bisanya gue ngarepin dia nongol terus nyanyi bareng di sini?

ah, bodo amat. gue lanjutkan nyanyi-nyanyi sampai Indra nyerah dan memberikan gitar ke gue.

"ngantuk ah," katanya lalu menuju kamar gue.

gue diam. nggak seru nih nyanyi sendirian. gue beranjak ke kamar Meva. berdiri di depan pintu dan mengetuknya. nggak ada jawaban.

gue ketuk lagi. dan kali ini jelas terdengar suara di telinga gue. suara tangisan seorang wanita.....

pintunya nggak dikunci. dengan mudah gue membukanya dan mendapati cewek itu sedang duduk memeluk lutut di sudut kamar yg gelap dan pengap. gue meraba-raba dinding mencari saklar lampu.

"jangan nyalain lampu," kata Meva tanpa menoleh ke gue. isaknya terdengar lirih di ruang kosong ini.

"kenapa?" sahut gue. telunjuk gue tertahan di saklar.

Meva menggeleng. wajahnya masih terbenam di lututnya.

"ada yg mau lo ceritain? seenggaknya sedikit bercerita dengan orang lain adalah lebih baik daripada dipendam sendirian," kata gue sok bijak.

"bukan urusan lo."

"heh, lo pikir kalo ada seseorang yg dengan bodohnya nyoba bunuh diri di depan mata lo, itu bukan urusan lo?? huh..mungkin lebih baik kemaren gue biarin lo mati tolol di WC." kata gue dengan sengitnya.

gue sengaja ngomong begitu untuk memancing emosinya. kalau manusia normal, gue yakin dia akan mencak-mencak ke gue. tapi yaah mungkin dia memang nggak normal kali yaa? nggak ada reaksi apapun dari dia. hanya duduk dan terdiam.

"come on guys..mau sampe kapan sih lo bisu gitu? cerita aja apa masalah lo, siapa tau gue bisa bantu."

dan seperti yg sudah terjadi sebelumnya, cewek aneh ini tetap diam dalam bisu nya. rasanya gue mulai nyerah ngajak dia bicara. gue putuskan keluar, menutup pintu lalu duduk di bawah jendela kamar. masih dengan gitar di tangan, gue mulai bernyanyi.

kalo lo pikir ini seperti cerita-cerita di film india, lo salah. karena entah dapet ide darimana, gue bernyanyi dengan suara tinggi melengking dan dengan nada yg sangat mengkhawatirkan. dan hasilnya? nggak butuh satu menit buat Indra membuka pintu kamar dan melempar sandal tepat ke jidat gue tanpa sempat gue menghindar.

"kerasukan jin ifrit lo ye??" serunya.

gue hanya geleng kepala sambil nyengir lebar.

"semprul lo.!" katanya lalu menutup pintu.

dan gue melanjutkan 'ritual' gue. aneh memang saat kita bernyanyi tapi kita sendiri nggak kenal lagu apa yg sedang dinyanyikan. kunci gitar asal-asalan ditambah suara sumbang, lengkap sudah 'penderitaan' mereka yg mendengarnya.

"mau sampe kapan nyanyi kayak gitu??" sebuah suara terdengar di atas kepala gue.

gue menoleh ke asal suara. Meva nampak muncul dari jendela yg kacanya belum sempat gue pasang lagi.

"bukan urusan lo," jawab gue sekenanya.

"lo udah ganggu ketenangan orang lain. lo bilang bukan urusan gue??"

gue berdiri. menaruh gitar di lantai lalu bicara.

"dengan nyanyi seenggaknya gue bisa mencurahkan perasaan gue. itu lebih baik daripada mojok di kamer yg gelap."

"nyindir nih?"

"sorry deh kalo lo ngerasa kesindir."

"kenapa sih lo demen banget bikin orang kesel?"

"enggak papa, gue seneng aja. dengan begitu kan lo jadi mau ngomong sama gue?" gue mengakhirinya dengan sebuah senyum lebar.

Meva diam. gue lihat matanya sembap karena menangis cukup lama.

"ayo keluar. kita ngobrol di luar. di dalem sumpek," gue menarik tangannya.

"eh..eh...gue masih di dalem nih!" protesnya. "sembarangan aja narik-narik orang."

"oh, maaf gue lupa," padahal gue tadi sengaja.

Meva keluar dari kamarnya dan duduk di tembok balkon. entah kenapa kali ini gue merasakannya lagi. perasaan yg enam bulan lalu pernah gue rasakan saat pertama kali gue melihatnya. saat gue mainkan gitar dan dia bernyanyi di tengah malam.

"Ari," gue sodorkan tangan.

"lo udah tau nama gue," katanya tanpa menghiraukan ajakan gue untuk bersalaman.

"ah iya...gue..baru inget," sumpah gue salah tingkah plus kesel. malu juga sebenernya. tapi gue tetep coba jaga image.

"jadi udah berapa lama?" tanya gue.

"apanya yg berapa lama?"

"yaah..udah berapa lama nama lo Mevally?" kedengarannya konyol banget yak !

"pertanyaan yg nggak perlu dijawab," kata Meva.

"mau minum?"

"thanks. nggak usah basa-basi deh."

"so, apa yg bikin lo sering nangis?"

"harus ya..nanya langsung ke intinya? nggak ada basa-basinya banget."

hhhhhh.....beneran kesel gue sama cewek yg satu ini!!

"gue akui, gue bukan orang yg pinter berbasa-basi. tapi gue jago lho ngasih julukan ke orang."

"maksudnya?" Meva kernyitkan dahi.

"sejak pertama ketemu elo, gue udah punya julukan buat lo. lo mau tau? karena belum tau nama lo, gue kasih lo julukan 'wanita berkaos kaki hitam'." hahaha..(tertawa dengan hambar)

"gue sekarang pake perban putih tuh."

gue perhatikan kedua kakinya yg dibalut perban.

"kalo gitu julukannya wanita ber perban putih.?"

dia tersenyum kecil. wouw ini pertama kalinya gue bikin dia tersenyum. keinginan yg sempat hinggap beberapa waktu yg lalu akhirnya kesampean.

"sakit nggah sih kaki lo?" kata gue.

"lo mau nyoba menyayat kaki lo pake pisau cutter? nanti lo tau sendiri gimana rasanya."

gue menggeleng merinding.

"ngebayanginnya aja ngeri gue," komentar gue.

"lo nggak akan pernah tau sesakit apa rasanya sakit itu sebelum lo ngerasainnya sendiri."

"oiya? tapi kita nggak akan begitu sakit kan seandainya kita mau berbagi dengan orang di dekat kita?"

Meva terdiam. sejenak dia ayunkan kedua kakinya. turun dari tembok lalu kembali ke kamarnya meninggalkan gue sendirian.

sore harinya gue terbangun dengan wajah tertutup sebuah amplop putih kecil berkop tinta biru. nampaknya amplop resmi dari lembaga tertentu, dan karena nyawa gue belum sepenuhnya kumpul, gue taruh amplop putih itu di atas galon. sambil menggeliat melemaskan otot gue mulai berfikir soal menu makan yg enak sore ini.

baru saja gue melangkah keluar kamar saat terdengar suara indra memanggil dari tembok balkon.

"tuh surat sakitnya tadi gue taro di muka lo," katanya.

"oh, sembarangan aja lo naro barang gituan di muka gue. mending tuh amplop nggak basah kena iler," gue melangkah dan duduk di kursi. "laper nih. udah beli makan belom?"

"udah barusan."

"yaah nggak bisa nitip dong gue?"

"skali-kali beli sendiri lah."

"busett...jahat amat lo. kan selama ini yg sering nitip tuh elo, gue yg jadi babu."

"pahala...ri...pahala. lo mau masuk surga kan?"

"nggak gitu juga kali."

indra tertawa.

"eh, si cewek aneh kemana?" tanyanya. "dari tadi gue nggak liat dia."

"mana gue tau? kan lo liat sendiri gue baru bangun?"

"tau tuh, sejak gue bangun satu jam yg lalu gue nggak liat dia di kamer gue."

"berarti lagi di kamernya."

"ngapain?"

"pertanyaan bodoh yg nggak perlu gue jawab."

"kenapa?"

"pertanyaan tolol yg nggak perlu gue jawab."

indra diam.

"padahal kalo kakinya nggak cabik-cabik kayak gitu, dia seksi lho," katanya lagi.

"lo suka sama tuh cewek?" tanya gue menyelidik.

"kagum man.. tolong lebih dibedakan antara kagum dan suka."

"dia cantik kok. ramah pula, sebenernya..kalo kita udah kenal deket."

"lo demen sama tuh cewek?"

"sekali lagi lo ngajuin pertanyaan bodoh, gue jorokin lo ke bawah."

"yaelah...gitu aja pundung. kalo emang nggak ya udah nyantai aja lagi."

"udah ah gue cari makan dulu," kata gue melangkah turun.

"gue titip sop buah ya?" teriak indra saat kaki gue memijak anak tangga ke tiga. gue jawab dengan acungan jempol.

ah, sore begini asyiknya makan yg pedes-pedes. mie ayam langganan di depan gang selalu jadi pilihan tepat buat menu kuliner sore. kali ini gue sengaja pesen yg pedes banget. setelah mendapat pesanan indra gue mampir ke salahsatu warteg. gue beli nasi telor karena gue pikir meva pasti belum makan. jadilah gue kembali ke kamar dengan tiga bungkusan berbeda.

"ciyee...perhatian amat lo," komentar indra melihat nasi bungkus punya meva.

gue melangkah menuju kamar meva. tiga kali gue ketuk pintunya nggak ada jawaban, jadi gue putuskan langsung masuk dan mendapati meva sedang terlelap di lantai dengan berbantal lengannya.

"hei..hei...bangun," gue goyang-goyang bahunya. "makan dulu baru lanjutin tidurnya."

kedua matanya terbuka. dia terperanjat kaget melihat gue di sebelahnya.

"ngapain lo?" tanyanya penuh selidik.

"gue belum ngapa-ngapain kok, lo udah keburu bangun dulu. tidur lagi deh biar bisa gue apa-apain," canda gue.

'PLAKK!'

sebuah tamparan mendarat telak di pipi gue.

"busettt ! galak bener non. gue kan becanda doang."

meva memasang wajah nggak senangnya.

"becanda lo jelek," sungutnya.

"ya udah nih," seraya gue serahkan bungkusan nasi telor di tangan gue. "gue cuma mau ngasih ini aja. nih air minumnya, dan ini obat yg harus lo minum. jangan lupa diminum obatnya."

"lo mau ke mana?" tanya meva begitu gue beranjak pergi.

"balik ke kamer, daripada kena tampar lagi."

"maaf...."

gue hentikan langkah.

"lo bilang apa barusan?" kata gue.

"maaf...soal yg tadi. gue memang suka bereaksi berlebihan."

"kalo kata maaf berguna, buat apa ada polisi?"

"emang apa gunanya polisi? maling aja banyak yg berkeliaran."

gue pandangi matanya yg sayu. takjub bercampur heran, ternyata cewek ini 'bisa' ngomong juga.

"kalo butuh apa-apa ke kamer gue aja," lanjut gue lalu mundur dan menutup pintu kamarnya.

baru sedetik tertutup tiba-tiba pintu terbuka lagi.

"ari," panggil meva.

"kenapa?" tanya gue.

"thank's buat nasinya."

gue mengangguk.

"thank's juga buat tamparannya," gue dalam hati...

hari yg dingin kali ini diakhiri dengan hujan yg turun deras sejak petang. indra sudah meringkuk di balik selimutnya yg hangat beberapa saat setelah hujan turun. gue sendiri belum ngantuk, jadi gue putuskan malam itu duduk nonton televisi sambil otak gue menerka-nerka kira-kira apa yg akan ditanyakan bos gue di kantor besok terkait absennya gue hari ini. dan baru saja gue berhasil memunculkan bayangan bos gue sedang memandang galak ke arah gue dari balik mejanya ketika pintu kamar indra terbuka.

"hei meva," gue buru-buru menoleh ke arah pintu.

"eh, ng......kirain kalian tidur di sebelah lagi kayak semalem," katanya.

"emang kenapa?"

"yaah gue pikir gue bisa tidur di kasur lagi. hehehe.."

"si indra udah tidur dari tadi. kalo mau lo bisa tidur di kamer gue aja, di sana juga ada kasur."

"lho, bukannya kamer lo yg ini ya?"

gue menggeleng.

"ini kamer indra. kamer gue yg sebelah." gue berjalan ke pintu dan melewati meva. tiba di depan pintu kamar gue berhenti. "tidur di kamer gue aja, biar nanti gue tidur di sini."

"eh, nggak usah lah. udah biar aja, gue tidur di kamer sendiri nggak papa."

"maksud lo, malem ini lo tidur kayak tadi sore tanpa kasur dan bantal?"

meva mengangguk. sedikit ragu.

"udah biasa kok," katanya pelan.

"jangan dibiasain."

"mau gimana lagi? keadaannya emang kayak gitu kok."

"itulah salahnya. jangan biarkan keadaan mengalahkan kita. kita yg harus mengalahkan dia," gue membuka pintu kamer gue. "gue janji nggak akan masuk kamer ini selama lo ada di dalem. tenang aja."

"udah lah biasa aja sih. nggak perlu repot-repot, biar gue tidur di kamer sendiri. gue nggak enak ngerepotin lo mulu."

"sedikit ngerepotin tapi kalo ikhlas nggak masalah kok."

"gue tidur di kamer sendiri." agaknya dia memaksa.

"oke," gue masuk kamer lalu melipat kasur menjadi satu tumpukan besar.

"mau diapain tuh kasur?" meva melongok dari pintu.

"gue pindahin ke kamer lo."

"eeh...nggak perlu, nggak perlu. oke gue tidur di sini." meva masuk dan mendorong gue menurunkan kasur yg sempat gue angkat.

"oke silakan menikmati mimpi yg indah nona.." gue melangkah mundur. "anggep aja kamer sendiri."

"nah, lo sendiri mau ke mana?"

"bawel. ya ke kamer indra lah, masa mau bareng tidur di sini?"

"enggak, maksudnya kok buru-buru amat? masih jam tujuh nih, gue juga belum ngantuk."

"mau kopi?"

meva menggeleng.

"teh anget?" tanya gue lagi.

"boleh," jawabnya. "ujang gini asyik tuh minum teh anget."

"kalo gitu silakan bikin sendiri. teh sama gulanya ada di kaleng di samping dispenser," gue menunjuk ke sudut kamar. "jangan lupa nyalain dulu pemanas dispensernya."

"gue bikin sendiri gitu?" protes meva.

"yaelaah...timbang teh gituan aja masa kudu dibikinin sih? lo kan cewek?"

"apa hubungannya cewek sama bikin teh?"

"ya biasanya yg cekatan bikin kayak gituan kan cewek?"

"nggak mau. lo aja deh yg bikin teh nya."

gue kernyitkan dahi.

"kok malah gue?" gue juga protes. "kan elo yg mau minum teh?"

"ya udah deh nggak jadi. gue udah nggak tertarik," dia memasang wajah cemberut.

gue mendengus pelan. ni cewek masih aja nyebelin. gue jadi penasaran apa dia emang ngeselin sejak lahir?

gue masuk dan melangkah mendekati dispenser, menyalakan pemanas, lalu mulai menuang gula dan memasukkan teh celup ke dalam gelas kosong tanpa air.

"lo sendiri nggak bikin?" tanya meva ketika gue menyodorkan segelas teh manis hangat yg baru saja gue buat.

"gue lagi nggak pengen," jawab gue pendek.

meva berhati-hati sekali meminum teh yg masih mengepulkan asap ke wajahnya.

"lo mau langsung tidur?" tanya meva.

gue menggeleng.

"kalo gitu kita ngobrol aja sambil duduk di luar," ucap meva. dia keluar dan duduk di tembok balkon. gelas teh hangat ditarohnya di sebelahnya.

gue sih ngikut aja. meva duduk di tembok balkon, sedikit demi sedikit meminum teh manisnya sementara gue berdiri bersandar pada tembok. kami menikmati dinginnya angin yg berembus dingin.

"thanks ya tehnya manis, gue suka," katanya.

gue mengangguk pelan. gue amati baik-baik wajahnya. masih ada kemuraman di raut mukanya.

"kalo boleh tau, lo gawe dimana?" gue beranikan diri bertanya.

"gue kuliah kok di UN**KA, semester empat."

"ooh.. lo asli sini?"

"bukan, gue lahir dan besar di Padang."

"wah, kok bisa nyasar ke Karawang?"

"namanya juga orang nyasar, bisa kemana aja kan?" dia tersenyum simpul. "lo sendiri orang mana?"

"gue dari sebuah kota kecil di Kalimantan."

"rasanya gue nggak perlu tanya kenapa lo bisa ada di sini kan?" dan kami tertawa kecil.

malam itu kami berdua mengobrol tentang asal-usul kami, cerita masa kecil dan masa-masa sekolah dulu, serta beberapa motivasi yg gue kejar di perantauan ini sambil diselingi candaan segar dari meva. seperti sudah gue duga, meva memang orang yg menyenangkan. dia pintar mencari bahan pembicaraan. memang baru sebatas perkenalan nggak formal tapi well, malam ini cukup menyenangkan mengobrol ditemani rintikan hujan. lama kami ngobrol sampai lupa waktu. kami baru tidur saat malam mulai beranjak pagi...

entah sudah berapa lama gue duduk di atas kursi ini. sebaik apapun pembawaan gue dan seceria apapun keadaan di sekitar gue, toh tetep aja masih ada separuh hati gue yg menangis. kehilangan echi benar-benar satu pukulan telak yg nggak bisa gue elakkan. terlalu sakit buat meyakinkan hati bahwa ini akan berlalu seperti satu detik yg baru saja terlewati. dan terlalu dalam perasaan yg telah tumbuh di hati untuk menganggapnya berlalu.

"gue udah ikhlasin dia kok," kata gue menanggapi pernyataan indra yg ingin gue segera mengikhlaskan echi.

"ya udah kalo emang ikhlas, jangan terlalu dibawa sedih terus.." ujar indra. "kasian echi di sana."

indra kepulkan asap putih dari mulutnya dan membubung tinggi lalu lenyap tertelan dinginnya malam. dua isapan lagi dan rokok di tangannya sudah mendekati ujung.

"lagian kayaknya sekarang lo udah dapet gantinya echi," indra melirik pintu kamar meva.

"ah, terlalu cepet buat gue nyari pengganti dia. susah dul nyari ganti cewek yg udah gue sayang banget.."

"mending gitu daripada nggak dapet samasekali, iya khan?"

gue hanya nyengir sedikit.

"meva cakep kok kata gue," komentar indra. dia membuang puntung rokoknya.

"iya tau. gue masih normal kali."

"wedeew.....gue pikir loe udah kehilangan selera ama cewek. kadang gue suka takut lho, suatu hari nanti lo nembak gue.?"

dan kami berdua tertawa lebar.

"sialan loe. biar gue homo juga gue pilih-pilih kali. hahaha..."

"wah berarti gue parah dong sampe cowok aja ogah sama gue."

"begitulah elo dul. haha.."

"udah ah," indra menengok arlojinya. "udah mau jam delapan. gue berangkat gawe lah."

indra masuk ke kamarnya dan keluar dengan seragam lengkap.

"di bawah tivi ada mie instan tuh, lo masak aja kalo laper," katanya.

gue mengangguk.

"eh iya, gue abis beli kaset baru tuh. tonton gieh semaleman sampe puas." dia tertawa kecil.

"iya, udah berangkat sana."

"oke oke. kayaknya loe seneng banget gue pergi?"

gue lempar sandal tapi meleset.

"udah berangkat sana, telat kena marah bos lo."

"iya iya gue cabut dolo." dan kurang dari semenit kemudian gue mendapati diri gue seorang diri di beranda.

ya, gue memang lebih sering sendiri di sini. kalo indra shif malem, gue cuma punya beberapa jam buat ngobrol-ngobrol sepulang gawe, sampe dia berangkat gawe. sementara meva, seperti biasa, sudah beberapa hari ini gue nggak melihat dia. nampaknya dia mulai lagi dengan kebiasaannya yg suka "menghilang". setelah beberapa hari sempat rutin ngobrol di tembok beranda yg menghubungkan kamar kami, gue kembali merasakan sepi. dan kesepian selalu membuat gue merasa semacam sentimentil yg membawa gue dalam kesedihan.

sudah berhari-hari gue perhatikan pintu kamar meva tidak pernah terbuka. itu yg membuat gue yakin dia "menghilang", seperti biasanya. semenjak gue kenal dekat 'cewek aneh' ini, meva selalu menyempatkan ngobrol bareng gue sepulang gue kerja. itu kalo dia lagi ada di sini, kalo lagi pergi (gue selalu lupa menanyakan hal ini ke dia) ya begini inilah gue. sendiri dan sepi. tapi gue pikir gue akan terbiasa dengan kesendirian ini.

maka alangkah terkejutnya gue ketika tiba-tiba saja sosoknya muncul di atas tangga, sambil membawa beberapa kantong plastik yg nampak seperti belanjaan. gue sempat mematung di kursi menatap ke arahnya.

"lagi ngapain?" tanya meva ramah.

"duduk," jawab gue. dalam hati gue bersyukur karena malam ini gue bakal punya temen ngobrol.

meva, khas dengan stoking hitamnya, berjalan mendekat ke gue, menaruh semua kantongnya, lalu menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan menatap lekat gue.

"ngapain lo?" gue sedikit protes dengan tatapan matanya.

"berdiri," jawabnya pendek.

gue mendengus pelan.

"nggak enak kan dapet jawaban kayak gitu?" meva mencibir.

"iya sorry," kata gue. "bawa apaan tuh?" gue menunjuk kantong di lantai.

"tadi abis belanja di minimarket. oh iya, lo udah makan belom? gue beli mie ayam tuh buat lo."

"yaah...barusan aja makan tadi abis isya."

"waduh, jadi gimana nih mie ayamnya? gue sengaja beli buat lo."

"ya udah lo makan aja."

"gue juga barusan makan, masih kenyang ah."

"lagian lo sih sok baek pake beliin gue mie."

"yaelaah sekali-kali dapet pahala boleh lah."

"emang darimana lo malem-malem gini baru balik? udah kemaren pergi nggak bilang-bilang lagi."

"hadeuh..baru juga jam delapan, ri." meva menunjuk arlojinya. "ehem..lo kangen ya sama gue?"

gue kernyitkan dahi.

"iya kangen mau nimpuk lo pake sendal," cibir gue.

"ciie...ciiee....." godanya sambil kerlingkan mata ke gue. dan dia pun tertawa. "eh iya, gue minta tolong dong.."

"tolong apaan?"

"gue udah pindahin barang-barang dari kosan yg dulu ke kamer ini. bantuin gue beresin kamer gue ya?"

"ooh..kapan?"

"sekarang atuh," dia menarik tangan gue.

tiba di kamarnya, ternyata benar, ada beberapa tambahan perabot kamar yg sebelumnya nggak pernah gue lihat. dan setelah beradu argumen antara 'besok' dan 'sekarang' akhirnya malam ini gue habiskan dengan beres-beres kamer dan diakhiri dengan makan mie bareng meva....

“woi Ri...bangun woii................” sebuah suara di pagi hari membangunkan gw dari tidur.

“sapa sih??” gw menggerutu tanpa pedulikan orang itu. “ganggu orang tidur aja.”

“busett dah ni anak susah amat bangunnya,” suara cewek. Tepat di samping gw. Gw yakin pasti si Meva. Dia mengguncang bahu gw beberapa kali. “kan lo janji mau bantu gw beresin kamer? Bangun laaah......”

“............................”

“bener-bener dah ni anak kayak kebo tidurnya!”

“entar deh siangan aja....” kata gw dengan malasnya tanpa bergerak sedikitpun dari posisi tidur gw.

“sekarang aja siih,” dia mulai merengek. “nanti siang gw ada kuliah...”

“ya udah kalo gitu kuliahnya sekarang aja, biar siangnya bisa beres-beres kamer,” gw masih bertahan di balik selimut.

“enak aja. Emang pangkat gw apa bisa ngatur-ngatur jadwal kuliah?”

“cuti, cuti. Bisa kan?”

“iiih....lama-lama lo nyebelin. Buruan bangun! Kalo nggak gw bakar dah ni kamer lo.”

“bakar aja gak papa.........”

“Aaaarrrriiiiiii.................................. ...........” dia kembali mengguncang bahu gw, kali ini dengan keras. “B-A-N-G-U-N!!”

“iya iya gw bangun!” gw sibakkan selimut dari tubuh gw.

“nah, gitu dong,” seru meva senang. “namanya janji itu harus ditepati. Inget janji adalah hutang.”

“.................................”

“yah, dia malah tidur lagi,” meva mengomel lagi. “ayo lah bangun!”

Gw balikkan badan menghadap ke arahnya. Dengan mata masih setengah terpejam gw paksakan untuk duduk. Gw ingat dua hari yg lalu memang janji akan membantu Meva berbenah kamarnya. Dia memang baru pindahan dua malam yg lalu.

“masih ngantuk Va......” kata gw sedikit memelas.

“cuci muka biar nggak ngantuk,” nampaknya cewek ini tetep keukeuh gw harus bantu dia pagi ini.

“masih pagi nih. Nggak bisa entar-entaran yah?” pinta gw.

“sekarang udah jam delapan, Mas.....udah siang!”

“jam delapan masih pagi atuh. Setengah jam lagi deh ya abis itu gw beneran bangun deh. Ya ya ya?” dan tubuh gw kembali ambruk ke kasur.

“lagi-lagi tidur,” Meva menggerutu. “baru tau gw ternyata lo susah amat bangunnya.”

Gw rasakan pipi gw ditepuk-tepuk.

“bangun lah ri, dua jam lagi gw udah harus udah ada di kampus.”

Gw bergeming. Dan tepukan di pipi gw semakin keras. Sekarang malah sudah pantas disebut tamparan.

“sakit Meva!!” gw bener-bener bangun sekarang. Duduk sambil usapi pipi gw yg merah.

“hehehe.....” Meva nyengir lebar. Hebat sekali dia! Tanpa sedikitpun bersalah dengan santainya dia tertawa setelah menampar gw. “makanya bangun coba. Tuh gw udah bikinin teh anget.”

“lain kali nggak pake tamparan ah,” protes gw.

“hehe..iyah maap, ya abisnya loe susah amat sih bangunnya? Terpaksa gw pake kekerasan deh.”

Gw mencibir.

“udah cepet cuci muka sana. Muka lo jelek amat kalo baru bangun tidur.”

Dengan masih menggerutu gw beranjak ke kamar mandi. Sekedar cuci muka lalu keluar kamar. Meva sudah ada di kamarnya. Sebenernya males banget sumpah, hari Sabtu bangun pagi kayak gini. Gw biasa bermalas-malasan dan memilih bangun lebih siang kalau hari libur seperti ini. Tapi yah mau gimana lagi, gw terlanjur janji ke Meva bakal bantuin dia berbenah kamarnya hari ini.

Dua malam yg lalu, Meva memang baru saja memindahkan sebagian barang miliknya dari kosan yg lama. Gw baru tau ternyata selama ini dia menyewa dua kosan. Satu di sini dan satu lagi di daerah Gemp*l. Dan dia sering bolak-balik kedua kosannya ini karena memang bosan. Tapi jujur aja, selama ini gw nggak pernah menyinggung atau mempertanyakan soal kebiasaan anehnya yg gemar melukai diri sendiri. Gw takut ini akan merusak mood nya, dan malah nanti akan mendorong dia melakukan lagi hal aneh dan ekstrem itu. Biarlah gw anggap dia cewek normal aja. Gw pura-pura nggak tau tentang keanehan dalam dirinya.

Dan memang dia normal kok. Sebagai teman ngobrol dia asyik dan nyambung diajak bicara, Cuma memang ada beberapa momen gw temui dia tengah melamun seperti biasa. Kalo udah kayak gitu, bahkan kebakaran pun mungkin nggak akan mengalihkan perhatiannya. Entah hobi atau memang tuntutan profesi. Hehehe....

“Ri, sini deh..” panggil Meva dari dalam kamarnya.

“ada yg bisa gw banting?” gw masuk ke kamarnya. Masih kamar yg sama, kamar yg gelap dengan lampu penerangan yg remang-remang, sama seperti pertama gw masuk ke kamar ini beberapa waktu yg lalu.

“menurut lo kasur ini enaknya ditempatin di mana ya?” Meva berdiri di sudut kamar, di sebelah kasur yg terlipat di sudut lain kamar.

“dimana aja boleh,” komentar gw. “asal jangan di kamer mandi aja.”

Meva melotot ke arah gw dengan tatapan ‘gw kan nanya serius?!’

“di situ aja deh,” gw menunjuk tempat dia berdiri saat ini.

“ya udah, sok atuh gelar kasurnya,” dia berjalan ke arah gw.

“kenapa mesti gw? Kan elo sendiri bisa?”

“kenapa mesti gw? Kan elo udah janji mau bantu gw?”

“gw emang janji ngebantu Neng, bukan jadi pembantu.”

“udah, sama aja. Buruan kerjain,” Meva mendorong gw ke tempat kasur.

“huh, kerja rodi ini mah.” Omel gw.

Tapi gw kerjakan juga memindahkan kasur ke tempat yg gw tunjuk tadi. Selain lampunya yg tetap redup, kamar ini memang sedikit mengalami perubahan dengan penambahan beberapa perabot semacam galon dan dispenser. Ada juga lemari kecil tempat baju, dan beberapa piring dan gelas untuk makan dan minum. Sebuah tas punggung tergeletak di dekat pintu, dan beberapa buku tambahan jug tergeletak begitu saja di sebelahnya. Dibandingkan dulu yg hanya ada rak buku, kamar ini jelas lebih padat sekarang.

Acara hari ini adalah nyapu dan ngepel kamer dan membersihkan kamar mandi. Dan itu semua gw yg kerjakan sementara si Meva duduk manis memperhatikan pekerjaan gw! Memang hebat cewek yg satu ini! Hah?!

“oke deh, semua udah selesai. Gw kuliah dulu yaa..” kata Meva. “udah jam sembilan lewat nih.”

Gw cuma bisa melongo melihat cewek ini mengepak buku-bukunya ke dalam tas.

Hari ini lo nyebelin banget! Gw udah dipaksa bangun pagi, cape-cape ngerjain sendiri dan setelah semua beres, lo maen tinggal kabur aja! Bener-bener dah ini cewek.............!!

“nah, terimakasih lo udah bantu gw beresin kamer. Sekarang gw berangkat yaa,” Meva melambaikan tangan dan beranjak keluar.

“tunggu dulu,” gw menahannya di depan pintu.

“ya?”

“lo mau berangkat?” tanya gw.

Meva mengangguk.

“udah gitu aja? Lo maen pergi aja setelah gw beresin kamer lo??”

“agenda hari ini emang itu kan? Inget..janji adalah hutang.”

Gw menarik nafas panjang. Kesel bener gw, sumpah!

“ya udah berangkat sana,” kata gw akhirnya.

Meva tersenyum. Senyuman manis yg dulu pernah gw idam-idamkan. Dia benar-benar tersenyum untuk gw. Tapi kekesalan gw pagi inis edikit merusak senyumnya di mata gw.

“daah.....” ucapnya lalu bergegas pergi.

Gw cuma bisa mengomel dalam hati. Yaaah, sudahlah....mau diapain lagi. Gw tutup pintu kamar Meva dan beranjak ke kamar gw. Lebih baik gw melanjutkan tidur sampe malem.........

Tadinya gw pikir gw baru akan bangun setelah 1000 tahun setelah seorang puteri mencium gw, tapi baru setengah jam gw terlelap (itupun sudah dengan susah payah) ternyata suara berisik dari luar berhasil membuat gw terjaga. Pengapnya kamar juga membuat gw sesak bernapas. Maka gw putuskan segera keluar dan duduk di tembok balkon dengan rambut dan wajah masih acak-acakan.

Indra sedang duduk di depan pintu kamarnya, dan Pak Haji sedang berbincang bersama seorang pria di depan pintu kamar nomor 20, kamar kosong yg ditinggalkan oleh pasangan suami istri yg dulu menghuninya. Nampaknya pria itu akan jadi penghuni baru di kosan ini. Pria berambut ikal dengan kumis dan jenggot lebat serta berkacamata. Hampir sebagian wajahnya tertutup rambut-rambut dari kedua jambangnya.

“Siapa tuh dul?” tanya gw ke Indra yg berjalan mendekat.

“orang baru,” katanya seraya duduk di sebelah gw. “gantiin Mas Harjo.”

“ah, tapi tetep aja bakal sepi seperti biasanya. Liat aja dua kamar di seberang kita, udah kayak nggak ada penghuninya aja. Mereka nggak pernah bersosialisasi sama kita-kita ya?”

“mereka pada sibuk. Wajarlah, gawe di pabrik otomotif macem gitu, pasti lemburannya kenceng,” dia mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. “kadang gw suka iri sama mereka berdua, pasti asyik yah punya gaji gede.”

“tapi lo mesti ngorbanin banyak waktu lo, kayak mereka ini. Lo mau?”

“yaah...kalo Sabtu-Minggu masih libur sih oke aja gw mah. Yg penting duid banyak.”

“yaelaah...syukuri aja apa yg ada dul.”

“haha.. iya sih, gw segini juga udah bersyukur banget dapet gawean. Temen-temen angkatan gw aja masih banyak yg nganggur.”

“gw juga ngerasa beruntung bisa nyampe sini. Di kota kelahiran gw lapangan pekerjaannya nggak seluas di Jakarta ataupun di sini. Makanya sejak awal kuliah dulu gw udah tekadkan untuk ngerantau. Jauh dikit dari orangtua gak papa lah asal lebaran bisa balik.”

“eh, pacar lo itu asli mana sih?”

“pacar yg mana?”

“gebetan baru lo itu, si cewek aneh. Anak mana dia?”

“bujug buneng, sejak kapan gw jadian sama tuh cewek?”

“tapi keliatannya lo deket banget sama Meva.”

“deket bukan berarti jadian kan?”

“yaah....kali aja entar kalian bisa jadian.”

Gw tertawa pelan.

“gw terlalu sayang sama Echi, dul. Susah banget ngelupain dia.”

“yaaah mulai lagi deh ngomongin ini.” Indra menggaruk kepalanya. “kenapa sih lo terlalu sentimentil gitu?”

“namanya orang ditinggal pacar gimana sih? Lo belum pernah ngerasain ini sih......”

“gw emang nggak pernah ngerasain ditinggal pacar, tapi gw tau gimana kehilangan yg lo rasain. Sejak SMP gw ditinggal bokap gw. Seenggaknya gw tau gimana rasanya ditinggal mati.”

“udah ah, jangan bahas ini.” Gw menggeliat melemaskan otot. Di depan kami Pak Haji dan pria itu nampak turun ke tangga. Dari pembicaraan yg sempat gw dengar upanya mereka sudah menemukan kesepakatan dan si pria akan mulai tinggal di kamar itu nggak lama lagi.

“gw tidur dulu ya? Dari balik gawe semalem gw belum tidur nih. Mumpung libur bisa seharian ngebo. Hehehe...” dan Indra berjalan ke kamarnya.

Tuh kan, gw sendirian lagi... huh, mungkin gw memang ditakdirkan untuk selalu sendiri. Iseng gw berjalan ke kamar Meva. Di depan pintu gw hentikan langkah. Pemilik kamar ini pasti masih sibuk di kampusnya. Secara baru satu jam yg lalu dia pergi. Gw buka pintu kamar dan masuk ke dalamnya. Berdiri memandang berkeliling memperhatikan hasil kerja gw barusan, lalu gw duduk di tepi kasur.

Kenapa sih tuh cewek seneng banget gelap-gelapan di kamer? Gw pernah sarankan ganti lampunya dengan lampu freon tapi Meva menolak dan ingin mempertahankan lamu kusam di kamarnya ini. Lalu pandangan gw beralih ke lemari kecil tempat dia menyimpan pakaiannya. Gw ingat benar waktu Meva membenahi lemari itu, ada banyak stoking hitam yg biasa dipakainya. Bener-bener, meskipun gw udah lumayan kenal dekat, tetep aja Meva merupakan sosok misterius di mata gw. Gw yakin, banyak yg nggak gw tau tentang cewek yg satu ini.

Dan pandangan mata gw tiba-tiba terpaku ke tumpukan buku di samping dispenser. Mendadak gw pengen tau anak Sipil kalo kuliah belajar apa aja ya.. gw ambil buku paling atas di tumpukan. Sebuah buku tulis besar tapi tidak terlalu tebal. Sesuatu jatuh dari dalamnya saat gw membuka halaman pertama. Secarik kertas warna abu-abu. Mirip potongan dari sebuah surat kabar.

Gw ambil kertas kecil itu. Memang potongan dari sebuah halaman surat kabar. Tapi bukan surat kabar biasa. Ini surat kabar berbahasa Inggris. Di bagian paling atas potongan itu terdapat judul ”Children of God”. Dan di bawahnya tampak wajah seorang pria bule, tua dan berjanggut putih.

“hebat juga tuh cewek bacaannya koran Inggris,” gw tersenyum kecil.

Gw taruh lagi potongan kertas itu ke dalam buku. Gw nggak mau menimbulkan kecurigaan dengan mengacak isi kamar ini. Saat gw buka lembar ke tiga buku itu, terdapat potongan surat kabar lagi. Kali ini kertasnya tertempel di halaman buku. Buku ini pasti adalah kliping, kata gw dalam hati. Tap anehnya lagi-lagi gw menemukan kata ”Children of God” di judul potongan surat kabar itu. Beberapa gambar tampak kumpulan orang sedang menyembah sesuatu, dan seperti seseorang yg sedang berdiri di tengah ruangan dengan kaca berukir mozaik layaknya sebuah gereja.

Di halaman lain gw menemukan sebuah artikel berjudul “Anak-Anak Tuhan Mulai Masuk ke Indonesia”. Dan gambar pria tua berjanggut putih kembali menghiasi gambar penjelas dari artikel ini. Di bawah gambarnya ada kalimat “David Berg, pendiri Children Of God”. Gw buka lagi lembar berikutnya dan kali ini sebuah artikel berjudul “The Family Was Exist”.

Karena gw nggak begitu ahli berbahasa Inggris, butuh empat sampai lima kali buat gw mencoba menterjemahkan kalimat di artikel itu. Tapi tetap saja gw nggak paham dengan isinya. Pandangan mata gw tertuju pada sebuah majalah berbahasa Inggris yg tergeletak di bawah buku yg gw ambil. Lagi-lagi wajah pria tua itu gw lihat, di cover depan terpampang sebagai sampul majalah, dan gw sangat tertarik dengan tajuk majalah itu : ”Children of God”.

Gw nggak begitu hafal isinya, tapi ada satu kalimat yg menarik perhatian gw. Bunyinya kurang lebih seperti ini :

In the quitness of your chamber when you’re alone, you can tell Me you love Me and you can show Me you love Me. For this intimate and special way of loving Me...

Kalimat itu banyak muncul di beberapa halaman. Entah apa arti kalimat itu, gw nggak begitu tetarik. yg pasti gw sendiri memang bukan kutu buku y hobi baca, apalagi bacaan yg aneh-aneh macem ini.

Gw tutup majalah dan gw taruh lagi di tempatnya sebelum gw ambil. Gw samasekali nggak mengerti dengan artikel-artikel yg dikoleksi Meva. Selera baca yg aneh, menurut gw. Dan setelah ini gw benar-benar yakin bahwa cewek yg satu ini memang benar-benar aneh.......................

Gw tetap terjaga sampai malam tiba. Dan seperti malam-malam sebelumnya, malam minggu ini gw cuma duduk di balkon sambil bermain gitar. Indra tadi sempat mengajak bermain PS tapi gw akui gw nggak ahli dalam bermain game seperti itu. Indra sudah tenggelam di depan layar tivinya beberapa saat setelah maghrib. Malem ini suasana kosan terbilang ramai. Dua kamar yg nyaris selalu kosong karena penghuninya lembur, sekarang terbuka lebar dengan alunan lagu-lagu remix terdengar nyaring dari salahsatunya.

Sedang asyik bernyanyi terdengar suara langkah kaki menaiki tangga. Dan sesuai dugaan gw, Meva muncul dari tangga. Dia tersenyum begitu melihat gw. Tapi jujur saja gw masih kesal soal tadi pagi.

“malem minggu nggak ngapel Ri?” tanyanya dengan nada riang.

Gw sengaja acuh dengan pertanyaannya. Gw berpura-pura menyibukkan diri dengan nyanyian.

“hallooo..........” dia todongkan wajah di depan wajah gw dengan jarak yg sangat dekat. “ada orangnya nggak nih?”

“lagi keluar,” jawab gw pendek.

“yaah padahal saya ada perlu penting Pak. Mau nraktir makan orang yg namanya Ari.”

“oh..ada, ada. Saya sendiri.”

Meva tertawa.

“hadeuh......giliran makan aja nyaut,” dia menepuk pipi gw pelan lalu beranjak ke kamarnya.

“kemana lo?? Katanya mau nraktir???”

“enggak jadi, kan tadi katanya lagi keluar.” Jawab Meva tanpa menoleh ke gw.

Di depan kamar dia berhenti, lalu balikkan badan.

“tadi pas gw pergi lo masuk kamer gw yaa?” tanyanya menyelidik.

“eh, enggak. Ngapain juga gw ke kamer lo? Nggak ada kerjaan banget.” Gw bohong.

“yah sapa tau lo iseng gitu, terus nyuri daleman gw lagi.”

“anjrid,,emang gw cowok apaan nyuril gituan? Masih banyak yg lebih berharga buat dicuri.”

“hehe.. iyah gw becanda. Gitu aja sewot ah!” lalu dia berbalik lagi dan masuk ke kamarnya.

Belum ada setengah menit dia keluar lagi ke tempat gw duduk.

“udah makan belum lo?” tanyanya.

“gw lagi keluar, kalo mau nraktir entar aja next time.”

“ciie ilee.... lagu lo kayak orang penting aje.” Meva memukul bahu gw pelan. “mau makan gratis nggak nih? Mumpung gw lagi baek hati.”

“serius nggak lo?”

“waduh, lo meragukan gw nih. Masa kayak gituan aja gw bohong? Mau nggak?”

“oke deh, bentar gw taro gitar dulu.”

“eh, temen lo mana? Sekalian aja ajak dia.”

“lagi maen PS di kamernya,” jawab gw dari dalam kamar. “lo tanyain sendiri aja.”

“ogah ah, lo aja.”

“kenapa mesti gw mulu sih?” gw keluar kamar.

“ya udah.. ya udah, kalo nggak mau ya udah kita berdua aja deh. Buruan, gw laper nih.”

“gw tanya dulu deh,” gw masuk ke kamar indra. Dia sedang asyik bermain balap mobil.

“mau makan nggak?” tanya gw.

“lo mau ke warung?” indra balik tanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar tivi.

“gw makan di sana. Si Meva yg nraktir, kalo mau makan gratisan ikut kita yuuk.”

“oh, sama si aneh itu. Ya udah lo berdua aja deh. Gw nitip dibungkus aja ya?”

“bener lo nggak mau ikut?”

“lagi nanggung seru nih.”

“ya udah. Kayak biasa kan?”

“iiyaaa.....jangan lupa kasih sambel pedes yah.”

“oke.”

Meva sudah menunggu di ujung tangga.

“gimana? Temen lo nggak ikut?” tanyanya.

Gw menggeleng. Dan akhirnya kami berdua pun berjalan menuruni tangga. Ternyata di luar lumayan dingin. Gw suka heran, kalo siang kota ini kerasa panas banget, tapi begitu malam panasnya seolah hilang berganti dingin yg kadang menusuk tulang. Kami berjalan menyusuri jalanan yg sepi. Maklumlah, ini bukan jalan utama, dari sini ke jalan raya jaraknya lumayan jauh.

“eh, tumben lo ngajakin gw makan?” tanya gw.

“yah anggep aja ini sebagai ucapan terimakasih gw karena tadi pagi lo bantuin gw beresin kamer gw.”

“oh, thanks deh kalo gitu.” Meski sempat kesal, akhirnya perasaan itu hilang. Yah seenggaknya Meva bukan orang yg nggak tau terima kasih.

“maaf yah tadi pagi langsung gw tinggal. Gw buru-buru soalnya. Gw tau lo pasti kesel, iya kan?”

“ah, enggak kok. Ngapain kesel cuma gara-gara hal sepele kayak gitu?”

“oh, gw kirain lo marah tadi pagi. Hehehe..”

Gw tersenyum simpul.

“mau makan apa nih?” tanya Meva menunjuk deretan kedai-kedai dadakan di pinggir jalan.

“apa aja deh. Lo sendiri mau makan apa?”

“pecel lele kayaknya enak tuh. Lo mau?”

“ya udah kita makan pecel aja.”

Kami masuk ke sebuah kedai lumayan besar dan langsung memesan dua porsi pecel lele. Selain kami, ada dua orang pembeli di kedai ini.

“ehm, Mas, saya pake nasi uduk yah?” kata gw ke si penjual.

“eh, saya juga dong Mas.. nasi uduk dua-duanya yah?” sahut Meva.

Mas mas si penjual mengangguk dan segera mengurus pesanan kami.

“tadi ngapain aja di kampus, kok sampe malem baru balik?” tanya gw.

“yaah biasalah anak kuliahan paling nongkrong di kampus doang. Tapi tadi kebetulan ada tugas tambahan dari dosen, jadi gw mampir ke kosan temen dulu numpang ngerjain soalnya gw nggak punya komputer sendiri.”

“kenapa nggak beli aja biar nggak ribet?”

“males ah,” ujar Meva menggelengkan kepala. “gw lebih suka pinjem daripada punya sendiri. Ribet gw ngurusin barang kayak gituan.”

“gw malah kepengen banget punya komputer.”

“ide bagus tuh. Gw setuju deh loe beli komputer.”

“iya, biar lo bisa pake sepuasnya komputernya kan?”

“hehehe.. tau aja lo.”

“jelas lah gw hafal sama orang-orang nggak modal kayak lo.”

“idiiih....kata sapa gw nggak modal? Lah ini buktinya gw nraktir lo makan?”

Gw mencibir.

“eh, lo pinter bahasa Inggris yah?” kata gw mengalihkan pembicaraan.

“enggak juga ah, kok lo nanya gitu?”

“ya enggak, soalnya di kamer gw liat lo kayaknya seneng ngoleksi kliping dari koran berbahasa asing gitu.”

“tau dari mana lo? Wah, jangan-jangan lo beneran ngoprek barang-barang gw yah?”

“ah, enggak kok orang cuma liat-liat aja dikit.”

“liat-liat tanpa ijin sama aja ngoprek, dodol...”

“beda.”

“sama.”

“ah, udah ah jangan dibahas. Males gw debat sama cewek.”

“ya elo duluan yg ngebahas.”

“eh, tapi kok kliping punya lo isinya tentang apa tuh namanya.............. ‘god god’ gitu deh. Tau ah namanya apaan. Kok gituan semua?”

“tuh kan elo yg bahas lagi?” meva mencibir.

“emang apaan sih yg namanya ‘Children of God’ itu?”

Meva diam sejenak. Ada sedikit perubahan ekspresi di wajahnya.

“bukan apa-apa kok. Itu tugas kliping salahsatu mata kuliah. Gw sendiri nggak begitu paham dengan pembahasannya.”

Gw mengangguk beberapa kali.

“beneran aneh nih cewek,” kata gw dalam hati. “ngumpulin kliping tapi nggak ngerti sama yg dikumpulin.”

“eh, besok lo lembur nggak?” tanya Meva membuyarkan lamunan gw.

“enggak,” gw menggeleng. “kenapa emangnyah?”

“kalo lo nggak sibuk, besok temenin gw yuk.”

“ke mana?”

“jalan-jalan aja sih. Ke tempat nongkrong favorit gw kalo lagi bete.”

“di mana tuh?”

“alun-alun Karang Pawitan alias KaPe.” Meva nyengir lebar.

“oh, yg deket mall itu?”

Meva anggukkan kepala.

“mau yaah? Yaah mau yaaah?” pintanya. “asyik loh di sana tempatnya.”

“liat besok aja deh, gw paling males kalo bangun pagi soalnya.”

“yaaah kok gitu? Pokoknya harus mau, oke? Deal.”

“waduh, maen deal-deal ajah.” Gw memprotes keputusannya yg sepihak itu.

“enggak ada kompromi. Oke? Nah, tuh pecelnya udah jadi. Selamat makaan...”

Gw mendengus kasar. Apa boleh buat, kami samasekali nggak bicara selama makan. Setelah menyantap habis hidangan di depan meja kami berjalan kembali ke kosan. Gw sempat pesen sebungkus buat Indra sesuai pesanannya tadi. Di perjalanan balik kami nggak banyak ngobrol. Gw juga malas ngobrol, yg ada nanti malah debat soal rencana besok. Kebisuan itu berlangsung sampai tiba di kosan. Gw ke kamar Indra sementara Meva langsung tidur di kamarnya.............

Minggu pagi yg dingin. Gw terbangun saat langit di luar Nampak sedikit menghitam tertutup awan hujan. Ah, senangnya gw karena pagi ini gw nggak direcoki cewek aneh si Meva. Gw lihat jam dinding menunjukkan pukul setengah sebelas. Cukup siang, tapi karena mendung jadi saat ini Nampak seperti masih jam delapan pagi.

Gw menggeliat dengan malasnya. Sambil memikirkan menu apa yg enak buat sarapan sekaligus makan siang kali ini, gw duduk di tepi kasur. Masih dengan nyawa yg baru setengah kumpul gw duduk melamun. Sampai sebuah suara dari kamar mandi mengagetkan gw. Gw diam, mencoba memperhatikan dengan saksama. Ada seseorang yg sedang bersenandung dari dalam kamar mandi kecil itu. Suara wanita.

“Siang-siang kok ada setan?” gw dalam hati. “apa si Indra yah? Ah, sejak kapan suara si gundul mirip suara cewek??”

Gw lebih lekat lagi mendengarkan.

“Jangan-jangan Meva?” bating w lagi. “Tapi sejak kapan suara Meva kayak suara cewek?? Eh, dia kan emang cewek? Gpblok bener gw!”

Dan baru saja gw hendak bicara, pintu kamar mandi terbuka dan muncullah sesosok wanita di hadapan gw. Dengan hanya berbalut handuk putih yg bahkan nggak sampai ke lutut, dia tertawa melihat gw. Untung saat itu dia tetap mengenakan stoking hitamnya, kalo nggak gw bisa bergidik ngeri melihat bekas sayatan-sayatan di kedua kakinya yg jenjang itu.

“Kebonya udah bangun,” katanya seraya nyengir lebar.

“Busett…sejak kapan kamer mandi gw jadi pemandian umum?” gerutu gw kesal. “Lagian keluar kamer mandi udah maen ketawa-ketawa aja, bikin parno tau nggak.”

“Haha..maap deh, kamer mandi gw lagi kering tuh. Nggak keluar airnya,” ujar Meva. “Tadinya juga mau minta ijin sama elo, tapi berhubung lo lagi ngebo ya udah gw inisiatif sendiri ajah.”

“Huh, untung gw nggak kebelet pipis tadi.”

“Emang kenapa? Tinggal masuk ajah, bareng juga nggak papa kok.” Lalu dia tertawa lebar.

Bisa banget nih cewek! Gw masih normal wooooiiii……………

“Laen kali kalo mau numpang mandi lagi, lo mesti ijin gw dulu,” kata gw mengultimatum. “Nggak peduli gw lagi tidur atau lagi ngapain, pokoknya lo harus seijin gw. Okay? Bisa dimengerti?”

“Iya..iya..siap boss! Udah pelit, bawel lagi!” kata Meva lagi kemudian berhambur pergi dari kamar gw menuju kamarnya.

“aarrggh…tuh anak bikin kesel aja,” omel gw dalam hati.

Baru saja gw hendak rebahan lagi, Meva menggedor pintu kamar gw. Masih dengan handuknya dia setengah teriak ke gw.

“Lo cepetan mandi! Inget hari ini lo janji nemenin gw ke Karang Pawitan!” dan lalu dia pergi lagi.

Ah, kenapa sekarang setiap hari gw jadi selalu punya janji ke dia?? Lagipula, emang kapan sih gw janjinya?? Gw coba ingat-ingat lagi, semalam Meva emang ngajakin gw ke KaPe, tapi khan gw belum mengeluarkan pernyataan setuju ke dia! Hadeuuh…………..cewek yg satu ini beneran nyebelin!

Maka gw sengaja tiduran lagi dan nggak buru-buru mandi seperti permintaannya barusan. Sekitar sepuluh menit dia kembali lagi ke kamar gw. Kali ini sudah berpakaian rapi seperti biasa.

“Waduh, kok loe belom ngapa-ngapain sih??” cecarnya. “Buruan mandi atuh, emang mau jam berapa ke sananya?”

“Kayaknya lebih cocok deh kalo gw yg nanyain itu ke loe,” balas gw. “Mau ke sana jam berapa?? Sekarang mah nanggung ah, entar aja sorean.”

“Eeehh….takut ujan dulu kalo sore mah.”

“Ya udah berarti nggak jadi. Selesai. Ribet amat.”

“Enak aja ngebatalin janji secara sepihak.”

“Loe sendiri bukannya meresmikan janji secara sepihak juga yah???”

“Udah lah debat mulu kalo sama loe tuh,” akhirnya dia berganti wajah cemberut. “Buruan mandi.”

Dan dengan sejuta keterpaksaan beranjaklah gw menuju kamar mandi. Bukan semata takut atau patuh pada perintah cewek itu, tapi gw memang kebelet buang air kecil.

“Jangan lama-lama!” perintahnya lagi setelah gw masuk ke kamar mandi.

“Emang gw pikirin????” sahut gw.

Nggak ada jawaban. Kayaknya dia udah balik ke kamernya. Dan gw sengaja berlama-lama di kamar mandi, rasanya asyik juga kalo berhasil menyulut kemarahan Meva. Kurang lebih limabelas menit kemudian gw selesai dan sudah berganti pakaian. Meva masuk kamer gw lagi.

“Ayo,” ucapnya. “berangkat sekarang.”

“Hah?? Belom juga gw makan??” protes gw.

“Makan di sana aja. Banyak yg jualan kok di sana. Udah yukk, buruan ah. Loe cowok tapi dandan aja lama banget kayak cewek.”

“Udah lo tunggu di kamer lo ajah,” kata gw. “Entar gw ke sana.”

Satu gerutuan nggak jelas meluncur dari mulutnya tanpa bisa gw dengar sebelum akhirnya dia pergi juga.. Bodo amat, maki gw dalam hati. Selesai sisiran gw berjingkat ke kamar sebelah, ke kamar Indra. Yg empunya kamar lagi asyik meluk bantal dengan iler yg berceceran di samping pipinya.

“Yahh, masih molor ternyata,” kata gw pelan. Tadinya gw mau berkonspirasi dengan Indra, pura-pura ada janji penting yg nggak bisa ditinggal, maka gw bisa terbebas dari ‘janji palsu’ Meva. Tapi tampaknya konspirasi itu tidak akan terlaksana mengingat seonggok manusia yg lagi mimpi jorok kayaknya.

Gw keluar kamar. Meva muncul dari dalam kamarnya secara bersamaan.

“Udah beres lo?” tanyanya.

“Yaudah, tapi kita makan dulu di depan,” kata gw akhirnya

Meva mengangguk setuju. Maka berangkatlah kami berdua ke alun-alun Karang Pawitan dengan menggunakan angkot kuning. Sekitar duapuluh menitan kami tiba di sebuah lapang luas yg berbentuk melingkar serta terdapat area lari atletik mengikuti bentuk lapangan.

“Kita ke sana aja,” Meva menunjuk seorang penjual mie ayam yg menggelar lapak dadakannya di salahsatu sisi lapangan. “Lo belom makan khan?”

“Seharusnya sih udah di warteg depan gang, kalo aja lo nggak buru-buru ngangguk ke sopir angkot yg ngetem di depan.”

“Udah ah, yg penting makan, daripada nggak samasekali.”

Gw mencibir pelan.

Kami duduk di kursi dekat gerobak penjual mie tersebut.

“Kuah apa kering neng?” tanya abang penjual ke Meva, dengan sedikit nada genit.

“Saya kering aja Pak,” Meva melirik ke gw. “Lo gimana?”

“Saya kasih kuah deh Bang,” gw sengaja memilih yg nggak sama dengan yg dipilih Meva.

Si abang penjual segera menyiapkan pesanan kami dengan cekatan.

“Tuh khan, di sini asyik loh. Bisa liat kembaran lo juga,” Meva menunjuk deretan kandang berisi monyet yg sedang bergelantungan di pohon kecil di dalamnya.

“Gw nggak nyangka ternyata gw seganteng itu,” cibir gw.

Meva tertawa. Ditoyornya kepala gw.

“Dibilang mirip ama monyet malah bangga,” katanya.

“Haus nih, lo pesen minuman dong..” gw memandang berkeliling mencari gerobak penjual minuman dan menemukannya di samping gerobak mie ayam yg sedang kami pesan. Kenapa gw baru liat yah??

Dan Meva pun segera memesan dua teh botol dingin untuk kami berdua. Selesai acara makan (tentu saja Meva yg bayar) Meva mengajak gw ke bangku taman di pinggir lapangan yg memang ada di bawah setiap phony g ditanam sengaja untuk meneduhi pengunjung. Suasana di sini memang teduh sih, gw akui itu. Apalagi pas mendung kayak gini, cocok banget deh tidur di bawah pohon-pohon beringin ini. Beberapa bangku sudah terisi oleh sekumpulan orang yg berbincang dan tertawa-tawa menikmati keteduhan di sini. Bangku-bangku ini terbuat dari semen jadi nggak mungkin bisa digotong untuk dibawa pulang. Hehehe..

“Gw kalo lagi bête pasti ke sini,” Meva bercerita.

“Emang kapan lo nggak bête nya?” timpal gw.

“Emh…kapan yah?” dia tampak berpikir. “Kalo lagi sama loe, kayak sekarang ini. Gw nggak bête.”

“Tadi lo bilang lo ke sini kalo lagi bête, berarti sekarang juga lo lagi bête dunk?”

“Yeeeey………..bukan gitu maksud gw. Pertanyaan tadi nggak ada hubungannya sama itu.”

Gw tertawa. Benar juga kata Meva, sekedar duduk-duduk di sini memang menyenangkan. Gw mulai suka tempat ini. Selain pengunjung atau pejalan kaki yg beristirahat, ada juga pedagang-pedagang mainan anak kecil serta aksesoris sederhanasemacam itu di sekitar alun-alun ini. Kalau hari biasa, gw yakin pasti jam segini dipenuhi dengan anak-anak sekolah yg baru balik. Ada beberapa gedung sekolah di sekitar sini.

“Eh, lo mau liat monyet-monyet itu nggak?” tanya Meva, membuyarkan lamunan gw. Dia menunjuk deretan kandang besi di sisi timur.

“Tiap hari gw kiat wajah gw di kaca, itu udah cukup kok.”

“Yeeeeyyy itu mah beda atuh, kingkong itu mah. Hahaha..” Meva tertawa. Entah kenapa gw merasa tawanya itu menyenangkan. “ada yg lain juga loh, bukan cuma monyet. Ada kelinci juga, lucu deh. Ke sana yukk?”

“Entar aja ah, gw lagi betah duduk di sini.”

Meva tampak kecewa.

“Ya udah gw sendiri yg kesana, lo tunggau di sini ajah.” Dan dia pun beranjak pergi.

“Jangan lama-lama, gw bisa jadi pohon beringin juga di sini.”

Meva nggak menjawab. Semenit kemudian dia sudah berada di depan kandang-kandang itu. Memandang gembira dan kadang menggoda kelinci ataupun monyet yg ada di dalamnya. Gw sendiri sudah nyaris benar-benar tertidur saking teduhnya di sini. Sebuah tepukan di pipi membangunkan gw.

“Bangun,” kata Meva. “Ternyata lo beneran kebo ya? Dimanapun berada, tidur selalu nomor satu.”

“Hawanya bikin ngantuk, dodol.” Gw bangkit dan duduk, Meva di sebelah gw.

“Biar nggak ngantuk, kita maen ini ajah,” dia menunjukkan sebuah kotak kecil panjang bermotif kotak-kotak hitam putih, dan masih terbungkus sebuah plastik bening. “Mari bermain catur.”

“Dapet catur dari mana lo?” tanya gw heran.

“Tadi pas balik kesini ada yg jualan maenan di pinggir jalan itu, dan gw liat ada catur kecil yg dari magnet itu loh, gw beli ajah. Lucu sih.”

“Berarti lo nggak bisa maen catur donk?”

“Gw bisa kok!” katanya semangat. “Gw sering maen catur sama temen-temen waktu SMA dulu.”

“Lama amat tuh. Lo nggak bakalan menang lawan gw.”

“weleh weleh….sembarangan lo. Gini-gini, Utut si Master Catur aja berguru ke gw.”

“Masa’?”

“Iya, bener.”

“Masa bodo! Hahaha..”

“Udah, udah, kita buktiin ajah sapa yg lebih jago!” meva membuka plastik pembungkus dan mulai menyusun bidak-bidak ke petaknya. “Yg kalah bayarin makan malem di warung Mang Bedjo. okay?”

“Oke!!” gw merasa tertantang. Mendadak kantuk di mata gw hilang.

Gw dapet pion hitam, dan Meva yg putih. Di luar dugaan gw, cewek ini beneran bisa maen catur! Permainan pertama gw kalah telak, sisa kuda sama kedua luncur sementara dia cuma kehilangan benteng dan luncur di petak hitam. Jelas gw habis dibombardir lah!

Dan seperti sudah diduga, saat permainan ke dua berjalan, kuping gw nggak hentinya dipanasi oleh ejekan-ejekan atas kekalahan gw tadi. Gw coba strategi andalan gw, dan saat permainan mulai berpihak ke gw, tetesan gerimis yg turun tiba-tiba terpaksa membuat kami mengemasi set catur. Dengan sejuta perasaan gondok, gw berlari menghindari hujan dan berteduh di mesjid seberang alun-alun. Hujan semakin deras beberapa saat setelah kami berteduh. Ah, kalo aja nggak ujan, gw yakin gw pasti menang tuh! Gw liat jam tangan Meva menunjukkan pukul setengah dua.

“Va, kita sholat aja dulu yuk? Sekalian berteduh di dalem,” ajak gw.

“Maaf, Ri, gw non-muslim..” kata Meva dengan sangat halus. Dia menunjukkan kalung salib perak polos yg melingkar di lehernya.

Mampus gw! Gw nggak pernah tau sih sebelumnya, dan menurut gw itu salahsatu pertanyaan sensitif yg kurang etis untuk ditanyakan. (maaf buat yg baca, gw nggak ada maksud SARA di sini)

“Oh, maaf, gw baru tau,” ucap gw dengan malunya.

“Enggak papa kok, nyantai aja lah..” dia tersenyum. “Ya udah lo solat ajah, biar gw tunggu di sini.”

“Kalo gitu lo duduk aja deh di teras, di sini masih kena cipratan ujannya.”

“Lho, emang boleh ya gw duduk di sana? Gw kan…”

“Udah nggak papa,” gw menarik tangannya. Menggandengnya ke teras, lalu meninggalkannya di sana sementara gw melaksanakan sholat. Sekitar limabelas menit baru gw selesai dan kembali ke tempat Meva menunggu.

Hujan masih turun dengan derasnya. Gw duduk-duduk sambil nunggu hujannya reda. Dan setelah sekitar satu jam, barulah kami bisa pulang………………..

Sore ini hujan bener-bener turun dengan derasnya. Bahkan sampai di kosan pun hujan masih saja mengguyur bumi, jadi terpaksa deh gw dan Meva basah-basahan berlari menembus hujan. Gw menggigil hebat, tapi ketika gw teringat jemuran gw di atas, seketika gigilan itu menghilang dan berganti dengan pekik tertahan dari mulut gw. Bergegas gw ke atas, tapi di sana tidak ada apa-apa selain kawat jemuran yg basah.

“Dul, lo tau jemuran seragam gw di atas nggak?” tanya gw ke Indra sekembalinya gw dari kamar. Indra sedang main Play Station sambil berselimut sarungnya.

“udah gw angkatin, ada di kamer lo.” Jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari tivi.

Gw mendesah lega. Buru-buru gw cek ke kamar dan tumpukan seragam menyambut gw di atas kasur. Ah, beruntung sekali gw punya temen macem Indra. Thanks guys.. Segera saja gw mandi dan berganti pakaian dengan setelan pakaian hangat. Selesai mandi, gw menyeduh teh hangat dan bersembunyi di balik selimut di atas kasur.

Pintu kamar terbuka dan Indra masuk, menyeduh teh hangat juga, lalu duduk di samping gw.

“Abis kemana lo tadi?” tanyanya.

“Diajakin jalan sama Meva ke Karang Pawitan,” gw masih bersembunyi di dalam selimut.

“Keliatannya makin hari lo makin deket sama dia. Udah jadian?”

Gw sibakkan selimut yg menutupi wajah gw.

“Ah, loe nanyanya gitu mulu,” kata gw. “Gw nggak ada apa-apa sama dia. Just friend..”

“Ada apa-apanya juga nggak papa kok. Malah itu bagus, artinya lo udah mulai bisa bedain yg mana masa lalu dan yg mana yg harus lo jalani hari ini.”

“Tapi gw nggak ada hubungan apa-apa sama Meva, cuma temen kok......”

“Haha,” Indra tertawa kecil. “Oke deh, gw percaya kok. Lagian kenapa mesti ngotot gitu? Gw nggak papa kok lo jadian juga sama Meva kalo kalian emang sama-sama suka.”

“Yaah..seenggaknya saat ini belum,” ujar gw. “Lagiapula kayaknya susah buat gw suka sama dia, orangnya suka nyebelin gitu dul. Maksaan gitu lah...tadi aja gw dipaksa ikut dia jalan-jalan.”

Indra tertawa lagi.

“Sarap ya lo, daritadi ketawa-ketawa mulu.”

“Sembarangan lo ngomong,” sergah Indra.

“Eeh....itu gelas gw, punya lo yg sebelah setrikaan. Maen asal minum aja lo.”

“Apa bedanya? Sama-sama teh manis khan?” indra menaruh lagi gelas yg gw tunjuk lalu mengambil gelasnya.

“Beda, lo kalo nyeduh teh biasanya kelewat manis,” gw segera menyambar gelas gw dan meminum isinya dengan hati-hati.

Saat itulah Meva tiba-tiba nongol di depan pintu. Seperti biasa, tersenyum lebar dengan tampang innocent.

“Eh, ada Indra juga,” sapanya. Dia sudah berganti pakaian. Kali ini dia memakai celana jeans panjang. Tapi tetep aja di dalamnya dia pake stoking hitam. “Hey, Ri. Lo lagi sibuk nggak?”

“Iya sibuk banget gw sampe bangun aja nggak bisa,” jawab gw ngasal.

“Lanjutin maen catur yukk?” Meva mengangkat papan catur kecil yg sejak tadi disembunyikan di belakang badannya.

“Ogah. Besok lagi aja laah.....lagi cape gw.”

“Napa lo, takut gw kalahin lagi ya?” tantangnya.

“Yeee....tadi tuh lo menang karena kebetulan aja lagi. Gw belum panas tuh.”

“Ya udah makanya sekarang buktiin ke gw kalo lo emang bisa maen catur?”

Ini nih pernyataan yg menjebak.

“Ogah, lagi nggak konsen nih otak. Cape, dingin, ngantuk.” Gw keukeuh menolak ajakannya.

“Kalo gitu sama gw ajah maennya, lo mau?” Indra menawarkan diri.

“Nah tuh si gundul mau tuh,” kata gw bersemangat. “Sama dia ajah.”

“Emang lo bisa Ndra?” tanya Meva ke Indra.

“Eitts..jangan salah, si Ari bisa maen catur sapa coba yg ngajarinnya?”

“Emang lo yg ngajarin?”

“Bukan! Tanya aja ke orangnya langsung tuh,” dan Indra tertawa.

“Oke, ayo lawan gw.” meva masuk dan mengambil posisi duduk di sebelah gw. “Geser dikit dong Ri,” dia mendorong gw sampai mepet ke tembok.

“Kenapa nggak sekalian jedotin pala gw aja??” kata gw kesal.

“Sayang temboknya, entar rusak gw yg suruh ganti rugi.”

“Bodo ah,” gw menarik selimut menutupi wajah gw.

Hangat sekali di dalam sini. Tadi beneran dingin banget pas hujan-hujanan. Sudah hampir sepuluh tahun yg lalu sejak terakhir kali gw hujan-hujanan bareng temen SD dulu. Tapi lama-lama kok kepala gw berasa pening ya? Ini pasti pengaruh air hujan tadi. Beneran pening dan senut-senut gitu. Baru sekitar sepuluh menit gw bangkit duduk sambil pegangi sisi kepala gw yg sakit.

“Kenapa lo Ri?” tanya Indra melihat penderitaan di wajah gw.

“Sakit kepala nih. Gara-gara ujan tadi.” Gw meringis pelan menahan sakit yg nampaknya makin menusuk ke dalam kepala gw. Sakit sekali. “Tapi kok sakit banget yah?”

“Gw beli obat puyeng deh ke warung,” Indra berdiri dari duduknya lalu beranjak pergi.

Tinggal Meva yg memandang gw dengan penuh minat, seakan gw ini seekor kelinci yg minta diberi sebatang wortel.

“Lo sakit kepala?” tanyanya polos.

“Lo pikir apa yg sakit kalo gw pegang kepala?”

“Ah, elo mah selalu aja jawabnya sinis gitu kalo ke gw tuh. Gw tanya serius juga.”

“Maaf deh, gw lagi sakit kepala banget soalnya.” Gw malas berdebat jadi gw akhiri saja.

“Sini gw pijitin biar rada mendingan,” Meva menarik kepala gw, dengan kasar!

Gw berteriak kesakitan tapi dia nggak peduli. Dia duduk di belakang gw lalu kedua tangannya menekan-nekan kedua pelipis gw. Dia memijit gw. Gw diam. Ternyata enak juga pijitannya. Beberapa kali gw pejamkan mata menikmati pijitan ini.

“Gimana, udah mendingan belum?” tanyanya.

“Sip sip.. lo bisa mijit juga ternyata.”

“Cuma soba-coba aja kok, ini pertama kalinya gw mijitin orang.”

“Kalo gitu lo ada bakat jadi tukang pijit.”

“Enak aja, ogah gw jadi tukang pijit. Gw kuliah tinggi-tinggi bukan buat jadi tukang pijit.”

“Pan elo kuliah di UTP kan?”

“UTP? Apaan tuh? Baru denger gw.”

“Universitas Tukang Pijit. Haha..”

Meva mendorong kepala gw ke depan.

“Sembarangan aja lo kalo ngomong,” omelnya.

“Hehehe.. kidding. Gitu aja dianggep serius.”

“iya gw tau kok.”

Dan saat itulah Indra datang, sedikit basah di kakinya, dia membawa sebungkus obat.

“Nih minum obatnya,” dia melemparnya ke hadapan gw.

“Udah minum sana, gw maen catur lagi lah.” Meva kembali ke posisi duduknya di sisi papan catur. Kayaknya dia lagi asyik banget tuh maen caturnya.

Gw ambil segelas air putih, meminum obatnya, lalu kembali ke atas kasur. Kepala gw masih pening, biar sekarang nggak sesakit tadi sebelum dipijit Meva. Di luar sana hujan masih saja mengguyur sebagian kota. Suaranya jatuh beradu dengan atap lama-lama jadi musik berkesinambungan yg enak didengar dan menghantarkan gw segera ke alam mimpi.......

Gw terjaga dari tidur gw. Kepala gw terasa sangat sakit di sebelah kiri. Secara refleks gw pegangi pelipis sambil kernyitkan dahi menahan sakit yg menurut gw nggak wajar ini. Baru kali ini gw merasakan pening yg sangat menusuk. Wajah dan leher gw berpeluh padahal saat itu baru saja selesai hujan dan masih terasa dingin. Dengan susah payah gw berhasil mengambil obat yg tadi sempat dibelikan Indra, dan langsung meminumnya.

Gw mencoba bangun, dan pandangan gw langsung dipenuhi kunang-kunang yg berseliweran di sekitar kepala gw. Dan makin parahnya, setelah gw bangun justru gw merasa mual. Gw pengen muntah. Buru-buru gw berlari ke kamar mandi dan memuntahkan sebagian isi perut gw di sana. Setelah membersihkan lantai gw kembali ke kamar. Sedikit sempoyongan gw berusaha mencapai tempat tidur.

Aneh, badan gw nggak panas kok. Gw coba pegangi kening dan leher, normal.

“Lo kenapa Ri?” Meva tiba-tiba masuk dan menghampiri gw. “Gw denger suara kayak orang muntah. Lo baikan aja khan?”

“Kayaknya gw sakit nih,” jawab gw sedikit terbatuk. Sedikit bertanya juga, apa suara gw tadi sekeras itu sampai terdengar ke kamar Meva?

“Minum obat lagi aja deh,” sarannya.

“Udah kok barusan.”

“Ya udah lo tiduran lagi aja, jangan banyak gerak dulu.” Dia membimbing tubuh gw rebahan di kasur.

Nafas gw sedikit memburu. Sementara nyeri di kepala gw agaknya sekarang merambat ke bagian tengah.

“Maaf ya Ri, gara-gara gw ajakin lo keluar tadi siang jadi gini deh...”

“Nggak papa kok, bukan gara-gara yg tadi.”

“Kayaknya lo agak parah deh, muka lo pucet gitu.” Meva mengusap rambut gw, menyibakkannya agar tidak menutupi wajah gw. Tangannya hangat.....

“Gw nggak papa kok, beberapa hari ini gw emang kurang baekan. Masuk angin kayaknya.”

“Gw kerokkin deh?”

“Nggak usah, nggak usah.... gw nggak biasa dikerok. Sakit ah.”

“Yeeey....biar cepet sembuh Ri.”

Gw menggeleng sebagai tanda penolakan. Gw punya pengalaman buruk soal dikerok, pernah gw nyaris pingsan waktu dikerok sama nyokap gara-gara waktu itu pake balsem yg panasnya minta ampun sebagai pelicin koinnya. Katanya sih gw emang sempet pingsan, tapi gw ngerasa gw masih sadar kok, yaah memang sih selama beberapa saat gw nggak bisa berkomunikasi saking kagetnya badan gw.

“Gw nggak suka dikerok, oke?” gw bersikeras menolak usul Meva.

“Harus dikerok, khan loe masuk angin?”

“Kalo gitu gw keluarin sendiri deh anginnya, nggak usah dikerok yah?”

“Ah, lagi sakit juga sempet-sempetnya ngomong gitu. Udah, duduk terus buka kaos loe.”

“Serius, gw nggak mau dikerok Vaa....” pinta gw sedikit memelas.

“Bentar gw ambil koin dulu di kamer gw.” Meva beranjak keluar dan kembali lagi dengan sekeping koin kuningan dan botol kecil yg nampaknya adalah balsem. “Ayo buka kaosnya.”

“Aah...kenapa sih lo selalu maksa ke gw?” gerutu gw. Nyeri di kepala gw makin senut-senut.

“Ini khan demi kesembuhan lo?” meva berkacak pinggang dan melotot ke gw. “Tahan bentar doang bisa khan? Jangan jadi banci kayak gitu lah.”

“Please Vaa....gw nggak mau dikerok,” pinta gw lagi.

“Tenang aja, gw pake balsem dingin kok. Nggak bakalan panas. Ini juga koin khusus emang buat ngerok. Liat aja sisi-sisinya halus dan nggak bergerigi. Nggak akan sesakit kalo kita pake uang recehan.”

“Vaaa....” gw hampir nangis, sumpah. Gw beneran takut dikerok. Gw nggak mau pingsan lagi.

Meva keburu menarik tubuh gw dan membuat gw terduduk. Saat itu badan gw lemas jadi gw nggak bisa terlalu memberontak. Meva langsung menarik kaos gw sampai lepas, nggak peduli hidung gw sakit waktu kaosnya melewati wajah gw. Ya Tuhan kapan sih gw nggak dipaksa sama cewek ini?

“Gw mau ngerok lo, bukan merkosa yaa, jadi tolong jangan berpikiran yg enggak-enggak.”

“Bisa-bisanya lo ngomong gitu Va,” kata gw.

“Udah sekarang diem dan nikmati aja. Oke?”

Apa boleh buat. Tubuh gw terlalu lemas untuk menolak. Akhirnya gw dikerok juga sama si Meva. Emang dingin sih gw rasakan di sekujur punggung gw. Meva beneran pake balsem dingin khusus buat ngerok. Entah karena gw memang asli masuk angin atau Meva yg ahli ngerok, gw ngerasa lebih baikan aja setelah dikerok Meva.

“Pake lagi tuh kaos loe,” Meva melemparnya ke gw.

Tapi gw nggak langsung memakainya. Punggung gw terasa agak lengket karena balsem tadi. Meva membereskan peralatannya dan cuci tangan di kamar mandi. Selesai itu dia duduk di dekat kasur gw.

“Udah jam sebelas malem, lo tidur lagi aja. Besok juga udah sembuh kok.”

Wah, semalam itukah? Gw cek jam dinding, bener jam sebelas lewat lima menit.

“Thanks Va, gw udah baekan kok sekarang,” gw pakai lagi kaos gw. Rasanya seperti beban yg menindih tubuh gw lenyap begitu saja setelah dikerok. Ternyata nggak begitu sakit kalau pake balsem yg dingin. Badan gw serasa enteng, nggak seperti sebelum ini. Gw rebahan lagi di kasur dengan posisi telungkup.

“Lo nggak tidur?” tanya gw ke Meva.

“Bentaran ah, tangan gw kesemutan euy abis ngerok lo....”

“Si Indra mana? Tadi siapa yg menang maen caturnya?”

“Gw dong yg menang...........” Meva nyengir lebar. “Indra nggak sebaik lo maennya. Gw belum nemuin lawan yg tangguh nih.”

“Belagu lo, liat aja besok gw kalahin lo.”

“Ooh, boleh.dengan senang hati,” Meva tersenyum merendahkan gw.

“Oke, besok yaa....”

“Oke, sapa takut...................” Meva menggeliatkan badannya. Dia sedikit menggeser posisi duduknya, dan rebahkan badan di lantai. “Gw numpang ngelonjor bentar yah? Ngerok lo bikin cape nih.”

“Salah lo sendiri maksa ngerok gw.”

“Enggak papa deh, biar lo sembuh.”

“Thanks Va.”

“Iya sama-sama, gw juga ngerasa nggak enak bikin lo sakit.”

“Laen kali ngeroknya nggak usah pake koin ya?”

“Lah, terus pake apa?”

“Pake tangan lo aja. Hehehe...”

“Maaauuunyaaaaaa!!!” Meva melempar koinnya ke kepala gw tapi meleset. “Lagian ogah gw ngerok lo lagi. Kasian sebenernya, badan isinya tulang semua gitu kok mau dikerok.” Dan dia pun tertawa.

“Lo tau nggak Va?”

“Enggak, gw nggak tau,” potong Meva.

“Ya makanya dengerin dulu orang kalo lagi ngomong, jangan maen potong ajah.”

“Hehehe... Iya, iya, kenapa emang?”

“Lo tuh kayak nenek sihir,” kata gw. Meva sudah ingin melempar botol balsem di tangan kirinya sebelum buru-buru gw lanjutkan. “Tapi nenek sihir baik hati kok! Iya, baik hati.....” gw berharap botolnya jatuh sebelum dilempar. Dan ternyata Meva mengurungkan niatnya.

“Tetep aja, biar baik juga gw tua dong? Emang muka gw keriput ya? Rambut gw beruban ya? Gigi gw ompong yaa???” cecarnya.

Gw tertawa kecil.

“Enggak kok, maksud gw barusan, lo itu rewel kayak nenek-nenek sihir di dongeng anak-anak gitu. Tapi sebenernya lo baik kok,” ujar gw menjelaskan. “Walaupun harus gw akui, lo memang lebih banyak ngeselinnya dibanding baiknya.”

“Udahlah nggak usah dibahas, tetep aja gw berasa tua di depan lo. Padahal kan gw dua tahun lebih muda dari lo?”

“Muda tapi tua. Jadi gimana yak jelasinnya.....?”

“Nggak perlu dijelasin, kakek........”

“Baiklah, Nek....”

Lalu kami tertawa lepas.

“Lo pantes tuh dipanggil kakek, gw mah masih AbeGe,” Meva berkilah.

“Iya ABG umur enampuluh.”

“Daripada lo udah seabad?”

“Ya ya ya sudahlah sesama orangtua nggak usah saling memfitnah. Hehehe...”

Well, pada kenyataannya gw benar-benar merasa lebih baik sekarang. Memang kepala gw masih terasa nyeri, tapi itu sudah jauh berkurang dibandingkan tadi. Memang menyenangkan punya teman yg bisa menghibur saat kita lagi bad mood atau sakit. Dan orang itu adalah sosok wanita yg selama ini gw anggap misterius karena ketertutupannya. Meskipun sekarang boleh dikatakan gw dan dia sudah berteman baik, tetap saja gw merasa ada banyak hal yg nggak gw pahami dari dia. Terlalu banyak. Dan tentu akan lebih baik gw biarkan apa adanya saja seperti ini. Karena kadang sesuatu itu nampak indah selama kita tidak tau apa yg ada di baliknya.

Jam dinding sudah bergerak ke angka duabelas, dan kami masih ngobrol sesuka hati yg bahkan kadang gw sendiri pun nggak ngerti apa yg lagi kami bicarakan. Lewat dari jam duabelas, kami mulai kehabisan bahan obrolan. Hanya kadang terdengar salahsatu dari kami bicara, yg cukup lama dijawabnya. Dan lama kelamaan suara Meva menghilang, berganti suara desah pelan nafasnya yg tenang. Dia tertidur di samping gw. Wajahnya begitu teduh saat tidur. Seolah semua beban yg ada ketika terjaga ikut lenyap bersama mimpi yg melayang-layang entah ke mana.

Di luar, rintikan hujan kembali terdengar menerpa atap-atap rumah. Sesekali diselingi gemuruh kecil dan kilatan petir yg menembus celah jendela kamar. Gw belum bisa tidur. Entah kenapa, apa karena ada sosok wanita di samping gw yg tidur begitu damainya? Gw pandangi wajah Meva yg pulas.

Gw ingat beberapa bulan yg lalu gw pernah begitu penasaran dengan sosok yg satu ini. Bayangan-bayangan saat gw dengan bodohnya begadang dan memantau pintu kamarnya dari balik jendela kamar ini, kembali berkelebat di ingatan gw. Dulu nggak pernah terpikir bahwa akhirnya wanita berkaos kaki hitam itu sekarang akan ada sangat dekat dengan gw. Di samping gw. Sedang tertidur dengan wajah polosnya. Dan gw yakin, di balik semua keanehannya itu, ada sesuatu yg indah. Sesuatu yg akan indah pada waktunya.

Inilah momen pertama kalinya gw merasakan nyaman saat berada di sampingnya. Bukan sebagai seorang yg spesial memang, cukup sebagai sahabat. Itu sudah cukup dan melebihi apa yg pernah gw bayangkan dulu sebelum ini. Dan tentu saja gw sangat mensyukuri itu.

Gw tersenyum sendiri. Mata gw tetap terjaga memandang wajah di samping gw. Entah berapa lama gw terjaga, sebelum akhirnya mata gw lelah dengan sendirinya.............................

Sejak Meva membeli catur mini itu, kami jadi punya hobi baru. Setiap jam pulang kerja Meva pasti sudah menunggu di balkon dengan pion catur yg sudah ditata sesuai petaknya. Kalau sudah begitu kami bisa lupa waktu. Kadang sampe lupa makan, jam sembilan malam masih mengenakan seragam kerja. Makanya gw sering beli nasi dulu sebelum balik biar maen caturnya bisa sambil makan.

Dan harus diakui, Meva memang lawan main yg tangguh. Pernah gw kalah telak 6-0 dalam semalam. Alhasil gw harus menerima muka gw belepotan bedak sementara kuping gw panas terbakar ejekan Meva.

"Magnetnya rusak tuh, jadi geser sendiri pionnya," itu kalimat yg biasa diucapkan Meva tiap dia dapet skak mat.

"Kok bisa yah? Padahal gw nggak niat kesitu lho," dan ucapan sok pilon ini juga sering diucapkannya.

Well, nilai penting yg didapat adalah bahwa gw bisa mengalihkan perhatian gw dari Echi. Rasanya sebelum ini gw nyaris frustasi karena selalu dihantui perasaan bersalah tentang Echi, meskipun gw tahu gw nggak bersalah. Meva berhasil mengalihkan dunia gw.

Dengan sifatnya yg kolokan tapi diktator (dia masih sering maksa gw!) dia sukses membuat gw nyaman tiap berada di dekatnya. Dan mengenai kelainan dalam dirinya soal self injury, gw benar-benar memilih bungkam dan memposisikan diri gw nggak pernah tahu soal itu karena Meva sendiri nggak pernah menyinggung hal ini. Gw merasa itu lebih baik, sampai di satu sore, sepulang kerja gw naiki tangga menuju kamar.

Biasanya Meva akan langsung menyerbu lalu menyeret gw duduk di kursi yg sudah disediakannya di depan meja kecil tempat papan catur tanpa peduli gw cape ataupun laper. Tapi sore itu gw nggak menemui siapapun di sana. Dua kursi yg dipasang berhadapan di antara meja itu kosong. Nggak ada papan catur di atas meja.

"Baguslah, gw bisa mandi dulu," pikir gw dalam hati.

Selesai mandi gw makan nasi yg gw beli dari warung. Sampai jam setengah enam nggak nampak tanda-tanda Meva akan menyeret gw keluar kamar. Padahal kamar-kamar yg lain sudah menunjukkan eksistensi penghuninya.

"Va, lo di dalem?" gw memutuskan mengetuk pintu kamarnya.

Nggak ada jawaban dan gw masuk ke kamarnya yg nggak dikunci. Meva ada di sana. Sedang duduk memeluk lutut di pojok kamar. Wajahnya terbenam di kedua kakinya.

"Va? Lo tidur?" tanya gw. Pertanyaan yg seharusnya nggak gw tanyakan kalau melihat badannya yg gemetar.

"Lo kenapa Va?" gw guncang bahunya.

Meva menggeleng tanpa mengangkat wajah.

"Gw nggak kenapa-napa," suaranya terdengar parau.

"Nggak mungkin lo nggak kenapa-napa. Lo nangis ya?"

Meva menggeleng lagi. Tapi kali ini terdengar isak tertahannya. Gw yakin ada sesuatu yg terjadi. Nampaknya gw nggak perlu bersusah payah menanyai Meva, karena gw sudah menemukan sendiri jawabannya. Meva menangis karena kesakitan.

Gw nyaris terlompat begitu mendapati sepuluh batang jarum jahit menancap kuat di lengan kirinya. Tiap ujung jarum membuat kulit di sekelilingnya membiru dan pucat. Pasti jarum-jarum itu sudah lama menancap di sana.

"Lo ngapain lagi Va???" kata gw ngeri.

"Gw nggak apa-apa Ri, beneran. Lo keluar aja."

"Mana bisa gw biarkan loe dalam keadaan kayak gini!" gw membayangkan sakitnya tertancap sepuluh jarum di lengan gw.

Saat itu gw bingung. Gw mau nolong dia, tapi nggak tau baiknya gimana.

"Gw cabut yah jarumnya?" tanya gw.

Meva nggak menjawab. Gw anggap itu jawaban 'iya' dari dia. Ujung jari telunjuk dan jempol gw bergetar menyentuh batang jarum yg dingin. Gw ragu bisa mencabutnya dari kulit Meva. Jarum-jarum itu menancap cukup dalam.

"Apa sih yg lo pikirin, sampe ngelakuin hal bodoh kayak gini?" gw menggerutu pelan.

Meva masih diam. Gw tau dia sedang melawan rasa sakit yg menusuknya. Atau, justru dia menikmatinya ??

Gw memaki dalam hati. Tangan kiri gw memegang pergelangan tangannya dan tangan kanan bersiap pada posisi mencabut jarum. Gw menarik napas perlahan lalu sebisa mungkin mencabut jarumnya tanpa melihat.

Perlahan.....gw angkat kepala jarum dengan dua jari. Gw bisa merasakan jarum itu berdenyir licin di dalam kulitnya seiring tarikan jari gw. Ngeri dan ngilu menyelimuti gw. Butuh lebih dari sekedar berani untuk menancapkan jarum di tubuh kita. Dan menurut gw Meva memang berani. Terlalu berani malah.

Jemari tangan Meva mencengkeram keras tangan gw ketika satu jarum berhasil gw cabut. Uugh, pasti menyakitkan sekali. Tapi Meva samasekali nggak merintih. Hebat!!

Darah langsung mengucur dari lobang bekas tancapan jarum. Sumpah gw mendadak lemes dan hampir pingsan kalau nggak memikirkan keselamatan Meva. Gw cuma bisa menelan ludah. Yg gw lakukan selanjutnya adalah mengambil sembarang kaos yg tergeletak di dekat gw dan menutup luka di tangan Meva.

Meva mengangkat wajahnya, dia menatap gw. Tanpa berkata dia tarik tangan kiri gw menjauh dari tangannya, mengangkat lengan yg masih mengucurkan darah, dan dengan dinginnya mencabuti jarum itu satu persatu!!

What the hell?? Speechless dan ngeri, akhirnya gw memutuskan keluar kamarnya dan muntah di kamar mandi saking mualnya..

"Apa sih yg lo rasain," kata gw. "Waktu lo ngelakuin itu semua? Nusukin jarum kayak gitu, apa itu nggak sakit?"

Meva duduk di sebelah gw di kamar yg berpencahayaan redup. Tangan kanannya memeluk lutut sementara tangan kirinya terkulai dengan tujuh lembar plester menutupi bekas tusukan jarum. Dia menatap gw sejenak lalu menjawab.

"Mungkin buat lo aneh, tapi gw butuh ini Ri..." katanya tanpa mengalihkan matanya dari mata gw.

Hati gw mencelos mendengar jawaban yg terlontar dari mulutnya. Seperti ada sebongkah es meluncur dan meliuk-liuk dalam perut gw.

"Sebutuh itukah lo dengan rasa sakit?" tanya gw lagi. "Gw mau tau apa yg lo dapatkan dari kesakitan itu."

Meva tersenyum, mengalihkan pandangannya pada gorden jendela di depan kami, lalu menatap gw lagi.

"Gw menikmati sakit yg gw rasakan Ri," jawabnya pelan. Suaranya tercekat di tenggorokan. Ada bulir-bulir airmata yg menggenangi pelupuk matanya. "Gw butuh itu. Entahlah, rasanya nyaman banget begitu ujung jarum menembus kulit gw."

Gw mendesah tertahan. Nggak gw sangka ternyata dugaan gw bener. Bulu kuduk gw sampe merinding mendengar pengakuan Meva.

"Hehe.. Aneh ya gw?" dia usapi airmata yg mengucur di kedua pipinya dengan tangan kanan. "Disaat remaja seumuran gw pada kecanduan narkoba dan drugs, gw malah kecanduan rasa sakit. Gw memang aneh."

"Lo nggak aneh Va," kata gw. "Lo normal kok. Sama kayak gw dan yg lain."

"Thanks buat penghiburannya. Tapi gw tau kok gimana pandangan orang tentang gw."

"Oiya? Hebat dong," ucap gw sedikit sinis.

Dia tersenyum lalu memukul lengan gw pelan.

"Apa lo juga nganggep gw berpikiran sama kayak orang-orang iu?" ujar gw lagi.

"Gw tau kok lo mandang gw berbeda dari mereka. Lo care sama gw. Lo cowok pertama yg peduli sama gw Ri."

Ehem, sebagian hati gw bungah mendengar jawaban Meva.

"Thanks ya Ri."

"Terimakasih karena apa?"

"Yaa atas semua perhatian lo ke gw. Gw seneng lho, ada yg peduli sama keadaan gw."

Ah, rasanya seperti melayang gw denger Meva ngomong begitu.

"Justru gw ngerasa lo yg perhatian ke gw," kata gw.

"Oiya?"

Gw mengangguk.

"Lo perhatian sama gw. Tapi sayangnya lo nggak perhatian sama diri lo sendiri."

Meva tersenyum. Lembut banget...

"Gw tau apa yg terbaik buat diri gw."

"Baguslah kalo gitu. Silakan lakukan apa yg menurut lo baik buat diri lo sendiri. Nggak ada paksaan buat lo."

Meva tersenyum lagi.

"Itu yg sebenernya gw butuhkan. Yg selama ini nggak pernah gw dapatkan dari orang-orang di sekitar gw," dia mengatakan itu dengan jujur, gw tau. "Penerimaan. Nggak banyak yg mau nerima keadaan gw apa adanya kayak yg lo tunjukin. Itu yg bikin gw seperti mengisolasi diri gw dari kehidupan orang banyak. Gw lebih suka menyendiri."

Lagi-lagi gw terenyuh mendengar ucapan Meva.

"Lo bisa nerima gw apa adanya," ulang Meva.

"Oke..oke...sebelum gw makin GR gara-gara semua ucapan lo, kita ganti topik pembicaraan ya?"

"Muka lo merah Ri," kata Meva geli.

"Masa? Emang keliatan ya di kamer gelap kayak gini? Kalo menurut gw nih, lo harusnya ganti lampu ini sama yg lebih terang."

"Lo jarang dipuji ya sama cewek?"

"Kadang gw sendiri suka heran, gimana bisa lo belajar di kamer yg gelap kayak gini? Yg ada mata gw bakal rusak."

"Yg gw bilang tadi jujur lho, bukan sengaja bikin lo GR."

"Gw bisa jadi mahasiswa abadi kalo tetep belajar di kamer kayak gini. Pantesan bangsa Indone........"

"............................."

Ada yg menempel di pipi kiri gw. Sedikit basah tapi hangat. Dan saat gw palingkan wajah, kedua bola mata Meva berada sangat dekat dengan mata gw. Speechles. Gw cuma bisa menelan ludah.

"Anggep aja itu sebagai ungkapan terimakasih gw ke elo," kata Meva dengan tenangnya seolah tadi dia hanya mengecup dinding kamar.

"Ah...eng.....itu.....eh, iyah sama-sama," gw mendorong wajahnya menjauh dari wajah gw.

Dia nggak tau degupan jantung gw sudah mencapai seratusribu detak per detiknya. Kaki kanan gw mendadak bergetar saking gugupnya. Entah apa yg terjadi, otak dalam kepala gw berkecamuk bayangan-bayangan nggak jelas.

"Busett..lo tadi ngiler ya?" gw usapi pipi gw yg sedikit basah.

Meva tertawa lebar. Bisa banget dia lakukan itu!

"Sorry sorry gw nggak sengaja tuh."

Shit!! Gw jadi nggak bisa berpikir jernih gara-gara kejadian barusan. Sementara Meva di samping gw cuma diam menatap gw sambil tersenyum.

"Kenapa lo nyium gw?" kata gw.

"Tadi nggak kedengeran ya? Sebagai ucapan terimakasih gw ke elo."

"Bukan itu. Maksud gw, lo nggak takut yg lo lakuin tadi akan mengubah keadaan kita?"

"Yaelaah baru juga pipi. Lo terlalu mendramatisir," kata Meva lalu tertawa.



"Gw percaya lo kok Ri. Hal kecil kayak gitu nggak akan bikin lo antipati sama gw."

HAL KECIL kata lo???

Gw diam. Lebih baik diam deh. Lalu gw tatap Meva. Sepertinya benar, ciuman tadi hanya sebuah ungkapan terimakasih. Entahlah, dalam beberapa keadaan wanita memang sulit dimengerti.

Dalam hati gw berharap lo nggak akan nyakitin diri lo lagi. Karena ngeliat lo sakit, itu akan bikin gw sakit juga...

Ciuman itu cukup "mengganggu" gw. Malam setelah kejadiannya, gw nggak bisa tidur sepanjang malam! Menjelang subuh baru bisa pejamkan mata. Dan bukan cuma itu, gw yg dulunya nyantai sekarang mendadak jadi sedikit gugup saat ngobrol atau saat maen catur bareng Meva. Gw merasa, entahlah mungkin ini cuma perasaan gw aja, beberapa kali Meva mencuri pandang ke gw pas gw lagi nggak fokus ke dia.

Gw canggung. Padahal Meva sendiri nggak menunjukkan perubahan sikap apapun setelah hari itu seolah kecupan di pipi gw hanya terjadi di dongeng anak-anak. Dia tetep Meva yg biasanya, bertindak semau sendiri dan diktator ( gw suka banget nyebut kata ini, berasa keren ya?? ). Makanya sekarang gw lagi berusaha menetralkan sikap gw, coz kayaknya dia tau perubahan sikap gw ini.

Nggak bisa dipungkiri, gw memang suka sama Meva. Sejak pertama dia nyapa gw waktu itu, gw memang sering bermimpi bisa jadi cowoknya. Tapi ya itulah, itu hanya sebatas mimpi indah buat gw, yg saat gw terbangun nanti mimpi itu akan berakhir.

Gw bisa aja ungkapkan perasaan gw ke dia, tapi gw takut itu bener-bener akan mengubah keadaan kami. Gw nggak mau ini berakhir, berubah sedikitpun gw nggak mau. Maka yg bisa gw lakukan hanyalah sebisa mungkin tetap terlelap dalam mimpi dan berharap pagi nggak akan cepat datang.....

"Ri, nyanyiin lagu dong buat gw?" kata Meva sore itu.

Gw dan Meva lagi maen catur.

"Apaan? Orang lagi maen catur malah nyuruh nyanyi," gw anggap ini permintaan teraneh dari dia. "Oh..gw tau, ini cuma trik lo doang kan buat membuyarkan konsentrasi gw? Biar lo bisa menang."

"Yaelah nggak pake trik juga gw udah menang khan?"

Gw nyengir malu.

"Ya udah tuh giliran lo jalan," gw menunjuk pion miliknya.

"Enggak mau. Gw mau denger lo nyanyi."

"Ah, gitarnya ada di kamer Indra dan dia masih gawe. Kamernya dikunci. Bisa dimengerti Teh? Sok atuh ayeuna jalankeun tah eta kuda na."

Meva menggeleng.

"Nggak mau," katanya menatap gw penuh harap.

"Lo nyerah nih?" gw bersiap mengambil bedak di bawah meja.

"Nyanyi dong...suara lo kan bagus tuh...gw sering denger lo nyanyi kok."

"Tapi suara lo lebih bagus."

"Tau darimana? Gw nggak bisa nyanyi."

"Lha, waktu itu khan malem-malem lo nyanyi sambil gw maen gitar? Masa lupa sih?"

Meva nampak berpikir.

"Anggep aja gw lupa deh," dia terkikih pelan. "Gw lupa sumpah."

Gw gelengkan kepala. Mungkin waktu nyanyi lagu Jamrud itu dia lagi nggak sadar kali ya?

"Ya udah kalo lo nggak mau nyanyi, gw mau tanya.."

"Banyak banget mau lo!"

"Iiih, gw belum selesai ngomong juga," katanya sambil melotot. "Dengerin dulu gw ngomong."

"Dasar tukang maksa," gumam gw pelan.

"Apa lo bilang tadi?"

"Eh, gw nggak ngomong apa-apa kok. Udah sok atuh mau tanya apa?"

"Gini, gw mau tanya.."

"Iya tapi mana pertanyaannya??"

"ARI!!" Meva berteriak kesal. "Jangan potong omongan orang laah!"

"Hehehe..iya iya maap."

Meva mencibirkan mulutnya kesal ke gw.

"Emh...gini, seandainya lo adalah cowok gw, lo akan nyanyiin lagu apa buat gw?" tanyanya.

"Wah, gw kan bukan cowok lo?"

"Ini kan kita lagi berandai-andai!"

"Iya iya, sewot mulu ah."

"Ya elonya sih ngeselin! Udah buruan jawab."

Gw berpikir sejenak. Lalu gw teringat sebuah lagu.

"Mungkin The Pretenders yg judulnya I'll Stand By You," kata gw akhirnya.

"Oiya? Lagunya gimana sih?"

Gw diam.

"Tuh kan ujung-ujungnya tetep gw disuruh nyanyi juga!" kata gw sadar.

"Ya udah apa susahnya sih?"

"Gitarnya di dalem kamer. Males gw ngambilnya."

"Ya udah atuh, acapella an aja."

Gw menggeleng.

"Please....." pintanya merayu. "Sampe reff nya aja deh?"

Gw mendengus keras.

"Cuma sampe reff doang lho," kata gw.

"Iya nggak papa! Ayo buruan."

Akhirnya gw ambil gitar dari kamar, duduk menghadap Meva dan mulai bernyanyi sambil menghafal lirik yg hampir gw lupa...

Oh, why you look so sad?
Tears are in your eyes
Come on and come to me now
Don't be ashamed to cry
Let me see you through
'cause I've seen the dark side too

When the night falls on you
You don't know what to do
Nothing you confess
Could make me love you less

I'll stand by you
I'll stand by you
Won't let nobody hurt you
I'll stand by you
So if you're mad, get mad
Don't hold it all inside
Come on and talk to me now

Hey, what you got to hide?
I get angry too
Well I'm a lot like you

When you're standing at the crossroads
And don't know which path to choose
Let me come along
'cause even if you're wrong

I'll stand by you
I'll stand by you
Won't let nobody hurt you
I'll stand by you
Take me in, into your darkest
hour
And I'll never desert you
I'll stand by you...

Spoiler for video:

Hening...

Meva menatap gw sambil tersenyum. Gw juga diam menatap dia. Sampai gw lihat bahunya mulai bergetar. Meva berkaca-kaca.

"Sorry. Belum pernah ada yg nyanyiin lagu buat gw sebelum ini...." kata Meva usapi airmatanya. "Lo yg pertama Ri. Nice song...."

Gw tersenyum. Menyandarkan gitar di dinding lalu mengetuk papan catur pelan.

"Oke," kata gw. "Jadi bisa kita lanjutin maennya?"

Meva tersenyum.

"Thanks .."

Gw jawab dengan anggukan kepala. Dan sore itu kami lanjutkan main catur sampe maghrib...

Rabu malam yg gelap di bulan Mei..

Butiran-butiran air hujan mendadak turun dengan derasnya mengguyur sebagian Karawang. Beberapa pengendara sepeda motor terpaksa menepikan kendaraannya menghindari hujan, termasuk gw. Karena tanggung ada di depan mall Ramaya*a maka gw memutuskan berbelok ke tempat parkir mall dan berteduh di depan kaca-kaca besar mall yg menampilkan banyak model busana wanita di baliknya.

Balik gawe tadi gw mampir ke kosan temen di dekat stasiun Klari dan pulangnya gw pinjam motornya karena gw memang nggak punya motor sendiri. Rencananya motor akan dikembalikan besok pagi saat bertemu di kantor.

"Hufft....kenapa mesti ujan sih?" gw mendesah.

Hp gw mendadak bergetar. Sms dari Indra.

'Lu dimana? Jam segini belom balik. Tuh pacar lu nanyain mulu. Bosen gw dengernya.'

Gw tersenyum simpul. Lalu jari gw menari di atas keypad mengetikkan pesan balasan yg menjelaskan posisi gw sekarang.

Gw menatap sekeliling. Banyak juga yg berteduh di sini. Ah, daripada bored di sini gw putuskan masuk ke mall sekedar duduk di salahsatu kafe ditemani secangkir kopi hangat sambil menunggu hujannya reda. Tapi nampaknya ini bukan mall seperti kebanyakan yg lain seperti di kota gw, ini lebih tepat disebut swalayan khusus pakaian atau apalah itu namanya. Yg ada di sini kebanyakan butik dan distro. Gw nggak menemukan kafe di sini. Di lantai dua pun sama. Maka gw turun lagi dan bergegas hendak berdiri di luar seperti tadi.

Mendadak pandangan gw terpaku pada sebuah patung peraga busana yg dipajang di dalam sebuah butik khusus pakaian wanita. Ada beberapa patung di dalam, tapi satu patung berhasil membuat gw berhenti dan berdiri di depan kaca butik itu. Sebuah patung yg dipasangi busana untuk wanita kelas atas di Jepang. Gw agak lupa nama butik itu, yg jelas itu butik berlatar Jepang (namanya juga menggunakan kata di bahasa Jepang). Segala busana yg ada di dalamnya juga nampaknya khas dan berasal dari negeri sakura.

"Maaf Pak, ada yg bisa saya bantu?" seorang SPG menyapa gw ramah dan membungkukkan badan tanda penghormatan.

"Ouwh, ngg....boleh saya liat-liat ke dalem?" tanya gw.

"Silakan Pak," dia membungkukkan badan lagi.

Gw berjalan masuk melewati wanita itu dan menuju patung yg menarik perhatian gw. Gw nggak tau model pakaian yg dipakainya, yg sangat menarik minat gw adalah yg dipakai di kakinya : stoking belang hitam putih. Gw tersenyum sendiri membayangkan, pasti cocok banget kalau stoking itu dipakai Meva.

SPG yg tadi menemui gw menghampiri.

"Udah ada yg dipilih?" tanyanya masih ramah.

"Emh..apa tiap busana di sini dijual satu set? Maksudnya, nggak boleh dibeli terpisah?"

Wanita tadi melirik patung di depan gw.

"Kalo baju, harus dibeli satu set sama rok. Kecuali topi, tas, atau sepatu, boleh kok dibeli terpisah."

Gw tersenyum senang.

"Termasuk stoking ini?" gw menunjuk kedua kaki patung yg jenjang.

"Iya, boleh. Mau yg ini Pak?"

"Yupp," gw mengangguk senang.

"Mau ambil berapa?"

"Satu aja deh."

"Wah, nggak bisa kalo cuma satu. Minimal sepasang, kanan sama kiri."

"Lho, iya maksud saya satu pasang Mbak," ni SPG ngajak ribut kali ya.

"Oke, segera saya siapkan. Silakan menunggu di kasir, saya akan bawa notanya ke sana."

Dan sepuluh menit kemudian gw sudah kembali di luar, menatap rintikan hujan yg mulai mereda. Tas kecil di tangan kanan gw genggam erat. Rasanya lama sekali hujan reda. Setengah jam kemudian gw baru bisa balik.

...

Gw baru selesai mandi dan sedang menyisir rambut ketika pintu kamar terbuka lebar. Meva muncul dengan senyum yg khas.

"Kok baru balik?" tanyanya.

"Laen kali ketuk dulu sebelum masuk," kata gw ketus. "Kalo gw lagi telanjang gimana??"

Meva terkikih.

"Kan lo lagi nggak telanjang?" sahutnya dengan tampang innocent.

Gw menggerutu pelan berusaha nggak terdengar oleh Meva.

"Udah makan belum?" tanyanya lagi.

Gw menggeleng.

"Nih," Meva menunjukkan tangannya dari balik badannya. "Gw udah beli mie ayam favorit lo. Masih anget nih."

"Pas banget, gw lagi laper banget."

"Gw taro di sini yah," diletakkannya plastik hitam di atas kasur. "Lanjutin ganti bajunya deh."

"Thanks Va," sahut gw. "Eh tunggu bentar. Gw juga punya sesuatu buat lo."

"Wah apaan tuh?"

"Liat aja nanti," gw bergegas membuka lemari mencari tas kecil tempat stoking yg gw beli tadi. Nggak ada di sana. Tunggu dulu, gw lupa naroh di mana.

"Kenapa?" tanya Meva.

"Gw lupa tadi gw simpen di mana ya?" gw garuk kepala mencoba mengingat-ingat. Rasanya gw yakin sudah membawa itu ke dalam kamer gw.

Tapi di mana ya?? Gw bingung. Kalap. Jangan-jangan ketinggalan di mall! Omygosh...kok bisa sih gw ceroboh banget!!!

"Emang nyari apaan sih Ri?" tanya Meva lagi setelah gw membongkar hampir semua barang di kamar.

"Maaf Va, kayaknya gw lupa naro dimana," kata gw lemah.

Meva tersenyum.

"Enggak papa kok," katanya. "Ya udah lo makan aja dulu."

"Maaf yah?"

Meva mengangguk lalu beranjak pergi. Huh, dasar gw bego! Kan malu gw! Huaah...besok gw beli lagi deh, gw janji nggak akan lupa lagi kayak sekarang...

"ehm, maaf yah tadi gw lupa naro euy..padahal udah seiya-iya beli juga," kata gw sambil meletakkan bidak catur di petaknya.

"emang lo beli apaan sih?" tanya meva penasaran. "kayaknya serius banget?"

"eh, enggak kok....bukan sesuatu yg penting juga sih," sergah gw. "cuma khan sayang ajah udah beli tapi malah ketinggalan. bego banget yah gw?"

"haha...itu mah emang dari dulu Ri," dan meva pun tertawa kecil. dia mulai melangkahkan dua pion di depan raja dan kuda.

"yeeey nggak gitu juga kali. tapi ya udah deh biar aja, daripada ntar lo nggak suka mending nggak jadi." gw buka permainan dengan melangkahkan pion di depan kuda.

"yah itu mah elo nya aja emang nggak niat ngasih. jangan-jangan lo malah belum beli apa-apa iya khan??"

"enak aja. enggak kok gw beneran udah beli tadi."

"emang apaan sih? gw jadi penasaran nih."

"baguslah kalo penasaran."

"yeeeeeee bagus apanya?? dasar dodol lo."

"itu artinya gw manis yah? hehehe"

meva sudah melangkahkan luncur hitamnya di tepi pertahanan gw. tapi gw bisa menebak ke arah mana dia akan berjalan. gw majukan pion menutupi petak luncur sekaligus mengancamnya.

"nggak ada yg bilang begitu," dengus Meva.

gw tertawa lebar.

"ekhem ekhem," indra muncul dari kamarnya dengan seragam lengkap. dia sudah bersiap berangkat kerja. "deeeuuuuhhh yg lagi mesra-mesraan. hohoho"

"sapa yg mesra-mesraan?" tanya meva nyolot. "gw sama Ari?? beeuuh.....ogah banget gw. hahaha"

"emang lo pikir gw juga mau sama lo???" balas gw.

"ouwh, ternyata begitu yah cara kalian menunjukkan kemesraan di depan orang lain..dengan pura-pura marahan dan jual mahal gitu. hehehe"

gw perhatikan pipi meva memerah. dia malu nampaknya. hehehe...

"udah dul, kasian tuh si meva nya malu," kata gw. "udah berangkat sana."

"emmmmhhh....pengen gw cepet-cepet pergi yah?" indra memandang gw sok ngerti. "iya iya gw cabut nih. selamat menikmati malam yg dingin yaah?"

dan indra pun turun ke tangga. gw baru sadar gw kena skak.

"lho, kok bisa????" tanya gw heran. gw perhatikan lagi seisi papan. ada yg aneh, tapi gw nggak ngeuh apa yg anehnya.

"ya bisa lah...gw gitu loh." kata meva pongah.

"tunggu tunggu, kok luncur lo di petak item semua????" gw menunjuk luncurnya. "loe curang!! ketauan nih!"

meva melongo.

"eh, iya sorry gw salah ngelangkahin," dia menarik salahsatunya ke petak putih lagi.

"wah wah ternyata lo gitu ya maennya," kata gw. "pantesan lo sering menang?"

"eh, enggak gitu ya. gw beneran salah langkah kok ini. sumpah! jangan asal nuduh lo yaa?"

"ah, orang kalo ketauan boongnya pasti gini deh."

"apaan? gw beneran salah tadi mah. sebelum-sebelum ini enggak kok."

dan setelah adu argumen selama limabelas menit permainan dilanjutkan dengan gw harus lebih teliti melihat tiap langkah pion meva. selama sepuluh menit pertama gw perhatikan saksama tapi ternyata melelahkan juga.

"skak," gw memakan pion milik meva dengan menteri gw.

meva terdiam. gw tunggu, dia masih diam juga.

"wooii..." kata gw. "itu gw skak raja lo. malah melongo loe."

"eh, emh...sorry.........tiba-tiba ada yg kepikiran sama gw soalnya."

"mikir mulu cepet tua loh."

meva mencibir.

"lo ama gw tuaan lo kali??" katanya. "gw lagi mikirin tentang pion yg barusan lo makan nih."

"yaelaah timbang pion kecil juga, dipikirin banget. lo kan masih punya banyak serdadu."

meva menggeleng.

"justru itu Ri," katanya.

"..........."

"kok gw ngerasa hidup gw kayak pion ini yah?" dia mengangkat pion yg tadi gw makan.

"maksudnya?" gw nggak ngerti.

"ya kayak yg lo bilang tadi, ini cuma pion kecil..." lanjutnya. "nggak ada artinya. diremehin. nggak diterima keberadaannya sama mereka yg lebih besar dari dia. baru sadar ternyata hidup gw juga gitu Ri. nggak banyak yg mau nerima gw. gw selalu merasa kecil di depan orang lain, termasuk elo."

gw kernyitkan dahi.

"kok lo bisa ngmong gitu?" komentar gw.

"gw cuma ngomongin kenyataan kok." mendadak sorot mata meva berubah sayu. "apa hidup gw terlalu salah buat gw ya? mulai dari masa lalu gw sampe keanehan yg gw miliki. semua nggak bisa diterima gitu aja sama orang lain."

"sorry, tapi gw nggak paham yg lo omongin."

"bukan apa-apa kok. lagian juga belum saatnya lo tau tentang ini."

"oke lo bilang mereka nggak nerima lo, tapi kan lo punya gw? gw nggak pernah mempermasalahkan masa lalu kan? karna gw juga nggak tau."

"nah, itu dia. karena lo nggak tau makanya lo bisa nerima gw. lain halnya kalo lo tau, mungkin akan beda keadaannya."

gw diam, mencoba mencari pembenaran dari kalimatnya.

"emang sih...kadang sesuatu itu tampak indah kalo kita nggak tau apa di balik itu semua. tapi bukan berarti lo bisa nge judge bahwa orang akan nggak nerima lo misalnya dia tau rahasia lo. buat gw, apapun dan gimanapun masa lalu seseorang kemarin, yg gw liat adalah hari ini. karna semua akan selalu sulit kalo kita cuma nilai dari masa lalu."

giliran meva yg diam. matanya tetap sayu menatap pion yg tadi.

"gini deh Meva sayaang......" gw ambil pion yg sejak tadi dipandanginya. "pion ini, memang nggak ada artinya saat ini." gw letakkan di salahsatu petak. "tapi kalo pion ini bisa ngelewati semua ujian untuk bisa sampai di petak terakhir..." gw letakkan dia di petak paling sudut di daerah pertahanan gw. "pion nggak berharga ini bisa bermetamorfosa jadi benteng, kuda atau bahkan jadi menteri."

dan gw mengganti pion itu dengan menteri. meva masih diam.

"sama kayak hidup kita," lanjut gw lagi. "kalo kita bisa bertahan dan ngelewatin semua ujian dalam hidup, suatu saat nanti kita bisa jadi yg lebih hebat dari mereka yg selalu merendahkan kita. kita bisa jadi sesuatu yg berarti buat mereka juga, Va. lo harus tau itu...."

meva masih diam, tapi perlahan sesungging senyum merekah di bibirnya.

"dan asal lo tau Va, gw nerima lo apa adanya kok, gimanapun keadaan loe."

meva malah tertawa.

"bisa banget lo ngomongnya," kata dia. "haduh kita lagi maen catur tapi kok malah jadi ngelantur gini yah? hehehe.."

"ya elo dulu sih yg ngajakin ngelantur."

"tapi bener juga kata lo Ri," katanya lagi. "suatu hari nanti gw akan tunjukkin ke lo, gw juga bisa kayak pion itu. gw akan jadi orang besar di hidup gw!"

"hemmm....baguslah kalo lo ngerti."

"thanks Ri," dia menyodorkan tangannya. "salaman dulu deh."

"buat apa?"

"biasanya orang-orang besar kayak bos gitu kan suka salaman sama rekan bisnisnya? yah sebelum nasib gw sama kayak mereka, minimal salamannya aja dulu deh."

lalu kami berdua sama-sama tertawa. dan alih-alih main catur, akhirnya malam itu kami malah ngobrol soal masa depan kami, tentang rencana Meva setelah lulus kuliah nanti dan bagaimana nasib gw setelah habis masa magang. banyak juga yg kami bicarakan. sedikit berkhayal dan hal nggak penting juga memang, tapi seenggaknya sejak malam itu kami sadar bahwa ada hari esok yg harus kami harapkan. dan sekecil apapun harapan itu, selalu ada mimpi yg bisa mewujudkannya....

Memasuki bulan September kami jadi lebih sebuk dari biasanya. Indra baru saja naik jabatan jadi foreman di tempat kerjanya, lalu Meva yg sekarang lagi giat-giatnya ngejar ketinggalan tugas-tugas yg dulu sempat terbengkalai. Sementara gw sendiri, karena ini adalah bulan terakhir dari masa magang gw, jadi gw sibuk “mencuri” penilaian baik dari para bos gw. Tapi bukn menjilat lho. Hehehe…..

Gw cuma berharap gw akan resmi jadi karyawan tetap di perusahaan gw sekarang karena gw malas kalo mesti mengulang dari awal mencari kerja. Dan imbasnya adalah gw sekarang jadi sering pulang malam karena lembur. Otomatis dengan kesibukan dari masing-masing membuat kami jadi sedikit jarang bertemu. Gw yg dulunya tiap hari menghabiskan malam dengan duduk menghadapi papan catur, sekarang pulang di jam-jam biasanya gw sudah selesai main catur. Hampir tiap hari gw lihat kamar Meva sudah gelap, dia pasti sudah tidur. Kalau sudah begitu gw juga biasanya langsung beranjak tidur di kamar gw.

Suatu malam gw menemui Meva sedang duduk di depan kamarnya. Gw saat itu baru saja selesai lembur dan baru pulang jam setwngah delapan malam. Meva langsung berdiri menyambut gw dengan teriakan nyaringnya memanggil gw.

“Arrriiiiiiii……………” gw yakin suaranya sampai terdengar ke bawah.

“A-p-a-a-a-a-a-a-a-a-n??????” gw balas berteriak.

“Baru pulang loe??” dia berteriak lagi masih dengan volume suara yg sama.

“Apaan sih loe, kayak manggil orang di hutan ajah,”kata gw memulai dengan suara yg normal.

“Heehehehe…..enggak papa kok cuma manggil ajah,” dia cengingisan. “Kok udah balik jam segini?”

“Napa? Gak suka loe kalo gw balik?” jawab gw sambil berlalu ke dalam kamar.

“Idiiiiih……………kok ngomongnya gitu?” dia menyusul gw ke dalam kamar. Dia langsung ambrukkan diri di kasur. “Ya gw heran aja coz akhir-akhir ini kan biasanya lo baliknya malem banget.”

“Biasa aja kali,” kata gw. “Gw juga heran jam segini lo masih idup.”

Meva melempar guling ke gw.

“Gw nggak suka ngebo kayak lo,” sergahnya.

“Emang gw ngwbo yah?”

“Begitulah. Lo kalo ngebo kan udah susah banget tuh bangunnya.”

“Sekarang udah nggak lagi tau.”

“Masih. Orang kalo gw bangun pagi aja kamer lo masih nutup?”

“Itu karena gw udah berangkat, dodol.”

“Jangan manggil gw ‘dodol’ ah.”

“Emang napa?”

“Nggak suka aja.”

“Nggak sukanya kenapa?”

“Nama gw kan bukan itu??”

“Emang gw manggil lo itu? khan gw manggil lo ‘dodol’ bukan ‘itu’?”

“Aaaaarrrrrrghhhhhhhhhhhh…..ngomong sama lo kayak ngomong sama tembok, suaranya mantul.”

“Ya bagus dong…biar ada echo nya.”

Meva mencibir. Gw ambil kaos dan celana dari lemari lalu keluar.

“Mau kemana lo?” tanya Meva.

“Ke kamer lo.”

“ngapain?”

“Salin ganti baju. Masa gw mau ganti baju di depan lo??”

Meva tertawa lebar.

“Kan cuma ganti baju, bukan ganti celana??” suara Meva terdengar jauh karena gw sudah ada di kamernya. Dia lalu tertawa lagi. Gw kembali ke kamar gw setelah selesai salin.

“Udah makan lo?” tanya gw.

“Belum,” dia menggelengkan kepala.

“Sama gw juga belum. Mau makan malem bareng?”

“Woow…lo ngajak gw dinner Ri?”

Gw kernyitkan dahi.

“Iyah, gw mau ngajak lo candelight dinner di warung mie ayam. Lo mau?”

“Mau aja.” Dia mengangguk mantap.

“Lo mah dasarnya aja segala mau.”

Meva terkikih pelan. Dia berdiri.

“Ya udah sekarang berangkat.” Katanya.

“Kemana?”

“Ya makan lah. Kan lo tadi ngajakin dinner?”

“hahaha… keren banget yah dinner di warung mi ayam.”

“Buat gw, bukan di mana atau apa yg dilakukan, yg gw nilai. Tapi dengan siapa kita melakukannya.”

Gw tertawa pelan.

“Udah ah lo jago banget kalo ngeombal kayak gitu.”

“Yeeeee…..sapa yg ngegombal? Orang gw cuma ngomong biasa kok? Lo ngerasa kegombal yah? Hehehe…”

“Enggak juga tuh.”

“Eh eh, gini ajah gini ajah, gw punya ide,” katanya semangat. Gw tau kalo Meva ngomong kayak gitu pasti ide yg keluar adalah ide aneh.

“Ide apaan lagi?”

Dia tampak berpikir sebentar lalu tertawa sendiri.

“Gw punya permainan,” katanya lagi. “Yg kalah nanti harus nraktir makan malem ini.”

“Caranya?” gw kernyitkan dahi.

“Ehem….jadi gini,” dia mengetuk jidatnya dengan telunjuk tanda dia sedan mencari kalimat yg pas untuk diungkapkan. “Judulnya lomba ngerayu.”

Tuh kan pasti deh ide aneh!!

“Dari namanya aja gw udah tau pasti permainannya aneh,” komentar gw.

“emang iya aneh, kan biar lebih seru? Berani enggak lo?”

Gw mendengus pelan. Terus terang yg gw pikirkan adalah gimana caranya malem ini makan gratis.

“Gimana cara maennya?” tanya gw.

“Sesuai namanya, kita ngerayu, terus yg dirayu harus bales ngerayu lagi. Tapi yg nyambung lah.. kayak bales pantun aja gitu. Yg balesannya nggak nyambung atau GR duluan, kita anggap dia kalah. Gimana?”

“Ide lo beneran aneh. Udah deh tinggal lo siapin duit buat makan porsi dua orang.”

“Enggak mau! Kalo lo mau makan gratis, menangin dulu permainannya.”

“Hadeuuh…..iya iya deh. Gw harus gimana?” kata gw kesal.

“Lo rayu gw,” entah kenapa tapi gw merasa pandangan mata Meva seperti menantang gw.

Dengan sedikit malas gw tarik tangan Meva dan hampir memeluk dia sebelum sebuah tamparan mendarat di pipi kiri gw.

“Kok gw malah ditampar????” gw sewot.

“Ya elonya ngagetin gw! Kan gw nyuruh lo ngerayu, bukan maen tarik terus peluk gitu aja!”

“Itu kan cuma trik doang? Bukannya cewek itu suka yah kalo dipeluk?”

“Enggak! Gw nggak suka!”

“Ya udah maap kalo gitu,” gw usapi pipi gw yg sakit. “lo sensian juga ternyata.”

“Iya iya gw minta maap.” Dia menatap gw melas. “Tadi cuma reflex kok.”

“Yah respek lo bagus kalo gitu.” Rasanya rahang gw dislokasi nih.

Gw dan dia diam.

“Ya udah sok atuh sekarang lanjutin, lo ngerayu gw.”

Dan setelah gw pastikan nggak akan ada lagi tamparan di pipi gw, gw raih dan genggam kedua tangan Meva. Dia menatap gw penuh pertanyaan apa yg akan gw katakan. Ah, sial…mendadak otak gw nge blank. Entahlah tapi rasanya daah dalam tubuh gw berdesir begitu cepat saat mata kami saling beradu pandang.

“I…..love………….you………………” setelah berpikir dan nggak menemukan alternative lain untuk diucapkan akhirnya kalimat itu yg keluar dari mulut gw.

Wow! Kayaknya gw ngomong itu dari hati banget!! Eh, tapi nggak dink…. Eh, tapi iya sih! ah, tau deh!

“………………”

Meva tersenyum sebelum menjawab.

“Itulah alasan kenapa gw ada di sini,” katanya.

Ah, ini cewek pinter banget bikin gw melting!! Tapi sebisa mungkin gw menahan bibir gw yg sejak tadi pengen nyengir. Dalam hati sebenernya gw geli sendiri. Apa perlu yah ngelakuin hal bodoh macam ini??

“Jangan pergi…” lanjut gw. “Tanpa kamu, hidupku seperti malam tanpa bulan…gelap banget…”

“Kok gelap? Kan masih ada bintang?”

Duueeenggg……!!

“Eh, ng……yaa karena……karenaaa………” gw bingung jawab apa. “Karna bintang nggak pernah bisa bersinar seperti terangnya bulan. Ya, ya….karna itu.”

Semoga jawaban gw nggak malu-maluin!

Dia malah tersenyum lagi……

“Aku harus pergi Ri,” kata Meva. “Tapi aku akan kembali sebelum kamu sempat merindukan aku…”

Hemmmph………….lagi-lagi gw speechless.

“Tapi sayangnya gw nggak akan rindu sama loe Va.” Dan gw pun tertawa lebar.

Mendadak raut wajah Meva berubah. Dia langsung cemberut lalu mendorong gw ke belakang.

“Apaan tuh?? Mana ada orang ngerayu kayak gitu?!” katanya sewot. “Lo kalah!”

“Enak aja!” balas gw nggak kalah sengit. “Kan loe yg nggak bisa bales rayuan gw. Lo yg kalah!”

“Ya abisnya mana ada coba orang ngerayu malah becanda kayak gitu,” Meva tetep ngotot.

“Ya udah ya udah….buruan makan lah, gw udah kelaperan daritadi nih.” Kata gw lalu keluar kamar.

Meva menyusul gw dari belakang.

“Jadi siapa yg bayar dunk??” tanyanya.

“Udah bayar masing-masing ajah.”

“Lha terus yg tadi jadi gimana? Percuma doonk…….gw udah capek-capek ngomong juga.”

Gw tertawa pelan.

“Yaah seenggaknya sekarang gw tau sesuatu tentang loe,” jawab gw santai.

“Tau apa??” cecar Meva. dia berjalan di samping gw.

“Ya pokoknya gw tau deeh..”

“Tau apa emangnya??” kayaknya dia penasaran banget.dia mulai menggoyang-goyang tangan gw.

“Pokoknya ada aja!” gw tertawa dan segera berlari sebelum cubitannya mendarat di tangan gw...

Akhirnya kontrak magang gw berakhir dan kini gw berganti status jadi karyawan tetap. Nggak ada perbedaan mencolok memang, tapi sekarang gw mulai memikirkan untuk membangun kehidupan gw di kota ini. Keluarga di rumah menyambut kabar baik ini dengan antusias. Mereka, terutama nyokap, meminta gw pulang sekedar bertemu dan sedikit syukuran. Gw belum tau pasti bisa atau nggak nya, karna terkait jarak yg nggak memungkinkan gw mudik memanfaatkan weekend yg cuma 2 hari. Maka gw sudah memutuskan mengambil cuti pada akhir tahun nanti. Gw juga sudah kangen karena lebaran kemarin gw nggak mudik.

Dan nggak kerasa perkembangan karir masing-masing penghuni kosan atas juga berkembang pesat. Indra sudah jadi foreman muda yg potensial. Baru tiga bulan menempati posisi itu dia mulai dipertimbangkan untuk merangsek naik ke supervisor. Keren! Kadang gw pengen seperti dia yg karirnya begitu cepat naik.

Dan Meva, dia tetap jadi mahasiswi yg rajin. Sejak terakhir dia menusukkan jarum ke tangan, dia nggak pernah lagi melakukan hal-hal ekstrem. Yah minimal gw nggak pernah memergoki dia melakukannya. Entah kalau di belakang gw seperti apa. Tapi gw nggak melihat ada balutan perban di bagian tubuhnya, tanda dia nampaknya memang nggak melakukan lagi kebiasaan anehnya.

Dan satu malam menjelang penghujung Desember...

Gw sedang membenahi pakaian yg akan gw bawa untuk pulang kampung besok ketika pintu kamar terbuka dan masuklah Meva dengan senyum tipis seperti biasanya.

"Lo jadi balik besok?" tanyanya.

Gw menoleh sebentar lalu mengangguk. Gw masih berkutat dengan beberapa lembar pakaian di tangan gw.

"Ini oleh-oleh buat keluarga di rumah ya?" Meva menunjuk dua kardus kecil.

"Iya," jawab gw pendek.

Meva berjalan dan duduk di dekat gw. Dia menatap gw seperti ada yg mau dibicarakan.

"Enak ya kayaknya mudik?" kata dia.

"Emang lo ngga pernah mudik gitu Va?" tanya gw.

"Sampe sekarang sih belum."

"Ya udah atuh balik.. Indra juga mau balik katanya pas tahun baru. Lo bakal sendirian lho."

Meva tersenyum lagi.

"Gw udah biasa sendirian," katanya pelan. "Dan mungkin memang takdir gw buat selalu sendiri."

"Emh..maaf. Gw nggak bermaksud bikin lo ngerasa gitu. Gw cuma..."

"Enggak papa nyantai aja lagi. Gw bukan orang yg mudah tersinggung."

"Iya tapi lo satu-satunya orang yg mudah banget ngasih tamparan ke gw."

Dia tertawa.

"Enggak ah, baru juga sekali!"

"Oiya? Kok kalo gw liat dari hasil rekap punya pipi gw, hasilnya beda? Seenggaknya udah tiga kali gw merasakan belaian lembut tangan lo."

Meva nyengir. Dia mengusapi pipi gw tapi buru-buru gw tepis. Gw takut tiba-tiba belaiannya berubah jadi tamparan keras yg bikin gigi gw rontok.

"Emang gw se mengerikan itu ya?" katanya.

"Enggak kok gw cuma waspada aja," tandas gw yakin.

Gw sudah selesai mengepaki tas dan menaruhnya di samping tumpukan kardus oleh-oleh.

"Sip. Beres," gumam gw setelah mengecek lagi persiapan balik besok.

"Ri, berapa hari lo mudik?" tanya Meva.

"Emmh..sampe tanggal 2 bulan depan. Sekitar seminggu lah."

"Lama donk? Gw ngga ada lawan maen catur deh."

"Seminggu doank kok."

Meva menyandarkan punggung ke dinding kamar. Dia menarik nafas berat dan mengembuskannya pelan.

"Lo kenapa Va?" tanya gw. "Kayaknya malem ini mood lo jelek?"

Meva menggeleng.

"Enggak juga," jawabnya. "Gw cuma sedih."

"Sama aja dodol! Emang sedih napa? Kesepian ya ditinggal sama gw?"

Meva tertawa kecil.

"Itu cuma salahsatunya aja."

Gantian gw yg tertawa.

"Lo pasti udah jatuh cinta sama gw ya?" goda gw.

Meva nyengir lebar. Kedua pipinya bersemu merah.

"Enggak ah. Gw takut patah hati kalo jatuh cinta sama lo."

"Kenapa takut? Gw nggak bakal nolak lo kok," ujar gw. "Kalo lo jadi cewek gw, minimal tiap hari gw akan dapet makan gratis."

"Kurang ajar! Cowo matre ya lo ternyata.." dia memukul bahu gw.

Gw tertawa.

"Emang kenapa sih lo sedih?" tanya gw lagi.

"Besok malem Natal, Ri."

Gw kernyitkan dahi.

"Kenapa mesti sedih? Bukannya lo seneng ya?"

Meva menggeleng.

"Ini Natal ke tujuh yg harus gw lalui tanpa ada seorangpun di samping gw."

"Hah? Kok bisa gitu??"

"Terlalu rumit buat gw ceritakan."

"Oke, lo nggak perlu cerita sekarang. Tapi gw akan dengan senang hati denger cerita lo nanti. Kapanpun lo mau cerita."

Meva tersenyum untuk kesekian kalinya.

"Thanks Ri."

Gw mengangguk.

"No problem."

Gw menggeliat malas lalu rebahkan badan di kasur.

"Va," panggil gw. "Boleh gw minta sesuatu?"

"Iya?"

Gw menepuk kasur di sebelah gw.

"Malem ini lo tidur di sini ya?" kata gw. "Temenin gw malem ini."

Sejenak Meva diam.

"Lo nggak ada niat buruk ke gw kan?" tanyanya ragu.

"Lo boleh nolak kalo memang nggak mau."

Meva tersenyum lebar.

"Lo pasti udah tau jawaban gw," katanya.

"Lo mau kan?"

Meva tersenyum lagi.

"Lo emang ngerti banget gw Ri."

"Jadi?"

"Gw E-N-G-G-A-K M-A-U!!"

Dia mencibir lalu bergegas keluar dan membanting pintu meninggalkan gw sendirian di dalam kamar.

Gw langkahkan kaki menaiki tangga dengan malas. Hari ini kecewa banget gw gagal mudik gara-gara jadwal penerbangan di delay sampe besok siang jam 10 karena ada trouble di mesin. Maskapai yg bersangkutan memang mengembalikan ongkos tiket sebagai bentuk tanggungjawab dan artinya besok gw bisa pulang gratis, tapi tetep aja gw kecewa karna gw pikir malam ini gw udah bisa kumpul bareng orangtua di rumah.

Saat itu sudah hampir jam duabelas malam. Beberapa penghuni lantai 1 dan 2 masih asyik ngobrol di luar kamar dan memutar lagu-lagu ballade. Sementara di lantai 3, karena penghuninya memang lebih sedikit, sudah tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Pintu kamar Indra terkunci. Sepertinya dia lagi keluar.

Gw raih gagang pintu kamar gw. Terkunci. Gw rogoh kantong celana, tadi pagi gw yakin gw taroh di situ. Tapi nggak ada! Gw cek lagi di kantong kemeja dan dompet, tetep nggak ada!

"Jangan-jangan..." otak gw mulai menerka dan mengingat dengan keras. "Di dalam tas. Kuncinya ada di tas, gw inget sekarang. Tapi tasnya kan udah masuk bagasi??"

O my god! Kok gw bisa se teledor itu ya? Malem ini gw tidur dimana? Hp gw low battery dan charger gw juga ada di dalam tas...

Lalu gw inget Meva. Masa sih dalam keadaan darurat gini dia ngga mau nolong gw? Maka gw berjalan menuju kamarnya. Pintunya sedikit terbuka, memberi celah pada cahaya kuning dari dalam untuk terbersit keluar. Tadinya gw pikir cahaya kuning itu dari bohlam tua di kamar itu, tapi ternyata itu adalah nyala lilin.

Gw buka sedikit pintunya untuk gw melihat kedaan di dalam. Tiga buah lilin menyala dipasang berderet di atas lemari kayu kecil yg merapat ke dinding. Di atasnya, terpaku sebuah kalung yg sudah gw kenal. Kalung salib polos yg biasa dipakai Meva, saat itu digantung di dinding. Sementara Meva sendiri berdiri berlutut sambil mengatupkan jemari tangannya menghadap kalung itu. Dan nggak butuh waktu lama buat gw sadar bahwa ini seharusnya adalah malam yg spesial untuknya.

Ini malam Natal...

Meva sedang memanjatkan beberapa kalimat pengharapan. Api lilin di atasnya sedikit bergoyang tertiup angin yg menerobos masuk lewat celah pintu yg terbuka. Ditambah sayup-sayup instrument Kenny G dari bawah, membuat malam yg hening itu terasa hangat. Gw nggak terlalu memperhatikan doa apa yg sedang diucapkan Meva. Tapi Meva mengucapkan kalimat demi kalimat itu dengan sangat tulus. Gw bisa merasakannya.

Dan tentu sangat nggak etis kalau gw mengganggunya. Maka gw putuskan menutup pintu dan menunggu di luar sampai dia selesai. Baru saja gw hendak menutup pintu ketika sebuah kalimat yg diucapkan Meva menarik perhatian gw.

"Tuhan..." ucapnya. "Seandainya Engkau mengasihiku, dan aku percaya itu, kirimkan malaikat dari langitMu untuk menemaniku malam ini..."

Gw terdiam. Ternyata Meva benar-benar merasa kesepian. Selama ini gw nggak pernah tahu apa yg terjadi antara dia dan keluarganya, karena gw yakin seorang anak akan benar-benar merasa sepi kalau hubungan dia dengan orangtuanya nggak harmonis. Atau karena orangtuanya sudah meninggal? Tapi gw lebih prefer dengan kemungkinan pertama, karena Meva pernah cerita waktu dia dapet kiriman uang dari nyokapnya.

Akhirnya gw biarkan pintu itu tetap menyisakan celah terbuka. Dan gw duduk menunggu di depan pintu. Gw masih terenyuh dengan kalimat Meva tadi. Gw bisa merasakan kesedihan yg mendalam di tiap kalimat yg diucapkannya. Ah, ternyata gw belum cukup mengenal Meva untuk tahu lebih dalam yg terjadi padanya.

Dan setelah lama menunggu, akhirnya terdengar derit pintu yg ditarik terbuka.

"Ari?" panggil Meva.

Bergegas gw berdiri dan balikkan badan menghadapnya.

"Hay Va," gw tersenyum lebar.

"Kok loe masih di sini?" tanyanya.

Lalu gw ceritakan tentang penerbangan yg delay sampe besok.

"Eh iya, gw lupa kunci kamer gw ada di dalem tas yg udah masuk bagasi," lanjut gw. "Jadi malem ini gw mau numpang di kamer lo, kalo boleh?"

Meva tampak berpikir.

"Pagi-pagi gw pergi kok, karena pesawatnya terbang jam sepuluh. Gw udah harus ada di sana jam sembilan biar aman."

Meva tersenyum.

"Kamer gw selalu terbuka buat elo kok," ucapnya.

"Makasih Va, lo malaikat penolong gw malem ini," kata gw girang.

Meva menggelengkan kepala.

"Enggak Ri. Justru loe lah malaikat itu. Malaikat yg dikirim Tuhan buat nemenin gw..."

Kami berdua tertawa. Lalu kami duduk-duduk di kamarnya ngobrol ringan sampai lewat larut malam dan pada akhirnya, ini untuk kedua kalinya gw dan Meva berada bersebelahan melewati malam yg dingin. Dan jujur, samasekali nggak terlintas di otak gw untuk memanfaatkan situasi ini demi gejolak yg kadang muncul dalam diri gw.

Terlalu jahat buat gw, bahkan untuk sekedar menyentuh pipinya yg merona. Gw biarkan ini apa adanya. Saat mata gw terpejam, sayup-sayup gw mendengar sebuah suara berbisik di telinga gw.

"Thanks ya Ri.. Ini malem Natal terindah buat gw...."

Entah ini fantasi gw atau bukan, tapi seperti ada yg mencium kening gw. Hangat dan basah...

Lalu sunyi...

Dan akhirnya ini membuat gw tetap terjaga sampai pagi.........

Gw sudah berkali-kali ganti posisi tidur. Telungkup, telentang, dan miring ke kiri. Gw nggak berani miring ke kanan coz Meva ada di situ, entah kenapa gw yakin dia belum tidur. Gw bisa merasakan tatapannya meski mata gw terpejam. Ciumannya di kening gw tadi ternyata berefek menghilangkan kantuk yg sempat menyergap.

Dan entah sudah berapa lama saat gw benar-benar terbangun dan duduk di tepi kasur. Sepertinya sudah jam 3 pagi. Di luar hujan sudah mulai turun membuat malam semakin dingin.

"Lo belum tidur Ri?" suara Meva terdengar lembut.

Gw menoleh ke arahnya. Dia menopang kepala dengan satu tangan. Shit! Posenya...

"Engga tau nih mendadak panas," gw sekenanya.

"Kok bisa? Ini kan lagi ujan? Gw malah kedinginan."

"Emh..iya juga sih. Sekarang dingin," jawab gw dengan bodohnya.

"Lo aneh Ri." Meva bangun dan duduk di sebelah gw. "Mau gw bikinin teh anget?"

Gw menggeleng.

"Enggak usah repot-repot deh," kata gw. "Gulanya jangan banyak-banyak ya."

"Yeeey...kirain nggak mau," cibir Meva. "Ya udah gw nyalain dulu dispensernya."

Lalu Meva pun beranjak menyalakan dispenser, menyiapkan gelas kecil, menuangkan beberapa sendok gula ke dalam gelas dan menaruh selembar teh celup di sampingnya.

"Ini kamer kenapa sih gelap gini? Lampunya mati apa emang sengaja pake lilin?" tanya gw.

"Sejak kemaren lampunya mati. Gw belum sempet beli. Lagian biar lebih ngena aja kesan Natal nya."

Gw tersenyum.

"Lo selalu sendiri ya kalo malem Natal?" gw beranikan diri bertanya.

"Yah seenggaknya setelah gw dateng ke Indo."

"Oh...emang lo bukan asli sini ya?"

"Enggak juga. Nyokap gw asli Padang kok. Cuma gw waktu kecil emang sempet tinggal di desa kecil di pinggiran Hampshire selama sekitar 10 tahun."

"Hampshire? Inggris maksudnya?"

Meva mengangguk.

"Iya. Dulu nyokap gw kuliah di London dan akhirnya married sama salahsatu penduduk sana yg akhirnya jadi bokap gw. Setelah balik ke sini gw tinggal sama nenek di Jakarta."

Gw mengangguk.

"Terus? Nyokap lo kemana?"

Meva terdiam dan melamun. Seperti ada sesuatu yg tertahan dalam dirinya. Sesuatu yg enggan dia utarakan. Gw mengerti itu, dan gw mulai memikirkan pengalih pembicaraan.

"Va, itu airnya udah panas kayaknya," gw menunjuk lampu kecil warna hijau yg menyala pada dispenser.

"Oh..sorry," dia segera mencabut kabel dispenser dan menuangkan air ke dalam gelas lalu mengaduknya.

"Sorry Va..gw ngga ada maksud ngingetin lo ke kenangan yg nggak mau lo inget," kata gw saat menerima gelas dari Meva.

"Enggak kok. Gw nggak ngerasa gitu.." gw tau dia berusaha menutupi perasaannya, tapi gw masih bisa ngebaca itu dari raut wajahnya.

"Emh..lo nggak bikin teh juga?"

"Enggak ah, lagi nggak begitu pengen. Minta aja ya dari lo?"

"Boleh. Nih?"

"Nanti aja kalo udah ademan."

Gw aduk-aduk lagi teh panas di gelas biar cepet hangat.

"Taun ini kita sama Va, lebaran kemaren aja gw nggak sempet balik kumpul sama keluarga. Malah elo kan yg nemenin gw? Kita malah maen catur seharian, lo inget?"

Meva tertawa kecil.

"Iya gw inget. Berarti sekarang kita gantian ya?"

Gw mengangguk. Mencoba meminum teh tapi ternyata masih panas. Gw berjengit.

"Panas ya? Sini gw tiupin," Meva mengambil gelas lalu mengaduk dan meniupnya pelan.

"Eh, lilinnya pada mati tuh. Tinggal satu yg nyala," kata gw menunjuk lilin di atas lemari. Nampaknya lilin terakhir juga hampir padam. Cahayanya bergoyang-goyang tertiup angin. "Pantesan daritadi gelap banget."

Meva tersenyum lagi. Aneh banget, nih cewek demen banget senyum ke gw!!

"Dua lilin yg padam itu adalah lilin cinta dan perdamaian," katanya. "Rasanya dua lilin itu udah nggak sanggup lagi memberi terang di hidup gw."

Gw kernyitkan dahi.

"Kan masih ada satu lagi?" kata gw.

"Ya," jawab Meva. "Dengan lilin itu gw masih punya kesempatan menyalakan kembali dua lilin yg sudah mati. Lilin terakhir itu adalah lilin harapan. Gw ingin sekali punya harapan di hidup gw, sekecil apapun itu."

Gw diam sejenak.

"Lo pasti bisa Va. Gw yakin lo mampu berubah dari pion kecil jadi menteri, suatu hari nanti."

"Hmm..." dia tersenyum. "Lo bener-bener seperti lilin terakhir itu Ri. Lo selalu bisa ngasih gw harapan, yg bahkan gw sendiri nggak yakin gw punya itu."

"Semua orang punya harapan kok, termasuk lo Va. Semangat yah! Cepet lulus kuliah terus penuhi semua mimpi lo selama ini!"

Dia menatap gw penuh harap.

"Gw pasti bisa. Lo percaya gw kan Ri?" tanyanya.

Gw mengangguk mantap.

"Gw selalu percaya lo." Gw meyakinkannya.

"Thanks Ri."

Meva menyerahkan gelas teh ke gw. Sekarang teh nya sudah hangat.

"By the way nanti pagi lo berangkat jam berapa?" tanya Meva.

"Jam enam kayaknya. Pesawatnya take off jam sepuluh."

"Ya udah buruan tidur, ntar kesiangan lho. Udah mau jam empat, masih ada waktu buat tidur."

Gw mengangguk.

"Gw duluan tidur yah?" Meva beranjak ke kasur dan segera bersembunyi di balik selimut.

Gw cuma bisa menatapnya dari luar. Ah, Meva...

Asal lo tau, gw bukan cuma percaya sama lo. Lebih dari yg gw ungkapkan, gw selalu yakin lo adalah lilin harapan buat gw.

Gimanapun cara yg udah gw lakukan, gw tetep nggak bisa tidur. Guling-gulingan, nutupin mata pake bantal, dan banyak cara lagi yg gw lakukan tapi mata gw enggan terlelap. Dan HP gw sudah nyaris benar-benar mokad ketika gw lihat jam nya menunjukkan pukul setengah lima pagi.

Gw putuskan mandi, menyeduh teh anget manis lalu duduk di tembok balkon sambil menunggu waktu berangkat. Meva akan gw bangunkan beberapa saat sebelum gw pergi, karena gw nggak mau ganggu tidurnya. Dia nampak nyenyak dalam kamar yg masih berpencahayaan satu lilin.

Emh, pagi ini gw akan melakukan perjalanan balik ke kampung halaman. Ini pertama kalinya gw mudik, karna sebelum ini gw memang nggak pernah merantau. Ternyata menyenangkan sekali bisa berada di momen menunggu kepulangan seperti ini. Gw juga kangen banget dengan keluarga di rumah. Kedua orangtua gw dan adik gw, rasanya pengen buru-buru ketemu mereka. Mata yg pedih dan kepala yg nggak karuan rasa gara-gara insomnia semalam seolah bisa tertutupi oleh kebahagiaan ini.

"Lo udah bangun Ri?" suara Meva menyadarkan gw dari lamunan tentang keadaan kampung halaman gw setelah gw tinggal satu tahun.

Meva sedang mengucek-ngucek mata di depan pintu kamarnya.

"Gw memang nggak sempet tidur Va," kata gw.

"Kenapa?" dia berjalan menghampiri gw.

Ah, bahkan dalam keadaan kusut baru bangun tidur seperti ini pun Meva tampak anggun.

"Gw nggak ngantuk aja Va. Tapi nanti bisa tidur kok di bus ama di pesawat."

Meva diam. Pandangan matanya masih sayu.

"Emh..lo beneran bakal balik hari ini?" tanyanya tanpa menatap gw. Kedua matanya menatap kosong hamparan sawah di depan. Entah kenapa waktu berjalan lambat pagi ini.

"Kan emang udah jadwalnya gitu? Jam enam nanti, gw udah harus di terminal."

"Jadi loe akan ninggalin gw hari ini??" Meva menolehkan kepalanya perlahan, dan kini memandang gw penuh harap.

"Kok ngomong gitu? Gw cuma beberapa hari doank kok. Tahun baru juga udah ada di sini lagi."

"Tetep aja artinya lo ninggalin gw.."

"Enggak Va...gw nggak ninggalin lo.."

"Lo ninggalin gw!!!" Meva setengah berteriak mengatakannya. Suaranya melengking dan parau. "Lo jahat!! Lo ninggalin gw!!!"

Lalu dia mulai memukul-mukul tubuh gw dengan kedua tangannya. Gw sadar saat itu dia lagi nggak becanda. Gelas teh yg tersenggol gerakan tangannya jatuh dan pecah berkeping-keping tiga lantai di bawah. Sambil meneriakkan kalimat yg tadi Meva terus memukul gw dengan brutal. Nggak begitu besar memang power nya, tapi gw yakin kalau gw lengah gw bisa bernasib sama dengan gelas tadi.

Gw langsung melompat dan menjejakkan kaki di atas keramik kuning sambil berusaha menepis kedua tangan Meva yg bergerak memburu. Gw panik dan bingung dengan perubahan sikapnya yg tiba-tiba ini.

"Lo ninggalin gw!!" begitu teriaknya berulang-ulang diselingi isak tangis yg memilukan.

"Denger gw dulu Vaa..." masih berusaha menghalau tanpa menyerang balik.

"Apa yg harus gw dengerin!!! Lo jahat Ri!! Lo jahat!!!!"

Sebuah pukulan mendarat telak di wajah gw. Gw nggak menghindar. Yg gw lakukan adalah mencari celah saat kedua tangannya berayun dan saat itulah gw bergerak memeluknya. Ini salah satu cara untuk menghilangkan kesempatannya memukul gw karena jarak pukul yg lenyap. Kedua tangannya cuma bisa memukul punggung gw pelan.

"Gw nggak kemana-mana Va..." bisik gw di telinganya. "Gw ada di sini buat elo. Gw tetep di sini. Okay?"

Pukulan di punggung gw makin melemah hingga akhirnya benar-benar berhenti.

"Dengerin gw, gw nggak akan ninggalin lo. Gw tetep di sini," gw memberikan sugesti yg meyakinkannya.

Meva sudah berhenti berteriak. Kini berganti dengan suara isakannya yg dalam. Gw bisa merasakan airmatanya membasahi bahu kiri gw. Masih sedikit bergerak memberontak, gw memeluknya makin erat.

"Lo tenang aja, gw akan nemenin lo......" gw seperti seorang ayah yg menenangkan anaknya yg menangis minta jajan.

Meva makin jadi menangis. Kedua bahunya bergetar mengguncang tubuh gw. Suara isak nya menelisik ke dalam telinga gw.

"Gw nggak kemana-mana Va..." gw usapi punggungnya sambil gw belai rambutnya yg panjang.

Selama beberapa saat itu terus terjadi. Meva belum mau bicara. Dia masih larut dalam tangisnya. Mau nggak mau gw juga terenyuh. Gw memang belum terlalu hebat buat benar-benar merasakan kesedihannya, tapi minimal gw tau apa yg dirasakannya saat ini. Gw mengerti kenapa reaksinya tadi begitu frontal.

"Maafin gw R..i...i......." ucap Meva tertahan. Entah sudah berapa lama dia menangis.

"Enggak papa," jawab gw. "Harusnya gw yg minta maaf. Gw nggak akan kemana-mana. Gw janji hari ini gw akan nemenin Natal loe. Boleh?"

Meva menganggukkan kepala.

"Boleh banget," katanya masih diiringi tangisan yg dalam.

"Udah..jangan nangis lagi yaa....kan gw ada di sini? Hari ini akan jadi Natal istimewa buat loe....."

"Makasih Ri......."

"...................."

Meva merangkulkan kedua tangannya di punggung gw. Masih sedikit terisak, dia menyandarkan kepalanya di leher gw. Kami terdiam dalam pelukan.

Hemmmpph..ini momen Natal yg nggak akan gw lupakan....

"Gimana Ri, udah beres?" tanya Meva begitu gw selesai menelepon.

"Udah. Mereka akhirnya setuju gw ambil penerbangan besok," kata gw duduk di sebelahnya.

"Nah, barang-barang lo gimana? Kan udah masuk bagasi?"

"Nggak papa. Barang gw ikut sama pesawat yg terbang sekarang. Ntar besok gw ambil langsung begitu sampe di bandara."

Meva menatap gw simpati.

"Maaf ya gara-gara gw..."

"Ssst..udah ngga usah dibahas. Emang gw nya yg mau kok. Lagipula skali-kali nemenin lo di hari spesial lo boleh lah. Tapi sorry yah gw cuma bisa hari ini aja, gw udah janji sama keluarga di rumah soalnya."

Meva nyengir senang.

"Enggak papa kok, itu udah lebih dari cukup. Udah enam tahun ini gw selalu merasa tiap Natal cuma jadi hari biasa yg akan berlalu seperti biasanya. Tapi hari ini jadi hari istimewa lagi..." dia menatap gw malu. "Emh, bukan Natal nya yg bikin istimewa. Tapi loe yg bikin 'hari biasa' ini jadi istimewa."

Gw tertawa pelan.

"Ya udah sekarang lo siap-siap gieh," kata gw.

"Oke," tangan kanan Meva diangkat membentuk gesture hormat pada upacara bendera lalu bergegas masuk kamar.

Kelihatannya dia gembira sekali. Sore ini gw setuju untuk menemani Meva ke salahsatu gereja di Peseurjaya, kalo ngga salah. Dia akan mengikuti apa ya namanya...misa Natal? CMIIW Dan dia sedang bersiap-siap untuk itu.

Huft..gw gagal mudik lagi hari ini. Entah kadang gw ngga habis pikir, kok gw mau ya menukar waktu gw ketemu keluarga dengan nemenin cewe berkaos kaki hitam itu? Ah, udahlah. Gw yakin Meva akan melakukan sesuatu yg bodoh kalo hari ini tetap dilaluinya seperti tahun-tahun yg lalu. Seenggaknya gw sudah mencegah hal itu terjadi.

Sepuluh menit kemudian Meva sudah selesai dan kami pun berangkat menuju tempat yg disepakati. Sampai di sana Meva masuk sementara gw cukup duduk menunggu di warung kecil seberang gereja. Sambil ngemil gw sms an sama Indra. Dari sms nya gw tau ternyata Indra lagi asyik menghabiskan libur pendek ini bareng ceweknya di Dufan.

Cukup lama gw menunggu. Meva baru muncul ketika matahari sudah benar-benar lenyap dan hari berganti malam. Waktu itu sekitar jam tujuh.

"Maaf ya..lama nunggunya.." kata Meva.

"No problem. Gw seneng kok bisa nemenin lo."

Meva tersenyum lebar.

"Lo baik banget Ri," ucapnya.

"Oiya? Wah kalo gitu gw nemenin lo terus deh biar dibilang baik. Hehehe.."

Suara tawa Meva yg renyah merayap masuk ke telinga gw.

"Balik sekarang?" tanya gw.

Meva berpikir sebentar.

"Gimana kalo jalan-jalan aja dulu?" usulnya.

"Kemana?"

"Ke tempat yg waktu itu...Karang Pawitan. Gimana?"

"Boleh juga.." Yah gw pikir boleh lah untuk sedikit merefresh pikiran. Sebenernya gw ngantuk banget, tadi siang juga cuma bisa tidur dua jam. Entah kenapa hari ini insomnia akrab banget sama gw.

Dan dengan mata yg nyaris redup gw dan Meva sampai di alun-alun Karang Pawitan. Duduk di salahsatu bangku semen di bawah beringin besar, dari sini terlihat keramaian para pengunjung. Kebanyakan mereka sama seperti gw dan Meva, duduk-duduk ngobrol menikmati malam yg cerah sambil ngemil atau melihat koleksi binatang di kandang yg jumlahnya nggak mencapai angka sepuluh.

"Nih," Meva menyodorkan kaleng minuman bersoda buat gw.

Lumayan lah minuman ini bikin mata gw sedikit terbuka. Seenggaknya buat sepuluh menit pertama, gw masih bisa melihat sekitar gw dengan jelas. Selanjutnya gw kembali bertarung melawan kantuk yg menyergap.

"Lo ngantuk Ri? Gw ajak ngobrol diem aja," suara Meva mengejutkan gw.

"Eh, ng... Enggak kok. Di sini adem soalnya, jadi kebawa suasana. Pengennya tidur aja."

"Kalo pengen tidur ya udah kita balik aja yukk?"

"Bentar deh, kita di sini aja dulu. Baru dateng masa langsung pergi?" Bukan apa-apa, gw merasa bahkan buat jalan pun gw udah sempoyongan.

"Lo laper nggak? Kita makan yukk? Gw yg traktir deh."

"Makasih, tapi gw belum laperr... Mending beli minuman kayak tadi lagi deh," kata gw dengan mata setengah terpejam. Mana bisa gw makan sambil mimpi?? Ah, kalo bisa...gw pengen tidur sekarang juga...

Meva sudah kembali abis beli dua minuman kaleng. Langsung gw tenggak habis. Sensasi asamnya berhasil sedikit membuka lagi mata gw.

Gw liat Meva lagi asyik memandang langit.

"Lagi liatin apaan lo Va?" tanya gw. Sial, minuman tadi cuma bereaksi satu menit.

"Bintang," jawabnya singkat.

"Bukannya itu matahari ya?"

"Haha.. Lo lucu deh, ngelawak aja. Jelas-jelas ini malem, nggak mungkin ada matahari."

Gw bukan ngelawak, tadi tuh salah ngomong. Saking ngantuknya..

"Va, gw boleh tiduran nggak?" akhirnya gw nyerah.

"Lo ngantuk? Ya udh tiduran aja, sini.." dia dengan halusnya menyandarkan kepala gw di pahanya.

Ah, akhirnya tiduran jg gw! Kayaknya udah berjam-jam tadi berdiri. Meva mengusap-usap rambut gw pelan sambil bicara, entah apa yg dibicarakan, gw nggak denger gara-gara ngantuk.

Satu yg pasti, gw sangat menikmati momen ini... Ah, seandainya ini terjadi tiap hari.....hehehe, maunya

Dan entah sudah berapa lama sampai akhirnya gw bener-bener menyerah dan akhirnya tertidur di pangkuannya...

Malam itu gw terbangun setelah hampir dua jam terlelap di pangkuan Meva. Kami memutuskan pulang dan sampai di kosan sekitar jam sebelas malam.

"Nah ini dia anaknya," seorang teman penghuni kamar bawah menyambut kedatangan gw. "Charger gw mana? Hp gw udah berisik daritadi minta diisi batere nya."

"Oh iya gw lupa kembaliin," gw menepuk jidat. "Lo tunggu aja di sini. Gw ambil dulu di atas."

Temen gw mengangguk lalu kembali ke kamarnya. Gw dan Meva melanjutkan ke kamar atas, lalu gw turun mengembalikan charger punya temen gw dan kembali lagi ke kamar Meva.

"Sorry ya Va, gw nginep lagi di kamer lo malem ini," kata gw.

"Enggak papa nyantai aja lah," Meva sedang menulis sesuatu di sebuah buku kecil warna kuning. Padahal kamar ini cukup gelap buat nulis, karna masih mengandalkan lilin sebagai pencahayaan.

"Lagi nulis apa sih?"

Meva menghentikan sejenak aktivitasnya, menatap gw lalu tersenyum.

"Ini diary gw," katanya kemudian melanjutkan menulis.

"Ooh.." gw cuma mengangguk sebagai tanda mengerti.

Gw nggak pernah tertarik membaca diary, apalagi menulis kejadian di hidup gw di dalamnya. Yg cocok kayak gitu emang cewek. Karena gw malu aja sama diri gw sendiri kalo suatu hari gw baca lagi riwayat hidup gw, rasanya gimana gitu.

"Apa yg lo tulis?" tiba-tiba saja pertanyaan itu meluncur dari mulut gw.

Meva diam sebentar.

"Tentang hari ini pastinya," jawab Meva dengan ekspresi bahagia. Belum pernah gw melihat ekspresi kegembiraan yg seperti ini darinya. "Ini akan jadi Natal terbaik di hidup gw."

"Oiya? Meskipun tanpa kado? Maaf, biasanya kan kalian bertukar kado kalo Natal? Yah, seenggaknya itu yg gw liat di film-film.."

"Emang mau tukeran kado sama siapa?" Meva balik tanya.

Ah, iya. Pertanyaan jenius tuh! Gw nyengir malu dengan pertanyaan bodoh gw tadi.

"Buat gw, Natal nggak mesti diliat dari sebanyak apa kado yg gw dapet. Lagian itu mah kebiasaan waktu kecil," Meva tertawa sendiri, mengingat masa kecilnya mungkin. "Yg penting buat gw adalah gimana gw memaknai hari ini, sebagai hari yg istimewa. Dan setelah bertahun-tahun, akhirnya gw nemuin feel itu. Hari ini, gw bisa ngerasain hangatnya kebersamaan Natal. Kan emang itu makna sebenernya dari Natal? Supaya orang-orang bisa saling mengasihi dan mengorbankan sebagian yg dipunyai demi orang lain yg membutuhkan. Seperti yg udah ditunjukkan Messiah kami.."

Meva seperti tersentak kaget. Lalu buru-buru mengklarifikasi.

"Maaf, maaf...gw ngga ada maksud apa-apa. Semoga lo nggak tersinggung sama yg gw omongin barusan," wajahnya merona merah, terlihat jelas tertimpa cahaya lilin yg malam ini nggak bergerak sedikitpun.

"Enggak papa kok, apa salahnya ngomong kayak tadi?" gw tersenyum.

Meva menarik napas lega.

"Ngomong-ngomong, kok kalender loe banyak coretannya sih?" gw menunjuk kalender meja yg tergeletak di sisi kasur. Kalender yg banyak bulatan-bulatan hitam di angka tanggalnya, dan beberapa coretan di bawah tiap kolom bulan.

"Oh itu... Gw emang biasa nentuin cita-cita gw di kalender."

Gw kernyitkan dahi.

"Maksudnya gini loh," Meva menjelaskan. "Tiap planning yg gw punya, gw tulis di kalender. Misalnya gw pengen beli sepatu baru, gw tentuin deh tanggal berapa gw harus udah punya sepatu itu. Jadi, mulai hari ini gw sisihkan duit gw biar pas tanggalnya nanti bisa kebeli tuh sepatu."

Gw mendengarkan penuh minat.

"Gitu juga sama kuliah gw," lanjutnya. "Gw tentuin tanggal berapa gw udah harus selesaikan tugas-tugas gw. Bahkan gw udah nentuin cita-cita gw tiga tahun ke depan. Liat nih."

Meva membuka diary nya dan menunjukkan halaman bertuliskan "Agustus 2004 - Wisuda".

"Pokoknya gw nggak mau kalo mesti ngulang taun terakhir gw kuliah," ucapnya semangat. Lalu dia membalik semua halaman di buku dan menunjukkan halaman terakhir. Di sana ada deretan angka yg ditulis dg ukuran besar, "2005". Dan di bawahnya ada satu kata, yg ditulis lebih kecil dari angka di atasnya.

"Menteri?" gw membaca kata itu penuh tanya.

"Iya, Menteri!" jawabnya masih semangat. "Masih inget kan soal pion catur yg bertransformasi jadi Menteri, yg pernah lo bilang ke gw?"

Gw mengiyakan.

"Gw udah tentuin, tahun pertama gw lulus kuliah, gw udah harus jadi 'Menteri'. Gw ngga mau selamanya jadi pion yg selalu diremehkan. Gw yakin gw bisa!" Meva tersenyum senang.

Wouw...gw nggak nyangka Meva akan bener-bener menerapkan yg gw ucapkan waktu itu soal pion catur.

"Menurut gw," kata Meva lagi sementara gw tetap jadi pendengar yg baik. "Cita-cita adalah impian yg bertanggal. Gw tinggal nyusun urutan langkah buat mencapai tanggal itu. Jadi, semakin gw menunda, semakin tanggal itu terdorong menjauh. Dan semakin gw malas, semakin cita-cita itu jadi nggak berarti. Gw nggak mau itu terjadi sama gw. Gw akan buktikan gw bisa ngejer deadline cita-cita yg udah gw tentuin sendiri."

Meva tersenyum puas dengan penjelasannya itu. Gw bisa melihat semangat yg berkobar dalam dirinya.

Malam ini lo udah melangkah satu petak ke depan Va. Masih ada beberapa petak lagi. Dan gw slalu yakin lo pasti bisa ke sana!

Semangat kerja yg meninggi di awal-awal pengangkatan gw jadi karyawan berimbas pada menurunnya daya tahan tubuh gw. Berbulan-bulan hampir selalu pulang malam karena lembur, akhirnya gw mulai jatuh sakit di awal Februari 2002. Tiap minggu nyaris selalu ada absensi gw yg kosong gara-gara sakit.

Demam, pusing, lemas dan gejala sakit lainnya. Bukan sakit yg parah memang, tapi gw suka kesel sendiri tiap mual menyerang. Tiap detik rasanya pengen muntah. Untunglah Indra kenal dekat dengan dr. Yusuf, dokter yg dulu memeriksa Meva di awal perjumpaan kami. Beberapa kali dokter muda itu menyambangi kosan gw karena gw nggak sanggup keluar saking lemesnya. Hasilnya lumayan baik. Gw bisa menambal absensi gw meski kadang-kadang juga gw paksakan berangkat meski dengan wajah pucat dan badan lemas. Alhasil gw cuma 'numpang' tidur di klinik kantor.

"Gimana keadaan lo? Udah baikan?" Indra yg baru balik kerja masuk ke kamer gw.

"Yah udah rada mendingan lah," gw membuka selimut yg menutupi tubuh gw. Rasanya kamer gw mulai berubah panas.

"Nih gw beliin bubur buat lo. Makan dulu gieh." Indra menaruh bungkusan plastik di samping gw.

"Thanks dul.."

"Eitts, pala gw sekarang ada rambutnya. Mau gw panjangin nih. Jadi jangan panggil gw dal-dul lagi," protesnya.

Gw nyengir.

"Lidah gw udah nempel nama itu, nggak bisa diubah," kata gw.

"Ah elu mah gitu. Ya udah gw mandi dulu yah. Cepet sembuh deh lo."

"Okay."

Lalu Indra kembali ke kamarnya. Gw bangkit duduk, dan mendadak kepala gw terasa berputar-putar selama beberapa detik. Susah payah akhirnya gw bisa menyantap bubur ayam dari Indra. Rasanya aneh memang (lidah gw mati rasa) tapi gw paksakan menghabiskan semangkuk bubur itu, karena memang cuma itu yg bisa gw makan.

"Hay Ri, gimana kabar lo?" Meva muncul di depan pintu. Masih dengan tas punggungnya tanda dia baru balik dari kampus.

"Kayak yg dua tahun nggak ketemu aja," jawab gw.

"Kan elo lagi sakit? Wajar lah gw tanya gitu," Meva menaruh tas nya di kasur dan duduk di lantai.

"Nah itu udah tau gw sakit? Ngapain nanya?"

"Ah, elo!! Perhatian dikit nggak boleh ya?" Meva ngambek.

"Nggak boleh." kata gw lagi. "Ngapain perhatiannya dikit? Yg banyak kek."

Meva mencibir.

"Ini nih, ngapain sih tas lo ditaroh di sini? Gw nggak bisa tidur nih." Gw melempar tasnya ke lantai.

"Yeeee kasar amat lo?" Meva langsung mengambil tasnya.

Gw rebahan di kasur. Ah, rasanya nyaman sekali. Tapi entah kenapa kamar ini seperti menyempit.

"Lo udah minum obat?" tanya Meva.

"Udah."

"Makan?"

"Udah."

"Mandi?"

"Mana bisa gw mandi?" gw mendelik. "Lo mau mandiin gw?"

"Yeeey malah ngarep! Ogah gw."

"Hehehe.. Masih panas badan gw, belum kuat mandi."

"Pake air anget lah?"

"Hadeuh...air anget dari mana? Kompor aja ngga ada."

"Ya udah ngga usah mandi."

Giliran gw yg mencibir sementara Meva nyengir bodoh.

Ini adalah hari ke dua gw absen kerja. Kemarin pagi pas bangun tidur gw mendadak demam. Lumayan panas, tapi hari ini sudah lebih baik dari kemarin.

"Muka lo pucat banget Ri," Meva mengamati wajah gw lekat.

"Namanya juga orang sakit Vaa..." gw menanggapi.

"Masih panas lagi," dia menyentuh leher gw dengan punggung tangannya.

"Namanya juga orang sakit Vaa.."

"Gw kompres yah?"

Meva bergegas ke kamarnya dan kembali dengan sebuah handuk kecil basah di dalam baskom kecil. Handuk itu dipasangkan di kening gw.

"Liat aja, ntar malem pasti udah adem lagi badan loe."

"Kalo belum adem?"

"Gw taro lo ke dalem kulkas. Pasti dingin."

"Iya laah! Namanya juga kulkas! Lo bukan nyembuhin, tapi matiin gw itu mah!"

"Sssst...orang sakit nggak boleh ngotot gitu," dia menempelkan telunjuknya di mulut gw.

"Tangan lo wangi banget?" tiba-tiba saja kalimat itu meluncur dari bibir gw. Yg kemudian buru-buru gw tambahkan. "Abis makan belum cuci tangan ya?"

"Enak aja, gw kalo makan pake sendok."

Gantian gw yg nyengir bego.

"Eh mata lo sembab banget tuh..." Meva mengamati kedua mata gw. Wajahnya sudah sangat dekat dengan wajah gw.

"Ehem.. Jujur aja, gw nggak begitu nyaman. Bisa kan lo liatnya dari jauh aja?"

Bukan apa-apa, tau sendiri lah namanya orang sakit. Nggak mandi dari kemaren, pasti bau banget nih gw! Malu sama Meva yg wangi. Hehehe..

"Emang napa? Lo grogi yah?" ujar Meva tetap pada posisinya. Dia lalu tertawa kecil.

Dia nggak tau apa pura-pura nggak tau sih?? Gw pegang kedua pipinya, bermaksud mendorongnya menjauh, ketika Indra tertegun di depan pintu.

"Sorry gw ganggu yah?" dia cengar-cengir penuh maksud.

Meva langsung berdiri, berusaha menguasai diri walau gw tahu dia salting, lalu mendehem pelan.

"Nah udah ada Indra. Gantian deh, gw mau mandi. Daah.." lalu bergegas keluar.

Indra melirik gw dengan tatapan penuh arti.

"Pantesan tiap sakit bisa langsung sembuh," katanya. "Ternyata ada obat khususnya toh."

"Errr....enggak. Tadi nggak ngapa-ngapain kok!" gw ngotot. "Lo dateng di saat yg ngga tepat."

"Iya gw ngerti kok. Makanya maaf yah.."

Berkali-kali gw klarifikasi tapi Indra tetap sok bego. Dan akhirnya malam itu gw abis tuh disindir si gundul..

Satu hal yg unik, gw lebih suka mengatakannya istimewa, dari diri Meva adalah dia sering tahu apa yg orang banyak nggak tahu dan menyukai apa yg orang nggak menyukainya. Satu lagi, dia juga memikirkan yg orang lain nggak memikirkannya.

Suatu sore di akhir Maret...

Hujan lagi-lagi turun deras. Gw kepalang basah ada di jalan jadi ya sudah terpaksa gw basah-basahan nyampe di kamar. Mandi dan berganti pakaian hangat, gw segera bersembunyi di balik selimut.

Masih dingin. Minum teh anget aja deh, lumayan ngangetin badan. Gw ambil gelas, ah sial. Air di galon belum gw isi ulang. Gw ke kamer Indra. Pintunya dikunci. Dia pasti masih molor. Lagi shif malem soalnya.

"Mevaa," gw ketuk pintu kamarnya. Mengecek keberadaan penghuni kamar di depan kamar gw.

"Masuuk aja Riii..." terdengar suara cewek dari dalam.

Gw masuk dan memburu dispenser. Sambil nunggu airnya panas gw melompat ke kasur dan menarik selimut sampai menutup kepala.

"Lo kenapa sih Ri?? Maen sradak-sruduk aja."

Gw buka selimut. Lupa gw kalo Meva juga ada di dalem kamer. Dia lagi baca buku.

"Dingin," jawab gw pendek.

Meva melirik sebentar lalu melanjutkan membaca.

"Ya udah tidur aja," komentarnya.

"Ini juga mau tidur. Ntar abis minum teh gw tidur deh."

Saat itu gw beneran kedinginan. Telapak tangan dan kaki gw serasa kebas.

"Gw tidur di sini yah?" kata gw.

Meva kernyitkan dahi. Sejenak gw pikir dia bakal ngusir gw.

"Lo kayak yg baru ngekos aja pake minta ijin segala," sahutnya.

"Itu artinya gw menghormati lo sebagai tuan rumah."

"Sok baik loe."

"Haha.. Gw emang baik kali."

"Alaaah...tuh aernya panas."

Gw liat lampunya memang sudah menyala. Langsung gw seduh tehnya.

"Matiin lagi dispensernya," kata Meva lagi.

Gw melakukan yg dimintanya tanpa berkomentar. Hujan di luar masih deras menderu atap kamar dan gw sedang asyiknya menikmati kehangatan teh yg menjalar ke seluruh tubuh ketika Meva bertanya.

"Ri, lo tau tentang lagu Gloomy Sunday nggak?"

Gw balikkan badan dan menggeleng.

"Apaan tuh? Nggak pernah denger gw," kembali ke posisi duduk semula membelakangi Meva dan meneguk lagi teh hangat.

"Lagu kematian," jawab Meva. "Banyak orang bunuh diri setelah dengerin lagu itu."

"Oh ya?" gw menanggapinya acuh. Hanya satu kata yg terlintas di benak gw : mitos.

"Kok reaksi lo biasa aja?"

"Lha, emang mesti gimana? Heboh gitu?"

"Ya enggak..." Meva menutup bukunya dan menaruhnya di atas bantal. "Kayaknya ekspresi lo datar aja denger orang mati?"

"Ya emang udah kayak gini, mau diapain lagi?" teh di dalam cangkir hampir habis.

"Ri..."

"Apa?"

"Lo percaya surga nggak sih?" kata Meva.

Gw diam sebentar.

"Maksudnya?" gw balik tanya.

"Maksud gw, lo percaya nggak kalo surga itu ada?" Meva menjelaskan.

"Pertanyaan lo aneh."

"Enggak. Ini samasekali enggak aneh. Gw mau tau pendapat lo."

"Surga ya? Emmmh....bentar ya gw pikir-pikir dulu."

"Yah, kelamaan mikir elo mah."

"Emang kenapa sih lo tanya kayak gitu? Bukannya semua agama meyakini ada kehidupan setelah manusia mati?"

"Tapi gimana kalo itu semua nggak pernah ada? Gimana kalo ini adalah satu-satunya kehidupan yg kita jalani, dan nggak ada kehidupan lagi setelah ini? Gimana kalo surga ternyata nggak pernah ada??"

Gw diam. Jujur aja, pertanyaan semacam itu sempat hinggap juga di otak gw. Tapi gw selalu nggak menemukan jawabannya.

"Seandainya ini memang satu-satunya kehidupan, apa yg akan lo lakukan?" ujar gw tanpa bermaksud apa-apa.

Giliran Meva yg diam.

"Gw percaya kok surga itu ada.." akhirnya dia bicara.

"Nah ya udah, sekarang tinggal mikirin aja gimana caranya biar bisa masuk surga. Gampang kan?"

"Tapi, apa kita bakal ketemu lagi di sana?"

"Maksud lo?" gw heran. "Ada apa sih sama lo Va, ngomongnya aneh banget hari ini."

Dia menatap gw sayu.

"Gw tau, saat-saat seperti ini nggak akan berlangsung selamanya," ucapnya pelan. Sejenak diam, membiarkan suara rintikan hujan yg jadi musik pengiring, lalu bicara lagi. "Gw tau Ri, suatu hari nanti kita pasti akan jalani hidup kita sendiri-sendiri. Tapi, apa nanti kita akan ketemu lagi di surga?"

"Pertanyaan lo terlalu jauh."

"Jawab pertanyaan gw."

"Iya, kita pasti ketemu di surga. Tinggal sms aja, ketemunya dimana," kata gw ngelantur.

Dan tanpa gw duga, Meva melompat, memeluk gw, lalu menangis.

"Apa saat kita ketemu di surga nanti, kita masih bisa seperti ini?"

"Hei..hei...lo napa Va?"

"Apa di surga lo masih akan kenal gw?"

"Meva...." gw dorong tubuhnya menjauh tapi pelukannya terlalu kuat. "Oke. Dengerin gw."

Meva masih menangis.

"Terlalu jauh mikirin hal itu. Lebih baik sekarang lo kejar aja dulu cita-cita lo. Udah, itu aja dulu deh. Ya?"

Meva malah makin jadi. Dia menangis kencang.

"Va, gw masih disini kok. Kita masih sama-sama kan? Udah ah, ngapain sih nangis.."

Tapi Meva tetap menangis.

Untuk pertama kalinya, gw memeluk Meva. Dia tetap hangat, sehangat kecupannya di kening gw kemarin. Dia tetap sosok yg nggak tertebak. Dan diam-diam gw berharap, semua akan tetap seperti ini. Gw nggak mau ini berakhir.

Please God...........

"Maafin gw," kata Meva. Dia melepaskan pelukannya dan usapi airmata di kedua pipinya.

Di luar hujan masih bergemericik. Tapi udah nggak sedingin tadi.

"Lo kenapa sih mendadak mellow?" tanya gw.

Meva menggeleng. Dia tertawa kecil untuk menghibur dirinya sendiri.

"Udah dua hari ini gw mimpi buruk," ujarnya pelan.

"Mimpi buruk apa?" selidik gw.

"Cukup buruk. Buruk banget malah.........."

"Mimpi apa sih?" gw penasaran.

"Tapi lo jangan marah ya?"

Gw mengangguk.

"Gw........mimpi lo meninggal, Ri."

Sejenak kami sama-sama terdiam.

"Terus?" kata gw lagi. Datar.

"Kok nanya 'terus'? Lo nggak sedih ya ada yg mimpiin lo mati?" Meva protes.

Gw tersenyum lalu berkata.

"Kenapa mesti sedih? Itu kan cuma mimpi? Lagian, semua orang pasti akan mati kok. Nggak usah dipermasalahkan lah," saat mengatakan ini bayangan Echi berkelebat di benak gw.

"Iya loe mah enak, tinggal mati, udah! Nah yg sedihnya kan yg ditinggalin!"

Gw tertawa pelan. Kenapa sih mesti ngebahas kayak ginian?

"Udahlah, mimpi itu cuma bunganya tidur Va.." kata gw. "Nggak perlu dipermasalahkan."

"Kenapa?"

Gw diam.

"Kenapa? Kenapa lo nggak bisa ngerasain takutnya gw kehilangan loe.....?"

Gw terhenyak. Meva lagi ngomong apa sih?

"Jangan ngomongin itu sekarang boleh ya? Gw jadi parno nih kalo udah ngebahas soal mati."

Meva menarik napas berat.

"Lo pernah nggak ditinggal orang yg paling lo sayang?" tanya Meva lagi.

Ah, akhirnya pertanyaan itu keluar juga.

"Maksudnya..ditinggal mati?" gw memastikan.

Meva mengangguk.

"Pernah," jujur aja berat sekali buat gw ngebahas ini. "Cewek gw. Dia meninggal hampir setahun yg lalu."

"Siapa namanya?"

"Penting ya?"

"Gw cuma mau tau."

"Echi."

"Oooh..." Meva mengangguk pelan. "Terus gimana, apa lo udah relain dia pergi?"

"Yaah...gimana yak, rela nggak rela, masalahnya dia nggak akan kembali lagi kan? Jadi ya udah deh ikhlasin aja."

"Jadi lo nggak terlalu kehilangan ya?"

"Bukannya gitu. Jelas gw kehilangan lah! Cuma kan namanya orang hidup harus move on..nggak boleh terlalu larut sama yg namanya kesedihan. Yah gw bisa ngomong gini juga karna gw udah ngerasain gimana sakitnya kehilangan."

Kami diam lagi.

"Seandainya, ini seandainya loh! Seandainya gw mati duluan, lo bakal kehilangan gw nggak Ri?"

"Ah, napa sih loe hari ini nanya yg aneh-aneh?"

"Udah jawab aja laah.."

"Emh, gimana yak? Buat ngebayanginnya aja udah sakit banget, apalagi kalo sampe kejadian.."

Meva tersenyum.

"Gini Ri, misalnya gw adalah cewek lo," katanya. "Terus gw mati. Nah, lo bakal mati juga demi gw nggak?"

Gak perlu waktu lama buat gw jawab.

"Masih banyak cewek yg seksi, bahenol dan cantik. Ngapain susah-susah mati buat lo?" kata gw ngasal.

"Aaah! Loe itu!! Gw udah seiya-iya nangisin loe, malah kayak gitu reaksi loe! Mengecewakan!" Meva ngambek. Wajahnya berubah cemberut. Sementara gw di depannya cuma cengar-cengir geli. "Awas aja, kalo nanti loe duluan yg mati, gw juga nggak akan nangisin loe!"

Gw tertawa lebar.

"Udah ah, serius, gw nggak suka ngomongin soal mati. Biarin aja ngalir apa adanya, nggak usah terlalu dipikirin, tapi juga ya jangan sampe dilupain sih."

Meva mendelik masih dengan ekspresi marah yg dibuat-buat. Justru gw malah pengen ketawa liatnya.

"Nyesel gw nanyain loe," gerutunya.

"Haha.. Iya, maaf. Abisnya lo gitu sih.."

"Gitu gimana???"

"Ya itu tadi. Masih muda juga udah ngomongin soal mati."

"Lah, emang apa salahnya? Usia muda nggak menjamin seseorang punya durasi umur yg lebih lama kan?? Banyak ah, contohnya yg mati di usia muda."

"Iyaa gw tau itu. Yg nikah di usia muda juga banyak kan?"

"Ah, loe beneran nggak bisa diajak serius!!" Meva mengambil bantal dan memukul-mukulkannya ke gw sambil ngomel nggak jelas. Gw cuma bisa meringkuk di balik tangan gw.

"Gw benci sama loe!" kata Meva lalu membanting bantal ke kasur. Dia masih cemberut.

"Yah marah nih..." canda gw. Gw yakin tadi dia nggak serius bilang gitu. "Beneran benci?"

"Marah!"

"Yakin?"

"Kesel!"

"Oiya??"

"Iya, iya. Gw sebel," Meva menurunkan taraf kemarahannya.

Gw senyum-senyum geli melihat kelakuan Meva sore ini.

"Sini deh Va," gw menarik tangannya mendekat.

".............................."

Ini kedua kalinya gw memeluk Meva. Masih sama seperti tadi, gw bisa merasakan kehangatan tubuhnya.

"Dengerin gw ya Va," bisik gw di telinganya. "Gw emang nggak tau apa-apa soal surga. Tapi satu hal yg gw yakin....enggak pernah ada airmata di surga. Surga itu tempatnya semua kebahagiaan berujung. Ketenangan, kedamaian dan kenyamanan."

"Lo yakin Ri?"

"Yakin banget," gw peluk dia makin erat. "Saat kita udah dapetin semua ketenangan, kebahagiaan, kedamaian dan kenyamanan dalam hidup kita..saat itulah kita ada dalam surga buat diri kita."

Ah, ngomong apa sih gw?

"Thanks ya Ri," bisik Meva.

Dan sore itu sebenarnya kami sama-sama saling menunjukkan ketakutan dalam diri kami. Sebuah ketakutan yg nyata. Takut bahwa salahsatu dari kami akan meninggalkan yg lain. Takut kehilangan. Dan saat itulah gw sadar, ternyata kami saling menyayangi............

Well, ngga ada sedikitpun yg berubah dari gw dan Meva. Hanya saja, sekarang gw sedikit lebih perasa. Gw bisa merasakannya, ada semacam keterikatan antara kami berdua. Tapi gw nggak terlalu ambil pusing. Gw biarkan semua berjalan apa adanya tanpa ada satu dari kami yg memaksakan ego. Biar sajalah.

"Ciiieeee.... Lisa!!" suara keras Meva membuat gw terlompat mundur dari pintu kamar.

"Ngagetin aja!" gw balas berteriak. Nasi bungkus di tangan gw nyaris terjatuh saking kagetnya. "Apa-apaan sih teriak-teriak nggak jelas?"

"Suiit..suiiit.... Ehem!"

Gw mengacuhkannya. Dia lagi gila kali, kata gw dalam hati. Gw masuk dan ambil piring, bersiap menyantap mie ayam favorit gw.

"Pantesan akhir-akhir ini lo keliatan girang banget," lanjut Meva.

"Maksudnya?" tanya gw acuh.

"Lisa!" dia berteriak lagi. "Dia pacar baru lo kan??"

Gw tersedak begitu mendengar ucapannya. Dan seperti gw duga, Meva menggenggam handphone gw.

"Dia bukan pacar gw," kata gw protes. "Cuma rekan kerja di kantor."

"Oh ya? Kok sms nya mesra amat yak? Dan di inbox lo juga cuma ada pesan dari Lisa."

Gw mulai merasa nggak nyaman ngomongin ini.

"Ngga sopan lo baca sms orang lain," gw kesal.

"Lo bukan orang lain buat gw, jadi gw sah-sah aja baca sms lo?."

"Oh ya? Berarti gw juga sah aja donk ngelakuin apapun ke loe?? Yah misalnya apa yaa..."

"Enggak! Itu beda!"

"Beda di mana nya??"

"Pokoknya sama. Lo mau menang sendiri nih."

"Beda..beda..beda!!"

Gw tertawa pelan.

"Oke, kembali ke topik pembicaraan," ujar Meva. "Udah berapa lama lo jadian sama cewek bernama Lisa?"

"Udah gw bilang kan...dia itu temen kerja doank. Nggak lebih! Lo jangan sembarangan ngegosip." gw masih asyik dengan mie di mulut gw.

"Kalo gitu, berarti Lisa suka sama lo."

"Darimana lo tau? Ketemu aja nggak pernah."

"Gw tau dari cara dia ngomong di sms loe. Mana ada sih cewek yg perhatian banget sama cowok, tanpa dia nggak suka sama tuh cowok? Gw cewek Ri, gw tau itu."

"Tapi lo juga perhatian sama gw," kata gw. "Berarti lo suka sama gw?"

Meva diam sejenak, lalu meledaklah tawanya. Gw cuma mencibir.

"Punya selotip?" tanya Meva. Dia nampak mengalihkan pembicaraan.

"Di laci lemari baju," jawab gw singkat.

Meva berjalan ke lemari, meninggalkan handphone gw di lantai. Gw ambil dan segera gw hapus semua pesan di inbox gw.

Lisa memang rekan kerja di kantor, dan gw jamin nggak lebih dari itu. Dia termasuk karyawan senior, satu tahun lebih awal bekerja di sana. Tadinya dia di HRD, kemudian sejak ganti tahun dia dimutasi ke Divisi Machining tempat gw selama ini. Jadilah kami saling kenal dan ketemu tiap hari. Namanya juga temen kerja, sering ngobrol di kantor pas jam kerja atau sms an sepulang kerja, gw rasa itu normal-normal aja ah. Nggak ada yg lebih dari itu. Gw anggap perhatiannya ke gw sebatas teman. That's all.

Meva duduk di sebelah gw.

"Kenapa diapusin semua?" dia mengintip layar handphone gw.

"Pengen aja," jawab gw.

"Gimana sih rasanya pacaran?" kata Meva lagi. Dia sedang mencari ujung selotip hitam di tangannya. "Gw belum pernah sekalipun pacaran soalnya."

"Bohong."

"Serius. Mana gw sempet pacaran, kalo semua cowok aja pada ngejauhin gw?"

"Nggak semua."

"Iya, kecuali loe. Terus, gimana rasanya? Pasti seneng ya punya pacar?" dia sudah menemukan ujung selotip, menariknya sedikit lalu mengguntingnya.

"Pertanyaan bodoh," kata gw dalam hati. Kalo diliat dari fisik, gw yakin nggak ada yg percaya kalo Meva ternyata nggak pernah pacaran. Dia cantik! (gw semangat banget ngomong ini)

"Sebenernya biasa aja sih, nggak ada sensasi khusus," kata gw.

"Masa? Lo pasti pernah ngelakuinnya kan?"

"Ngelakuin apa maksud lo?"

Meva meletakkan telunjuknya tepat di bibirnya.

"Kissing," lanjut dia. "Pasti lo pernah kan?? Jujur aja."

Gw tertawa kecil.

"Iya gw pernah," kata gw sedikit malu.

"Terus terus terus, gimana rasanya?? Kalo gw ngebayanginnya, kayaknya iiiih.....agak gimana gitu."

"Lo mau tau rasanya ciuman? Sini," gw tarik kepalanya biar mendekat ke gw.

Dan...

Plakk!

Meva menampar pipi kanan gw.

"Udah pernah gw bilang kan?? Jangan bikin gw kaget!!!" teriaknya. "Gw cuma mau tau aja, bukan praktek!"

"Becanda Va...gw becanda tadi!" kata gw kesal. Ini ke empat kalinya gw kena tampar Meva.

"Iya, tapi gw kaget! Makanya gw refleks nampar lo!"

"Nggak asyik ah."

Meva masih cemberut. Dia mengeluarkan sesuatu, seperti kalung, dari saku celananya. Menaruhnya melingkar di lantai, lalu menempelkan selotip hitam di bagian yg nggak tersambung.

"Lagi diapain tuh?" tanya gw.

"Ini kalung salib dari nenek gw."

Gw ingat. Itu memang kalung yg biasa dipakainya.

"Patah nih, mau gw sambung." Meva selesai merekatkan selotip di talinya.

"Kok bisa sih putus gitu?"

"Tadi ngga sengaja nyangkol di tas waktu di kampus."

Meva merentangkan kalungnya lalu mengenakannya di leher. Meva tersenyum manis.

"Gw cantik nggak Ri?" tiba-tiba dia bertanya.

Sejenak gw diam.

"Banget," kata gw.

Meva tersenyum lagi lalu beranjak keluar. Selama beberapa saat, wanginya masih tertinggal. Wangi yg khas.......

Gw baru beberapa langkah keluar dari gerbang ketika dari belakang terdengar bunyi klakson motor. Gw menepi, dan pengendara motor itu tersenyum lalu hentikan motor di depan gw.

"Mau bareng?" tanya Lisa. "Gw juga lewat Teluk Jam*e."

"Nggak ngerepotin nih?" kata gw memastikan.

"Enggak lah... Lo kayak sama siapa aja sih pake basa-basi. Udah tinggal naek aja."

Dan nggak butuh dua kali berpikir buat gw menyetujui niat baiknya. Maka sore itu gw pun diantar pulang oleh Lisa, temen kerja gw. Lumayan lah skali-kali ngirit ongkos. Hehehe..

Motor berhenti tepat di depan gerbang kosan. Gw turun dan bersiap mengucapkan terimakasih, sebelum Lisa juga turun dan membuka pintu lalu memarkir motornya ke dalam.

"Gw mampir ke kosan lo, boleh khan?" katanya menjawab pandangan heran gw.

"Oh, boleh kok. Enggak papa," ujar gw.

Lisa tersenyum senang.

"Gw bosen di rumah terus, skali-kali refreshing," katanya. "Kamer lo yg mana?"

"Kamer gw di atas. Paling atas."

Dan kami segera menuju lantai atas. Saat itu kosan sudah mulai ramai karena rata-rata penghuninya balik kerja jam-jam segini. Jujur aja, gw sedikit malu karena ini pertama kalinya gw "bawa" cewek ke kosan. Yah walaupun dalam konotasi yg sedikit berbeda, gw nggak enak aja membalas senyuman temen-temen yg liat gw jalan sama Lisa.

Lisa adalah cewek periang yg punya pandangan luas tentang hidupnya. Selalu berpikir kritis, dan tentu saja, dia sedikit banyak bawel. Buat gw Lisa adalah orang yg cocok sebagai partner kerja. Dia giat dan beberapa kali malah dia yg menyelesaikan job gw di kantor, tentu saja tanpa sepengetahuan bos. Hehehe.

"Capek juga ya tiap hari mesti naik tangga kayak gini," Lisa berkomentar.

Kami sampai di lantai atas. Sebagai catatan, gw nggak pernah mengunci kamar gw ketika gw pergi. Kalaupun dikunci, gw taroh di lubang fentilasi, tempat yg sudah bukan rahasia buat Indra dan Meva. Maka gw nggak begitu terkejut ketika mendapati Meva ada di dalam kamar gw sedang tiduran di kasur sambil maen gamewatch. Ekspresi yg berbeda ditunjukkan Lisa.

"Eh, lo udah balik Ri.." Meva bangun dan menatap gw dan Lisa sedikit gugup.

Gw tersenyum.

"Ini..." kata Lisa menunjuk Meva. Kelihatannya dia nggak biasa liat cewek di dalem kamer cowok.

"Oh, kenalin. Ini Meva," gw memperkenalkan. "Meva, ini Lisa.."

"Ooh...ini Lisa, yg di sms itu ya?" kata Meva, ingat sms yg dibacanya di handphone gw. "Hay.."

Meva menyodorkan tangan, mengajak salaman.

"Eh, hay.." sahut Lisa. Mengacuhkan ajakan Meva berjabat tangan.

Gw mulai merasa nggak enak di sini. Meva berusaha menutupi kekesalannya, menarik tangannya dan nyengir lebar.

"Gw udah beliin mie ayam buat lo Ri, tuh di atas galon. Piringnya juga udah gw cuciin tuh, tinggal makan aja," katanya. "Gw ke kamer dulu deh."

Lalu Meva bergegas keluar menuju kamarnya.

"Ehm, mau di sini atau ngobrol di luar aja?" kata gw ke Lisa.

"Di sini aja deh," Lisa duduk di lantai.

Gw merapikan beberapa barang yg berserakan di lantai. Nggak begitu berantakan sih sebenernya, karena Meva pasti sudah merapikannya.

"Cewek yg tadi siapa sih?" tanya Lisa.

"Meva."

"Maksud gw, dia itu siapa nya lo? Kok ada di kamer lo?"

"Seperti yg lo liat, dia penghuni kamer depan gw. Dia cuma temen kok."

"Oiya?? Dia temen yg baik yah, sampe beliin lo makan dan nyuciin piring?" kata Lisa lagi dengan nada menyindir.

"Udah biasa kok."

"Hebat! Kalo gw, gw nggak biasa tuh ada cowok tiduran di dalem kamer gw. Nggak tau deh kalo lo gimana.."

Nada bicaranya nggak enak banget. Kayaknya lebih baik nggak memperpanjang pembicaraan ini.

"Lo mau teh?" gw menawarinya.

"Boleh. Eh, ada kopi nggak? Kopi aja deh, kalo ada."

Gw mengangguk dan mempersiapkan dua gelas kecil buat gw dan Lisa.

"Sejak kapan lo kenal sama cewek itu?" tanya Lisa. Dia sepertinya masih tertarik membahas soal Meva.

"Udah lama. Sejak gw kerja di sini."

"Kalian udah deket banget ya?"

"Yah begitulah."

"Sedeket apa?"

"Emmh..ya pokoknya deket ajah. Temen gw juga bukan dia aja."

"Apa dia cewek lo?"

"Maksudnya?"

"Pacar. Apa si Meva itu pacar loe?"

Gw tertawa kecil.

"Bukan. Dia cuma temen kok."

Lisa berdiri.

"Numpang ke kamer mandi yah?" katanya.

"Oh, boleh.."

Lisa masuk ke kamar mandi, sementara gw sudah selesai dengan kopi dan teh di tangan gw.

"Sebenernya hubungan kalian tuh apa sih?" kata Lisa begitu keluar dari kamar mandi. Di kedua tangannya ada sesuatu yg seharusnya cuma ada di kamer cewek, karena itu memang punya cewek. "Ini punya dia kan?"

"Eh..mungkin tadi dia numpang nyuci di sini. Iya, pasti gitu."

Lisa menarik nafas berat.

"Oke. Kalian emang deket banget kayaknya," katanya lagi. Melempar 'punya' Meva ke kasur lalu duduk di dekat gw.

"Kami emang deket, tapi cuma sebatas temen."

"Enggak papa kok, nyantai aja. Nggak masalah."

Dia tersenyum seperti biasanya. Sempat sedikit kikuk, lalu suasana mencair kembali.

Dan akhirnya kami ngobrol-ngobrol ringan sampai sore hampir habis. Lisa pamit pulang saat matahari sudah benar-benar terbenam..

"Ciiiiieeeeeeeee..!!" suara Meva terdengar memekakan sebelah telinga gw. Dia bergelayutan di punggung gw, nyaris membuat gw terpelanting ke belakang. Untung gw masih bisa meraih gagang pintu.

"Udah gede ya lo sekarang," katanya mengacak rambut gw. "Udah ngerti pacaran."

"Ekh...tokh...log....tagam..lokh...." leher gw tercekik. Kayaknya gw udah deket sama malaikat pencabut nyawa.

"Ups, sorry." Meva melepaskan tangannya dari leher gw.

"Lo mau ngebunuh gw ya??" gw usapi leher gw yg memerah.

"Hehehe.." Meva malah tertawa tanpa rasa bersalah. Eh, lebih tepatnya bodoh. "Dia ke mana? Udah balik?"

"Udah, baru aja tuh."

Gw buka pintu kamar. Dan Meva menyelinap mendahului gw masuk. Ketika dilihatnya barang miliknya tergeletak di kasur, buru-buru dia ambil dan sembunyikan di balik badannya. Dia nyengir lebar.

"Kok bisa ada di luar sih? Perasaan gw taro di dalem kamer mandi deh," katanya malu.

"Gw yg ngeluarin," kata gw bohong.

"Hah? Buat apaan?"

"Apa yak? Sedikit berimajinasi aja siih."

"Whats? Maksud loe??" dua mata Meva melotot ke gw.

Gw tertawa lebar.

"Laen kali jangan gantung barang-barang kayak gitu di kamer mandi gw."

"Iya iya sorry gw lupa tadi mah."

"Pikun lo. Kalo aja kepala nggak nempel di leher, kayaknya sekarang lo lagi sibuk nyariin kepala lo deh. Sekarang lo cocok dipanggil Nenek Meva deh.."

"Enak aja! Nggak mau!"

Gw duduk di samping galon. Membuka bungkusan mie ayam yg belum sempat gw makan.

"Ri," kata Meva. "Tadi kayaknya Lisa nggak suka ya sama gw?"

"Kata sapa? Dia fine-fine aja kok. Malah sering nanya soal lo." Gw bohong lagi.

"Masa? Tapi tadi nggak gitu deh yg gw liat."

"Lo mah liat semut aja dibilang gajah."

"Ih, serius gw Ri!" Meva ngotot. "Tadi itu keliatan banget dia nggak suka sama gw."

"Terus kenapa? Itu hak dia kan? Sama kayak elo, lo juga berhak buat nggak suka sama dia.."

"Ah, enggak ah. Entar lo nya marah sama gw."

"Marah kenapa? Nggak ada hubungannya sama gw."

"Ya ada lah! Lo kan pacarnya!"

"Udah berapa kali sih gw bilang dia itu bukan siapa-siapa gw."

"Enggak... Mata lo. Gw bisa baca hati lo, dari tatapan mata lo."

"Wah, jangan-jangan lo bisa liat tembus pandang lagi?"

Meva tertawa.

"Ngawur lo," katanya.

Hampir setengah mangkok mie sudah gw habiskan.

"Oiya, si Indra mana? Kok sekarang dia jarang keliatan ya?" tanya Meva.

"Lagi sibuk dia.. Namanya juga orang penting."

"Eh iya ya, dia sekarang udah jadi bos."

"Begitulah."

"Lo gimana? Kapan lo jadi bos? Perasaan gw liat lo nggak ada bosennya jadi anak buah."

"Haha.. Enggak papa deh. Belum waktunya kali. Biar aja, kalo gw emang takdirnya jadi orang gede ya nggak akan kemana. Kalo enggak, ya itu berarti gw emang nggak punya bakat jadi orang sukses."

Meva tertawa lagi.

"Eh eh, balik ke topik semula!" katanya lagi. "Soal Lisa!"

Gw meliriknya sebentar. Kayaknya hari ini Lisa jadi trending topic.

"Udah berapa lama kalian jadian?"

"Udah berapa lama gw bilang kalo gw sama dia nggak punya hubungan khusus?"

"Ah, sejak kapan lo jadi pembohong?"

"Dan sejak kapan lo jadi o-o-n?"

Meva mencibir.

"Gw tau kok Ri, lo suka kan sama dia?"

"Tau dari mana?"

"Kayak yg udah gw bilang, gw bisa baca pandangan mata lo."

"Kalo gitu sama kayak yg gw bilang, apa lo bisa liat gw tembus pandang?"

"Enggak bisa!"

"Oooh..." gw mengangguk pelan. "Kalo gw bisa."

"Hah?? Asli nggak??" Meva menarik selimut di kasur menutupi badannya.

Gw terkikih.

"Jadi selama ini...loe..."

"Enggak lah! Gw becanda! Punya ilmu dari mana sih gw bisa liat kayak gituan? Hehe.."

"Oh, kirain!" dia melempar selimut ke kasur.

Mie sudah habis. Meskipun rasanya agak sedikit aneh dan lembek gara-gara terlalu lama didiamkan, perut gw lumayan kenyang.

"Oiya, kan lo bilang tadi bisa baca isi hati orang dari tatapan matanya?" kata gw. Meva mengangguk. "Kalo gitu coba tebak isi hati gw, dari cara gw ngeliat loe. Bisa?"

Sejenak gw dan Meva saling adu pandang.

"Gw tau yg lo pikirin," katanya.

"Apa coba?"

Dia tersenyum.

"Ada deeh....." kata Meva lagi.

"Jiaah, dasar. Bilang aja nggak bisa."

Malam baru saja beranjak datang. Masih terlalu sore buat gw tidur. Dan waktu Meva mengajukan usul maen catur, tanpa ragu gw setujui usulnya. Kebetulan akhir-akhir ini kami memang jarang tanding catur lagi. Dan rupanya Meva makin jago aja.

Berkali-kali menteri gw diteror, nyaris mati kalau saja gw nggak mengorbankan dua luncur yg gw punya untuk menyelamatkannya. Meva juga punya strategi baru. Dia secara frontal mengejar menteri gw dan membuatnya tersudut, sangat berambisi memakannya.

Daaan......hasil pertandingan malam ini adalah : 5-0 !! YESSS !!! Gw kalah lagi !!

Saking kecewanya gw sampe lupa kalo gw belum mandi dari sore.

Huaah...malam ini kerasa panjang banget. Gw baru selesai maen catur pas jam setengah duabelas malam. Sempat gitar-gitaran juga sebelum akhirnya gw beranjak ke kasur.

Satu hal yg gw sadari malam itu adalah, gw nggak pernah bisa ngalahin Meva maen catuur !!

Waktu bergulir begitu cepat. Nggak kerasa udah nyampe pertengahan tahun. Kehidupan anak kos di tempat gw juga mulai berubah. Beberapa orang temen memutuskan pindah ke kosan yg lain. Diganti dengan orang baru yg tentunya butuh adaptasi lagi sama orang lama kayak gw. Begitu juga Indra. Setelah sekian lama jarang bertemu, di satu sore yg panas dia menemui gw dengan membawa sebuah kabar.

"Gw mau beli rumah Ri," katanya bersemangat ke gw yg waktu itu lagi ngadem di balkon sepulang kerja.

"Wah serius tuh??" kata gw hampir nggak percaya, tapi dari dalam hati gw ikut gembira denger kabar itu.

Indra mengangguk.

"Insya Allah bulan depan gw udah pindah ke rumah baru gw itu. Lagi diproses sama bank yg bersangkutan, dan planning nya beres akhir bulan ini."

Gw berdecak kagum.

"Beli rumah dimana lo dul?" gw tetep manggil dia seperti itu meski sekarang potongan rambut dia sudah sangat mirip dengan Nirvana.

"Di Kara*a. Enggak cash sih belinya. Ikut program dari perusahaan aja."

"Mau cash ataupun nyicil, yg penting punya rumah," kata gw. "Hebat lo Dul, gw ikut seneng deh."

Indra tertawa pelan.

"Thanks Ri. Gw udah mulai mikirin hidup gw ke depan soalnya.."

"Tunggu dulu," potong gw. "Maksud lo mikirin hidup ke depan itu ada hubungannya sama KUA?"

Dia tertawa lagi, kali ini sambil anggukkan kepala beberapa kali.

"Kurang lebih begitu..." katanya.

"Wah udah punya calonnya emang? Kok nggak pernah cerita siih?"

"Haha.. Gw bukan artis Ri. Ngapain juga gw cerita-cerita soal kehidupan pribadi?"

"Ya seenggaknya sama gw laah. Masa temen sendiri nggak tau lo mau married? Lo juga sih ngilang mulu."

"Iya Ri gw terlalu sibuk ama kerjaan soalnya. Lumayan lah nambah-nambah buat modal nikah nanti."

"Kapan lo nikahnya? Gw diundang nggak nih?"

"Pasti lah. Masa temen sebelah segitu deketnya nggak diundang?"

"Jadi kapan waktunya?"

"Emmh...keluarganya cewek gw sih pengennya sebelum tahun depan kita udah resmi. Gw setuju-setuju aja. Paling lambat akhir tahun lah. Masih dalam tahap perundingan, gw juga kudu ketemu langsung sama orangtua gw. Nyari hari baiknya kapan. Kan gitu tradisi orang Jawa."

Gw tersenyum.

"Sama orang Jawa juga?" tanya gw.

"Enggak," dia menggeleng. "Orang sini kok. Anak Klari."

Gw tarik napas panjang. Baru denger kabar temen married aja gw udah seneng, gimana seandainya gw yg married yah?? Haha... Gw ketawa sendiri dalam hati.

Jujur aja sekarang-sekarang ini gw belum terlalu kepikiran jauh ke depan, dalam hal ini soal nikah. Tapi liat Indra udah seserius itu, gw juga jadi mulai berandai-andai. Kapan gw nikah? Dan siapa pasangan yg tepat buat gw? Begitu nyampe di pertanyaan kedua, yg terbayang di benak gw adalah Echi. Hati gw mencelos. Seperti ada sebalok es batu yg meluncur dalam perut gw tiap kali inget dia. Biar gimanapun kami pernah merencanakan mimpi yg sama buat masa depan kami. Mungkin karena itu juga gw belum berani memikirkan yg jauh-jauh. Gw masih menikmati masa-masa lajang dan bebas. Bebas memilih, bebas melakukan apapun bareng temen-temen, dan tentu saja bebas menentukan kapan waktunya gw mengakhiri kebebasan ini.

"Lo nggak kepikiran buat married Ri?" tanya Indra. Sama persis dengan yg lagi gw pikirin.

"Bukan 'enggak' tapi 'belum' aja. Gw belum siap," kata gw apa adanya.

"Terus kapan siapnya? Umur lo udah tua juga. Ditunda-tunda entar malah jadi bujang lapuk loh."

"Haha.. Insya Allah enggak. Gw juga nggak tua-tua amat kok. Baru juga 22 tahun. Masih mau nikmatin hidup sama temen-temen. Belum mau terikat aja. Kan kalo udah punya bini pasti susah tuh buat sekedar nongkrong sama temen-temen? Nggak bebas aja. Beda sama lo, kalo lo kan udah kepala tiga umurnya."

"Busseett!! Gw baru dualima Ri. Emang tampang gw ketuaan banget yah?"

Gw mengangguk bersemangat.

"Sialan lo," gerutunya. "Tapi kapanpun lo siap, jangan lupa undang gw. Gw akan bantu lo sebisa gw. Ya mungkin gw bisa berbagi pengalaman sama lo nantinya. Pokoknya tenang aja deh, lo itu bestfriend gw. Apapun gw lakuin buat bantu lo."

"Hahaha.. Thanks dul," gw menjabat tangannya.

Kami sama-sama tertawa bahagia.

"Tapi pasti nanti kosan ini bakal sepi tanpa loe.." kata gw.

"Kan masih ada Meva?"

"Jiaah, beda itu mah. Temen cowok sama temen cewek beda laah. Kalo sama cowok kan bisa bebas becanda dan ngomong apa juga, nggak kayak sama cewek, mereka lebih sensi soalnya."

"Lo bisa ikut gw kok. Kan gw nikahnya masih lama, jadi lo bisa bareng sama gw di rumah gw, kalo lo mau. Sampe nanti gw married?"

Gw berpikir sejenak.

"Gw di sini aja deh, takut ngerepotin lo kalo gw numpang di rumah lo."

"Hahaha.. Kayak sama siapa aja."

Dan sore itu, gw bener-bener menikmati momen itu. Becanda bareng, ngobrol-ngobrol tentang impian kami ke depan. Dan di titik ini jg gw mulai sadar, hidup setiap orang pasti akan berubah. Nggak mungkin selamanya melajang. Nggak mungkin juga terus-terusan jdi anak kos yg males-malesan. Harus ada titik balik untuk membangun kehidupan bersama keluarga kelak. Dan semoga udah gw siap untuk itu kalau waktunya tiba nanti.

Di suatu malam minggu yg cerah. Waktu itu sekitar seminggu menjelang kepindahan Indra ke rumah barunya. Gw dan beberapa temen mengadakan semacam acara perpisahan. Dengan beberapa botol soft drink dan makanan ringan sebagai pelengkap menu ikan bakar malam itu acara berlangsung sederhana tapi menyenangkan. Mulai bakar ikan jam sembilan dan baru bisa disantap sekitar jam sebelas. Cukup lama juga buat memastikan ikannya bener-bener mateng.

Ini bukan acara resmi. Nggak ada MC, nggak ada undangan, semuanya berjalan apa adanya. Kabar tentang acara ini pun cuma menyebar dari mulut ke mulut sesama anak kos. Yg punya waktu silakan ngeramein, begitu kesepakatannya. Dan yg namanya anak kos, kapan sih kita nggak punya waktu?? Selain dua kamar di atas yg terpaksa menyesali ketidakhadirannya demi loyalitas lembur, ada juga beberapa temen yg sudah punya jadwal mudik ataupun ngapel, jadi nggak bisa ikut. Selebihnya semua yg gw kenal hadir. Ada Raja, Hilman, Akbar, Miko dan Iwan dari lantai bawah dan juga Nendra dan Teguh serta Kurniawan dari lantai dua.

Semua hadir, kecuali Meva. Sejak selepas isya, pintu kamarnya tertutup rapat. Gw tahu dia ada di dalam dan tentu saja dia juga mendengar suara-suara kami yg cukup berisik. Becanda, nyetel lagu lewat speaker aktif di kamernya Indra dan nyanyi-nyanyi nggak jelas diiringi gitar tua milik Indra, kurang lebih begitulah susunan acara malem itu. Acaranya sendiri diadakan di depan kamer gw karena kamer gw yg paling ujung, dan berakhir begitu ikan bakarnya habis dan temen-temen mulai balik ke kamernya masing-masing menjelang dini hari. Kurniawan dan Teguh bilang mau begadang sampe pagi, tapi baru jam satu mereka udah tepar dan akhirnya balik ke kamer mereka.

Tinggal gw dan Indra di balkon, ditemani tumpukan piring kotor bekas makan tadi, hasil minjem dari temen-temen juga. Indra duduk tenang di tembok balkon sementara gw membereskan panggangan ikan, arangnya ada yg berserakan di lantai dan bekas asapnya tadi meninggalkan jejak hitam di dinding balkon.

"Biar nanti gw aja yg cuci piringnya," kata Indra tetap pada posisinya.

"Oke. Gw cuma beresin bekas bakar ikannya," sahut gw. Setelah selesai berbenah gw ke kamer mandi, cuci tangan, kemudian balik lagi ke balkon.

Suasananya beda banget. Tadi rame dan berisik, sekarang bahkan suara jangkrik di rerumputan belakang kosan ini pun terdengar nyaring. Gw duduk di tembok juga. Dan saat itulah terdengar derit pintu terbuka dari kamar Meva. Yg sebenernya gw harap ikut ngeramein acara tadi akhirnya nongol juga. Gw sih maklum Meva nggak muncul pas bakaran ikan, dia memang nggak suka ada di tengah keramaian kayak tadi. Dan kemunculannya pagi ini gw anggap sebagai bentuk penghormatan kepada Indra yg punya gawe, seenggaknya Meva tetep hadir.

Dia tersenyum pada kami berdua lalu duduk di kursi kecil di depan kamer gw.

"Udah beres yaah acaranya?" katanya.

"Belum kok. Masih ada segmen ke dua, khusus buat lo," sahut Indra.

"Wah yg benerr?" Meva terlihat seneng.

"Iya. Tuh," Indra menunjuk tumpukan piring dengan dua jarinya yg mengepit batang rokok. "Namanya segmen cuci piring."

"Maksudnya, gw nyuciin piring gitu?" ekspresinya mendadak berubah.

Gw dan Indra sontak tertawa.

"Enak aja!" cibir Meva.

"Lo sih malah ngumpet. Nggak kebagian kan jadinya," kata gw.

"Gw kan udah bilang gw nggak akan ikut kalo ramean kayak tadi."

Indra mengangguk.

"Udah gw sisain kok, ada ikan bakarnya satu di kamer gw." katanya.

"Enggak usah Ndra, gw nggak doyan makan ikan," Meva menolak halus.

"Loh, terus siapa dong yg mau ngabisin ikannya?"

"Ari aja tuh," Meva menunjuk gw.

"Enggak ah gw udah kenyang. Perut gw mau meledak malah," gw juga menolak.

Kami bertiga diam.

"Ya udah buat sarapan pagi gw aja deh," kata Indra.

Dia embuskan asap putih dari mulutnya. Dan saat itulah mendadak gw merasa suatu hari nanti gw pasti akan kangen dengan momen-momen kebersamaan seperti ini. Apalagi tadi sempet ada temen-temen yg lain. Kita emang jarang banget kumpul kayak tadi.

"Gw bakal kangen nih sama kosan ini," kata Indra seolah ikut ada dalam pikiran gw. "Sama kalian berdua juga pastinya."

Gw tersenyum.

"Lo bisa ke sini kapanpun lo mau kok dul," kata gw.

Indra balas tersenyum. Dari sela bibirnya keluar asap putih.

"Yah seenggaknya sampe beberapa bulan lagi, sampe gw married. Lo ngerti lah, gw bakal susah ngelayab kalo ada bini di rumah. Hehehe.."

Gw tertawa.

"Huh, kayaknya waktu berjalan cepet banget..." lanjutnya. "Gw pikir baru kemaren gw lulus sekolah, sekarang udah mau married aja."

Gw ngerti yg Indra rasain. Dia orang pertama yg gw kenal di kosan ini. Dia temen terdekat gw. Wajar lah kalo gw bakal kangen sama becandaannya yg kadang-kadang garing. Indra juga baik, jadi menurut gw cewek yg jadi istrinya nanti adalah cewek paling beruntung di dunia ini.

Gw, Indra maupun Meva memilih diam. Kami sedang larut dalam pikiran kami. Tapi gw yakin, kami merasakan hal yg sama pagi itu. Rasa yg sudah selayaknya dimiliki seorang sahabat.

I love friendship.................

"Kayaknya asyik ya kalo kita bisa ngeliat masa depan kita kayak apa," tiba-tiba Meva nyeletuk memecah kesunyian pagi.

Gw melirik ke arahnya dan tersenyum lebar.

"Bener banget tuh Va," sahut gw. "Gw pengen liat siapa bini gw di masa depan nanti."

Dan gw tertawa.

"Bukannya sekarang lo udah liat yaa??" Indra menyenggol kaki gw. Melirik Meva, lalu ke gw lagi, dan akhirnya nyengir nggak jelas.

Gw sih ngerti maksud senggolan dan lirikan Indra itu. Itu yg bikin gw tertawa lagi.

"Kalian kenapa??" Meva bingung.

"Ah, enggak enggak. Nggak usah dipikirin," gw langsung berfikir mencari topik lain.

"Emangnya," Indra memotong. "Apa yg mau lo liat dari masa depan?" tanyanya ke Meva. Dia mendapatkan topik pengalih yg tepat.

"Emmmhh...kalo gw yaa, gw pengen tau, jadi apa gw setelah lulus kuliah??" jawab Meva sumringah.

"Oke, kalo lo Ri?" tanya Indra ke gw.

"Udah gw bilang tadi," jawab gw.

"Oke. Jadi gini loh," katanya. "Menurut gw, bisa ngeliat masa depan tuh nggak sepenuhnya baik buat kita."

"Kenapa nggak baik? Bukannya justru itu bagus ya? Kan kita bisa mencegah sesuatu yg buruk yg terjadi di masa depan?" sergah gw. Gw nggak setuju dengan pendapat Indra.

"Ari bener banget tuh. Gw setuju," kata Meva.

Indra tertawa pelan.

"Oke. Sekarang gini, misalnya lo tau, di masa yg akan datang, tahun 2020 misalnya, akan ada wabah penyakit yg mematikan di negeri ini... Apa yg akan lo lakuin? Yah anggep aja lo adalah presiden."

"Gw," gw berpikir. "Kalo gw, gw akan mengumpulkan semua orang sakit di negeri ini untuk diobati. Jadi, wabah itu nggak akan pernah ada. Gw berhasil mencegahnya sebelum terjadi. Itu yg gw maksud 'melihat masa depan' dul!"

Indra tersenyum senang.

"Gw setuju sama Ari," kata Meva.

"Nggak kreatif ah daritadi lo cuma bilang setuju aja," ujar gw.

Meva nyengir bloon.

"Nah kalo loe Va," Indra bertanya ke Meva. "Seandainya lo tau sepuluh tahun yg akan datang lo akan jadi wanita karir yg sukses, apa yg akan lo lakukan sekarang?"

"Jelas gw enjoy laah!" jawab Meva bersemangat. "Gw bisa lebih santai ngejalanin hidup. Gw bisa sedikit males-malesan. Toh gw udah dapet kepastian gw akan jadi orang sukses nantinya."

"Gw setuju sama Meva," kata gw disambut cibiran Meva.

Indra malah ketawa.

"Nggak ada salahnya kalian berpendapat kayak gitu," katanya. "Tapi apa kalian sadar sesuatu yg penting, dari 'melihat masa depan'? Ketika kita tau ada sesuatu yg buruk yg terjadi di masa depan, yg kita lakukan sekarang justru adalah mewujudkannya terjadi, bukan mencegahnya. Dan ketika kita mendapatkan kabar baik, justru kita malah membuatnya nggak terjadi."

Gw dan Meva diam.

"Maksud lo? Gw belum ngerti," komentar gw.

"Dengan mengumpulkan semua orang sakit di seluruh negeri, itu bukan mencegah, tapi justru dari situlah wabah mematikan itu lahir. Iya kan? Ribuan virus yg orang-orang sakit itu bawa, akan bercampur dan jadi wabah mematikan. Itu dia yg gw maksud, kita malah membuat itu benar-benar terjadi," Indra menjelaskan panjang lebar. "Nah, soal wanita karir yg sukses.. Dengan lo malas-malasan kayak yg lo bilang itu Va, apa mungkin dengan malas lo akan bisa jadi orang sukses di masa depan?"

Meva menggelengkan kepala.

"Mana ada orang males bisa sukses? Iya kan?" lanjut Indra.

Gw merasakan kebenaran dari penjelasan Indra barusan.

"Lo bener juga dul.." kata gw.

Indra tersenyum penuh kemenangan. Gw lirik Meva. Nampaknya dia satu pikiran dengan gw.

"Dari dulu gw benci sama yg namanya peramal," kata Indra. "Menurut gw, masa depan itu adalah misteri. Jadi dengan memberitahukan masa depan orang lain, justru dia merampas harapan orang itu untuk berusaha mewujudkannya. Iya kan?"

Lagi-lagi gw terdiam. Gw setuju banget kali ini.

"Buat gw, lebih baik nggak pernah tau apa yg akan terjadi di masa depan. Karena dengan begitu gw masih punya harapan tentang misteri hidup gw. Gw masih bebas berharap, akan jadi apa gw kelak. Dan gw juga bisa bebas memilih impian gw."

Well, pagi ini gw seperti sedang mendengar motivator yg bicara, dan bukan sahabat gw.

"Buat sebagian orang, hidup itu berawal dari mimpi," lanjutnya. "Tapi buat gw, hidup justru berawal ketika gw baru memejamkan mata. Gw yg memilih mau mimpi apa gw malam ini. Gw yg menentukan mimpi buat hidup gw, bukan mimpi yg menentukan hidup gw."

Gw dan Meva saling pandang. Cukup lama, kami mencoba menelaah omongan Indra tadi.

"Ah, ngomong apa sih gw??" Indra tertawa lagi. "Udahlah anggep aja gw tadi lagi mabok dan ngoceh nggak jelas. Nggak usah terlalu dipikirin lah."

"Thanks dul buat sedikit wejangannya. Emang ya, yg namanya orang tua itu pasti banyak pengalamannya?"

"Maksud lo, gw tua dong??"

Kami bertiga tertawa. Dan setelah sedikit membahas tentang masa depan yg tadi dijelaskan Indra, kami mulai ngobrol nggak jelas. Ketawa-ketiwi sesukanya, sejenak melupakan bahwa momen kebersamaan ini mungkin akan segera berakhir. Tapi satu yg gw yakini, semua akan berakhir indah nantinya...............

Jumat sore di minggu yg sama...

Gw baru balik kerja. Tiba di lantai atas gw mendapati Indra sedang berdiri membelakangi gw. Menyandarkan kedua tangannya di tembok balkon, dia menatap kosong ke sawah-sawah luas yg letaknya sekitar tigaratus meter dari sini. Pakaiannya sudah rapi. Di bawahnya, di lantai tepat di samping kakinya tergeletak sebuah tas ransel berisi pakaian.

"Lo udah siap pindahan?" tanya gw.

Dia cukup terkejut. Menatap kaget gw lalu mengangguk pelan.

"Gw udah beresin semuanya. Udah gw pindahin juga barang-barang gw," ujarnya. "Tinggal gw nya aja yg pindah."

"Oke. Gw mandi dulu ya?" gw bergegas ke kamer gw.

Sore ini emang rencananya gw mau nganter Indra pindah ke rumahnya. Dia dapet jatah shif malem, kayaknya dia udah pindahin barangnya sebelum gw balik. Lagipula barangnya nggak seberapa kok. Cuma perlengkapan standar anak kos.

Limabelas menit kemudian gw udah siap. Gw berdiri di depan pintu kamar yg sudah gw kunci.

"Oke, gw siap." kata gw. "Gw nggak sabar pengen tau rumah lo dul.."

Indra tersenyum. Senyum yg aneh menurut gw. Senyum yg nggak biasanya. Sebuah senyum yg menandakan dengan jelas bahwa si pemiliknya begitu berat untuk melakukan itu. Gw maklum. Sama seperti Indra, gw juga sedih kok temen kos gw selama dua tahun ini pergi.

"Boleh gw bicara sama lo dulu, sebelum pergi?" ujar Indra. Mendadak dia mellow gimana gitu.

"Ngomong aja," kata gw berusaha memberikan ekspresi yg menenangkannya.

Indra terdiam. Jelas ada satu beban yg tergambar jelas di kedua matanya. Beban yg mungkin selama ini dipikulnya. Apa terlalu berat kepindahan ini sampe dia sebegitunya? Gw rasa enggak. Jadi gw mulai menebak-nebak beberapa pertanyaan yg mendadak muncul di otak besar gw.

Indra masih diam. Saat itulah gw menyadari secarik kertas di tangan Indra. Kertas lusuh yg sepertinya gw kenal. Gara-gara kertas itukah? Masa sih? Apa hebatnya kertas itu sampe bikin Indra merasa terbebani gitu? Jujur aja, gw masih belum tau apa kaitannya tingkah Indra yg aneh sore ini dengan kertas itu, yg pasti beberapa kali Indra melirik kertas di tangannya lalu menarik napas berat. Napas yg sepertinya cuma bisa tertahan di tenggorokan tanpa mampu mengalir keluar. Dan gw semakin yakin, ada lebih dari sekedar beban berat yg ada di hatinya. Ada sesuatu yg harus sesegera mungkin diungkapkan.

"Ada apa sih dul?" gw menunggu dengan sabar tiap kata yg akan dikatakan Indra.

Dia menatap gw, lalu kembali menatap kertas di tangannya, dan seketika tubuhnya bergetar hebat. Kertas di tangannya sampe terjatuh. Indra menangis!

"Lo kenapa dul?" gw heran dengan perubahan sikapnya. Dalam hati gw berharap semoga ini bukan pertanda buruk.

Indra masih terisak. Benar dugaan gw. Ada sesuatu yg mungkin selama ini dipendamnya. Dan ketika sekarang harus diungkapkan, itu terasa amat berat. Gw bisa melihatnya. Tapi gw nggak tahu harus berbuat apa. Terakhir kali gw berhadapan dengan perubahan mendadak ekspresi seperti ini adalah waktu Natal tahun lalu.

"Kalo memang ada yg mau lo bagi," kata gw. "Cerita aja. Gw akan dengerin kok."

Indra menggeleng. Dia menyeka kedua matanya. Tapi dengan deras airmatanya jatuh lagi.

"Ada...ada yg harus gw bilang ke elo Ri..." dia berusaha mengatakannya.

"Oke. Bilang aja nggak papa kok."

Apa perpisahan ini terlalu berat buat Indra? Gw rasa nggak segitunya ah. Karaba sama Teluk Jambe deket. Dia bisa mampir ke kosan ini kapanpun dia mau. Dia juga punya motor, jadi nggak ada kesulitan akses menurut gw. Lalu apa yg sebenernya mau dikatakan Indra?

Gw masih berdiri. Maaf gw ralat. Kami masih berdiri dalam diam. Gw lebih memperhatikan sohib gw yg sekarang sedang bergulat dengan isak tangisnya ketimbang menengok barang sebentar saja kertas yg tergeletak di lantai. Indra menunduk, berjongkok pelan mengambil kertas itu. Jari-jarinya gemetaran memegangnya. Lalu dia menunjukkan kalimat yg tertera di atas kertas.

Bukan kalimat. Cuma rangkaian huruf dan angka. Gw kenal tulisan itu. Ya, gw yg nulis sendiri makanya gw kenal.

"Ada apa sama plat nomor itu dul?" gw membaca lagi perlahan nomor polisi kendaraan yg gw tulis di kertas. Ah, bahkan gw sendiri sebenernya nggak tahu kertas itu masih ada sampe sekarang.

N 6689 M, plat nomor kendaraan asal kota Malang.

"Maafin gw Ri....." Indra tampak begitu frustasi. Gw sangat iba dengannya sekarang.

"Maaf untuk apa?" tanya gw masih belum mengerti arah pembicaraan Indra.

"Gw yakin lo pasti nggak pernah berharap denger ini," kata Indra kemudian. "Sesuatu yg gw sembunyiin cukup lama. Tapi gw juga yakin, lo harus tahu yg sebenernya. Gw nggak bisa nyimpen rahasia ini selamanya."

"Hey...ada apa sih sama loe dul??" gw makin nggak ngerti. "Apa ini ada hubungannya sama Echi?"

Sekali lagi Indra menarik napas berat. Lalu perlahan dia anggukkan kepala.

"Lo tau tentang identitas pelaku penabrakan Echi setahun yg lalu?" ini seperti mengorek luka lama.

Indra mengangguk lagi.

"Siapa?" lanjut gw.

Indra diam sejenak.

"Gw," kata Indra. "Gw yg menyebabkan kecelakaan maut itu Ri.............."

"Apa maksud lo dul?" gw cukup terkejut setengah mati mendengar pengakuan Indra tadi. "Lo lagi ngelantur kan? Plat nomer motor lo bukan N, seinget gw punya lo tuh W..sesuai kota asal lo, Sidoarjo."

"Maksud lo...ini?" dan selanjutnya Indra memutar posisi kertas di tangannya.

Dalam sekejap hati gw mencelos. Rasanya ada ratusan, bahkan ribuan belati yg menusuk-nusuk ulu hati gw. Sebelumnya, dan selama ini gw selalu yakin pelaku tabrak lari itu meninggalkan jejak yaitu plat nomor "N 6689 M". Tapi hari ini....

"W 6899 N???" napas gw tertahan membaca tulisan yg sekarang tampak di kertas putih yg lusuh itu. "Ini kaan..."

"Ya, ini plat nomer motor gw," kata Indra. Dia belum berhenti menangis.

Gw menggeleng nggak percaya. Benar-benar nggak percaya!

"Mungkin saksi mata waktu malem itu ngebaca dalam posisi terbalik, asal lo tau motor gw waktu itu emang sempet kolaps di tengah jalan," lanjutnya. "Lo bisa cek motor gw di bawah kalo lo nggak percaya."

"Gw nggak percaya!! Mana mungkin???"

"Terima aja Ri, ini kenyataannya. Gw yg menyebabkan kecelakaan itu!"

"Iya. Tapi bukan lo yg nabrak Echi, Ndra!"

Ada suara ke tiga. Bukan Indra, juga bukan gw. Seketika itu gw dan Indra menoleh ke asal suara. Ada Raja, temen kami yg ngekos di lantai bawah. Dia berdiri di ujung tangga. Gw nggak pernah menyadari keberadaannya.

"Udah gw bilang berapa kali ke elo, berhenti menyalahkan diri lo sendiri!!" Raja setengah berteriak.

"Emang gw yg bersalah!" balas Indra nggak kalah sengit. "Motor yg dipake nabrak Echi itu motor gw! Dan yg minta si Benny nganter gw malem itu, gw kan?? Siapa lagi yg layak disalahkan kalo bukan gw??"

"Iya, tapi yg nabrak itu Benny dan bukan elo!?"

Hey, apa lagi ini!!! Gw makin bingung.

"Please....." kata gw antara pasrah dan bingung. "Jelasin ke gw, apa yg sebenernya terjadi?"

Indra diam. Dia masih sesenggukan sambil tangannya meremas kertas di genggamannya. Raja menatap gw iba. Dia tampak berpikir sebelum mengucapkan apa yg akan dikatakannya.

"Gw yg ngebunuh cewek lo Ri..." kata Indra lemah.

"Tolong kasih gw kesempatan buat jelasin yg sebenernya ke Ari," sela Raja. "Dia berhak tau yg sebenernya."

Gw diam. Entah apa yg saat ini gw rasakan. Gw sendiri malah bingung sedang apa gw di sini.

"Malem waktu terjadi kecelakaan itu," Raja mulai bercerita. "Indra minta Benny, lo kenal Benny kan, anak bawah, buat nganter dia ke tempat kerja. Waktu itu Indra baru aja ngalamin kecelakaan kerja dan belum bisa bawa motor. Singkat aja deh, sepulangnya nganter Indra, Benny bermaksud balik ke kosan. Dan di perjalanan balik itulah semuanya terjadi...."

Gw diam mendengarkan. Entah apa yg harus gw lakukan saat itu.

"Benny nabrak seorang cewek, yg belakangan diketahui adalah Echi. Benny kabur, nggak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bahkan malem itu dia nggak balik ke kosan. Dia sempet balik beberapa hari kemudian, tapi itu buat melarikan diri. Dia bener-bener kabur.

"Gw dan Indra yg tau kejadian sebenernya, langsung lapor ke pihak Polisi yg menangani kasus ini. Benny, dia ketangkep dalam razia di jalanan Gucci. Tentu saja, ini berkat kerjasama pihak polisi di sini dengan polisi di Gucci."

Gw tertunduk lesu. Bener-bener bingung sekaligus speechless gw dengernya. Beberapa kali bahkan gw memaki dalam hati. Kenapa gw harus tahu ini? Padahal gw udah anggap semuanya berakhir, dan gw nggak mau ngungkit lagi masalah ini. Tapi dengan tahu cerita sebenernya, ini bener-bener seperti mengorek luka yg sudah tertutup rapat. Napas gw tercekat di tenggorokan. Gw bener-bener speechless!

"Indra selalu ngerasa bahwa dia yg menyebabkan semua malapetaka itu, cuma karena motor yg dipake Benny adalah motornya. Kalo lo tau Ri, Indra udah cukup merasa bersalah selama lebih dari setahun ini."

Gw menarik napas berat. Kali ini gw berhasil mengembuskannya.

"Kenapa kalian berdua nyembunyiin semua ini dari gw?" tanya gw akhirnya.

Indra mengangkat wajahnya.

"Sumpah demi Tuhan Ri, gw nggak punya maksud nyembunyiin ini semua dari lo," katanya. "Gw cuma nggak mau nambah beban pikiran lo waktu itu. Gw udah janji akan kasihtau yg sebenernya, kalo situasinya udah memungkinkan. Dan gw pikir saat ini waktu yg tepat. Saat lo udah dapet semangat baru, ini waktu yg tepat."

"Gw masih nyimpen koran Komp*s edisi Agustus tahun kemaren yg memuat berita penangkapan Benny. Gw yakin lo akan butuh itu buat ngeyakinin bahwa pelaku tabrakan itu udah mendapat balasan yg setimpal.." kata Raja. "Korannya ada di kamer gw. Sengaja gw rawat baik-baik."

Huffft...entah apa yg harus gw katakan saat ini. Sakit, bingung dan marah seperti bercampur di hati gw.

"Maafin gw Ri..." ucap Indra.

"Lo nggak perlu minta maaf dul," jawab gw. "Bukan lo yg bikin Echi pergi."

"Iya, tapi..."

"Gw udah ikhlasin Echi. Itu alasan yg kuat buat gw nggak perlu ngungkit masalah ini. Okay?"

Indra tersenyum senang lalu dia merangkul gw. Beberapa kali dia meminta maaf. Gw cuma balas dengan anggukan pelan. Entah kenapa saat ini gw justru kangen banget sama Meva.

Sebagai sahabat dekat, jujur aja gw merasa kehilangan setelah kepergian Indra. Biasanya tiap balik kerja gw mendapati pintu kamarnya terbuka dan di dalamnya dia lagi asyik maen PS. Tapi selama berhari-hari, dan gw yakin akan sama seterusnya, pintu itu akan terus tertutup. Menunggu sampai ada penghuni barunya.

Memang ada sedikit yg mengganggu dengan pengakuan soal Echi kemarin, tapi gw nggak bisa begitu saja menepikan Indra sebagai sahabat gw. Dia orang pertama yg gw utangin waktu pertama dateng ke kota ini dan kehabisan duit. Hahaha.. Masih cukup banyak yg bisa disebutkan untuk membuktikan dia memang orang yg baik.

Tapi gw juga turut gembira dengan keberhasilannya itu. Sebentar lagi hidupnya akan nyaris sempurna. Karir yg baik serta materi yg cukup, akan dilengkapi dengan pendamping setia. Tinggal menunggu kelahiran buah hati beberapa bulan kemudian, maka sudah benar-benar sempurna lah hidupnya.

"Kapan lo nyusul Indra?" suara Meva membuyarkan lamunan gw.

"Eh, kenapa?" gw tutup majalah di tangan gw dan meletakannya di lantai. "Lo tanya apa tadi?"

"Yeeee lo ngelamun ya??" tanya Meva.

"Enggak kok. Dikit doank sih."

"Haha...ngelamun jorok pasti, gw tau deh."

"Iya, gw ngebayangin lo tiduran di kasur pake bikini doank, terus...terus manggil gw pake suara mendesah gitu.... 'Ariii...' "

"Cukup, cukup. Sebelum buku ini melayang ke kepala lo, tolong hentikan cerita konyol itu."

"...'sini..'..." dan gw tiduran di kasur sambil memeragakan yg gw omongkan sementara Meva menatap gw dengan tatapan jijik. "terus gw deketin lo...."

"Aaaah...udah cukup!" Meva mengambil bantal dan menutupi wajah gw dengan bantal sampe gw susah bernapas. "Cerita lo nggak lucu!"

Gw berteriak tapi yg muncul cuma seperti gumaman. Suara gw tertelan bantal. Dan beberapa saat setelah gw nyaris sesak napas gw berhasil melepaskan diri dari bantal Meva.

"Otak lo ngeres yah...gw baru tau." Meva berkomentar.

"Sialan lo Va, tadi malaikat pencabut nyawa udah nanyain gw tuh mau di kamer nomer berapa," kata gw dengan napas memburu. "Untung aja dia pergi lagi."

"Kenapa pergi?"

"Nggak nemuin harga yg cocok."

Meva tertawa.

"Malah ketawa! Orang hampir mati juga malah lo ketawain," gerutu gw.

Glekk...segelas air terasa segar membasahi kerongkongan gw.

"Hehehe..maaf deh," kata Meva. Dia kembali asyik dengan bukunya. Ada tugas kuliah yg lagi dikerjainnya.

"Eh, sejak kapan lo pake kacamata?" gw baru menyadari bingkai tipis yg melingkari kedua bola matanya.

Meva mengangkat wajahnya. Dia tertawa geli.

"Lo kemana aja? Dari dulu kali, gw udah pake kacamata," jawabnya.

Gw kernyitkan dahi.

"Masa sih?" dan gw mencoba mengingat-ingat. "Enggak ah, gw baru kali ini liat lo pake kacamata."

"Masa? Syukurlah, berarti mata lo udah sembuh sekarang."

Gw mencibir. Tapi jujur aja gw memang baru liat Meva pake kacamata itu hari ini. Sebelum-sebelumnya nggak pernah.

"Mata gw minus setengah, cukup nggak jelas buat ngebaca tulisan cacing ini," dia menunjuk tulisannya sendiri. "Tiap kuliah juga gw pake kacamata kok. Ada yg aneh ya kalo gw pake kacamata?"

Gw menggeleng.

"Enggak. Lo malah keliatan tambah cantik kalo pake kacamata," kata gw. Tapi dalam hati. Hehehe..

"Berarti selama ini lo nggak bisa liat muka gw donk?" tanya gw tolol.

"Ya bisa laah," protes Meva. "Cuma emang rada nggak jelas aja sih. Menurut gw lo cakep kok. Tapi setelah gw pake kacamata, lo keliatan banget jeleknya tuh." Dan dia pun tertawa puas.

"Tapi gw nggak butuh kacamata buat liat seberapa cantiknya elo Va..." kata gw lagi. Dalam hati tentunya.

"Ya ya ya puas-puasin aja deh ngejeknya," gerutu gw.

"Hahaha gitu aja ngambek," sahut Meva. "Iya iya lo cakep kok Ri.."

"Kenapa mesti pake 'cakep kok', nggak 'cakep' aja? Nggak ikhlas banget nih ngomongnya."

Meva tertawa lagi.

"Udahlah, gw mau ngerjain tugas. Sore ini lo udah lebih dari sepuluh kali bikin gw ketawa. Tugas gw nggak kelar-kelar niih."

"Yah itu mah elo nya aja Va yg nggak bisa. Pake nyalahin gw."

"Sapa yg nyalahin? Enggak kok, gw nggak nyalahin lo. Cuma nyari penyebab kenapa gw nggak cepet nyelesein tugas gw."

"Sama aja!"

"Enggak, beda..."

"Heeuh beda...embe jeung kuda."

Meva kernyitkan dahi. Menatap gw lalu meledak lagi tawanya ke penjuru kamar.

"Tuh kan, lo itu bikin gw ketawa mulu. Udah balik sana ke kamer lo, sampe gw selesai ngerjain ini," katanya.

"Gw diusir nih?"

"Iya!!"

Gw mendengus keras. Lalu berjalan keluar menuju kamar gw. Dari luar sudah terdengar dering handphone gw di dalam. Buru-buru gw masuk dan ambil handphone gw.

"Halo?" gw menjawab tanpa melihat siapa yg menelepon.

"Hai Ri. Kenapa baru diangkat sih? Lagi ngapain aja dari tadi?" sepertinya suaranya gw kenal. Gw liat layar handphone gw. Di situ terpampang nama Lisa_cantik. Weitz! Sejak kapan gw kasih nama itu? Pasti Lisa sendiri yg edit kontaknya!

"Maaf tadi disilent hp nya."

"Nggak papa kok. Kamu lagi di kosan kan?"

"Iya. Kenapa?"

"Aku ke situ sekarang ya.."

Tuut...tuut...tuut...

"Halo? Halo?"

Ah, kurang ajar maen nutup telepon aja!!

"Halo," setelah sepuluh menit berlalu akhirnya Lisa menelepon gw.

"Eh Lis, lo jadi ke kosan gw?" tanya gw.

"Iyalah jadi...kan tadi udah gw bilang?"

"Mmmm....tapi gw lagi di luar Lis," kata gw. Tentu aja bohong. Waktu itu gw lagi duduk di ujung tangga.

"Yah..kok gitu? Katanya lo ada di kosan?"

"Iya tadi sih ada, tapi sekarang gw lagi keluar. Lo nanti aja ya maennya?"

"Nggh.....kalo gitu gw tunggu di kosan lo aja deh? Udah kepalang tanggung. Lo nya masih lama nggak?"

"Weittz...nunggu?" gw kaget kan ceritanya. "Emang lo sekarang udah nyampe mana?"

"Gw udah di kosan lo," suara Lisa sedikit aneh. Seperti bergema dan keluar dari speaker handphone gw.

"Oiya?"

"Iya. Nih gw bisa liat lo," suaranya benar-benar keluar. Bukan dari speaker handphone, tapi dari ujung bawah anak tangga.

Lisa ada di sana. Berdiri di ujung belokan tangga sambil menengadah menatap gw yg ada di ujung atas.

"Eh, lo udah di sini aja..." ujar gw. Malu setengah mampus gw!

"Katanya lagi di luar?" dia berjalan menaiki anak tangga menuju gw.

Beberapa kali gw presentasi dengan bos-bos gw dan ditanyai pertanyaan menyulitkan, tapi jujur aja rasanya saat ini pertanyaan sederhana dari Lisa susah banget dijawab!

"Eh, ngg... anu...." apa yg kudu gw jawab yaa? "I...iya...ini..... Ini lagi di luar kok."

Lisa kernyitkan dahi.

"Maksud gw tadi, gw lagi di luar kamer. Iya! Itu dia maksud gw!!" dan gw cengengesan malu.

Lisa tertawa pelan.

"Wah lo humoris juga yah?" komentarnya.

Hahaha...gw tertawa garing dalem hati. Maaf Lisa...gw bukan humoris, tapi ngeles-is. Kali ini gw salut sama diri gw sendiri atas keberhasilan ngeles tadi!

Lisa duduk di sebelah gw. Kami berdua mendadak jadi portal sukarelawan di tangga.

"Udah makan?" tanya Lisa ke gw.

Gw, yg masih sedikit shock dengan kesuksesan tadi, menjawab dengan anggukan kepala.

"Lo baru balik Lis?" gw balik tanya.

"Enggak juga, gw bareng kok sama lo pulang jam empat tadi. Cuma gw mampir dulu ke supermarket, ada yg gw beli."

Gw nyengir malu. Lisa celingukan memandang sekitar.

"Nyari apa sih?" tanya gw heran.

"Mana cewek itu?" katanya.

"Cewek yg mana ah?"

"Yg waktu itu di kamer lo. Siapa namanya...Neva ya? Mana dia?"

"Meva. Ada kok di kamernya. Emang kenapa sama dia?"

Lisa senyum simpul.

"Enggak papa...enggak papa..." jawabnya. Gw tau nih, cewek kalo ngomong 'enggak papa' justru artinya 'ada apa-apanya'.

"Dia anak mana sih?" lanjut Lisa.

"Meva, maksudnya?"

Lisa anggukkan kepala.

"Bukan orang sini kok. Rumah di Jakarta, tapi asalnya dari Padang. Kelahiran Kuala Lumpur dan sempet SD di Inggris sebelum namatin SMA di Padang. Terus kuliah di Karawang."

Lisa menatap gw heran.

"Lo tau banyak yaa tentang dia," katanya.

"Enggak juga kok. Cuma sebatas tau dari obrolan aja."

"Dia tipe lo ya?"

Kali ini butuh lima detik buat ngerti pertanyaan Lisa.

"Maksud lo, tipe cewek buat pacar gitu?"

"Iyalah."

"Emmmh...kalo gw sih nggak terlalu pinter milih cewek. Nggak ada tipe khusus buat gw, yg penting cocok aja. It's oke."

"Oiya? Masa cuma cocok? Kalo cocok tapi punya penyakit bisul gimana??"

"Hah? Ada-ada aja lo mah."

Gw dan Lisa tertawa.

"Yah gw mah standar aja lah. Terlalu muluk kalo gw pengen dapet yg sempurna, karna gw tau gw sendiri nggak cukup sempurna buat itu."

"Haha..sok bijak lo."

Gw nyengir. Sore ini Lisa masih pake pakaian kantor, tapi ada sedikit yg beda dari penampilannya. Tapi apa ya? Di mana nya?

"Kalo tipe cewek lo sesederhana itu," kata Lisa. "Kira-kira gw masuk kriteria enggak?"

Entah gw yg berasa apa emang iya, tapi kalo gw liat Lisa nanya ini dengan tatapan aneh. Enggak tau gw juga nggak ngeh.

"Gw masuk kriteria lo enggak?" Lisa mengulangi pertanyaannya.

"Emmh...masuk nggak ya?" kata gw sambil bingung nyari jawaban yg pas. "Lo cantik kok."

"Ah, masa?"

Gw ngangguk-ngangguk bloon.

"Jadi, gw masuk kriteria?" tanyanya penuh harap.

"Ehm....."

"Ari?" sebuah suara mengejutkan kami.

Suara Meva. Dia berdiri di depan pintu kamarnya.

"Kirain lagi ngobrol sama siapa. Dari dalem rame banget kedengerannya. Hay Lisa," sapanya ramah. Dia senyum lebar ke Lisa.

Lisa menatap risih ke arah Meva.

"Kita pernah kenal ya?" sahut Lisa. Cukup mengejutkan gw.

Meva sendiri nampaknya nggak terganggu dengan pertanyaan Lisa tadi.

"Hay Va. Gabung sini yuk ngobrol bareng kita," kata gw berusaha menyenangkan.

"Hah?" Lisa menatap gw heran. "Bukannya kita mau jalan ya Ri?"

"Jalan? Kapan?" gw lebih heran lagi.

"Sekarang lah, kan tadi udah janjian?"

Gw memandang Meva dan Lisa bergantian. Seinget gw tadi gw samasekali nggak ngomongin soal jalan deh ke Lisa...

"Oh mau jalan ya?" kata Meva. "Ya udah ati-ati di jalan ya sayang.." dia memandang gw. "Kamer aku nggak dikunci, ntar malem kita ngobrol-ngobrol lagi yah?"

Meva tersenyum nakal ke gw, melambaikan tangan, lalu menutup pintu kamarnya perlahan..

"Dia manggil lo apa tadi?" Lisa menatap sebal ke gw.

"Eh, enggak kok...dia lagi becanda doank," gw berkilah.

Lisa mendengus kasar. Dari ekspresi wajahnya keliatan banget dia kesal. Kalo aja di depannya sekarang ada tumpukan piring, pasti udah langsung dia cuci tuh!! Hehehe...apa hubungannya yak?

"Hubungan kalian apa sih? Kalian enggak pacaran kan?" tanyanya lagi.

"Mmmmh...entahlah. Gw juga bingung nyari kata yg pas buat ngegambarinnya."

Lisa menarik nafas berat.

"Lo suka sama dia?" tanyanya kemudian.

Sejenak gw diam. Setelah berpikir beberapa saat akhirnya gw memutuskan menyudahi pembicaraan tentang Meva.

"Lo tunggu di sini bentar. Gw mau ganti pakaian dulu," kata gw.

"Mau ke mana?"

"Kan kita udah janjian mau jalan??"

Lisa diam sebentar.

"Di sini aja deh," kata Lisa. "Ntar jalannya kalo hari libur. Sekarang juga udah mau malem."

Benar. Jam di handphone gw menunjukkan pukul lima sore lewat tigapuluh tiga menit.

"Kalo gitu mending lo balik aja," usul gw. Lisa pernah cerita tentang nyokapnya yg rewel kalo dia pulang telat.

"Oke, gw balik. Selamat ngobrol-ngobrol ya sama si Neva????" wajahnya masih kusut.

Gw tertawa geli.

"Kalo emang belum mau balik ya udah di sini aja nggak papa," gw meralat ucapan gw sebelumnya.

"Enggak deh makasih, gw cuma jadi pengganggu aja!"

"Hey Lisa..." kata gw. "Kenapa jadi kayak anak kecil gitu sih? Nyantai aja laah. Gw minta maaf kalo ucapan Meva tadi sedikit nyinggung lo."

"Sedikit? Banget tau nggak!"

Gw menatapnya iba. Gw yakin aktifitasnya hari ini sudah cukup membuatnya lelah.

"Sini deh," gw menariknya ke balkon. Berdiri berhadapan di sana dengan gw bersikap sok cool. Haha!

"Gw boleh tanya sesuatu?" kata gw. Lisa anggukkan kepala sebagai jawaban. "Gw cuma pengen tau, sebenernya apa sih yg bikin lo nggak suka sama Meva?"

Lisa tampak sedikit kebingungan dengan pertanyaan yg gw ajukan.

"Ya nggak suka aja!" jawabnya. "Dia nggak asyik."

"Nggak asyik gimana? Dari pertama ketemu bukannya lo yg nggak mau waktu diajak salaman?"

"Lho, kok lo malah nyalahin gw?!"

"Enggak kok gw nggak nyalahin lo," gw nyengir. Kayaknya sore ini Lisa beneran lagi sensi. "Cuma menurut gw, justru lo yg nggak asyik. Yaah apa ya namanya...lo nggak nunjukin sikap bersahabat aja ke dia..."

"Tuh kan nyalahin gw!" seru Lisa sewot. "Udah aja terus salahin gw! Bela aja tuh cewek itu!"

Suaranya cukup keras untuk didengar oleh Meva di kamarnya.

"Gw nggak nyalahin lo. Gw juga nggak ngebela Meva. Gw heran aja, kenapa sih kalian berdua nggak akur? Lo sama dia tuh sama-sama temen deket gw."

"Karena gw sama dia punya perasaan yg sama."

Gw kernyitkan dahi.

"Ah iya, sesama cewek pasti ada semacam ikatan batin buat ngebaca perasaan orang ya?" gw berkomentar konyol. "Ternyata hebat ya cewek itu!"

"Bukannya cewek yg hebat, tapi lo nya aja yg terlalu bodoh dan nggak bisa ngebaca perasaan cewek," sergah Lisa. "Atau lo memang pura-pura bodoh??"

Gw tersenyum simpul.

"Gw bukan Copperfield yg bisa baca pikiran orang," kata gw.

"Perasaan, Ri..bukan pikiran," tandasnya geram.

"Ah yah apapun itu lah, gw lebih suka baca komik atau koran..."

Lisa menggeleng pelan.

"Oke," katanya. "Lo pikir selama ini gw bersikap baik ke lo, karna apa coba?"

"Karena lo memang orang baik. Bukan begitu? Atau gw salah? Mungkin ternyata lo adalah monster jahat dari planet Mars yg berpura-pura baik padahal lagi mengintai manusia, dan berusaha mencari cara supaya bisa membunuh Ultraman? Haha.. Lucu juga."

Lisa menatap malas ke gw. Tatapan matanya cukup mengatakan "nggak lucu!" yg nggak dikatakannya.

"Oke oke, lo memang orang baik. Menyenangkan dan bersahabat. Itu aja."

Lisa mengembuskan nafas berat.

"Yah lo kayaknya butuh les private ke psikiater biar bisa baca perasaan orang.." katanya dengan ekspresi dan nada bicara yg lebih kalem. "Udah ah gw balik ya? Males gw buang-buang waktu buat debat nggak penting."

"Oh, oke. Ati-ati di jalan..."

cuupppph...

Lisa mengecup pipi kanan gw. Berhenti selama dua detik buat gw merasakan embusan nafasnya di telinga gw. Lalu membisikkan kalimat perpisahan.

"Sampe ketemu besok di kantor," ucapnya.

Dan sebelum gw sempat sadar dari kejadian mengejutkan tadi Lisa sudah beranjak pergi meninggalkan gw yg terdiam sendiri di balkon. Gw usapi pipi gw. Nggak basah... Tapi sempat ada sensasi hangat gitu.

Kecupan tadi......sama seperti yg pernah gw rasakan, dulu waktu gw sama Echi! Entah apa yg membuatnya sama, tapi rasanya seperti dejavu! Gw nggak pernah ngerasain lagi seperti itu setelah kepergian Echi...

Dan hari ini..........

Ah, sudahlah. Itu cuma salam perpisahan kok. Di banyak negara maju kan cipika-cipiki semacam itu adalah lumrah. Gw nya kelewat lebay. Haha...

Dan setelah beberapa saat terdiam, gw baru sadar satu hal. Ada yg beda dari penampilan Lisa hari ini. Dari tadi gw nyari-nyari apa dan di mana bedanya. Gw baru inget, hari ini Lisa pake stoking hitam seperti yg biasa dipake Meva..........

"Ekhem!" Meva muncul dari tangga.

Malem itu gw lagi nyetem gitar warisan Indra di beranda. Kayaknya Meva baru balik dari warung abis makan malem.

"Ada yg lagi fallin in love yah!?" serunya.

"Siapa?" tanya gw.

"Ya siapa lagi kalo bukan cowok yg tadi sore abis dapet ciuman di pipi!" katanya bersemangat.

Glekk... Gw menelan ludah. Ni anak rupanya ngintip pas adegan tadi sore. Jadi malu gimana gitu!

"Nggak sopan ngintipin orang," ujar gw sambil tetap memutar pengunci senar, berusaha menemukan nada yg pas.

"Gw nggak ngintip kok," Meva berkilah. "Kejadiannya di depan mata kepala gw sendiri. Tadinya mau nggak liat, tapi yah terlanjur...gw mau tau ajah! Hehehehe."

"Dasar otak mesum," sindir gw.

"Enak aja. Lo kali yg mesum! Gw mah enggak."

Gw tertawa mengejek.

"Eh eh kenapa tadi si Lisa nggak lo seret aja ke dalem kamer???" kata Meva tampak antusias.

"Tuh kan elo yg otak mesum!" sahut gw. "Ngapain juga coba bawa dia ke kamer??"

"Yaah sapa tau loe butuh sukarelawan buat beresin kamer?"

"Enggak. Kamer gw nggak pernah berantakan. Gw mah orangnya rapi, enggak kayak loe.....cewek tapi males beres-beres. Segala daleman dipajang di tembok pula!"

Meva nyengir malu.

"Ngapain gw capek-capek beresin kamer, yg keluar masuk kamer gw kan cuma elo? Nggak perlu rajin-rajin laah.. Lo juga bukan tamu."

"Pake alibi lagi. Males mah males aja neng."

Meva pasang wajah cemberut. Tapi entah kenapa gw justru malah pengen ketawa liat mukanya. Kocak banget kalo lagi belagak sewot gitu.

"Jadi..."

"Jadi apaan?" potong gw.

"Bentar dulu, kasih kesempatan gw ngomong napa? Maen serobot ajah!"

"Oh, kalo gitu waktu dan tempat kami persilakan..."

"Nggak lucu. Garing. Lo nggak ada bakat jadi pelawak."

"Siapa bilang? Gw ada bakat kok, cuma yah bakat terpendam gitu. Saking terpendamnya sampe nggak keliatan!"

Meva tertawa.

"Jadi, lo sama Lisa..." Meva membentuk dua paruh burung yg berhadapan dengan jari-jari kedua tangannya, lalu menempelkan ujungnya beberapa kali. "Kalian resmi pacaran?"

"Ah enggak kok. Belum diresmiin sama Lurah."

"Yee lo mah gitu, gw tanya serius juga!" Meva mencibir. "Kalian pacaran yak?"

"E-N-G-G-A-K."

"Alaah...bokis banget. Ngapain juga cipokan kalo belum jadian?"

"Dia yg nyosor gw, jadi nggak bisa dibilang sebagai bentuk kissing. Okay? Lagian cuma di pipi doank."

"Tapi lo nggak nolak kan? Sama aja itu mah!"

"Beda laah... Ciuman itu kalo bibir sama bibir, itu baru disebut ciuman. Yg tadi sore mah bukan. Apa perlu gw praktekin?" gw bergerak maju. Waktu itu jarak kami sekitar setengah meter. Dengan cepat Meva melempar sendal jepit dari lantai ke arah muka gw, tapi kali ini gw bergerak cepat menghalau dengan gitar. Sendalnya jatuh ke lantai. Gw tertawa kemudian duduk kembali di kursi.

"Berani gerak satu inchi ke arah gw, gw jamin gw adalah orang terakhir yg lo liat di hidup lo," Meva mengultimatum. Tapi gw yakin dia nggak serius dengan ucapannya.

Gw tertawa lagi.

"Gw enggak jadian kok sama Lisa," kata gw. "Lo tenang aja, masih ada peluang lebar buat lo," lanjut gw dengan pede nya.

"Huh, nggak minat gw sama cowok tukang tidur kayak loe."

Gw tertawa kecil. Baru sadar gitarnya sekarang makin fals aja gara-gara nggak konsen diajak ngobrol Meva.

"Kedengerannya tadi dia marah sama lo?"

"Marah? Enggak juga.."

"'Enggak juga' gw anggap kata lain dari 'iya'."

"Dia nggak marah ke gw, tapi marahnya ke elo."

Meva tampak sedikit terkejut.

"Oiya? Kok bisa??"

"Enggak ngerti gw juga. Serah deh cewek mah susah dimengerti," gw menyetem ulang gitar.

"Dia cemburu tuh sama gw. Hehehe... Lucu banget liat ekspresinya waktu gw bilang yg soal kamer itu. Hihihi.."

"Ooh jadi lo sengaja ya bilang gitu, biar manas-manasin Lisa?"

"Iya," Meva mengangguk mantap. "Dan tadi berhasil banget tuh. Kayaknya gw sekarang jadi the public enemy number one buat dia. Hahaha."

"Lo jahat ah."

"Weittz...tunggu dulu. Dia yg jahat! Waktu pertama ketemu, lo inget kan, dia nolak ajakan salaman gw? Tadi juga dia belagak nggak kenal pas gw sapa! Ya udah daripada kesel mending gw kerjain ajah!"

Gw menyeringai kecil.

"Eh, emang lo sendiri ngerespon dia kayak gimana?? Kayaknya masih cuek-cuek aja deh."

"Emang kudu gimana? Biasa aja ah."

"Yee elu mah, ada cewek yg suka sama lo malah dicuekin!"

"Belum mau pacaran gw... Kata mamah, nggak boleh pacaran dulu minimal sampe punya rumah. Punya mobil, punya landasan pribadi buat helikopter pribadi gw, punya..."

"Keburu tua dulu itu mah!!" potongnya. Dan kami berdua tertawa.

"Lo suka nggak sih sebenernya sama Lisa?"

Gw berpikir sejenak.

"Ada iya nya ada enggak nya juga. Jadi gimana yak?"

"Yaah parah abis deh loe."

Gw nyengir lebar. Dan malem itu, topik pembicaraan kami adalah Lisa. Meva banyak tanya soal dia. Tentang asalnya, sifatnya, juga tentang perform dia di kantor. Kalo gw liat sih Meva pengen tuh jadi wanita karir kayak Lisa.

Dan akhirnya obrolan ditutup dengan rencana maen ke rumah Indra akhir pekan ini. Sip. Gw setuju. Bakal ada reunian nih...

Sabtu pagi yg cerah. Gw bangun saat jam di handphone gw menunjukkan pukul setengah delapan. Gw langsung inget hari ini gw janji berkunjung ke rumah Indra. Kemaren jg gw udah sms Indra soal ini, dan katanya dia siap jadi tuan rumah yg baik buat dua tamu istimewanya.

Dua tamu? Oh iya, gw sama Meva. Tapi kayaknya dia belum bangun tuh. Pas gw keluar kamer juga pintu kamernya masih tertutup rapat. Di samping gw masih ada papan catur bekas pertandingan semalem yg lupa gw bereskan saking ngantuknya.

Dan weekend pagi selalu sama dengan weekend-weekend sebelumnya. Jadwal pertama adalah nyari sarapan, terus nyuci pakaian plus seragam kerja, lalu mandi dan diakhiri dengan ngejemur pakaian di bawah. Kosan ini nggak punya selasar buat jemur pakaian, jadi gw biasa jemur di samping parkiran motor. Tapi kebanyakan yg lain pada pasang kawat di depan kamar sebagai jemuran, jadi yg biasa jemur di bawah cuma beberapa orang termasuk gw.

Dengan hanya mengenakan celana kolor pendek gw gotong ember penuh cucian. Di lantai bawah, aktifitas Sabtu pagi sudah terasa. Musik-musik yg beradu dengan suara televisi yg menyiarkan berita pagi diselingi obrolan beberapa teman. Tentu saja, ditemani kepulan asap rokok di mana-mana. Kalau saja Indra belum pindah, dia pasti lagi nyuci motornya di pojokan sambil ngudud rokok favoritnya. Sekarang tempat tongkrongannya dipake si Raja. Katanya ini wasiat dari Indra, supaya dia meneruskan nyuci motor di sana. Haha..

"Gw mau maen ke rumah Indra ntar siang, loe mau ikut nggak?" gw berbincang dengan Raja yg sedang menyemprot motornya dengan selang air. Backsound pagi ini lagunya Stinky yg waktu itu masih lumayan tenar. Ada juga yg nyetel Bukan Pujangga nya Base Jam. Tapi gw sih suka classic rock yg selalu diputer "anak tengah" (sebutan buat penghuni kamar di lantai dua).

"Wah gw udah janjian sama cewek gw Ri mau ke Cikarang. Lo sama siapa emang ke sananya?"

"Berdua doank," gw kibaskan baju lalu menaruhnya di kawat jemuran. "Sama Meva."

"Ooh..." Raja mengangguk beberapa kali. "Cewek depan kamer lo itu ya?"

Giliran gw yg ngangguk.

"Kok bisa sih loe deket sama tuh anak? Perasaan kalo sama gw, sama yg lain juga, dia nggak pernah nyapa deh. Ya nggak ramah aja kalo menurut kita."

"Masa? Karna nggak kenal aja itu mah. Dia orangnya asyik kok."

"Loe naksir ya?"

"Naksir sapa?"

"Emang kita lagi ngobrolin siapa?"

"Hehehe. Enggak kok biasa aja. Gw sama dia emang deket, tapi sebatas temen baik. Itu aja."

"Hah..klasik! Entar ujungnya juga kalian pacaran? Tempatnya udah strategis tuh buat pacaran. Tapi inget, jangan sampe bocor." Raja tertawa lepas.

"Sialan! Loe pikir gw mau ngapain?"

"Hahaha.. Ya kali aja! Namanya juga cowok, apalagi sama cewek cakep kayak dia!"

"Udah udah kita cukupkan aja, sebelum loe tambah ngelantur." Gw angkat ember kosong di tangan gw lalu hendak balik ke kamer waktu terdengar derit pagar terbuka.

"Wuih! Pagi-pagi udah ada tamu bening aja!!" ucapan Raja menarik perhatian gw.

Di depan pagar, seorang cewek sedang menutup lagi pintu pagar lalu berjalan ke arah kami.

"Lisa?" gw menyapanya.

Lisa balas tersenyum lalu menyalami tangan gw, membiarkan pipinya yg halus menyentuh punggung tangan gw yg basah. Sementara gw liat si Raja melongo aja tuh kayak kambing congek. Hehehe

"Abis nyuci ya?" Lisa melirik ember di tangan gw.

"Iya. Lo kok pagi-pagi udah ke sini sih? Ada perlu apa?" jujur aja gw sedikit terkejut dengan kedatangannya. Apalagi siang ini kan gw udah janjian sama Meva.

"Lho, kenapa? Nggak boleh ya gw maen ke sini?"

"Eh ya enggak juga sih. Aneh aja pagi-pagi lo udah kemari."

"Mau maen, sekalian ada urusan kerjaan yg mau gw bicarakan ke elo."

"Oh ya udah ke kamer gw deh," gw dan Lisa berjalan meninggalkan Raja yg masih bengong. Hmm pagi ini Lisa wangi banget. Hehehe.

"Lo udah sarapan?" tanya Lisa.

"Udah."

"Sarapan apa?"

"Nasi uduk doank kok."

"Tanya donk, gw udah sarapan belum gitu? Nggak ada inisiatifnya banget sih jadi cowok."

"Hehehe," gw nyengir malu. "Ya udah tuh lo udah tanya sendiri, langsung lo jawab aja dah."

Lisa mencibir lalu berkata.

"Gw belum sarapan. Temenin gw nyari sarapan yah? Sekalian abis itu kita jalan-jalan, gimana?" katanya.

Weiitz. .jalan? Terus gimana sama janji gw ke Indra?

"Gw bisa temenin sarapan doank kayaknya. Siang ini gw janji mau ke rumah temen."

"Emh...kalo gitu ya udah gantian gw yg temenin lo ke rumah temen lo deh. Gimana?"

"Hah? Eh, itu..apa yak...lo nggak bakalan betah deh. Enggak enak juga entar lo dicuekin. Mau?"

"Ya udah deh nggak papa..."

"Hmmm tapi gw perginya sama Meva?"

Lisa hentikan langkahnya. Beberapa anak tangga lagi kami sampe di beranda kamer gw.

"Oh.." serunya tertahan. "Kalo gitu gw balik aja deh. Enggak enak, GANGGU kalian!" dan dia langsung berbalik pergi.

"Heyy mau ke mana lo? Katanya ada masalah kerjaan juga?"

"Gampang di kantor aja."

Huffft...gw salah lagi ternyata. Enggak enak juga sih bikin dia kesel lagi. Tapi yah gw kan emang udah ada janji siang ini? Whatever lah..

Gw dan Meva sudah bersiap berangkat ke rumah Indra sekitar pukul sepuluh siang. Yg bikin lama tuh nunggu Meva mandi plus dandan. Yah namanya cewek semua sama laah kalo soal durasi gituan. Karena gw memang gak punya motor, maka kami memutuskan untuk pake angkot. Nanti ganti pake becak deh buat sampe ke rumah Indra.

Dan gw inget banget hari itu Meva pake kaos oblong putih plus celana jeans panjang biru muda. Dengan rambut panjangnya dikuncir ke belakang, Meva keliatan manis banget. Ah, andai aja dia cewek gw! Hahahahaha...

Nyampe di lantai bawah gw ketemu Raja lagi ngunci pintu kamernya. Dia keliatannya mau pergi. Gw inget dia kan mau keluar sama ceweknya.

"Wuiih....Pangeran Charles dan Putri Diana," katanya mengejek begitu melihat gw dan Meva. "Mau kemanakah gerangan?"

"Sialan lo," bales gw sementara Meva di sebelah gw cuma senyum-senyum. "Mana cewek lo? Katanya mau ke Cikarang?"

"Iya ini gw mau berangkat. Cewek gw nunggu di kosannya."

"Lo nggak pake motor?" lanjut gw.

Raja menggeleng.

"Mau pake bus aja. Cewek gw nggak demen lama-lama pake motor."

"Nah, kalo gitu gw pinjem motor loe aja deh!"

Raja diam sebentar.

"Boleh.." katanya. "Lo punya SIM kan?"

"Punya donk."

"Ya udah, tapi balik nanti tank gw full loh."

"Beres!"

Raja membuka pintu kamernya lagi dan mengeluarkan sepeda motornya. Dia juga menyerahkan satu buah helm hitamnya.

"Surat-suratnya ada kan?" tentu saja yg gw maksud adalah STNK.

"Ada tuh lengkap di bagasi. Tenang aja pake motor gw mah aman. Dua tahun gw pake ni motor nggak pernah sekalipun kena tilang," kata Raja setengah promosi.

"Sip deh. Gw cabut dulu ya," gw dan Meva sudah bersiap di atas jok motor.

"Ya ya ya. Salamin buat si gundul yaah."

"Oke."

Dan berangkatlah kami menuju Karawang Barat. Gw baru sekali ke sana waktu nganter Indra pindahan, tapi gw masih inget jelas jalannya.

"Lo kok dari tadi diem aja Va?" gw ajak ngobrol Meva. Motor melaju cukup pelan di angka 50.

"Eh, enggak kok enggak papa. Masih ngantuk aja..." jawabnya. "Kirain tuh mau ke Indra nya sore atau malem. Tau gini kan semalem gw nggak begadang?"

"Ya udah kita balik lagi aja kalo gitu?"

"Yeeey udah tanggung laah masa balik lagi?"

"Emmh ya udah lo tidur aja, gw jalannya pelan deh. Tapi lo peluk gw, biar nggak jatoh."

"Yaaaaah maunya elo itu mah biar dipeluk sama gw!" Meva menempeleng kepala gw.

Gw tertawa lebar.

Selama perjalanan kemudian kami lebih banyak diam. Kami baru saja melewati Mall Karawang, ketika tiba-tiba dari belakang terdengar bunyi klakson nyaring. Sebuah motor gede warna putih dikendarai seorang pria berseragam lengkap memepet kami ke tepi.

"Selamat siang Pak," dia memberi hormat sesaat. Di helmnya ada tulisan "Polisi" warna biru terang. "Mau ke mana nih?" lanjutnya.

"Mmmh...ke Karaba Pak," jawab gw cukup gugup. Baru pertama ini gw di gape sama Polisi di jalanan. Tukang becak dan warung yg ada di sekitar kami memandang penuh minat ke arah kami bertiga.

Gw lirik Meva, dia cuma diam sambil mengangkat bahu.

"Bisa tolong tunjukkan surat-suratnya?"

"Oh bisa bisa," gw turun dari motor dan bergegas membuka bagasi. "Ada di sini suratnya."

"Ini Pak," gw menyerahkan selembar kertas dari dalam bagasi secara sembarangan. Cukup banyak kertas-kertas di sini.

"Apaan nih??" Polisi di depan gw merentangkan kertas di tangannya. "Ini kan fotokopi Kartu Keluarga?"

Weiitz !! Iya, gw baru inget biasanya STNK kan pake sampul plastik gitu yak? Kertasnya jg warna kuning gitu. Yg di tangan Polisi itu memang Kartu Keluarga. Meva di sebelah gw udah cekikikan aja tuh. Nggak tau apa gw lagi nervous gini??

"Saya minta STNK sama SIM. Bukan Kartu Keluarga?" Polisi itu geram. Dikiranya gw sengaja kali yak.!

Langsung dah tuh gw ambil tumpukan kertas surat yg gepeng ditimpa jok motor. Polisi di depan gw berdiri menunggu dengan tidak sabar.

"Sialan, dasar anak gendenk! Ngapain segala Akte Lahir ditaro di bagasi!" gw memaki dalam hati.

"Ada nggak STNK nya?" bisik Meva ke gw.

"Lagi gw cari," jawab gw pendek. Kesel sendiri jadinya.

"Ada nggak??" Polisi itu makin tidak sabar.

Setelah selanjutnya menemukan kopian surat dokter dan surat keterangan domisili, akhirnya gw dapatkan STNK. Buru-buru gw serahkan tuh STNK plus SIM gw ke Polisi yg kayaknya lagi laper.

"Kenapa nggak pake spion? Plat luar kota, tapi belagu banget di jalanan Karawang.." lanjut Polisi itu setelah beberapa saat mengecek SIM dan STNK gw.

"Maaf Pak, kemaren abis kecelakaan soalnya. Ini baru mau beli spion." Ada aja yg kena kalo sama Polisi!

Gw deg-degan, tapi nggak tau kenapa si Meva masih aja cekikikan menahan tawa. Apanya yg lucu siih???

Dan setelah beberapa menit mendengarkan ocehan si Polisi tentang pasal yg gw langgar, akhirnya disepakatilah ganti denda sebesar tigapuluhlima ribu perak karena gw menolak untuk melakukan sidang di Polres Karawang.

"Laen kali jangan lewat jalan gede kalo nggak mau ditilang," kata petugas Polisi sebelum gw pergi.

Aarrrggggh.......nggak papa lah, gw anggep sodakoh aja buat fakir miskin.!

Ada sebuah cerita unik yg terselip selama bertahun-tahun gw di Karawang bersama Meva..

Suatu malam di akhir Agustus...

Gw lagi asyik-asyiknya mimpi indah waktu gw mendadak terjaga karena guncangan di kepala gw.

"Bangun Ri..." suara Meva terdengar jelas.

"Apa-apaan siih bangunin gw jam segini?" gw menepis tangannya dari rambut gw. Kepala gw terasa berdenyut akibat jambakan tadi. "Pake jambak-jambak kepala orang? Besok gw kerja Va.."

Gw mengeluh kesal. Gw yakin saat ini belum nyampe tengah malam. Rasanya baru beberapa menit yg lalu gw tidur. Kamer gw juga masih gelap. Gw memang selalu tidur dengan lampu padam.

"Bangun dulu bentar lah," kata Meva lagi.

"Ada apaan sih?" bahkan gw nggak bisa melihat wajah Meva. Gw cuma tau dari suaranya, dia ada di sisi kiri gw.

"Bangun aja dulu," lanjutnya.

"Gw udah bangun. Bilang aja apaan. Nggak usah bertele-tele, ngantuk gw."

"Bangun," dia menarik gw duduk. Dan dengan sangat terpaksa gw bangun sambil otak gw masih berusaha mengingat mimpi apa tadi.

"Oke. Ikut gw keluar," siluet seseorang menghalangi pandangan tepat di depan gw. Siluet seorang perempuan.

"Mau ngapain siih?? Ganggu orang tidur tau!!" gw setengah berteriak mulai kehabisan kesabaran.

"Yeeeee nggak pake nyolot kali!" bayangan hitam di depan gw berkacak pinggang.

"Iya iya ada apaan sih emang?" gw pelankan suara gw.

"Ikut gw keluar," ucapnya lalu menarik tangan gw.

Aah, kerasukan apa siih ni anak?? Gw menggerutu dalam hati. Malem-malem bangunin orang tidur!

Pintu terbuka dan sinar lampu di luar akhirnya melunturkan bayangan hitam di depan gw, menggantinya dengan sosok Meva yg tetap saja terlihat manis meski kesadaran gw belum sepenuhnya pulih.

Meva membawa gw berdiri di beranda, menghadap sawah luas di depan sana. Bulan sedang nyaris purnama jadi cukup jelas buat gw melihat yg ada di kejauhan.

"Ini?" tanya gw. "Jadi lo bangunin gw cuma mau nunjukkin ini? Sawah-sawah ini??"

Meva nggak menjawab. Dia malah menggoyang-goyang kepala gw.

"Udah kumpul belum nyawa loe?" ujarnya.

Mau nggak mau kantuk gw lenyap.

"Ada apaan sih Va?"

Meva tersenyum lalu menunjuk bulan di langit.

"Indah yaa..." kalimat yg sudah bisa gw tebak.

"Biasa aja," komentar gw pendek.

"Indah tau! Lo nggak sensitif banget siih?"

Gw mencibir pelan.

"Akan lebih indah kalo lo mengijinkan gw balik ke kasur. Gw ngantuk Va, besok kudu kerja." lalu gw berbalik hendak kembali ke kamer gw.

"Tunggu bentar," Meva menahan tangan gw.

Dengan sejuta perasaan dongkol gw turuti maunya. Gw tetap berdiri di posisi gw, menghadap sawah yg harus gw akui memang indah tertimpa cahaya bulan, sementara Meva bergegas ke kamernya. Oke deh, gw mau liat maksud dan tujuannya malem ini bangunin gw secara paksa.

Gw menatap pemandangan di hadapan gw sambil bertopang dagu. Dari belakang gw terdengar derit pintu dibuka disusul derap langkah pelan menuju tempat gw berdiri. Pasti si Meva.

"Ri," panggilnya.

Gw menoleh dan langsung terkejut. Meva sedang menenteng di depan dadanya, sebuah kue cokelat kecil dengan lilin angka '23' menyala cantik di atasnya.

"Happy birthday...!" kata Meva penuh semangat.

Gw terperangah. Jadi ini maksudnya bangunin gw tengah malem? Sumpah gw sendiri nggak inget kapan ultah gw!

"Buat gw nih?" gw masih bingung.

"Emang sapa lagi, dodol? Ya elo lah! Selamat ulang tahun yg ke enampuluhtiga!"

"Enak aja! Gw tua banget donk?" dan kami berdua pun tertawa.

"Lo tau dari mana hari ini gw ultah?" tanya gw ingin tahu.

"Gw pernah liat di KTP lo." Meva menaruh piring kue di tembok. Apinya bergoyang pelan tertiup angin.

"Tapi seinget gw kayaknya bukan hari ini deh..." gw coba mengingat. "Bentar gw cek dulu deh KTP nya."

Gw ke kamer, ambil KTP dari dompet lalu keluar dan bersama-sama Meva mengecek tanggal lahir gw.

"Tuh kan?" seru gw. "30 September Va! Bukan 30 Agustus!"

Meva melongo. Meski berkali-kali mengecek, tanggal lahir di KTP gw nggak berubah. Meva menutup mulut dengan kedua tangannya tanda terkejut.

"Masa sih?" katanya kaget. "Gw salah donk?..." dan memandang gw malu.

Gw nggak bisa menahan tawa. Wajah Meva bersemu merah saking malunya. Dia nampaknya cukup shock.

"Sorry..gw pikir hari ini," Meva menatap iba kue di tembok.

"Makanya laen kali pastiin dulu lah," gw masih terkikih. Dalam hati kasian juga dia udah siapin surprize ini.

"Jadi gimana donk? Gw udah sengaja siapin kuenya juga.."

"Emh..ya udah, berhubung udah terlanjur, khusus buat tahun ini gw majuin ultah gw sebulan deh. Anggep aja hari ini gw beneran ultah." usul gw.

Meva tertawa pelan.

"Ide bagus tuh," sahutnya. "Ya udah deh tiup tuh lilinnya. Keburu mati dulu."

Fiiuuuh.....

Gw langsung meniup mati dua api lilin itu disusul tepukan tangan Meva. Dan akhirnya, malam itu jadi salahsatu malam yg nggak terlupakan buat gw. Kami duduk di tepi tembok, makan bareng kuenya sambil ngobrol ringan. Meski tanpa kado, toh nggak mengurangi makna malam ini secara keseluruhan. Biar gimanapun gw sangat menghargai upaya Meva merayakan ultah gw. Hmmm...malem ini memang indah Va....

Dan hari yg paling membahagiakan itu pun akhirnya tiba. Sohib gw Indra akhirnya menggelar resepsi pernikahannya, sekitar dua minggu setelah lebaran Iedul Fitri. Tanpa tunangan dan langsung ke gelaran pernikahan.

Jauh-jauh hari dia pernah mengenalkan calon istrinya, Dea namanya. Waktu itu mereka berdua maen ke kosan, dan diperkenalkan lah Dea ke gw dan Meva. Indra juga minta gw buat jadi pendamping pengantin pria, saat ijab qabul nanti. Oke gw setuju. Meva juga dilibatkan. Kalo gw jadi yg mendampingi Indra dari rumahnya menuju tempat hajat dan saat momen ijab qabul, maka Meva diminta Indra untuk mendampingi Dea, yg pada prosesi nya akan "menjemput" pengantin pria setelah prosesi akad nikahnya selesai. Meva nggak langsung setuju. Dia tadinya keberatan karena dia nggak terbiasa dengan suasana rame seperti pernikahan, tapi setelah dibujuk oleh Dea, akhirnya dia mau juga. Dea berjanji akan menyiapkan busana khusus buat kami berdua.

Gw seneng banget dilibatkan dalam acara ini karena gw juga jadi bisa belajar buat resepsi gw yang entah kapan itu terjadi. Hahaha.. Pokoknya mah gw akan laksanakan 'tugas negara' dengan sebaik-baiknya.

Minggu pagi yg cerah seolah jadi pertanda bahwa hari ini benar-benar akan jadi hari yg paling bersejarah di hidup Indra. Gw dan Meva tiba di rumah Indra sekitar jam setengah tujuh pagi dan langsung disambut pelukan bahagia sohib gw. Indra sedang akan dirias karena dijadwalkan akadnya jam sembilan ini. Tapi kalo gw liat dia agak nervous juga. Sudah selayaknya gw memberinya dorongan semangat.

"Thanks banget ya Ri udah mau bantu gw," kata Indra. "Loe juga Va..thanks berat deh buat kalian berdua!"

"Udah sana siap-siap," kata gw. "Biar gw sama Meva nunggu di sini aja." waktu itu kami ada di ruang tengah.

"Kalian udah sarapan belum?" tanyanya.

"Beluum!" Meva yg menjawab, setengah frustasi dan setengah bersemangat. Tadi kami memang buru-buru berangkat ke sini takut terlambat.

"Ya udah kalian sarapan aja dulu gieh. Di dapur banyak masakan tuh. Abis itu kalian ke kamer gw. Kalian juga akan dirias. Kalian kan pendamping pengantin." lanjut Indra yg kemudian masuk ke kamarnya.

Suasana rumah ini cukup ramai. Selain nyokap Indra yg tentu saja datang, ada juga rombongan sanak family dari Sidoarjo. Jadilah rumah ini seperti panggung ludruk, karena mereka semua berbicara dalam logat Jawa yg kental. Layaknya orang yg menggelar hajatan, masing-masing orang di sini juga sibuk dengan tugasnya. Ada yg menyiapkan seserahan, memastikan keadaan mobil yg akan dipakai, dan beberapa hal lain yg tentunya harus dipersiapkan sebaik-baiknya demi acara sakral ini. Gw dan Meva sarapan di dapur sambil ngobrol-ngobrol sama nyokapnya Indra. Rupanya Indra cukup banyak bercerita tentang kami ke nyokapnya, karena tanpa memperkenalkan diri pun beliau udah tau kami berdua yg akan jadi pendamping pengantin. Jadilah kami asyik ngobrol sampe Indra kemudian meminta gw dan Meva untuk segera dirias. Gw dirias di kamer Indra, sementara Meva di kamer yg lain.

Sebenernya bukan dirias kayak cewek siih. Dengan make up sederhana dan setelan jas hitam rapi dengan kopiah, rasanya orang akan bingung membedakan yg mana pendamping dan yg mana pengantinnya. Hahaha. Tapi enggak dink. Indra dengan busana kolaborasi Jawa-Sunda tampak mencolok dari yg lain.

Hari ini yg gw liat seperti bukan Indra yg gw kenal selama ini. Dia begitu beda sekarang, lebih dewasa dan matang dengan busana pengantinnya. Setelah semua dirasa beres, sekitar jam setengah sembilan semua berkumpul di ruang tamu. Di luar terdengar suara mesin mobil yg sedang dipanaskan. Gw dan Indra berjalan berdampingan menuju ruang tengah. Di sana nyokapnya Indra udah nunggu. Beliau langsung memeluk anaknya dengan tangis bahagia. Gw jadi terharu liatnya. Ada beberapa kalimat yg gw ingat diucapkan nyokapnya, sebenernya dalam bahasa Jawa, tapi karena keterbatasan ingatan gw dengan bahasa yg satu ini, gw tulis dalam bahasa Indonesia deh. Kurang lebih seperti ini yg diucapkan nyokapnya ke Indra.

"Ibu sayang kamu Nak. Ibu bahagia sekali liat kamu hari ini," katanya sambil tak hentinya mengucurkan airmata. Suasana hening ketika ini berlangsung. "Kalau saja ayahmu masih ada, dia pasti akan sangat bangga liat anaknya sudah jadi 'orang' seperti ini!"

"Iya Bu. Indra juga sayang Ibu dan semuanya.." Indra ikut menangis haru.

"Jadilah suami yg baik buat istrimu dan ayah yg teladan buat anak-anakmu kelak. Hari ini Ibu lepas kamu. Mulai saat ini kamu bukan tanggungan Ibu lagi, karena kamu sekarang adalah imam untuk keluargamu."

Hening dan khidmat. Itu yg gw rasakan. Kalimat yg diucapkan begitu meresap di hati gw. Jadi kangen juga sama nyokap di kampung.

"Nak, inget pesen Ibu akan satu hal : bimbing keluargamu untuk selalu melaksanakan sholat lima waktu. Kamu juga jangan lupa sholat malam..." lalu dikecupnya kening Indra.

Dan setelah diakhiri dengan doa bersama sebelum berangkat, Indra melangkahkan kaki kanannya melewati pintu simbol bahwa kebaikan akan selalu menyertai langkah nya kelak..

Perjalanan menuju rumah mempelai wanita terasa lama karena empat mobil yg berangkat berjalan pelan berderet ke belakang. Gw ada di mobil paling depan bareng Indra dan nyokapnya. Dua mobil di belakang membawa seserahan lamaran dan satu lagi untuk family yg ikut hadir. Ada juga beberapa yg pake motor, rekan kerja dari perusahaan Indra. Sampe saat itu gw belum ketemu Meva. Kayaknya dia di salahsatu mobil yg bawa seserahan. Nggak lucu kan kalo dia ketinggalan di rumah Indra? Haha..

Selama perjalanan Indra tampak tenang didampingi nyokapnya. Beda sewaktu pagi tadi. Mobil rombongan berhenti di pinggir jalan. Indra keluar dari mobil, tentu saja gw mendampinginya. Di sisi kiri Indra adalah nyokapnya. Kami dan rombongan berjalan perlahan masuk ke gang ditemani suara petasan yg memekakan telinga. Di kanan kiri kami banyak penduduk setempat yg memandang kami penuh minat. Sementara rumah Dea berada sekitar seratus meter dari gang. Berdampingan sama pengantin dengan dipayungi sebuah payung besar khas kekeratonan, entah kenapa justru sekarang gw yg nervous!

Suasana di tempat hajat sudah begitu ramai. Pengantin ceweknya pasti lagi nunggu di dalem rumah. Agak jauh dari rumah hajat, berdiri berbaris beberapa orang menunggu rombongan. Kami berhenti dan berdiri berhadapan dengan mereka. Salahsatu dari mereka yg membawa mikrofon, yg belakangan gw tau adalah bokapnya Dea a.k.a mertuanya Indra, mengucapkan penyambutan. Selesai itu giliran nyokapnya Indra menjawab sambutan tadi. Lalu kami dibimbing bokapnya Dea menuju sebuah musholla yg akan menjadi tempat berlangsungnya momen sakral dari acara ini, sementara rombongan seserahan lanjut menuju rumah mempelai.

"Ri, doain gw..." bisik Indra begitu kami duduk berhadapan dengan penghulu di dalam musholla.

"Pasti," gw menepuk bahunya. "Jangan gugup."

Indra mengangguk setuju. Bersama puluhan orang yg ikut hadir di dalam tempat suci ini, kami semua melakukan doa bersama sebelum prosesi akad. Pamannya Indra ditunjuk sebagai wali menggantikan bokapnya. Gw sendiri nggak hentinya deg-degan nunggu detik-detik akad nya.

Indra dengan mantap menjabat tangan penghulu dan menjawab lantang pernyataan sang penghulu. Sontak semua berseru "sah!" waktu pak penghulu kemudian memastikan keabsahan ijab qobul tadi.

Indra menarik napas lega lalu memeluk gw bahagia.

"Selamat Dul," kata gw. "Gw ikut bahagia."

"Thanks Ri. Thanks!"

Dan lalu kembali terdengar suara petasan meledak, disusul tetabuhan semacem rebana kalo gak salah. Iringan pengantin wanita nampak berjalan mendekat ke tempat kami. Indra, gw dan pamannya berjalan keluar dan berdiri di tempat kami menunggu kedatangan "penjemput".

Dan tibalah mereka... Dea yg sekarang sudah sah sebagai istrinya Indra muncul didampingi mamahnya, dan.....Meva! Itu dia! Pake kebaya putih dan rambut disanggul, dia keliatan beda banget. Ini pertama kalinya gw liat dia pake kebaya. Wouw..wouw..wouw! Hahaha.

Keliatan banget sebenernya Meva nggak nyaman dengan keberadaannya di dalam sini. Pamannya Indra berhadapan dengan nyokapnya Dea, Indra berhadapan langsung dengan Dea, dan gw ketemunya Meva tentu saja. Dia tampak malu-malu. Pipinya bersemu merah. Kali ini Meva lebih banyak menunduk dan sesekali memandang Indra dan Dea, seperti enggan melihat gw.

"Penjemputan" sendiri diisi dengan pernyataan dari kedua mempelai yg sama-sama mengikrarkan janji setia sehidup semati. Wuiih so sweet banget! Lalu keduanya berjalan berdampingan menuju pelaminan di rumahnya. Dan dengan begitu selesailah tugas gw. Meva juga.

Suasana di luar sudah ramai disesaki warga yg berderet menepi, ingin ikut menyaksikan momen-momen berharga ini. Begitu keluar, gw menarik Meva agak menjauh dari rombongan.

"Mau ke mana Ri??" tanyanya kaget.

Gw berhenti di tempat yg memberi kami sedikit ruang bebas.

"Kita ke dalem lagi yuk?" kata gw.

"Mau ngapain???"

"Mumpung penghulunya masih ada tuh, kita married yuk? Giliran kita tuh. Lumayan lah gratisan, jadi nggak perlu bayar lagi. Kan udah dibayar sama Indra," canda gw.

"Hah?" Meva terkejut. "Nggak modal banget loe pake penghulu bekas orang!" dia melepaskan tangannya dari genggaman gw lalu menempeleng gw pelan.

Gw tertawa lebar liat ekspresi wajah Meva.

"Yah lumayanan lah!" kata gw.

"Ogah!" lalu Meva berjalan kembali ke dalam rombongan.

Gw segera menyusulnya dan berjalan di sampingnya.

"Jadi lo nggak mau nih gw ajak married?" goda gw lagi.

"Lo punya apa? Berani-beraninya ngajak gw married," jawab Meva dengan nada yg dibuat-buat.

"Gw punya cintaaa...." sumpah gw lagi niat banget tuh godain Meva.

Meva mencibir.

"Makan tuh 'cinta'.! Cari duit dulu yg banyak baru ngelamar gw!" dan kami pun tertawa, nggak peduli dengan tatapan orang-orang di dekat kami yg keheranan.

Setelah menyantap hidangan dan berfoto bareng kedua mempelai, gw dan Meva duduk di meja pager ayu. Kami memutuskan hari ini ganti profesi jadi penyambut tamu. Padahal pager ayu yg aslinya udah ada empat tuh. Well, acaranya meriah banget. Gw dan Meva pamit pulang menjelang malam.......

Gw diam sejenak dan mencoba sedikit berfikir tentang semua yg udah gw lewati di hidup gw. Gw cuma mau review, seandainya saat lahir dulu gw ada di angka nol..maka sekarang ini gw nyampe di angka berapa yak? Oke, anggap saja finishnya adalah angka 100. Apa gw sekarang sudah mendekati itu? Limapuluh? Tujuhpuluh? Atau bahkan cuma beberapa angka dari nol?

Rasanya waktu terlalu cepet berlalu tanpa gw bisa banyak berbuat untuk hidup gw sendiri. Gw udah nyampe di usia 23 tapi belum banyak perubahan yg gw rasakan. Semuanya masih sama seperti baru lulus SMA. Dibandingkan dengan Indra yg nyaris sudah mendapat semuanya, jelas gw nggak ada apa-apanya. Rumah, istri, dan segala tetek bengeknya, gw masih jauh dari itu.

Tapi toh kalau gw cuma memikirkan soal materi, semua nggak akan ada habisnya. Gw akan selalu merasa kekurangan, gw yakin lah. Bener kata Indra, masa depan gw adalah misteri. Dan yg bisa gw lakukan cuma ngejalanin yg ada sambil menunggu ke mana misteri ini akan berujung.

Gw embuskan asap putih dari mulut gw ketika terdengar langkah kaki menapaki tangga. Pasti Meva baru balik dari kampus.

"Hayy Ri.." panggilnya dengan nada khas nya.

Bener kan itu Meva. Ah, bahkan cuma mendengar irama langkah kakinya gw hafal itu dia! Hebat banget ya gw??

"Tumben baru balik jam segini?" sahut gw tanpa mengalihkan pandangan dari sawah yg nampak indah tertimpa sinar senja di depan gw.

"Ada tugas banyak banget," Meva berdiri di sebelah gw dan menggeliatkan badannya. Dan wangi parfumnya langsung menyeruak ke hidung gw.

"Eh, loe ngerokok??" kata Meva lagi kaget.

Gw menatap batang rokok yg terhimpit diantara telunjuk dan jari tengah gw. Hebat banget yak dia bisa tau kalo ini rokok?? (dengan nada menyindir)

"Enggak kok. Ini kan singkong?" jawab gw santai.

"Mana ada singkong ngeluarin asap kayak gitu!??"

"Ini singkong ajaib."

"Bukan, itu rokok Ri. Bego amat gw kalo nggak bisa bedain mana rokok mana singkong?"

"Yeeeeey kan udah gw bilang ini singkong ajaib?" gw bertahan dengan argumen gw. "Orang lain akan ngeliat singkong ini adalah rokok, padahal ini cuma singkong goreng kok."

Meva menatap lekat-lekat rokok di jari tangan gw. Dia seperti ingin meyakinkan dirinya kalo ini memang singkong goreng!

"Ini rokok ah!" akhirnya Meva sampai pada kesimpulan akhirnya.

"Emang ini rokok, siapa yg bilang ini singkong goreng?"

Meva mendengus kesal. Direbutnya rokok dari tangan gw dan langsung dilempar ke bawah.

"Sejak kapan loe ngerokok? Setau gw loe nggak pernah ngerokok," cecarnya.

"Itu batang rokok pertama gw. Baru juga sekali isep, kok dibuang sih?" protes gw.

"Gw nggak suka liat loe ngerokok!"

"Ya udah gw ngerokok dalem kamer aja biar lo nggak liat.."

"Rokok itu nggak baik buat kesehatan tau!"

Gw tertawa pelan. Sial banget gw, baru pertama nyoba ngerokok eh malah dibuang rokoknya.

"Masa lo nggak tau sih riset yg dilakukan seorang profesor Jepang tentang rokok?" ujar gw. "Gw baca di majalah, katanya rokok bisa mencegah rambut seseorang beruban lho!"

"Jelas aja perokok nggak punya uban, mereka kan mati sebelum sempat ubanan??"

Gw tertawa lebar. Ah, udahlah. Gw juga kayaknya nggak bakat jadi perokok.

"Loe tau? Dalam satu batang rokok, ada jutaan racun mematikan yg bisa bikin lo mati kapanpun." Meva mulai berceramah.

"Oke oke. Sorry, tadi gw cuma coba-coba kok.."

"Nyoba tuh hal baik kek, jangan nyoba yg nggak bener lah."

"Iya, ibu guru..."

Meva mencibir.

"Tapi kok ibu guru perhatian banget sih sama saya, sampe segitunya? Hohoho.."

"Bukan apa-apa. Gw males aja kalo nanti gw harus jadi saksi di pengadilan, seandainya lo mati keracunan rokok di kamer lo."

"Yah gw pikir saking baiknya lo, ternyata..." gw mendesah kecewa.

Meva terkikih pelan.

"Udahlah nggak ada gunanya ngerokok. Sayang duit lo. Mending kumpulin aja tuh duit buat modal kimpoi," kata Meva masih menasehati gw.

"Emang gw mesti punya berapa duit sih buat ngelamar loe Va?" iseng gw tanyain itu. Haha.

Meva tampak terkejut. Setelah berfikir beberapa detik dia menjawab.

"Emmh..gw punya syarat buat lo kalo mau jadi laki gw."

"Apa tuh?"

"Lo harus buatin gw mall di atas Bendungan Walahar. Terus, buatin gw perahu yg gede biar gw gampang kalo mau ke mall. Dan semua itu harus dikerjakan dalam satu malam sebelum fajar tiba!" katanya.

"Wah kalo gitu gw nyerah deh...entar ujung-ujungnya gw dikerjain pake suara ayam," kami pun tertawa.

"Eh Ri, hari Sabtu besok lo lembur nggak?" tanya Meva.

Gw menggeleng.

"Emang napa?" gw balik tanya.

"Ikut gw yuk ke Jakarta."

"Mau ngapain emangnya?"

"Duit gw udah mau abis. Udah waktunya gw dapet suntikan dana. Yah sekalian gw kenalin lo ke nyokap gw.."

"Masa? Apa ini ada hubungannya sama lamaran?? Wah gw nggak nyangka secepet ini.!" canda gw.

"GR amat lo!" Meva menempeleng gw pelan. "Baru dikenalin aja udah ngehayal jauh."

Gw nyengir bego. Pasti muka gw keliatan aneh dah.

"Ya udah ntar kita omongin lagi deh. Gw capek nih mau mandi dulu," Meva berjalan menuju kamarnya lalu klik...dan pintunya tertutup rapat.

Sabtu pagi-pagi bener Meva udah gedor kamer gw, ngingetin janji gw nemenin dia ke Jakarta. Saking semangatnya dia kayak lagi ngajak Perang Dunia ke 3. Dan setelah berdebat sengit selama setengah jam soal waktu keberangkatan akhirnya tepat jam tujuh gw dan Meva berangkat pake bus jurusan Priok. Berhubung mata lagi sepet-sepetnya gw tidur deh selama perjalanan, nggak peduli si Meva mau ngoceh kayak apa juga. Gw anggep radio rusak aja. Salah dia sendiri kan ngajak gw pas ngantuk-ngantuknya?!

Gw bangun gara-gara kepala gw kejedot jendela. Si Meva malah ketawa-ketawa puas liat gw sakit.

"Nggak di kosan nggak di tempat umum kerjaannya ngebooo mulu," komentarnya.

"Ngantuk Va..semalem kan gw begadang," sergah gw. Baru sadar kalo badan gw basah oleh keringat. Selain panas, busnya juga hampir penuh penumpang. Gw dan Meva kebagian di bangku ujung dekat pintu belakang. "Panas banget yak?"

"Buka aja kacanya."

Gw menggeser kaca jendela di samping gw. Bus berhenti di loket pintu tol Pondok Gede.

"Berapa lama lagi sih?" tanya gw.

"Sekitar limabelas menit ke Priok. Abis itu ganti bus yg jurusan Blok M."

"Yah masih lama donk?" gw mendesah kecewa. Akhirnya gw putuskan mencoba tidur lagi walaupun ternyata sia-sia. Panasnya bener-bener menyengat.

Dan bukan Jakarta namanya kalo nggak macet. Setengah jam setelah lewat tol Pondok Gede tadi, baru deh nyampe terminal Tanjung Priok. Gw udah kayak orang mandi aja. Kaos gw basah kuyup. Meva juga kepanasan sebenernya. Buliran peluh bercucuran membasahi bulu-bulu halus di lehernya. Tapi dia samasekali nggak mengeluh kepanasan. Nih anak kayaknya lagi semangat 45.

Butuh sejam sebelum akhirnya kami tiba di terminal blok M. Dari situ lanjut lagi pake mikrolet, nggak tau jurusan mana. Yg gw tau adalah akhirnya kami berdiri di depan sebuah rumah model kuno zaman Belanda. Di sini sejuk banget. Mungkin karena letak rumahnya yg cukup jauh dari jalan raya jadi nggak begitu kena polusi.

"Ini dia, akhirnya nyampe juga!" Meva membuka pagar besi bercat kuning yg sudah aus termakan usia. "Selamat datang di rumah gw."

Gw memandang berkeliling. Ada satu pohon besar di tengah halaman yg dipasangi ayunan di dahannya. Gw perkirakan usia ayunan itu sudah lebih dari sepuluh tahun dan sangat jarang digunakan karena tali rantainya sudah berkarat parah. Sayup-sayup terdengar lagu gambang kromong yg diputar dari dalam rumah.

"Woy, malah bengong." Meva membuyarkan lamunan gw. "Masuk yuk?"

Kami sampai di depan pintu dan sebelum Meva sempat mengetuknya pintu sudah terbuka. Seorang wanita tua berusia 60an berbaju cokelat muncul dan melempar senyum ke arah kami.

"Hay Oma," Meva memeluk neneknya.

"Kamu tambah gemuk aja Va," Oma berseru gembira.

"Masa sih? Baru juga sebulan nggak ketemu udah dibilang gemuk," Meva meraba-raba perutnya. "Emang gw gemukan ya Ri?" tanyanya ke gw.

Gw asal ngangguk aja.

"Ah enggak ah! Kalian berdua sekongkolan nih bilangin gw gemuk!" dia memprotes sendiri.

"Va..itu...?" Oma menunjuk ke gw.

"Oh...kenalin ini temen Meva, namanya Ari," dia menarik gw mendekat dan menyalami Oma nya.

"Temen kuliah?" tanya Oma.

"Bukan. Temen di kosan." Meva nyengir malu.

"Oooh," Oma menganggukkan kepala. "Ya udah masuk sini..."

Dan akhirnya gw bisa selonjoran juga. Gw duduk di sofa tua di ruang tamu sementara Meva melempar tas nya sembarangan ke sofa lalu bergegas ke dalam. Oma duduk di seberang gw. Seperti penghuninya, perabot-perabot di rumah ini terbilang tua. Kuno tepatnya. Banyak aksesoris rumah khas zaman Belanda yg dipajang di ruangan ini.

"Mau minum apa Ri?" Meva muncul dari balik tembok.

"Jus alpukat deh," jawab gw.

"Gila aja, lo kira ini kafe? Mana ada jus alpukat!"

"Kalo gitu jus melon deh."

"Nggak ada, dodol!"

"Ya udah es teh manis aja. Ada?"

Meva menggeleng.

"Adanya aer putih doank," jawabnya bodoh.

"Terus ngapain donk lo nawarin kalo nggak ada pilihannya?"

Meva cengar-cengir.

"Kan basa basi? Biar lebih akrab aja gitu.."

Gw mendengus kesal.

"Ada kopi di lemari tuh Va," kata Oma.

"Lemari mana?"

"Yg tengah tuh, samping tivi.."

Bergegas Meva kembali ke dalam. Sementara menunggu gw dan Oma ngobrol-ngobrol basa basi gitu. Tentang asal dan kerjaan gw.

"Hayoo lagi ngomongin gw yak?" kata Meva dengan pedenya yg muncul membawa segelas air dingin. Padahal kan tadi katanya ada kopi yaa??

"GR loe," jawab gw pelan.

"Kamu udah ke Mamah, Va?" tanya Oma.

"Belum. Ini baru mau ke sana, istirahat dulu bentar deh. Oiya tante mana Ma?"

"Belum dateng. Mungkin nanti sore.. Kamu mau minta duit ya?"

"Hehehe...tau aja nih si Oma. Lagian kalo bukan minta duit, ngapain lagi coba Meva ke sini?"

"Ya udah tunggu aja tante kamu dateng."

"Oke."

Kami bertiga akhirnya ngobrol-ngobrol ringan. Ditemani musik khas gambang kromong yg mengalun pelan dari kamar Oma, suasana siang itu bener-bener bikin ngantuk. Udah dasarnya ngantuk, ditambah lagi suasana mendukung, ya udah deh akhirnya gw tanpa sadar tertidur di tengah obrolan kami bertiga.....

"Ri..bangun Rii..." sebuah tepukan di pipi membuat gw terjaga.

Meva sedang berdiri di depan gw sambil satu tangannya berkacak pinggang.

"Ni anak kebonya minta ampun!" dia gelengkan kepala beberapa kali. "Nggak di kosan nggak di rumah orang, kerjaannya ngeboooo mulu!"

"Ngantuk gw Va.." gw benahi posisi duduk gw.

"Mata lo ada lem nya yak? Kayaknya gampang banget tuh mata nutup," dia lanjutkan ngomelin gw.

Gw menguap malas.

"Oma mana?" tanya gw.

"Di kamer. Lo nya nggak sopan sih ada orangtua ngajak ngobrol malah molor."

"Iya iya maap.."

Meva mencibir.

"Ya udah buruan cuci muka," lalu menarik tangan gw menuju dapur. Ada wastafel di sana. "Abis ini ke rumah nyokap gw."

"Kok nggak bareng di sini? Katanya ini rumah lo?"

"Sapa bilang? Ini rumah nenek gw."

"Tadi pas baru dateng, lo bilang kayak gitu. Ah, nevermind lah. Kita ke mana nih?"

"Grogol," jawab Meva pendek.

Selesai cuci muka kami kembali ke ruang tamu. Setelah pamitan ke Oma, gw dan Meva berangkat pake bus. Gw nggak hafal kota Jakarta jadi gw ngikut Meva aja. Selama perjalanan Meva nggak banyak ngomong. Dia lebih banyak melamun menatap keluar jendela. Tiba-tiba saja dia berubah jadi pendiam.

Dan Meva benar-benar nggak bicara sampai kami tiba di depan sebuah pintu teralis besi. Seorang wanita berseragam membuka gemboknya dan mempersilakan kami masuk. Ruangan ini terletak agak terpisah dari ruangan-ruangan lainnya.

"Dua malam yg lalu mamah kamu kumat, jadi kami pindahkan ke tempat favoritnya," kata wanita berseragam itu pada Meva.

Meva hanya membalas dengan senyuman lalu mendahului gw masuk ke ruangan. Sebuah ruangan kecil yg pengap dengan satu tempat tidur yg sangat kotor tanpa sprei. Orang waras manapun pasti enggan berada di ruangan ini.

"Mah..." Meva berjalan cepat menuju seorang wanita di sudut ruangan. "Mamah apa kabar?" dan langsung memeluknya.

Langkah gw terhenti di depan pintu. Menatap lekat-lekat wanita paro baya yg sedang dipeluk Meva. Seolah tidak peduli dengan kotor dan baunya wanita itu, Meva memeluknya penuh cinta.

Gw disuguhi pemandangan yg mengejutkan sekaligus mengharukan di depan mata gw. Seorang wanita muda, cantik dan rapi, tengah memeluk wanita yg tampak jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Berpenampilan serba kusut, rambut panjang yg tidak pernah disisir hingga mengeras, wajah yg keriput dan berminyak serta jari-jari kasar yg hitam. Sangat kontras dengan Meva.

"Mah," lanjut Meva. "Mamah baik-baik aja kan?"

Wanita itu tetap diam. Nggak berusaha melepaskan diri dari pelukan Meva tapi juga nggak menyambutnya. Dia menatap kosong atap bangsal yg berjamur.

"Meva kangen sama Mamah..." Meva masih memeluknya erat.

Jadi, inikah dia? Wanita tua gila ini adalah mamahnya Meva? Ya, sudah jelas wanita itu gila. Gw langsung menyadari adanya keganjilan begitu Meva tadi menggandeng gw masuk melewati gerbang Rumah Sakit Jiwa ini. Tadinya gw pikir akan menemui seorang dokter wanita pengurus pasien di sini, tapi nyatanya...

Hemmmpph......napas gw seperti tertahan di kerongkongan. Bener-bener sesuatu yg nggak terduga. Gw cuma bisa terpaku, memandang Meva di sudut sana yg kini menitikkan airmata. Entah bahagia entah sedih..

"Mah, ini Meva Mah..." Meva melepas pelukannya, lalu membelai rambut wanita itu. Jelas sekali jari-jarinya yg lentik cukup kesulitan mengikuti bentuk rambut yg mengeras. "Mamah udah makan belum?"

Wanita itu akhirnya menatap Meva.

"Makan?" ucapnya pelan.

"Sebentar," Meva merogoh saku celana jeans nya dan mengeluarkan sebatang permen lolipop. "Ini permen kesukaan Mamah. Masih dingin lho, tadi Meva ambil dari kulkas di rumah."

Meva membuka bungkusnya lalu menyerahkannya ke mamahnya yg sangat antusias menerima permen dari Meva. Meva tertawa pelan. Bahagia tapi airmatanya nggak berhenti menitik.

"Mamah cantik banget hari ini," diusapnya pelan pipi wanita tua itu.

Meva menatapnya penuh sayang.

"Mamah, Meva kangen banget sama Mamah..."

Dia mengacuhkan Meva.

Hati gw mencelos. Sangat tidak bisa dibayangkan rasanya ada di posisi Meva sekarang.

"Mamah kapan pulang ke rumah? Kita bikin puding bareng lagi ya?"

Rasanya seperti bukan melihat Meva yg gw kenal. Seolah terbalik, Meva mengusapi pipi wanita itu, layaknya usapan seorang ibu pada bayinya yg baru lahir. Penuh kasih dan harapan.

"Oiya Mah, coba tebak Meva ke sini sama siapa?" Meva memandang gw dan melambaikan tangannya mengajak gw mendekat.

Gw jongkok berlutut di samping Meva.

"Kenalin Mah, ini Ari..."

Kedua mata wanita itu menatap gw tajam, dan sedetik kemudian dia berteriak histeris. Melempar gw dengan permen di tangannya lalu mulai mengoceh. Wanita berseragam yg menunggu di depan pintu berteriak memanggil dua rekannya, dan beberapa detik kemudian mereka menyergap nyokapnya Meva, menahan tendangan dan pukulan yg diarahkan sporadis ke udara. Mendadak gw jadi ngeri.

Meva langsung menggandeng gw keluar.

"Sampe ketemu lagi Mah..." ucapnya setengah berteriak mengatasi raungan nyokapnya di dalam. Dia menyeka airmatanya, lalu mendahului gw berjalan keluar...

Kalau ada yg bertanya, lagu apa yg paling berkesan dalam hidup gw, maka jawabannya adalah 'Endless Love'.

Pagi itu gw terbangun ketika matahari pagi sudah menampakkan diri di ufuk timur. Gw masih di Jakarta, dan yg pertama gw ingat pagi itu adalah Meva. Kemarin sore kami menikmati perjalanan pulang dalam kebisuan. Begitu sampai di rumah Meva langsung mengurung diri di kamarnya. Jadilah gw menghabiskan malam ngobrol bareng Oma dan Tante Ezza, tantenya Meva. Mereka bilang Meva memang selalu begitu tiap kali menjenguk mamahnya. Tapi mereka meyakinkan gw kalau Meva akan baik-baik saja.

Dan benar, pagi ini gw menemukan dia sedang duduk di ayunan di halaman depan. Dia langsung tersenyum lebar melihat gw.

"Tumben pagi-pagi kebo udah bangun," katanya menyapa dengan nada ceria.

Gw duduk di sebuah batu besar di sisi tembok, setengah meter dari tempat Meva.

"Ini udah siang kali Va," kalo nggak salah liat tadi di ruang tengah jam dinding menunjukkan jam setengah tujuh pagi.

Pagi ini cukup sejuk. Nggak nyangka juga, soalnya yg gw tau Jakarta kan terkenal panas dan polusinya. Mungkin karena di halaman ini banyak tanaman jadinya berasa adem.

"Kok sepi? Tante sama Oma kemana?" gw memandang berkeliling.

"Paling juga Oma lagi ngerajut di kamernya. Oma gw ahli lho, gw pernah dibuatin sweater rajutan tangannya waktu kecil dulu. Kalo tante, kayaknya lagi belanja di pasar."

Baru saja selesai ngomong, pintu pager terbuka dan masuklah Tante Ezza dengan membawa beberapa sayuran dalam kantong putih.

"Tante pasti mau masak makanan favorit gw kalo di rumah," Meva berkomentar menatap tantenya yg sempat melempar senyum sebelum masuk ke rumah.

"Oiya? Emang apa menu favorit lo?"

"Soto betawi. Enak banget tuh, apalagi buatan tante gw. Ntar lo coba juga deh.." Meva bercerita dengan antusias. "Terus sama keripik bayem. Buat cemilan gitu," dia tertawa pelan.

Seneng rasanya liat Meva ceria kayak gini. Kontras sekali dengan sikapnya yg kemarin. Hari ini dia terlihat sangat siap menghadapi apapun. Tapi gw tetap menahan diri untuk mulai membahas soal kemarin. Gw takut merusak mood nya.

"Lo tadi tidur di kamer mana?" tanya Meva.

"Yg di tengah tuh, yg acak-acakan gitu dalemnya."

"Hahaha... Itu dulunya kamer gw. Yah lo tau sendiri lah gw paling males soal beberes kamer."

"Udah gw duga."

Meva tertawa lagi. Bener-bener nggak nampak kesedihan yg kemarin sempat mengurungnya begitu dalam. Pagi ini cocok banget dengan keceriaan Meva. Dari dalam rumah terdengar alunan musik yg diputer Tante Ezza, menambah harmonis suasana. Yg diputer lagu-lagu lama semacem Boullevard dan First Love.

"Eh Ri, maaf ya soal kemaren.." kata Meva.

Gw tersenyum lebar.

"Enggak papa kok Va gw ngerti," ujar gw. "Nggak usah dipikirin soal gw mah."

Meva nampak diam sesaat. Dia berhenti berayun.

"Lo nggak malu kan, kenal sama cewek yg punya nyokap gila kayak gw?" tanyanya iba.

"Waduh, ngapain mesti malu? Biasa aja kali. Lo nya juga nggak usah ngerasa nggak enak gitu lah sama gw."

"Enggak Ri.. Gw cuma malu aja sama lo."

"Malu napa?"

"Yaa..malu. Temen-temen sekolah gw aja dulu sering banget tuh ngejekin dan ngerendahin gw cuma karna keadaan nyokap gw yg nggak senormal orangtua mereka..." kedua matanya menerawang jauh ke masa lalunya. "Padahal kan nyokap gw sama nyokap mereka juga sama-sama manusia? Kenapa mereka terlalu mempermasalahkan kelainan nyokap gw..."

"Yaah tiap orang punya statement berbeda soal itu. Yg jelas, gw nggak pernah mempermasalahkan itu. Gw terima semua orang apa adanya mereka, apapun latar belakang keluarganya."

"Huuh...padahal dulu nyokap gw juga normal, nggak kayak gitu.."

Sejenak angin bertiup dingin menerpa tengkuk gw.

"Sorry, jadi curhat gini.." Meva nyengir malu.

"No problem. Kalo mau cerita, silakan. Gw pendengar yg baik kok."

"Thanks. Lo emang selalu jadi pendengar yg budiman, yg rela kupingnya panas dengerin radio rusak kayak gw."

Gw tertawa. Gw hampiri Meva lalu mulai mendorong ayunannya pelan.

"Sejak kapan nyokap lo kayak gitu?" gw beranikan diri bertanya.

"Beberapa tahun setelah kita balik ke Indonesia. Nyokap gw stress berat gitu. Sempet sembuh beberapa bulan, tapi kambuh lagi. Ya sudahlah, panti rehab tempat yg cocok buat nyokap gw."

Dan CD player di dalam rumah sudah sampai di lagu Endless Love. Suara merdu Diana Ross mengalun indah.

Meva turun dari ayunan dan berdiri menghadap gw.

"Gw sayang banget nyokap gw," lanjut Meva. "Sampe kapanpun gw akan tetep sayang dia, gimanapun keadaannya. Gimanapun orang mencemooh, gw tetep bangga sama nyokap gw."

Dia tersenyum lalu memeluk gw.

"Thanks ya Ri," bisiknya pelan. "Udah jadi penyemangat hidup gw..."

Gw nggak tau mesti ngomong apa. Ya udah gw belai aja rambutnya. Meva malah nyenderin kepalanya di pundak gw. Dia kayaknya nyaman banget tuh. Dan tanpa sepatah katapun yg keluar, diam-diam gw menikmati hangatnya pelukan Meva pagi ini..

you'll be the only one..
oh no I cant deny..
this love I have inside..
and I'll give it all to you..
my love...
my endless love.....

"Emh..sorry.." Meva melepas pelukannya dari gw.

"It's oke. Mau dua jam lagi juga boleh kok," canda gw.

"Dih maunya..!" dia dorong wajah gw. "Lo mah suka gitu, ngerusak suasana aja."

Gw tertawa lebar.

"Masa siih? Gw kok malah ngerasa lagi ngebangun suasana yak?"

Meva mencibir.

"Ngomong-ngomong..hari ini kayaknya cerah. Bagus nih buat jalan-jalan. Mumpung lagi di Jakarta," kata gw.

Si Meva malah ketawa.

"Lo kayak nggak pernah ke Jakarta aja," ucapnya. "Gw malahan sumpek. Makanya gw kuliah di Karawang. Enak di sana, adem dan nggak macet."

"Iya emang gw belum pernah ke sini. Ini kan yg pertama kalinya gw maen ke Jakarta, Va."

"Orang utan sih loe. Di Kalimantan maenannya ama anak monyet mulu yak?" Meva terkikih pelan.

"Yaelah jahat bener omongan lo Va.."

"Hahaha. Maap deh gitu aja sewot."

Meva duduk lagi di papan ayunan dan mulai berayun pelan.

"Eh lo kan udah maen nih ke rumah gw," ujarnya. "Ntar gantian gw donk yg ke rumah lo? Yayaya?"

"Ke rumah gw? Ngapain?"

"Ya maen-maen aja. Boleh kan?"

"Jangan. Rumah gw banyak ranjaunya."

"Ah, bisa aja ngelesnya! Pelit amat loe!"

"Bukan gitu...masalahnya jauh Va, dari sini ke rumah gw. Kudu nyebrang samudra, daki gunung, lewati jalan terjal.."

"Jiaah, pake dilebihin gitu! Ayo doonk Ri...boleh ya? Kapan nih? Kapan?" Meva keliatan semangat banget nih kayaknya.

"Kapan-kapan."

Meva cemberut. Sambil berayun dia menarik kaos gw sampe gw nyaris terjatuh. Meva malah tertawa senang liat gw terjerembab.

"Ayo, kapan donk gw diajak ke rumah lo?" cecarnya.

"Iya iya entar cari waktu yg tepat. Ke sana nggak cukup sehari dua hari tau."

"Yeeey...akhirnya!" Meva tepuk tangan. "Entar ajak gw ke tempat wisata di sana ya?"

"Iya liat entar aja."

"Eh tapi gw nggak punya duit buat ongkosnya. Lo yg bayarin yak? Yayaya?"

"Busett dah kejem bener lo Va. Udah maksa, minta diongkosin pula."

"Hehehe.." Meva nyengir lebar.

Sejenak kami diam. Gw cuma memperhatikan Meva berayun. Rambut panjangnya bergerai terbawa gerakannya. Gw baru sadar ternyata Meva mengecat cokelat rambutnya. Yg diwarnai bagian belakang dan sedikit di sampingnya jadi nggak terlalu keliatan kalo dikuncir.

"Sejak kapan lo jadi bule, Va?"

"Hmm?" Meva menyentuh rambutnya. "Barusan semalem kok pas di kamer."

Yaelaah..! Jadi semalem ngurung diri di kamer karna ngewarnain rambut?? Gw udah parno aja kemaren, takut dia kumat. Eh taunya...

"Eh semalem lo nggak ngapa-ngapain kan?" tanya gw lagi.

"Maksudnya?" Meva balik tanya.

"Yaa gw khawatir aja, keadaan kemaren bikin lo kumat."

"Oh, maksudnya 'maenan jarum' gitu?"

Gw mengangguk.

"Tenang aja lah Ri..gw udah nggak pernah ngelakuin hal bodoh itu lagi kok," dia hentikan ayunannya. Berdiri, lalu melepas stoking hitam di kakinya. "Lo liat? Bekas lukanya juga udah sembuh."

Ini kali pertamanya gw liat Meva melepas stoking yg selalu dipakainya. Terakhir gw liat ya pas pertama ketemu, waktu bekas sayatannya masih seger. Tapi sekarang, entah apa yg dipake Meva selama ini, kedua betisnya jenjang dan halus. Beda banget sama dulu.

"Liatinnya biasa aja siih," Meva menepuk pipi gw.

"Eh ngg... gw biasa aja kok! Lo nya aja yg ke GR an."

"Yaah dasar cowok."

Gw tertawa pelan.

"Pake lagi lah, gw nggak biasa liat lo telanjang kaki gitu. Kan julukan lo wanita berkaos kaki hitam? Hehehe."

Meva menuruti permintaan gw.

"Ya harus gw akuin, kadang gw pengeen banget ngelakuin itu lagi," Meva bercerita sementara gw mengernyit ngeri. "Tapi gw tahan aja deh. Gw coba alihkan pikiran gw, misalnya nyibukkin diri sendiri."

"Baguslah."

"Udah gitu aja komen loe? Kasih selamat kek."

"Huh.. Iya. Selamat ya atas keberhasilannya," lama-lama gedek juga ngobrol sama Meva.

Meva senyum lebar.

"Mau balik ke Karawang jam berapa?" tanyanya.

"Lha kok tanya ke gw? Serah lo aja deh kan lo tuan rumahnya? Asal jangan kemaleman aja. Besok gawe, mana belum diangkatin lagi jemurannya."

"Tenang aja kayaknya hari ini cerah, nggak akan ujan."

Gw mengangkat bahu.

"Ya udah jadi kita mau jalan ke mana nih hari ini?" kata gw.

"Lo beneran mau jalan? Kita ke Ancol aja, gimana?"

"Boleh tuh. Jauh nggak dari sini?"

"Jauh lah. Nanti kita berangkatnya sekalian pamit pulang, biar nggak bolak-balik."

"Oke. Gw ngikut lo aja lah."

"Oiya gw bawa kamera deh, lumayan buat kenang-kenangan. Kapan lagi kan kita ke Ancol bareng..."

Tante Eza muncul dari jendela dapur, ngasihtau sarapan udah mateng. Gw dan Meva bergegas masuk buat sarapan. Setelah mandi dan siap-siap (nggak lupa juga Meva minta duit ke tantenya), kami berdua pamit pergi sekitar jam sepuluh an.

"Duduk bentar lah gw puyeng banget," Meva duduk di pinggir jalan.

Gw tertawa mengejek.

"Baru naek sekali aja udah tepar," kata gw.

"Gw beneran puyeng niih Ri..." Meva pegangi perutnya. "Mana mual lagi."

"Huh, lo juga sih biasa maen komidi puter pake naek halilintar segala," ejek gw. Yes..ada kesempatan ngecengin ni anak.

"Minta minum dong," dia merebut plastik minuman dari tangan gw dan langsung menenggaknya.

Gw dan Meva lagi di dufan. Dateng tadi langsung ngantri giliran keliling istana boneka. Meva kayaknya seneng banget tuh liat parade boneka gitu, padahal apa bagusnya sih? Lanjut ke rumah miring. Entah apa penyebabnya kok di dalem rumah ini tubuh gw kayak berat banget yak. Tapi lumayan menantang juga, gw nyaris jatoh di dalem tadi. Abis itu ngantri lumayan panjang buat maen arung jeram. Yg ini lebih menantang juga. Cuma Meva dan empat cewek lain barengan gw pada lebay banget teriak-teriak gitu. Alhasil mulut mereka pada kemasukan air tuh. Hahaha..

Dan antrian bener-bener panjang di wahana halilintar ini. Inilah wahana sesungguhnya! (lebay yak bahasanya) Penantian ngantri satu jam lebih terbayar lunas sepuluh menit di atas kereta. Dan hebatnya, di atas tadi semua pada kompak teriak-teriak termasuk gw juga. Haha.

Emang sih puyeng juga, tapi asyik kok.

"Kita naek lagi yuk?" ajak gw ke Meva.

"Ogah! Lo nggak liat apa gw nyaris mati kek gini??" Meva protes.

"Haha.. Kasian banget lo."

"Udah ah istirahat dulu. Puyeng. Capek ngantrinya aja di sini tuh. Maennya sih bentaran doang."

"Udah jam tiga," gw melirik arloji di tangan Meva. "Abis ini balik aja ya?"

"Balik? Nggak seru ah! Masih sore."

"Besok gw kerja. Lo juga kuliah kan?"

"Hari Senin jadwalnya jam satu siang. Nyantai aja."

"Ya elo yg nyantai enak. Nah gw kan besok masuk pagi?"

"Kalo gitu tukeran aja, gw yg masuk pagi. Lo yg masuk siang. Gimana?"

Haduh, pertanyaan bodoh yg nggak perlu dijawab. Ni anak keliatan udah kepayahan banget tapi masih mau maen lagi.

"Istirahat setengah jam, abis itu cabut," tegas gw.

"Dih nggak seru lah. Gw masih pengen maen."

"Maen apa lagi? Liat deh lo udah kayak orang yg mau mati. Muka lo pucet gitu."

"Tapi gw belum mati kan?" tandasnya.

Yayaya. Okelah gw nyerah. Dia emang susah diatur kalo udah ada maunya.

"Jadi kita maen apa lagi nih?" tanya gw.

"Kita ke pantai ajah. Yuk?" Meva menarik tangan gw.

Kami berjalan keluar. Dan sekitar limabelas menit kemudian sudah sampai di sebuah pantai yg rame. Rame sama tukang jualan sebenernya. Ada kayak bazar pakean gitu, semua yg dijual bermotif Ancol. Dan beberapa penjual yg menggelar lapaknya di sisi jalan. Nggak banyak macemnya sih paling juga kacamata atau aksesoris yg temanya Ancol gitu.

Kami berdiri bersandar di sisi dermaga yg alasnya terbuat dari kayu. Bentuknya memanjang mirip jembatan. Dari sini kami bisa melihat pemandangan pantai secara leluasa. Angin bertiup lumayan kencang jadi nggak begitu panas. Selain gw dan Meva banyak juga yg nongkrong di sini.

"Ah, asyik juga ya nongkrong di sini.." kata gw.

Meva terkikih sambil menunjuk ke arah jam tiga.

"Lo liat deh, malu-maluin nggak sih?" katanya. "Kayak nggak ada tempat laen aja."

Ada sepasang kekasih yg lagi pelukan sambil ciuman. Padahal kan banyak orang di sini. Nggak malu ya mas mbak diliatin??

"Lo mau kayak mereka?" canda gw.

"Idiiih....ogah ogah!" Meva geleng-geleng kepala memberi isyarat menolak.

"Yaa sapa tau lo butuh guru privat buat belajar kissing, gw selalu siap," kata gw meyakinkan.

"Sayangnya saya tidak butuh itu. TERIMAKASIH."

"Wiidiih...berarti udah jago loe ya, nggak perlu guru lagi?"

"Bukan gitu maksud gw! Ah dodol loe."

Gw tertawa. Meva lagi khusyuk banget mandangin ombak yg bergulung tertiup angin. Beneran sejuk di sini, mata gw mulai ngantuk nih.

"Dari dulu gw pengen banget ke pantai kayak gini," ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya.

"Kenapa emangnya?"

"Nggak papa. Asyik aja, kayak bisa ngelupain beban. Seolah beban di pikiran gw kebawa pergi sama ombak.." dia merapikan rambutnya tapi lalu acak-acakan lagi kena angin.

"Gw ngerti yg lo rasain Va. Beban hidup lo emang berat kayaknya."

Meva tersenyum.

"Lebih berat dari yg pernah lo liat sebenernya," lanjutnya. "Berat baangeeet Ri."

"Be strong..." gw tepuk pundaknya pelan. "Gw yakin lo bisa lewatin ini semua."

"Thanks Ri. Ini juga berkat lo, gw bisa kuat lagi."

"Oiya? Emang apa sih yg udah gw lakukan buat lo? Ada gitu, hal besar yg pernah gw kasih ke lo? Gw pikir selama ini gw biasa aja ah."

Meva menggelengkan kepala.

"Yg lo lakukan sebenernya cuma hal kecil," katanya. "Tapi itu cukup berarti buat gw. Dalam beberapa momen lo udah ngubah hidup gw."

Gw tertawa pelan.

"Denger Va," kata gw. "Lo itu sebenernya adalah orang besar, jauh sebelum lo ketemu gw. Yg gw lakukan cuma ngebantu lo ngeluarin sisi baik yg udah ada dalem diri lo."

Meva menjawab dengan senyuman tipis. Setelah itu dia diam melamun. Asyik memandangi ombak. Selama kurang lebih satu jam kami di situ ngobrol, lalu pulang saat matahari hampir terbenam.....

the endles love

Dua bulan setelah kunjungan gw ke rumah Meva, tepatnya satu minggu sebelum Natal tahun 2002, kabar duka itu datang. Meva sambil menangis menceritakan bahwa nyokapnya meninggal karena kanker darah yg nggak pernah terdeteksi (pasien RSJ sangat jauh dari pantauan tim medis yg layak).

Maka pagi itu gw putuskan cuti dan menemani Meva ke pemakaman nyokapnya. Indra juga gw kasihtau, dan bersama istrinya, dia ikut bareng gw dan Meva ke Jakarta menggunakan mobil pinjaman dari perusahaannya. Nyokapnya Meva disemayamkan di sebuah gereja kecil sebelum dimakamkan di TPU Jeruk Purut. Rencananya dimakamkan sore hari, tapi karena family yg datang melayat sangat sedikit, maka prosesi pemakaman dimajukan beberapa jam.

Ternyata bener yg diceritakan Meva di bus tentang "pencoretan" nama nyokapnya dari keluarga besar, yg datang melayat cuma beberapa family dari Bandung dan Jogja serta kenalan Tante Ezza dan neneknya. Samasekali nggak ada keluarga dari Padang yg datang meski menurut Oma, semua sudah diminta datang melayat.

Well layaknya kebanyakan orang yg kehilangan sosok yg dicintai, Meva tampak sangat rapuh dan nggak hentinya menangis di pelukan Oma. Kedua matanya sembab parah. Dia kelihatan sangat shock. Beberapa kali diciuminya ukiran nama di salib yg menancap di tanah.

Gw sendiri nggak punya banyak kesempatan ngobrol sama Meva. Seperti yg sudah gw bilang, dia lebih banyak menangis di pelukan Oma. Gw ngerti itu. Biarlah Meva menumpahkan semua kesedihannya. Gw yakin dalam beberapa hari yg akan datang Meva sudah bisa lebih tegar. Gw kenal baik Meva.

Dan itu memang terjadi. Beberapa hari setelah tahun baru, waktu gw lagi bersih-bersih kipas angin di beranda sepulang kerja, terdengar langkah kaki menapaki tangga yg udah gw hafal. Gw menoleh ke arah tangga dan muncullah Meva. Dia melempar senyum ramah ke gw.

Dua matanya masih terlihat menghitam karena sembab. Pasti beberapa hari ini dia sudah membuang berliter-liter airmatanya menangisi kepergian nyokapnya.

"Gimana kabar loe?" tanyanya menghampiri gw.

"Lumayan baik," jawab gw. "Lo sendiri? Oiya maaf ya kemaren gw langsung balik abis pemakaman, gw cuma dapet cuti sehari soalnya."

Meva mengangguk mengerti.

"Its oke. Lo udah cukup baik nyempetin dateng ngelayat," ucapnya. Keliatan banget duka yg dalam masih menggelayuti dirinya, meski nggak sebesar yg ditunjukkannya di pemakaman.

"Va..gw sangat berduka sama yg terjadi," ujar gw berempati. "Gw tau rasanya kehilangan."

"Iya Ri.. Lo udah pernah cerita itu.."

"Denger...beberapa orang pernah terjebak dalam kesedihan karna ditinggalkan. Tapi gw harap lo justru bangkit dari keterpurukan itu..."

Meva senyum lagi.

"I wish..." katanya. Mencerminkan keraguannya sendiri.

"So, kapan lo akan mulai kuliah lagi?"

Meva diam sebentar, menghela nafas panjang dan berat, lalu bersandar di dinding.

"Hari ini gw mau beresin barang-barang gw," jawabnya.

"Lho?" kata gw heran. "Maksudnya?"

"Gw mau nenangin diri dulu. Mungkin nggak di sini. Buat beberapa bulan ke depan gw ambil cuti."

"Wah! Gw sendirian dong di sini??"

"Maaf Ri. Tapi gw bingung. Gw lagi labil banget. Gw butuh deket sama keluarga gw. Di Jakarta gw bisa nemenin Oma seharian, jadi nggak kesepian banget."

"Kan di sini ada gw?" terang aja gw protes. Gw keberatan.

"Thanks banget Ri. Tapi gw butuh lebih banyak pengalihan kesepian gw.."

"Emang berapa lama lo di sana?" jujur aja gw mulai merasa takut kehilangan Meva.

"Nggak tau lah. Yg pasti gw pengen sering-sering ke makam nyokap. Mungkin juga gw balik ke Padang."

"Yaaah.....?"

Penonton kecewa! Terlebih gw sebagai pemeran utamanya tentu sangat kecewa!

"Terus, balik ke sini nggak? Kan lo belum lulus?"

"Ah...buat saat ini wisuda tuh jauh banget dari pikiran gw Ri. Gw beneran pengen nenangin diri dulu."

Ah, okelah...

"Terus, berapa hari lo di sini?" tanya gw.

"Gw sekarang ngepak barang, terus pulang lagi..."

Dan ini lebih bikin gw kecewa lagi. Entah apa jadinya gw. Si gundul udah jauh, sekarang ditambah Meva yg pergi. Gw sendirian dong di sini??

Huffft...yasudahlah...

"Tapi lo pasti balik lagi ke sini kan?" gw memastikan hal terakhir yg sangat gw harapkan.

Meva diam beberapa saat.

"Semoga..." katanya lalu tersenyum kelu.

Heemmmmpph........... Gw speechless.

"Itu hak lo," kata gw akhirnya. "Tapi gw akan sangat berterimakasih seandainya lo balik lagi ke sini."

Meva tersenyum sekali lagi lalu memeluk gw.

"Kalo lo kangen sama gw, lo dengerin aja lagu Endless Love. Itu lagu favorit gw," bisik Meva di telinga gw.

Gw makin speechless.

"Apa ini artinya lo nggak akan balik lagi?" kata gw lagi.

Meva cuma menepuk pundak gw dan berbisik lagi.

"Endless Love....."

Itulah pertama kalinya gw merasa sangat takut Meva akan pergi dan nggak kembali lagi. Selama ini gw selalu merasa dia akan terus ada bareng gw. Egoisnya gw!

Ah, entah apa yg gw rasakan sekarang. Semuanya bercampur aduk di dalam ulu hati gw.

Meva melepas pelukannya, melangkah ke kamar, lalu menutup pintunya.....

Empat bulan sudah berlalu semenjak kepergian Meva. Tanpa kabar dan tanpa kejelasan gimana keadaannya sekarang. Ya emang sih itu hak dia buat nggak balik lagi, tapi menurut gw jelas ini merugikan dia sendiri. Kuliahnya tinggal tiga semester lagi. Kalo kelamaan cuti bisa susah sendiri ngejer ketinggalannya.

Waktu ketemu terakhir Meva nggak mengesankan dia nggak akan balik lagi. Dia malah nitipin kunci kamernya ke gw. Dan entah ide darimana, gw sekarang rutin bayar uang sewa kamernya Meva. Pemilik kosan nggak tau kalo kamer itu kosong. Yg penting ada bayaran tiap bulannya, itu nggak masalah. Konyol juga, karena gw mau 'mengamankan' kamer ini. Jadi kalo suatu hari nanti Meva balik, kamer di depan ini tetep jadi kamernya.

Tapi memang gw ngerasa beda aja. Dulu tiap balik gawe selalu ada Meva yg ngerecokin gw entah itu pinjem odol, minta tolong tutupin jendela, atau cuma sekedar numpang minum di kamer gw. Air galon punya gw lebih banyak habis oleh Meva dibanding gw sendiri. Meva seneng banget minum. Sekarang malah udah hampir tiga minggu galonnya belum diganti karena belum habis airnya.

"Kenapa nggak lo coba ke rumahnya aja?" tanya Indra ke gw malam itu. Kami duduk-duduk di beranda main catur ditemani secangkir teh hangat. "Lo kan tau rumahnya?"

"Iya tapi suka ragu aja," jawab gw.

"Skak," Indra melangkahkan kudanya ke petak depan luncur. "Ragu kenapa?"

"Ya ragu aja..." gw sambil mikir langkah yg pas buat kabur dari kepungan kuda.

"Takut Meva marah kalo lo ke sana?"

"Bukan gitu juga sih... Gw nggak enak aja barangkali keluarganya ngerasa keganggu dengan kehadiran gw."

"Yah basi loe. Keburu dianya balik ke Padang dulu lho."

Gw mendesah pelan.

"Tapi gw masih punya dua kesempatan lagi," kata gw.

"Oiya? Gimana tuh?"

"Ya ini, rajanya gw tutup pake menteri atau kalo nggak rajanya mundur..tapi tetep aja ntar ketemunya kuda lagi..."

"Yah,,,gw kira soal Meva!" Indra menepuk jidatnya sendiri.

"Ah udahlah nggak usah kelewat dipikirin. Paling juga dia lagi seneng kumpul sama Oma nya."

"Bisa jadi. Dia lagi butuh waktu buat nenangin diri."

"Dan raja gw juga butuh korban nih biar selamet.."

"Itu ada menteri juga?"

"Ogah. Pake luncur juga masih bisa."

Indra mengangkat bahu sementara gw masih terus berpikir keras. Malem ini Si Gundul nginep di kosan. Lumayan kan ada temen maen catur, nggak terlalu banyak waktu buat melamun. Istrinya Indra lagi hamil empat bulan dan mau mengadakan acara tradisi empat bulanan hari Minggu besok di rumah orangtuanya jadi sekarang dia sudah ada di sana buat persiapan besok.

"Ri, jangan sampe ini berakhir dengan kehilangan juga kayak yg dulu..." kata Indra.

Gw mengerutkan kening sebagai pertanyaan 'maksudnya?'

"Iyaa gw sih berharap lo sama Meva, akhirnya beneran jadi."

"Beneran jadi gimana maksud lo?" sampe di sini gw belum paham.

"Yaa jadian. Pacaran! Kalo perlu married lah! Kalian keliatan cocok kok," Indra tertawa. "Yg cowok agak bloon, yg ceweknya bawel dan suka seenaknya sendiri. Cocok kan?" dia tertawa lagi.

"Busett gw dikatain bloon," gw protes.

"Haha... Tapi beneran lho, gw setuju kalo kalian jadian!"

"Maunya sih gitu, tapi ribet lah..."

"Maksud loe, ribet soal keyakinan lo sama dia yg beda?"

Gw mengangguk pelan.

"Di sini mana boleh sih nikah beda agama?" gw mencari alibi.

"Ya elo bawa Meva nya ke Amsterdam! Di sana kan boleh tuh nikah beda agama? Atau ke Jepang aja yg deketan deh..."

"Gila aja, duit darimana gw??!"

"Loe ngerampok warteg dulu deh."

".........."

"Jadi itu, yg selama ini jadi ganjalan hubungan lo sama Meva?" lanjut Indra. "Soal agama?"

"Ah udahlah. Lagian selama ini gw cukup nyaman biar cuma jadi temen. Gw nggak terlalu ngarep lebih."

"Apa salahnya lo berharap? Boleh aja kan kita mimpi setinggi-tingginya?"

"Tapi bakalan sakit banget kalo jatuh dari ketinggian Dul."

"Yaah elo mah! Belum juga nyobain terbang, udah takut jatoh. Terbang dulu, baru deh pikirin gimana caranya jatoh yg enak."

"Ah, kali ini wejangan lo nggak masuk di otak gw Dul." Sip! Akhirnya menteri dan raja gw aman setelah gw mengorbankan benteng.

"Ya udah deh, emang susah juga sih yak kalo nyangkut agama.." Indra mengejar raja gw dengan bentengnya. "Skak mat!"

"Skak mat apaan? Gw masih bisa kabur nih!" gw geser raja gw ke kanan. Daritadi gw didesek mulu!

"Maksud gw, kalo masalahnya agama, ibarat skak mat gitu. Susah. Mentok. Ibarat lo cuma punya raja, gw kepung sama menteri dan kuda plus luncur. Kayak sekarang ini nih."

"Tapi gw masih bisa berharap remis kan?" gw tertawa. "Tuh remis!"

Indra melongo. Dia masih belum percaya kalo permainan ini remis.

"Bodo gw!" gerutunya.

"Emang iya."

"Maen lagi lah! Kok gw bisa segoblok ini yaak?"

"Ogah ah gw ngantuk," gw berdiri.

"Bilang aja lo takut kalah."

Gw tertawa. Emang iya juga sih. Daritadi gw maen juga nggak konsen. Entah kenapa tiap gw liat menteri, yg kepikiran di otak gw adalah Meva. Gw jadi inget filosofi catur gw dulu.

Hmmm...catur dan Endless Love, dua hal yg bikin gw kangen Meva.

Pertengahan juni 2003...

Enam bulan sudah berlalu tanpa ada sedikitpun kabar dari Meva. Gw agaknya sudah mulai membiasakan diri tanpa dia, sesuatu yg sesungguhnya sangat bertolak belakang dengan hati kecil gw. Gw memang sangat berharap Meva balik lagi, tapi siapa sih gw? Gw bukan siapa-siapanya Meva. Lagipula atas dasar apa Meva harus balik ke sini? Itu hak dia mau balik atau nggak.

Mungkin bagi Meva gw cuma seorang teman kos biasa. Mungkin juga buatnya gw hanya seseorang yg sedikit membantu perubahan hidupnya, seperti yg selalu dikatakannya selama ini. That's all. Lucu banget rasanya kalo gw berharap lebih dari ini.

Maka malam itu gw berdiri di depan pintu kamarnya. Sedikit bernostalgia, sedikit menghayal juga sebenernya, bahwa pintu itu akan terbuka dan gw akan mendapati wanita berkaos kaki hitam di baliknya.

".........."

Gw tetap terpaku di tempat gw. Membayangkan rangkaian kejadian yg sudah gw lalui dua tahun belakangan. Dalam hati gw bersyukur berada di tempat ini. Sejak gw kerja di sini, gw merasa menemukan dunia gw sendiri yg mustahil gw dapatkan di kampung halaman.

Meva hanya sebagian kecil dalam kehidupan gw itu. Ah, enggak. Dia lebih dari separuh kehidupan gw. Benarkah? Gw bertanya dalam hati. Apa yg bikin Meva sebegitu berartinya, melebihi Echi yg sudah pergi? Jelas-jelas Echi cewek gw, tapi Meva?

Mungkin di situlah letak keistimewaan Meva. Belum jadi cewek gw aja udah sebegitu berartinya dia, apalagi seandainya dia cewek gw? Haha...gw mikir apa sih.!

Hmm...kalo memang gw membawa perubahan besar dalam hidup Meva, lalu perubahan apa yg dia bawa buat kehidupan gw?

Sampai di pertanyaan ini gw terdiam. Sulit juga menemukannya karna memang gw yg dulu nggak begitu beda dengan gw yg sekarang, seenggaknya dalam beberapa hal gw rasa begitu. Kecuali sedikit perasaan yg kadang suka mellow, selebihnya gw nggak terlalu ngerasain perbedaan.

Oke. Lalu seberapa jauh Meva bikin gw nyaman? Ini dia. Kalo pertanyaannya ini, nggak diragukan lagi Meva sangat membuat gw nyaman ada di dekatnya. Belum pernah gw senyaman ini sebelumnya. Sesuatu yg seolah hilang enam bulan ini.

Hp gw bergetar. Sebuah pesan singkat masuk.

*gw berangkat sekarang ya..jangan ngaret lho...

Sejenak menatap kosong layar hp, menarik napas panjang lalu gw melangkah mendekati pintu kamar Meva. Gw keluarkan sebuah kunci dari saku celana. Kunci kamar Meva.

Gw pandangi lagi kayu bercat kuning di hadapan gw. Di dalam sana pasti banyak debu dan kotor, karena sejak kepergian Meva samasekali nggak ada yg membuka lagi pintu ini. Pernah gw punya niat sekedar bersih-bersih kamarnya, tapi gw urungkan niat gw. Gw takut. Gw takut di dalem gw malah makin keinget Meva. Haha.....

Gw taruh kunci di atas pintu, di lubang ventilasi udara. Mungkin ini bentuk nyata rasa frustasi gw. Gw lelah menunggu...

Lebih baik kayaknya kunci ini gw kembalikan ke ibu kos dan menceritakan yg sebenernya.

Hp gw bergetar lagi. Satu pesan baru.

*kok gak dibales? gw udah di jalan nih..lo udah berangkat belum?

Gw ketikkan balesan singkat.

*iya...tunggu aja...

Sekali lagi gw menghela nafas berat. Sejenak gw diam lalu balikkan badan dan menuruni tangga keluar..

***

"Thanks ya udah nemenin gw nonton malem ini," kata Lisa sambil tersenyum girang.

Gw balas tersenyum.

"Udah lama juga gw nggak nonton," kata gw. Terakhir gw nonton waktu sama Echi.

Lisa meminum lemon tea di gelasnya. Menatap gw dengan penuh arti lalu tersenyum lagi.

"Lo kenapa sih, akhir-akhir ini kayaknya pemurung banget?" tanyanya menyelidik.

"Oiya? Perasaan gw biasa aja ah."

"Boong banget deh."

Gw tertawa kecil. Tangan gw mengaduk cangkir kopi di depan gw yg samasekali belum gw minum.

"Mungkin karna capek masalah kerjaan aja," gw bohong. Lisa nggak tau soal Meva. Dia juga nggak pernah ke kosan gw lagi.

"Ya udah skali-kali cuti kek?" sarannya. "Ambil cuti beberapa hari. Mungkin lo bisa gunakan buat balik kampung?"

"Ide bagus," kali ini spontan gw jujur. Udah berapa taun ya gw nggak mudik?

"Jatah cuti tahunan lo kan masih utuh. Belum lagi cuti akumulatif nya."

"Boleh tuh gw coba. Ntar gw cari hari yg pas deh buat mudik.."

Lisa tersenyum lagi. Malam ini pertama kalinya gw nonton bareng Lisa. Gw pikir gw butuh refresh pikiran gw. Sumpek gw tiap hari di kosan mulu. Jadi pas kemaren Lisa ngajakin nonton ya gw mau aja. Nggak ada motif lain kok. Gw bener-bener suntuk di kosan.

Ini malam minggu pertama gw jalan lagi sama cewek. Entahlah ini bisa dibilang ngedate atau bukan, tapi kayaknya Lisa seneng banget malem ini. Bikin orang lain seneng kan pahala, lumayan lah buat tabungan gw kelak. Hehehe..

Gw dan Lisa ngobrol-ngobrol sambil menikmati hidangan, sekitar jam sebelas kami memutuskan balik......

Minggu pagi esoknya gw beres-beres kamar. Udah hampir setahun sejak terakhir gw berbenah kamar. Sambil ditemani lagu yg diputer dari tape yg baru gw beli dua bulan lalu gw mulai dari jemur kasur palembang di balkon, menata ulang letak perabot, nyapu dan ngepel lantai kamar lalu terakhir gw beresin lemari pakaian. Lemarinya gw bawa keluar, dan ternyata debunya tebel banget. Setelah kamar gw beres kayaknya gw harus nyapu juga beranda karena debu dari kamar gw sekarang berpindah ke lantai di luar.

Ada yg naik tangga. Kayaknya Lisa. Semalem dia bilang mau maen ke sini.

"Ekhem ekhem.." suara cewek dari ujung tangga.

"Batuk? Minum obat batuk atuh Lis," sahut gw tanpa menoleh.

"KOK 'LIS'???" nada suaranya meninggi. "INI GW..."

Spontan gw menoleh, memastikan cewek di ujung tangga.

"Oh...elo Va..." kata gw datar nyaris tanpa ekspresi. Lalu mengalihkan pandangan ke lemari di hadapan gw.

"AAAAARRRIIIIIIIIII...!!!" Meva berteriak lalu melempar sebuah sandal jepit ke kepala gw.

Gw mengaduh dan nyaris terjatuh karena kaget. Meva menaruh tas nya di lantai dan berjalan cepat ke tempat gw.

"Udah?" katanya gusar sambil berkacak pinggang. "Gitu doang ekspresi loe???"

"Emang mesti gimana?" tanya gw tetap datar. Berpura-pura datar sebenernya. Meva nggak tau gimana kaget dan senengnya gw tadi pas liat dia muncul!!? Tapi yaah gw nya pura-pura biasa aja. Padahal jantung gw udah mau copot tuh.

"Gimana??? Ya gimana kek! Seneng misalnya! Girang! Atau histeris gitu liat gw balik!! Lo nggak ada ekspresinya banget!"

"Ooh..."

" 'Oh' apa?? "

"Ya udah kalo gitu diulang lagi deh," gw mengembalikan sendal jepit yg tadi dilempar Meva ke tempatnya. "Sorry. Bukan apa-apa kok, lagi latihan drama aja," lanjut gw ke Egi dan Rio yg melongok dari jendela kamar mereka.

"Oke, jadi adegannya nanti loe muncul di tangga situ," kata gw ke Meva. "Lo 'ekhem-ekhem' gitu, abis itu gw kaget deh."

Meva sedikit heran. Dia kernyitkan dahi mencoba berpikir.

"Sekarang ambil posisi," gw menunjuk ujung tangga sementara gw di tempat gw di depan lemari. Meva sudah ada di posisinya. "Oke. Mulai."

"Tunggu dulu," kata Meva. "Ini kita kayak orang bego nggak sih?"

"Kata sapa? Enggak lah. Yg bego loe doang. Ya udah buruan mulai."

Meva diam sebentar. Dia menjinjing lagi tas nya.

"Ekhem!" dia berdehem.

Gw menoleh ke arahnya.

"Hah? Meva??" gw terlompat di tempat gw. "Kok lo ada di sini? Dateng kapan?" lalu gw berjalan cepat menghampirinya dan memeluk Meva. "Lo ke mana aja? Gw kan kangeeeennnn....." gw jamin ini jujur. Hehehe.

"Yaaah ini mah elo nya aja mau ngambil kesempatan dalam kesempitan," Meva jitak kepala gw.

Gw nyengir bodoh lalu melepaskan pelukan gw.

"Lebay amat," komentarnya. Lalu di berjalan menuju kamar gw. Menaruh tas di dalam dan melepas jaketnya.

Gw cuma bisa nyengir seneng aja. Sampe speechless gw liat dia lagi.

"Ngapain lo ngeliatin gw kayak gitu?" tanya Meva menyelidik.

Gw geleng kepala. Belum bisa ngomong nih gw. Meva mencibir lalu bergegas ke kamer mandi.

Tunggu dulu, apa tadi itu beneran Meva? Gw cubit pipi kiri gw. Sakit. Berarti ini bukan mimpi. Moga itu emang Meva deh, bukan jejadian yg nyamar jadi dia.

"Samasekali nggak berubah yak?" Meva keluar memandang berkeliling. "Enam bulan gw tinggal tetep aja kayak gini."

"Lo harusnya pergi enam abad, terus balik lagi kesini. Pasti beda deh."

"Oooh...jadi lo pengennya gw lamaan perginya?" dia menyandarkan sikutnya di bahu gw. Gayanya tengil.

Gw balas dengan cengiran lebar.

"Busett cengar-cengir mulu kayak orang gila," Meva mundur selangkah. "Ternyata oh ternyataaa...sekarang Ari...." dia bergidik takut.

Hah! Ini bener Meva! Wangi parfumnya gw kenal banget. Masih setia dengan stoking hitamnya, kali ini dia pake kaos hijau dan rok jeans pendek. Nggak ada perbedaan dengan sosok yg gw kenal dua tahun ini.

"Udah ah nyengirnya, gw beneran takut nih.." lanjut Meva.

"Oke. Sekarang ceritain ke gw, apa yg bikin lo balik ke sini? Gw pikir lo udah lupa sama gw."

"Ya nggak mungkin lah gw lupa. Gw balik ke sini juga karna gw kangen sama loe," Meva tersenyum. "Ciiiee...muka lo merah gitu!"

"Apaan? Enggak!" gw mencoba bersikap normal.

Meva terkikih pelan.

"Udahlah Ri, ngaku aja lo kangen kan sama gw?" cecarnya. "Kita berdua tuh diciptakan buat bersama. Nggak ada yg bisa misahin kita."

BISA BANGET !!

"Masih pinter aja ngegombalin gw," sahut gw dan kami pun tertawa lebar.

Meva duduk di kasur palembang yg lagi gw jemur.

"Kalo capek mending istirahat aja dulu di dalem," kata gw. "Tidur gieh. Ntar ngobrol-ngobrolnya ditunda dulu."

"Nggak ada apa-apa di dalem. Gimana mau molor?"

"Yaudah sini gw bawa kasurnya ke dalem."

Meva turun, gw gotong kasur dan menaruhnya di dalam kamar.

"Gw beneran capek banget Ri," kata Meva. "Gw tidur yak?"

Gw mengangguk.

"Eh iya. Gw mau pas gw bangun nanti udah ada mie ayam sama es campur. Oke?" teriak Meva dari dalam.

"Iyaa...Tuan Puteri!!" sahut gw.

Ah entahlah. Gw gak bisa menggambarkan perasaan gw saat ini! Welcome back Meva..........

Meva nampaknya kelelahan. Dia bangun jam 1 siang dan langsung melahap habis makanan pesanannya.

"Kenapa sih," kata Meva sehabis minum. Gw duduk di pinggir pintu. "Lo liatin gw nya aneh gitu? Nggak pernah liat orang laper yak?"

Gw menggeleng. Bukan itu. Gw cuma seneng aja lo balik Va. Terlebih lagi lo nya ceria kayak gini, beda sama enam bulan yg lalu waktu awal lo kehilangan nyokap lo.

"Woy..malah ngelamun!" serunya lagi.

"Haha..enggak papa kok. Cuma surprise aja, gw pikir lo nggak bakal balik lagi?"

Meva tertawa kecil.

"Bosen juga gw kelamaan diem di rumah. Udah cukuplah semedinya," jawabnya.

"Disana ngapain aja setengah tahun gak kuliah?"

"Ya ngerjain urusan rumah tangga. Ngurusin Oma gw, bantuin tante juga. Oiya lo nggak tau ya, tante gw kan punya toko bunga gitu? Gw kesitu terus tiap hari. Lumayan lah buat pengalaman. Ternyata nyari duit sendiri tuh susah yak!"

Gw senyum.

"Kalo lo, lo ngapain aja selama gw pergi?" tanya Meva. "Tunggu dulu biar gw tebak. Bangun tidur lo mandi, kerja, baliknya makan mie ayam terus molor deh! Gitu kan tiap hari?" lalu dia tertawa puas.

"Haha," gw tertawa sinis. "Nggak gitu juga ah! Kerja mah kerja kayak biasa. Cuma gw lebih sering ngambil lembur biar nggak bosen di kosan."

Meva mengangguk-angguk.

"Terus, kamer gw? Ada yg nempatin nggak?"

"Ada. Kuntilanak ama genderuwo tiap malem bikin party tuh. Ngundang pocongk juga kayaknya."

"Aaaah....Ari! Lo bikin parno gw aja!"

"Ya abisnya tuh kamer kelamaan kosong. Sapa lagi coba yg mau nungguin, kalo bukan mbak kunti cs?"

"Lo nya nggak kreatif! Tempatin dulu kek, sampe gw dateng?"

"Lha terus kamer gw gimana?"

"Tuh kan beneran nggak kreatip! Digilir kan bisa? Malem ini lo tidur di kamer lo, besoknya kamer gw."

"Ya udah mulai malem ini deh.."

"Udah terlambat dodol! Kan gw nya udah dateng??"

"Ya udah deh nggak jadi."

Meva mendengus kesal.

"Eh emangnya ibu kos nggak nagihin duit sewa?" tanyanya.

"Gw yg bayarin."

"Wah yg bener?" Meva menatap gw seneng. "Makasiiih... Lo baik deh!"

"Udah gitu doang ucapan terimakasih nya?"

"Makasiih..lo baik banget deh!"

"Cuma gitu?"

"Lo beneran baik banget deh!"

"Kurang.."

"Lo asli deh baiknya nggak ketulungan Ri.!"

"Nah itu baru bener."

Meva mencibir.

"Yaudah yuk, kita ke kamer gw?" ajaknya.

"Mau ngapain???"

Meva jitak kepala gw.

"Setan di otak lo betah amat yak gak mau pergi? Bawaannya ngeres mulu tuh otak!" omelnya.

"Apaan? Gw kan nanyanya biasa?" gw protes.

"Iya tapi muka lo tuh yg nggak biasa! Mupeng!"

"Ah, lo nya aja GR!!"

"Yaudah yaudah deh...sekarang mana kuncinya? Gw mau nengok istana gw."

"Gw taro di atas pintu."

Meva bergegas ke kamarnya sementara gw ambrukkan diri di kasur. Capek juga beresin kamer. Gw mau tidur deh, abis itu baru nyetrika seragam buat besok kerja.

"Aariiiiiii........." si Meva udah teriak lagi dari kamernya.

"Aaapaaaaa?" sahut gw males.

"Bantuin gw lah beresin kamer gw!" suaranya menggema di seantero kamar.

Gw berdecak malas.

"Aariiiii..........!"

"Apa lagi?"

"Bantuin gw!"

"Capeek! Lo sendiri aja sih!" gw teriak tanpa bergerak seinchi pun dari posisi tidur gw.

Terdengar derap langkah menuju kamar gw.

"Dih lo mah gitu!" gerutu Meva. "Masa lo tega liat gw beresin kamer sendirian?"

"Bodo amat," kata gw dengan mata masih terpejam.

"Terus ntar malem gw tidur dimana??"

Gw menepuk kasur kosong di sebelah gw.

"Ogah gw tidur bareng loe!" tandas Meva. "Bahaya!"

Gw buka mata dan menatap Meva yg berdiri di depan pintu.

"Mana ada tidur bareng bahaya? Yg ada juga kalo melek bareng tuh, baru bahaya!" kata gw.

"Ya ini kan elo. Tidur aja bahaya, apalagi melek!?"

Gw mendengus. Kalo nggak diturutin, gw pasti bakal terus dirongrongin deh sama dia.

"Lo sapuin aja dulu," kata gw akhirnya. "Entar gw yg ngepel deh."

"Nah gitu donk! Kalo mau baik ya baik sekalian. Jangan setengah-setengah."

"Yaudah sana! Gw mau ngeleyep barang lima menit aja," gw pejamkan mata lagi.

"Awas lho ntar kudu bangun kalo gw udah nyapu."

"Iya! B-A-W-E-L!!!" teriak gw sambil ngelempar bantal tapi meleset. Sengaja gw pelesetin sebenernya. Meva ngacir ke kamernya sambil bawa sapu.

Huh, beginilah nasib. Nggak ada Meva rasanya sepi. Begitu dia dateng lagi, ni kosan berubah jadi pasar!

Tapi gw syukuri aja sih. Gw berasa nyaman lagi. Feel nya enak aja. Minimal gw ada temen ngobrol malem. Biarpun sebenernya kalo ngobrol sama Meva, gw lebih sering jadi pendengar setia. Dia nggak ada matinya deh kalo ngobrol! Ada aja yg dibahas. Sampe dulu pernah kita ngeributin ukuran jari telunjuk kaki gw yg setengah senti lebih panjang dari jempol. Saking nggak adanya topik. Nggak penting banget kan??

Tapi ya itulah dia. Dulu gw kira dia orangnya pendiam (emang iya juga sih) tapi kalo udah kenal deket ya kayak gitu itu tingkahnya. Nyebelin, seenak jidatnya sendiri, tapi ngangenin juga!!

Halaaaah......ngomong apa sih gw? Hahaha!

Minggu malamnya setelah capek beresin kamer gw dan Meva duduk-duduk di beranda ngobrol sambil gw sesekali maen gitar warisan Si Gundul. Meva asyik memandang sawah yg seperti berkelip tertimpa sinar bulan. Kedua bola matanya terbenam di balik lensa kacamata yg dia pake.

"Indah yak?" komentarnya membuka sesi curhat malem ini.

"Biasa aja," jawab gw pendek.

"Enggak ah, beda."

"Bedanya?"

"Beda aja. Malem-malem liat pemandangan dari lantai tiga tuh kayak..........ya kayak liat pemandangan dari lantai tiga!"

"???"

"Eh lo pernah nggak sih ngebayangin ada di tengah sawah malem-malem kayak gini...menikmati terang bulan ditemani nyanyian jangkrik? Wiiih so sweet yak!"

"So sweet apaan? Yg ada gw ditembak sama yg punya sawah, dikira gw maling!"

"Ya nggak mungkin lah!"

"Kok nggak mungkin?"

"Ya palingan dia nyangka lo bebegig sawah."

"Ah, elo sih ngehayalnya nggak keren! Mau romantis-romantisan kok di tengah sawah.."

"Daripada di jamban??"

"..."

Meva melepas kacamatanya. Tapi jujur aja nih gw justru lebih suka dia pake kacamata. Lebih kalem gimana gitu.

"Oiya gimana hubungan lo sama Lisa?" tanya Meva kemudian.

"Hah?" gw jadi inget pertanyaan yg kemaren malem diajukan Lisa ke gw : "Gimana hubungan lo sama Meva?"

"Yaa gitulah. Emang mesti gimana gitu?" jawaban sama yg gw bilang semalem.

"Kalian pacaran??"

Hebat! Kok bisa ya dua orang berbeda nanyanya sama persis kayak gitu?!

"Ah, enggak kok. Gw cuma temen doank lah. Sesama rekan kerja."

Meva nampak mengangguk-angguk.

"Napa sih lo kok kayaknya masih betah ngejomblo?" lanjutnya.

"Gw? Kayaknya mending lo duluan deh yg jawab pertanyaan itu."

"Yeeey kok jadi gw? Lo yg ditanya juga!" Meva protes. "Kenapa? Apa karena lo masih kebayang mantan lo yg meninggal itu?"

Gw diam sejenak lalu menggeleng.

"Enggak aah. Gw udah biasa aja kok. Cuma ya emang sih gw ngejomblo karna gw nggak laku kali?? Hahaha," gw tertawa garing.

"Bisa jadi," kata Meva serius seolah jawaban gw barusan bener-bener dari hati.

"Lo sendiri kenapa sampe sekarang nggak pernah pacaran? Gw mah mending, pernah laku."

Meva tertawa.

"Nggak papa," jawabnya. "Gw emang orangnya selektif kok. Gw nggak mau aja salah milih cowok. Lagian gw nggak pengalaman soal gituan."

"Basi ah jawabannya!"

"Bener kok! Gw ada kok, cowok yg lagi gw suka..." kedua pipinya bersemu merah.

"Terus, lo udah nyatain perasaan lo ke dia?" ada perasaan senang, ada khawatir juga yg entah dari mana datangnya.

"Dih gila aja masa cewek yg ngejer cowok??"

"Nggak papa lah. Kasian kan ibu kita Kartini harum namanya udah memperjuangkan emansipasi. Buat apa coba? Biar cewek juga punya hak yg sama kayak cowok!"

Meva menggeleng beberapa kali.

"Tapi di jamannya dia nggak ada tuh acara nembak-nembakan cowok."

"Ya maksud gw nggak gitu juga..."

"Pokoknya gw nggak setuju," Meva keukeuh. "Gw nggak mau nyosor duluan. Itu bedanya cowok sama cewek. Cowok lebih suka mencari sementara cewek lebih suka menunggu."

"Kelamaan nunggu entar tua dulu neng. Lagipula darimana cowok bisa tau kalo ada cewek yg suka sama dia sementara ceweknya cuma nunggu?"

"Cewek nggak cuma sekedar nunggu. Cewek juga ngasih tanda-tanda kaleee..."

"Tanda?"

"Iya! Tanda atau isyarat atau aba-aba atau petunjuk atau..."

"Langsung ke intinya aja deh."

"Ya intinya GOBLOK AJA TUH COWOK KALO SAMPE NGGAK NYADAR TANDA-TANDA DARI CEWEK YG SUKA SAMA DIA!"

"Pliss...jelasinnya nggak usah pake otot yak?"

Meva mencibir.

"Lo sendiri," katanya. "Kenapa lo nggak tembak aja tuh si Lisa? Dia ngasih sinyal kuat kan!"

"Kenapa lo jadi marah gitu sih?" gw mulai takut telapak tangannya melayang lagi ke pipi gw.

"Marah?" nadanya turun tiga oktaf. "Ah enggak kok biasa ajah. Tadi gw cuma pengen tau kenapa lo mengabaikan tanda-tanda dari Lisa?" dengan nada yg manis tapi dibuat-buat.

"Mmmh...bukan mengabaikan sih," gw nggak kalah manis. "Kan tadi lo bilang cowok itu sukanya 'mencari'. Nah gw belum nemu yg tepat aja."

Meva kernyitkan kening.

"Menurut loe, mungkin nggak sih seseorang tuh terlalu asyik nyari orang yg dianggap tepat, sampe 'melewatkan' orang di deketnya? Yah maksud gw...maksud gw...bisa aja kan 'orang yg tepat' itu sebenernya ada di dekat kita? Iya kan? Yah siapa tau! Yaa..yaa..siapa tau kan?"

Gw mengangguk.

"Siapa tau..." kata gw lirih. Gw lirik Meva. Sepertinya dia sudah membuang ego dalam dirinya untuk mengatakan itu.

"Oiya Va, kalo boleh tau," lanjut gw. "Cowok yg lagi lo suka itu..."

"Ya?"

"Apa gw kenal sama dia?"

Meva terdiam. Lalu dia menggeleng.

"Enggak. Lo nggak kenal kok," jawabnya.

"Ooh..." kata gw tertahan. "Temen kuliah lo di kampus?"

"Bukan."

"Anak kosan sini? Lantai bawah?"

"Bukan!"

"Lantai dua?"

"Bukan!!"

"Oh..apa diantara Rio dan Egi?" gw menunjuk dua kamar di samping gw.

"BUKAN!!!"

Gw tertawa.

"Ooh yaudah, ntar kapan-kapan kenalin gw ke dia yak.."

Meva malah cemberut. Dia mencibir lalu masuk ke kamarnya.

Senin pagi...

I don't like Monday! Suasana kerja lagi serius-seriusnya begitu masuk hari pertama.

Agenda yg selalu sama tiap hari Senin : meeting pagi selama sepuluh menit bareng seluruh karyawan, dilanjut meeting internal masing-masing departemen, dan diakhiri omelan-omelan nggak puas dari bos mengenai hasil kerja seminggu kemarin. Kalo udah gitu, yg ada kita cuma pura-pura khusyuk ngerjain job.

Pesawat telepon extension gw bunyi. Bos gw minta salinan data review bulan kemaren. Dia soalnya diminta oleh manajer yg diminta juga sama bapak Presdir. Kebetulan minggu kemaren memang ada trouble di Production Line gara-garu human error.

"Pagi Mas Ari," OB petugas fotokopi menyapa gw dari balik mejanya.

"Mmh Bang Jo," demikian gw panggil dia. "Tolong kopi in ini dua lembar. Plus satu lembar dalam format A3 yak."

"Sip," dia mengambil lembaran kertas yg gw berikan lalu menuju mesin fotokopinya sementara gw mengisi buku daftar pengguna jasa fotokopi hari ini.

"Hay Ri," Lisa berdiri di samping gw. Meletakkan kertas miliknya lalu gantian mengisi buku. "Sory ya kemaren gw nggak jadi maen ke kosan lo. Ada perlu mendadak soalnya."

"Oh nggak papa kok," sambil dalam hati gw malah bersyukur demikian. "Itu laporan buat ke mana?"

"Orang Maintenance. Problem kemaren kan dari kita, jadi mereka minta report nya."

"Lo udah sarapan?"

"Belum," Lisa menggeleng. "Kenapa emangnya?"

"Gw juga belum. Gw baru mau minta tolong Bang Jo beliin roti di koperasi. Lo mau?"

"Boleh deh. Yg keju yak?"

Gw mengangguk setuju. Dan setelah memesan titipan ke Bang Jo gw ke ruangan bos gw lalu balik ke meja gw. Masih banyak yg harus gw kerjakan.

-KRIING-
Extension gw bunyi lagi.

"Halo?"

"Ri, bisa ke tempat gw bentar?" Lisa yg nelpon.

"Gw lagi sibuk. Ada apaan emang?" sebisa mungkin gw pelankan suara gw biar nggak kedengeran orang lain.

"Ada gajah makan kawat. GAWAT Ri!"

"Hahh? Gawat napa?"

"Data Problem Sheet di kompie gw kok mendadak nggak ada ya??!!"

"Yaah gw turut berduka deh..."

"Kampret! Sini ngapa? Bantuin gw!"

"Bantuin apaan? Gw nggak punya back up punya loe."

"Jadi gw mesti gimana donk? Jam sembilan nanti bos Maintenance minta report nya lengkap selama sebulan!"

"Ya bilang aja jujur datanya keapus gitu.."

"Sama aja bunuh diri itu mah!"

"Yaudah cari alesan laen," gw mikir. "Bilang deh PC nya baru diinstal ulang."

"Nggak menolong....."

Hah, gw jadi ikutan cemas nih. Lisa itu satu departemen sama gw. Bisa kena juga gw kalo gini. Gw memandang berkeliling dan mata gw tertuju pada sosok Lisa beberapa meja di belakang gw. Dia melambaikan tangannya dengan ekspresi 'gw nyeraah...'

"Halo Lis, gw tau cara ngatasinnya."

"Iya? Gimana? Gimana?"

"Pertama, lo berdiri deh. Abis itu lo jalan dua meja ke samping kanan."

"Emang ngaruh yak?"

"Ya ngaruh lah. Yg lagi lo tempatin sekarang kan mejanya Pak Enjang! Balik sana ke meja lo!"

Sejenak sunyi di gagang telepon.

"Hahaha! Iya yak..gw lupa! Duh sorry sorry....."

"Dodol loe."

"Hahaha...maap bos! Gini nih kalo belom sarapan, jadi nggak conect euy."

Gw tutup telepon dan mencoba konsentrasi ke monitor di depan gw. Lima menit ngetik, gw gatel juga pengen maen HamsterBall. Game favorit gw tuh kalo lagi sumpek di kerjaan.

Setelah memastikan keadaan aman, orang-orang pada sibuk sama komputernya masing-masing, gw miringkan posisi monitor lalu mulai ngegame dah. Hahaha..

-BIP BIIP-
Handphone gw bunyi. Sms dari Lisa.

*jam setengah sembilan..monitor dimiringin..waktunya ngegame yak! haha..masih doyan aja ngegelindingin hamster!

Gw bales..

*biariin.

*ganti lah maenannya! gw mah udah tamat empat kali tuh.

*biariin.

*eh rotinya udah dateng nih.

*anterin donk ke sini.

*ogah. lo aja yg ke meja gw.

*ZZZZ.....gak ada pahalanya banget!

*biariin.

Akhirnya gw ngalah deh. Gw ke meja Lisa ngambil roti terus ke pantry dan makan di sana ditemani para OB yg mulai sibuk nyiapin minuman buat staff.

Saat itulah ada pesan singkat di handphone gw.

*kebooo...

Nomer asing.

*sapa yak?

*ini gw...

*singkat banget nama lo dua huruf doank. G ama W doank?

*err...ini Meva! dasar kebo!

Gw baca beberapa kali sms nya. Nggak salah nih? Sejak kapan dia punya hape?? Langsung gw telpon deh.

"Pake hp sapa lo?"

"Hp gw laah..baru beli kemaren nih. Lg ngapain lo?"

"Lagi mikirin loe."

"Haha! Pagi-pagi digombalin. Lo dimana?"

"Di kantor lah."

"Kok gw berasa di surga yak?"

"Kok bisa?"

"Iya. Denger suara loe di hp, gw berasa di surga..hahaha!"

Gw ketawa sendiri. Bisa banget nih anak!

Mendadak Lisa masuk.

"Lo dipanggil Pak Agus tuh," katanya.

"Eh ntar gw telpon lagi yak," kata gw ke Meva lalu memutus panggilan. "Bilang aja ke Pak Agus gw lagi di WC gitu."

"Bilang sendiri deh! Gw laper mau nyarap dulu."

"Hadeuuh...mau ngapain sih si Botak pagi-pagi gini manggil gw? Nggak ada kerjaan banget deh bos kita itu. Paling juga mau nyuruh gw beli es panta di koperasi. Padahal kan ada OB yak?? Males banget sumpah!"

"EKHEM!"

"Eh, Pak Agus......"

Lisa membuka pintu pantry dengan kasar dan menghenyakkan diri di kursi dengan gusar.

"Eh mmh...gimana tadi sama Pak Agus?" tanya gw ragu.

"Ah nggak asyik loe Ri," omelnya. "Lo yg ngomong kok gw yg kena getahnya??"

"Emang melon ada getahnya juga yak?" yg gw maksud di sini tentu saja sindiran.

Lisa melirik gw kesal.

"Oke oke sorry Lis," buru-buru gw tanggapi lirikan itu. "Khan gw tadi nggak tau tiba-tiba si upz...ada orangnya lagi nggak yah...si Melon manggil lo buat marahin lo."

"Tapi kan jelas-jelas yg ngomong itu elo! Suara cowok! Kok bisa-bisanya sih dia nyangka gw yg ngomong!" Lisa masih dalam tahap ingin mematahkan leher seorang janda. Lho??

"Tenang Lis...tenang...Nih gw bikinin kopi," gw menyodorkan cangkir kopi yg sebenernya buat gw sendiri. "Minum dulu lah."

"Thanks," ucapnya pendek.

"Hei hei hei..." Leo dari divisi Purchasing masuk ke pantry. "Romantis kali kalian ini! Dua-duaan di pantry sambil ngupi-ngupi...Ajak aku juga lah! Aku juga kan mau nyantai seperti ini," dengan logat batak yg kental.

Lalu duduk di samping gw.

"Hey, ada apa sama kau Lis? Muram kali muka kau?"

"Enggak papa kok."

"Ah kau ini..." dia menarik gelas dari hadapan Lisa dan meminumnya. "Kayak nggak tau aku aja. Aku kan bisa ngeramal, aku bisa baca pikiran kau. Kau juga Ri. Aku tau apa yg lagi kau bayangin sekarang."

"Oiya? Coba baca pikiran gw."

"Sebentar..." Leo menatap mata gw lekat-lekat. "Hmm..begitu ya.."

"Begitu apanya?"

"Kau lagi mikirin cara yg tepat buat motong-motong melon."

"Hah! Tau darimana kau?"

Leo tertawa lebar. Padahal tebakannya ngelantur.

"Leo Parlindungan!" dia menepuk dada.

Lisa cuma geleng-geleng kepala liat tingkah si upil ini. Leo emang dikenal di kantor sebagai peramal ulung. Hampir semua orang di kantor ini pernah diramalnya, dan anehnya semuanya menolak percaya pada ramalannya. Karena memang kebanyakan yg diakui sebagai ramalannya adalah kabar buruk. Beberapa bos diramal akan turun jabatan, digantikan OB yg biasanya mereka suruh. Termasuk Pak Agus. Dia diramal akan kena virus antraks saat usianya memasuki 60 tahun. Satu-satunya cara untuk terhindar virus ini adalah dengan rutin mengkonsumsi daging orok setengah mateng tiap malem bulan purnama. Begitulah yg dia ramalkan.

"Eh eh sebentar," tiba-tiba Leo menarik tangan gw dan Lisa. Diamatinya baik-baik telapak tangan kami bergantian, lalu tertawa lebar.

"Sarap!" komentar Lisa.

"Huss...jangan kurang ajar. Itu bapak aku. Sarap Parlindungan!"

Gw dan Lisa saling lirik kemudian mengangkat bahu.

"Kalian berdua," kata Leo. "Kau Lisa...dan kau Ari..."

"Hebat! Darimana lo tau nama kita berdua?"

"Bentar laah aku belum selesai bicara ini. Maksud aku tadi kalian berdua," dia menunjuk gw kemudian Lisa. "Ari...Lisa..."

"Hebat! Darima..."

"Aku belum selesai ngomong! Jangan disela dulu laah!" Leo kesal dan meminum kopi milik Lisa dan mengembalikannya tapi Lisa menolak dengan pandangan jijik. "Aku tadi barusan dapet wangsit dari Mbah Sewu Pakuningrat di Gunung Semeru. Aku liat garis tangan kalian berdua. Ternyata kalian jodoh! Cocok! Kelak kalian berdua akan jadi pasangan hidup yg harmonis. Punya empat anak yg baik dan benar sesuai Ejaan Yang Disempurnakan."

Pipi Lisa merona merah. Dia tertunduk dan beberapa kali meluruskan poninya.

"Jangan gila kau," komentarnya.

"Eh aku serius lho!"

Gw sendiri menganggap ramalannya sebagai lelucon. Gw bukan orang yg percaya sama ramalan.

"Kalian berdua...adalah jodoh..." Leo mengulangi ucapannya.

"Iya iya gw percaya," gw bohong. "Yaudah gw cabut dulu deh. Belum ngerjain apa-apa nih."

"Gw juga," Lisa ikut berdiri.

Kami berjalan bareng keluar. Gw tau beberapa kali Lisa curi pandang ke gw tapi gw pura-pura nggak tau aja. Kami berpisah di meja kami masing-masing.

Yg pertama gw lakuin adalah menyalurkan bakat terpendam gw : pura-pura sibuk padahal nggak ngelakuin apa-apa. Mood kerja gw buruk banget kalo hari Senin kayak gini. Baru juga mau close tab HamsterBall ketika di layar muncul admin messenger. Dari komputernya Lisa.

-ri, lo percaya sama ramalan leo barusan?-

Gw ketik balesan gini..

-gak tau deh. ramalan si upil mana ada benernya sih?-

-terus gimana kalo itu beneran?-

-ya syukur aja. itu artinya gw nggak perlu capek-capek pasang iklan di koran buat nyari istri.-

-haha...-

-kok 'haha' doank?-

-haha..hihi..huhu..hehe..hoho..-

Gw mengernyit konyol.

-???-

-!!!...-

-hmm...-

-kenapa hmm?-

-enggak papa-

-nanti makan siang di kantin atas atau bawah?-

-bawah aja deh. kalo di atas ntar ketemunya pak agus lagi.-

-woooy....kalo mau pacaran jangan pake am! atau seenggaknya pake user pribadi biar nggak nongol di komputer orang! lisa, laporan validasi kamu mana?? ari, cepet selesaikan manufacturing instruction buat mesin baru! deadline nya tiga hari lagi!-

-eh, baik pak agus...-

Pulang kerja sorenya gw mendapati Meva lagi duduk di selasar balkon, memunggungi pemandangan di belakangnya, sambil membaca sebuah majalah.

"Ciee yg punya hp baru," goda gw.

Meva nyengir lebar. Kayaknya PMS yg semalem udah selesai.

"Baru pulang?" tanyanya.

"Enggak, ini mau berangkat."

"Nenek-nenek ompong juga tau lo baru balik!" dia mencibir.

Gw balas dengan menjulurkan lidah. Dan tiba-tiba...Ada sesuatu yg berdebar dalam dada gw. Mendadak gw inget ucapannya semalem.

"Apa yg dikatakannya semalem, maksudnya adalah gw? Apa dia sebenernya pengen gw ngungkapin perasaan ke dia...?"

Ah enggak! Gw nya aja yg ke GR an! Meva kan emang gitu anaknya, suka asal ngomong. Kadang emang sengaja suka nge GR in gw. Dia ahlinya! Gombalannya maut banget tu bocah!

"Woyy bengong!"

"Ah enggak," buru-buru gw hapus khayalan-khayalan yg sempet berkelebat di benak gw. "Gw terpesona aja. Sore ini lo keliatan cantik banget Vaa..." sumpah, gw nggak nyadar kalimat ini meluncur begitu saja dari dari mulut gw.

Meva senyum lebar. Pipinya merona merah.

"Aneh! Nggak biasanya ekspresi dia kayak gitu..."

Gw memutuskan masuk kamar, mandi, ganti baju, tapi nggak sedetikpun wajah Meva beranjak pergi dari kepala gw.

AAAARRGGGGHH...What's wrong??!

Gw malah jadi mondar-mandir sendiri di dalem kamer kayak orang bingung dikejer deadline. Sambil sesekali ngintip dari balik gorden, ah beneran gw dag-dig-dug! Gw suka! Dia cantik banget sore ini! Kayaknya dia masang pelet di stokingnya!

"Apa gw ungkapin aja perasaan gw sekarang?"

Gw butuh lebih dari seribu kali mikir. Gimana kalo dia malah ngetawain gw? Ya ya ya...Gw yakin dia pasti bakal habis-habisan ngejek gw! Orang kayak dia mana punya sense of romantic?

Ckckck... Gw keder! Asli keder! Bener-bener keder!

Udahlah, biar aja gw simpen dalam hati...

"Gw takut," kata gw dalam hati. "Gw terlalu takut buat jujur sama diri gw sendiri. Gw suka Meva. Tapi gw nggak berani ngungkapin ke dia..."

Gw pengecut! Apa susahnya ngomong jujur ke dia! Tinggal bilang aja, 'Gw suka elo Va.. Mau nggak lo jadi istri gw??'

"Enak aja! Istri? Jadi babu lo aja gw ogah!" gw membayangkan ekspresi Meva.

"Ekhem!" gw pandangi wajah gw di cermin. Dia balas menatap gw pongah. "Va, gw mau ngomong sesuatu ke elo...."

Ini kata pengantar yg cool nggak sih??

"...kita kan udah lama kenal..."

Tolol! Ya iyalah, udah tiga tahun! Nggak cocok, jangan pake kalimat ini!

"...gw udah kenal lo deket. Lo juga, udah paham banget sifat gw. So, kita ke penghulu aja yuk?"

Goblok! Mana ada cowok langsung nembak mati di tempat kayak gitu?!

AAAAARRGGGH!!! Gw nggak sanggup! Kayaknya mending gw terjun bebas dari atap kosan, daripada mesti ngomong itu...

Huuffft.....gw usapi keringat di wajah gw. Slow, Ri...yg elo butuhkan sekarang adalah ketenangan. Lo tenangin diri lo dulu, buka pintu kamer, duduk di samping dia...terus lo ungkapin deh isi hati lo selama ini. Gampang kan??

"Enggak segampang itu," gw gelengkan kepala dengan keras dan mulai mondar-mandir lagi. Gw intip dari jendela, Meva masih asyik baca sambil sesekali senyum mencerna yg dia baca. Kacamatanya merosot di ujung hidungnya.

"Ah, gw heran deh! Tuh anak makannya apaan sih, bisa semanis itu?????"

Shit, gw gugup banget. Sebelum-sebelum ini gw nggak pernah deh kayak gini. Nembak mah nembak aja! Tapi kok ini beda yak...

Jelas beda laah... Meva emang beda dari cewek-cewek yg gw kenal selama ini. Ada sentuhan magic dari dirinya yg bikin gw klepek-klepek sampe nggak sanggup buat sekedar ngungkapin perasaan gw.

Gw bercermin lagi dan...Hey! Kenapa muka gw jadi pucet??? Sebesar itukah pengaruh Meva ke gw?!

Ya udahlah. Entar aja lah gw ngomongnya. Masih banyak waktu. Masih ada besok, lusa, lusanya lagi, lusanya lagi..........



Oke deh, deal! Gw pending deh sesi penembakannya sampe waktu yg belum ditentukan. Tapi gimana, kalo dia direbut dulu?? Kan kemaren dia bilang ada cowok yg lagi dia suka!

Tapi bukan anak kosan sini...

"Berarti bukan gw," kata gw frustasi.

Tapi kan semalem gw nggak sempet nanya gini : "cowok itu gw bukan??"

"Jelas BUKAN!!" pasti itu yg dikatakan Meva.

Udahlah, gw kumpulin keberanian gw dulu...

Gw buka pintu kamar.

Meva cantik bangeeet...

Gw merapikan rambut gw.

Penampilan luar itu penting coy...

Gw masukkin ujung kaos gw ke celana.

Kayak orang idiot! Keluarin lagi!

Gw keluarin lagi kaos gw.

Nah...

"Ekhem!"

Cool boy!

Gw berjalan ke tempatnya.

Mendadak kok gw ngerasa kayak jalan di catwalk yak!

Gw duduk di samping Meva. Dia cuma melirik sebentar lalu ngebaca lagi. Rambutnya yg panjang menutupi samping wajahnya yg tertunduk ke majalah di pangkuannya.

"Ekhem..."

Minum obat batuk woyy!!

Mendadak bingung nih mau ngomong apa.

Kan tadi udah deal, acara nembaknya ditunda!! Ngapain bingung??

"Va, gw mau ngomongin sesuatu sama loe.........."

WADUH!!!

Meva menoleh ke gw lalu mengangkat kedua alisnya. Mungkin artinya 'ada apa?'. Dia tersenyum sesaat dan kembali konsentrasi ke majalahnya. Lumayan lah senyumnya cukup nenangin gw.

"Denger Va," kata gw kali ini cukup berani. "Ada yg harus gw omongin ke elo. Kalo nggak diomongin tuh ngeganjel banget di hati."

Meva menaikkan posisi majalahnya dan mengangguk beberapa kali. Kedua kakinya berayun ke depan dan belakang. Ah, gw jadi gugup lagi. Gw turun dan memutuskan berdiri menatap padang hijau di depan gw. Beberapa kali gw ketukkan jari ke tembok untuk menenangkan diri. Dan setelah sekuat hati membuang ego dalam diri gw, akhirnya gw bulatkan tekad buat ngungkapin perasaan gw ke Meva saat ini juga. Gw siap apapun resikonya, diterima syukur...ditolak ya jangan sampe lah! Haha.

"Ekhem," gw masih lumayan gugup. "Gw harus akui gw nggak cukup pinter ngomongin kayak ginian. Gw juga tadinya nggak mau ngomong ini, tapi gimana yak kayaknya gw bisa demam tujuh hari tujuh malem deh kalo ini terus-terusan gw pendam. Tolong jangan ketawain gw ya Va??"

Malah gw yg pengen ketawa sendiri.

"Mmmh gw cuma mau coba jujur sama diri gw sendiri," lanjut gw. "Tentang perasaan gw. Sip! Cocok banget nih kalimatnya. Gw mau jujur ke elo, soal perasaan gw ke lo.

"Seperti yg lo bilang semalem ke gw, adakalanya seseorang terlalu sibuk nyari orang yg tepat sampe melupakan orang terdekatnya. Kalo gw, dari awal gw udah sadar kok sapa yg menurut gw tepat buat gw. Ya sebenernya sih dari awal ketemu elo, gw udah ngerasain something different. Ada lo gw nyaman, nggak ada lo gw ngerasa sepi. Hambar. Itu gw rasain waktu enam bulan kemaren lo pergi."

Hmm gw mulai enjoy nih ngomongnya. Gw pikir, Meva harus tau semuanya. Gw mau jelasin ke dia sedetail mungkin biar dia juga ngerti posisi gw.

"Waktu lo pergi, gw ngerasa gw udah ngebuang semua kesempatan yg ada. Dan sekarang, saat kesempatan ini dateng lagi buat yg kedua kalinya, gw nggak mau menyiakannya. Gw harus terus terang ke elo, bahwa gw suka sama lo Va..."

Sunyi. Cuma angin sore yg bertiup menyejukkan suasana.

Meva belum ngasih tanggapan. Nggak papa lah. Emang lebih baik gw selesaikan dulu 'jatah' bicara gw.

Hemmmph...gw menarik napas berat. Gw mulai dihantui sedikit keraguan buat ngelanjutin pembicaraan ini. Lancang nggak sih gw ngungkapin perasaan gw ke Meva?

Mevally. Cantik luar biasa menurut gw (maklum kalo lagi dibutakan oleh cinta ya kayak gini ). Parasnya bersih dan cantik. Sebuah sosok yg sempurna. Sosok yg dipandang fiktif bagi banyak orang, namun ada. Dia. Di samping gw...

"I don't think I can live without you, Va....."

Masih sunyi.

Apa gw berhasil? Mudah-mudahan.

Belum ada reaksi dari Meva. Mungkin dia lagi berfikir mencari kata yg tepat buat menjawab gw.

Gw beranikan diri berbalik, berdiri di depan Meva dan menatap wajahnya.

"Please Va...," lanjut gw. "Mau nggak lo jad..."

"Eh Ri! Lo tau nggak lagu Endless Love yg versi Mariah Carey??" Meva menyibakkan rambutnya sampe ke belakang telinga. Ada benda hitam di kedua telinganya. "Coba dengerin deh."

Meva memasang headset di telinga gw. Volumenya kenceng banget!

Gw lepas headset nya.

"Tunggu dulu," kata gw mulai diselimuti rasa was-was. Jantung gw kembali berdegup kencang. "Lo...daritadi...lagi pake headset?"

Meva mengangguk mantap.

"Gw baru beli discman kemaren bareng sama hape," dengan innocent nya dia menunjukkan sebuah discman kecil di balik majalahnya. "Gimana lagunya keren yak?"

"Jadi lo nggak denger semua yg gw omongin barusan?"

Meva menggeleng pelan.

"Emang lo ngomong apa gituh?" tanyanya polos.

O MY GOSH!! Jadi tadi gw ngapain aja donk?? Mendadak gw sesak napas. Rasanya enak banget nih makan daging kodok setengah mateng!

"Lu ngomong apa sih tadi?" Meva mengulangi pertanyaannya. "Kok pucet gitu muka lo?"

Gw menggeleng pasrah.

"Nggak kok...tadi...tadi, gw cuma mau ngajak lo makan. Lo udah makan belum?"

"Udah."

"Ooh..."

"Lo mau makan?"

"Iyah."

"Titip fanta yak."

"Sip lah. Gw ke warung dulu yaah......"

"Oke."

Seminggu berlalu sejak 'tragedi headset'. Yeah begitulah gw menyebutnya untuk menggambarkan betapa konyolnya gw saat itu. Sebenernya ada beberapa nama yg lain, tapi gw pikir 'tragedi headset' yg paling pas.

Bel pulang sudah berlalu beberapa menit yg lalu. Sore ini mendung rapet banget. Gw berdiri di sudut pantry, menatap keluar jendela sambil menikmati secangkir kopi di meja. Satu stel jas hujan terlipat rapi di sebelahnya. Sore ini gw nebeng sama temen, tapi dia lembur sampe setengah lima jadi gw nunggu dia selesai dulu.

"Lo masih di sini Ri," Lisa masuk ke pantry.

"Lagi nunggu Sugeng selesai lembur," gw senyum ke Lisa. "Tolong biarin pintunya terbuka aja. Takut ada yg salah paham kalo liat cewek sama cowok di ruang tertutup kayak gini."

"Oke," Lisa menekan pintu ke dinding sampe terdengar bunyi klik pelan. "Keberatan kalo gw temenin sampe Sugeng balik?"

Gw lirik arloji gw. Limabelas menit lagi.

"No problem."

Lisa menyeduh teh hangat dan duduk di kursi sementara gw tetap berdiri membelakanginya. Iseng gw ketuk-ketuk kaca jendela. Tebal. Mencegah orang buat terjun bunuh diri menembusnya. Tapi emangnya siapa yg mau bunuh diri dengan cara konyol seperti itu? Pak Agus mungkin? Hahaha... Gw mulai ngelantur. Entah kenapa akhir-akhir ini gw selalu terganggu dengan 'tragedi headset'.

Sikap Meva ke gw tetep kayak biasanya, seolah nggak pernah ada pengakuan gw ke dia. Hmmm mungkin memang nggak pernah ada kali yak? Kan Meva nggak denger? So, buat dia mungkin nggak pernah ada. Tapi buat gw, tragedi itu cukup menciutkan nyali gw. Gw takut untuk ngungkapin lagi perasaan gw ke Meva.

"Lo kenapa Ri? Murung gitu deh seminggu ini."

"Oiya? Enggak ah. Gw rada nggak enak badan aja," kata gw bohong. Enggan mengakui bahwa selama tujuh hari ini pikiran gw selalu tercurah ke Meva.

"Masa sih? Tapi lo kayak orang yg lagi patah hati tuh?"

"Kok tau? Ups...maksud gw...tau darimana emangnya? Gw nggak patah hati kok."

"Ya kali aja. Gw tuh apal banget karakter dan mimik wajah elo Ri. Lo lagi seneng, sedih, marah...gw apal deh."

"Hebat."

"Orang kita ketemu tiap hari. Wajar aja gw hafal."

"Oh..."

Tapi kok gw nggak pernah bisa ngebaca ekspresi Meva ya? Padahal sama juga ketemu tiap hari.

"Masih ada roti nih," Lisa mulai ngoprek lemari gantung punya OB. "Lo mau?"

Gw menggeleng pelan dan memilih meneguk cangkir kopi gw.

"Tell me..." kata Lisa lagi. Dia berdiri di sebelah gw. "Lo sebenernya kenapa? Something problem?"

Gw menggeleng lagi.

"Enggak kok Lis."

"Come on...Gw tuh tau elo. Lebih tau dari yg lo kira."

"Wouw...hebat donk! Sejak kapan lo punya indra keenam?"

"Gw nggak becanda Ri."

"Gw juga."

"Gw nggak suka sama cowok yg selalu nyembunyiin perasaannya."

"Emang gw gitu yak?"

"Seperti yg gw bilang tadi, gw hafal banget elo."

"Nah itu udah hafal, ngapain nanya lagi?"

"Ri..."

"Ayolah, Lisa! Sejak kapan sih gw harus cerita semua masalah pribadi gw ke lo?"

"Oke, kalo memang kehadiran gw nggak membantu masalah yg lagi lo hadapi.."

"Enggak akan lah," kata gw sangat pelan nyaris bergumam.

"Gw cuma peduli sama elo Ri," lanjut Lisa. "Gw nggak rela aja liat lo murung, apalagi sedih. Gw pengennya elo tuh seneng. Syukur-syukur kalo senengnya elo itu karena andil gw.."

Gw tertegun. Bayangan Meva di kepala gw mulai berganti jadi wajah Lisa.

"Lo mungkin nggak mau denger ini," ujarnya lagi. "Tapi lo harus tau, kalo...kalo gw...gw sayang sama lo Ri."

Gw nggak begitu terkejut. Yg gw nggak nyangka adalah Lisa berani jujur bilang itu ke gw. Dan ekspresinya juga tenang banget. Kalem plus tegar. Beda banget sama gw kemaren.

Gw tertunduk lesu.

"....."

"Gw jujur, gw suka sama lo Ri. Sejak dimutasi ke departemen yg sama, gw udah naruh hati ke lo."

"Denger Lis..."

"Enggak. Lo yg denger gw."

Gw diam.

"Silakan lo judge gw ini cewek apaan, berani ngomong kayak gini ke cowok..."

"Gw justru salut kok."

"...Gw peduli sama lo. Gw care. Sebisa mungkin gw jadi temen ngobrol yg baik buat lo. Tempat lo numpahin unek-unek lo soal kerjaan. Rasanya menyenangkan aja, ngelakuin sesuatu yg berarti buat orang yg gw sayang, tanpa gw berharap dapet balasan yg sama. Itu resiko buat gw, dan gw udah sadar hal itu sejak gw memutuskan suka sama lo."

Napas gw jadi berat.

"Dan lo nggak perlu jawab pernyataan gw ini Ri. Gw cuma pengen lo tau aja..."

Gw mendadak speechless. Ternyata ada yak orang yg sayang sama gw sampe segitunya!

Lisa duduk di kursinya. Dia meminum teh nya lalu berkata.

"Eh, lo nggak marah kan gw bilang ini?" nada suaranya biasa lagi.

Gw menggeleng.

"Oke! Kita masih rekan kerja yg baik kan?" Lisa senyum.

"Yaiyalah! Gw nggak bisa mecat orang karna dia suka sama gw. Dasar dodol loe."

Kami berdua tertawa. Tawa yg lepas.

"Lagian lo bukan bos gw!"

"Haha."

"Emmh ya udah gw balik kerja lagi deh. Lembur panjang nih gw," dia melangkah pergi.

"Lisa.."

"Ya?"

"Thanks...buat semua perasaan lo ke gw."

Lisa mengangguk dan tersenyum lebar. Dia menghilang dari pandangan gw di balik pintu yg perlahan menutup......

Minggu-minggu selanjutnya gw lalui dengan bertekad melupakan, atau setidaknya mengesampingkan yg namanya 'tragedi headset'. Gw dalam hati menganggap itu adalah mutlak kegagalan gw sebagai seorang laki-laki. Soal Lisa, setelah hari dimana dia mengungkapkan perasaannya, kami berdua tetap berhubungan baik seperti sebelumnya. Seolah nggak pernah ada momen itu. Cukup saling tau dan diinget dalam hati. Kadang suka kikuk sendiri sih kalo ada momen gw mesti lembur berdua bareng Lisa. Tapi gw berusaha seenjoy mungkin aja.

Suatu malam di akhir Oktober 2003..

Hujan turun dengan derasnya. Ditambah kilatan petir dan suara gemuruh yg memekakan telinga, mendadak gw berasa ngekos di tengah hutan. Angin kencang juga menambah horornya malem ini.

Nggak cukup sampe di situ, beranda kamer juga digenangi air. Saking derasnya hujan yg turun airnya sampe masuk dan membasahi sepanjang koridor lantai tiga. Gini nih nggak enaknya dapet kamer paling pojok.

Udah ujan, gw belom makan, mendadak mati lampu pula! Ckckck...sial banget gw malem ini.

Hape gw berdering. Ada sms dari Meva.

-lo dimana bo? gw takut nih...-

Gw bales deh.

-di kamer lah.-

-sama. gw juga di kamer-

-oh...-

-kok 'oh' doang??? kesini kek! temenin gw! parno nih denger geledeknya!-

-susah cing...-

-lo panggil gw apaan??-

-cing...itu loh 'cacing'-

-kurang ajar!! sembarangan lo ngatain gw cacing!-

-heheh...soalnya gw pikir itu cocok buat lo. kan lo tuh nggak bisa diem tuh. kayak cacing kepanasan, uget-uget mulu -

-dasar kebo! buruan lah kesini...tuh kan geledeknya ngeriin banget!-

-wah...susah va...-

-susah apanya? tinggal jalan semeter juga nyampe kamer gw!-

-justru itu...-

-ini apaan sih? nggak jelas!-

-gw belom selesai ngomong, jangan disela dulu lah-

-KALO BELUM SELESAI NGAPAIN DIKIRIM??-

-ya kalo elo tau itu sms gw belum selesai ya jangan dibales donk-

-kampret! kesini laah...-

-asal tau aja va. saat ini kamer kita tuh terpisahkan samudera luas. lo tega ya liat gw tenggelam di tengah samudera yg ganas...-

-ah, ngomong apa sih lo??-

-liat ke luar kamer deh.-

Sekitar semenit kemudian Meva baru bales.

-samudera apaan?? cuma becek setengah senti doank. banci loe ah...-

-takut gw.-

-bisa nggak sih sms nya tuh JANGAN SEUPIL-UPIL AMAT! gw udah ngetik panjang lebar juga lo balesnya pendek banget-

-JANGAN SEUPIL-UPIL AMAT-

-rrrrrrrr.....bukan itu maksud gw! udahlah mahal nih sms an mulu, cepetan kesini!-

-iya-

Dengan malasnya gw buka pintu dan akhirnya sampe di kamer Meva dengan kaki yg sangat basah.

"Nah daritadi kek," kata Meva. Walaupun kamar gelap gw tau dia lagi cemberut ke gw.

"Kok gelap di sini?"

"Pertanyaan bodoh yg nggak perlu dijawab.....Eh awas itu kaki gw!! Maen injek aja!"

"Sory...nggak keliatan..." gw duduk di kasur. Dari parfumnya sih Meva ada di sebelah gw.

"Gw takut Ri.." bener, dia di sebelah gw.

"Takut kenapa? Ini ujan biasa kok. Sebelum-sebelumnya juga sering ujan kayak gini mah."

"Ya gw takut aja...ujan gede, mana gelap pula! Gw berasa ada di dalem kuburan."

"Huss, sembarangan kalo ngomong."

"Iya abisnya gw takut! Dari kecil gw tuh emang phobia sama suara geledek! Tuh kan lo denger nggak?"

"Orang di alun-alun juga denger kali suara segede gitu mah."

"Ya makanya elo tuh cepet kesini coba kalo ujan geledek kayak gini tuh! Malah bertele-tele di sms..."

"Iya sorry. Gw nggak tau lo setakut itu. Eh, lo nangis?" gw cuma bisa denger sesenggukannya.

"......"

"Tutupin kuping lo pake bantal gih. Nggak akan kedengeran deh."

"Tetep aja Ri..."

"Yaudah pake discman deh! Kan kalo lo pake headset, lo nggak akan denger suara apapun?"

"Discman nya lobet..."

"Hmmm yaudah lo tidur aja."

"Mana bisa gw tidur dalam keadaan mencekam kayak gini??"

"Okelah kalo gitu, sini gw tidurin elo."

-PLAAK-

"......"

"Maksud gw...gw ninabobo-in elo biar bisa tidur Va...dinyanyiin apa didongengin gituh..."

"Ah elo nya sih kalo ngomong tuh yg jelas coba biar gw nggak salah paham."

"....."

Hebat bener, bisa ngena pipi gw padahal gelap lho. Hujan sudah mulai mereda sedikit demi sedikit.

"Eh, lo pernah nggak sih ngerasa kayak lagi mati gitu?" tanya Meva.

"Tau ah."

"Yeeey ngambek."

"Sakit dodol!"

"Maaf..."

"....."

"Lo percaya sama yg namanya reinkarnasi nggak Ri?"

"Lo mulai ngelantur deh. Nanyanya aneh-aneh aja. Udah buruan tidur."

"Gw nggak ngantuk. Jawab aja pertanyaan gw tadi."

"Enggak. Gw nggak percaya."

"Kenapa?"

"Ya lo pikir aja, kalo tiap manusia reinkarnasi, mau sampe kapan kehidupannya berakhir?" gw merasa pertanyaan tadi konyol. "Udah ah, tidur sana. Gw lagi males ngebahas yg kayak gituan."

"Oke oke. Pertanyaan terakhir deh," Meva maksa. "Kalo lo dikasih kesempatan reinkarnasi, apa yg akan lo perbaiki di kehidupan kedua lo?"

"Pertanyaan aneh!"

"Coba yak..tinggal dijawab aja tuh!"

"Oke. Kalo gw bisa reinkarnasi, gw akan pastikan dulu bahwa tiap orang yg gw ajak ngomong, dia nggak lagi pake headset."

"Lho kok gitu...?" Meva bingung.

"Udah, buruan tidur gieh. Apa perlu gw tidurin???"

-PLAKK-

Malem minggu lagi...Melongo lagi...

Cuma tiduran di kamar sambil nonton tivi. Pengen gitaran tapi lagi nggak mood nyanyi. Iseng-iseng gw malah ngehayal seandainya bisa duet bareng vokalis Jamrud, bawain lagu 'Pelangi di Matamu'. Gw maen gitar, dia yg nyanyi. Wah pasti menyenangkan tuh!

Lagi asyiknya ngebayangin enaknya maen dari D atau E#, pintu kamar gw diketuk.

"Ari..." panggil Meva dari luar.

"Orangnya lagi pergi," sahut gw. "Maap aja Mbak."

"Lo kata gw minta sumbangan!" Meva membuka pintu.

"Eh elo Va..." kata gw dengan bodohnya. "Nggak malmingan?"

Meva duduk di sebelah gw.

"Ah elo kayak nggak tau gw aja. Mana pernah sih gw malem mingguan? Paling banter juga kan maen catur sama lo," katanya ketus.

"Ya elo cari pacar lah biar ada yg ngajakin jalan malem minggu."

Meva malah tertawa.

"Cariin gw cowok lah Ri," ujarnya sambil tetap tertawa.

"Cari sendiri lah. Elo kan cantik, tinggal deketin aja cowok pasti nggak akan ada yg nolak..." gw sok ngasih nasehat padahal gw miris sendiri.

"Emang menurut lo gw cantik???" tanya Meva semangat.

Yah ni anak ke GR an.

"Mmmh lumayan lah," gw mengklarifikasi.

"Tadi bilangnya cantik! Kok lumayan?" dijewernya kuping gw.

"Iya cantik cantik deh!" gw tepis tangannya.

"Kok pake 'deh' ? Nggak ikhlas banget ngomongnya!"

"Iya Nona Meva.....elo itu cantik," tegas gw. "Nggak pake 'deh'."

Meva mencibir.

"Eh emang lo pengen punya pacar Va?" tanya gw.

"Yah nyoba aja lah. Pengen tau gimana sih yg namanya pacaran" Meva terkikih.

"Waduh...pacaran kok coba-coba!"

Meva sekarang ketawa.

"Emang nggak ada ya cowok yg deketin lo di kampus?" tanya gw lagi.

Meva menggeleng frustasi.

"Kebanyakan pada takut sama gw."

"Kok bisa??"

"Enggak tau. Banyak yg nggak suka lho sama gw di kampus. Mulai dari temen cewek yg pada usil, suka ngerjain...ngusilin gw lah...sampe ada yg nyabotase tugas yg udah gw buat..."

Gw terenyuh. Sampe segitunya kah? Gw baru inget Meva memang nggak pernah cerita kegiatannya di kampus.

"Kenapa yak gw tuh kayak dianggep aneh, Ri. Dijauhin...dan sikap-sikap nggak enak lainnya. Menurut lo gw aneh nggak sih?"

"Aneh? Mmmh..." gw berusaha mencari kata yg tepat. "Enggak lah. Biasa aja. Tapi kalo ada yg nganggep lo aneh, lo harusnya bangga."

"Kok bangga sih?? Elo yg aneh nih kayaknya."

"Dengerin gw. Aneh itu nggak melulu jelek. Kalo menurut kamus bahasa indonesia, aneh berarti beda dari yg lain. Dan beda, harusnya itu nilai lebih. Yg lain biasa aja. Lo tuh beda. Berarti lo lebih baik dari yg biasa-biasa aja. Gitu lho maksud gw," kata gw sok memotivasi.

"Nah, beda nya di apanya Ri? Gw sama kan sama cewek yg laen?"

"Lo itu beda. Lo satu-satunya cewek yg rutin ngegamparin gw" gw becanda.

"Waduh! Gw sejahat itu yaa.........."

"Hehehe. Enggak kok, sedikit doank sih."

"....."

"Tapi gw yakin nggak banyak cewek yg dalam usianya yg muda kayak lo, udah ngadepin segitu banyak masalah seperti yg udah lo hadapi selama ini. Ibaratnya petinju nih ya, lo itu udah pernah ngalahin petinju-petinju lain yg kelasnya tinggi. Jadi lo itu udah terakreditasi A" gw sekenanya.

Meva tertawa lebar.

"Kok bisa sih, lo nganggep gw kayak gitu? Sementara orang lain berpikiran gw aneh, lo justru nempatin gw lebih tinggi dari yg lain."

"Iya ya? Nggak tau lah...mungkin karna gw tau lebih banyak soal elo?"

Meva tersenyum senang.

"Pasti seneng banget ya Ri cewek yg jadi pacar lo..." katanya tiba-tiba.

"???"

"Nggak akan deh dia dipandang sebelah mata karena kekurangannya."

"Buat gw kekurangan adalah kelebihan yg belum dimanfaatkan."

Meva tertawa lagi.

"Lo itu yak...selalu memandang sesuatu dari sisi baiknya aja."

"Nggak papa. Kadang kita memang lebih baik nggak pernah tau apa yg ada di balik 'sesuatu' itu sendiri."

Lagi-lagi Meva tertawa.

"Udah ah ngobrol sama lo tuh kebanyakan speechless nya gw."

"Hahaha...mungkin karena gw lebih tua dari elo Va jadi cara berpikir gw sedikit lebih luas."

"Yayaya...gw jadi bisa banyak belajar dari elo. Thanks ya Ri."

Gw tersenyum sambil anggukkan kepala.

"Eh lo mau bikin teh, lo mau sekalian gw bikinin?" Meva menawarkan diri.

"Mau banget!" gw antusias.

Lalu Meva mulai mengambil gelas dan memanaskan dispenser.

"Ri," kata dia lagi. "Seandainya ada cewek yg suka sama lo, tapi dia beda sama lo...Gimana menurut lo?"

"Beda gimana maksudnya?"

"Yaa beda aja. Dari agama, terus latar belakangnya, pokoknya semuanya deh. Dia itu beda banget sama elo! Gimana tuh, lo suka nggak sama cewek kayak gitu??"

Gw berpikir sebentar.

"Yg pasti perbedaan tuh nggak jadi kunci mati buat gw. Justru dari perbedaan itu kita bisa saling mengisi. Bukan begitu Nona Manis Yg Selalu Pake Stoking Hitam??"

Meva senyum lebar.

"Ri, boleh gw ngomong satu kalimat buat elo?"

"Ya?"

"Ternyata lo beneran tua yak!!"

Senin pagi. Gw selalu nggak suka dengan hari Senin, seperti yg sudah gw ceritakan.

"Pagi Ri."

"Pagi Pak.."

Gw duduk di kursi gw, menyalakan komputer dan langsung ngecek cangkir di samping mouse pad. Belum dicuci. Setelah tengok kanan-kiri-depan-belakang dan nggak menemukan Bang Jo, gw terpaksa menuju pantry dan mencuci cangkir gw lalu menuang teh manis hangat. Pagi-pagi minum teh hangat baik buat kesehatan, kata ustad gw di kampung. Gw kembali ke meja gw.

"Hay Lis."

"....." Lisa cuma mengangkat alis sebagai jawaban. Dia berlalu ke mejanya.

"Lagi PMS," gumam gw menanggapi sikap dinginnya. Nggak biasanya Lisa nggak jawab sapaan gw. Lisa adalah tipe periang. Jadi mudah buat gw mengindikasikan penyebab murungnya dia.

"Eh hay Ri," Leo udah di kursi gw aja. Ngutak-atik folder lagu.

"Ngapain lo?" tanya gw.

"Ngopi lagu coy. Bosan aku sama playlist di kompi ku. Aku liat lagumu enak-enak."

"Ya elo, limapuluh folder isinya lagu Batak semua. Gimana nggak bosen?"

Leo nyengir.

"Aku lagi suka sama pop Sunda, eh kau punya kan?"

"Ada kayaknya. Cari aja," gw ambil koran Sabtu kemarin di atas lemari kabinet. Udah gw baca sih sebenernya, tapi siapa tau aja ni koran bisa update secara otomatis. Dan setelah satu menit yg sia-sia karena gw cek ternyata beritanya masih sama dengan Sabtu kemarin, gw taroh lagi koran di tempatnya.

"Oke. Makasih ya," Leo bergegas pergi.

Gw ambil alih komputer gw. Meng-close explorer dan bermaksud maen hamster, ketika gw dapati desktop gw wallpapernya berubah. Leo menggantinya dengan foto dia lagi pelukan sama onta.

"Dasar anak onta," gerutu gw dalam hati dan langsung ganti wallpaper pake foto gw dan temen-temen waktu lagi acara family day tahun kemaren.

Sejenak gw lirik Lisa. Dia lagi menatap lesu monitornya.

-woyy...-

Gw kirim admin messenger ke komputernya.

".........."

Dia nggak bales. Gw makin yakin dia lagi PMS. It's oke.

Gw melewati Senin pagi yg cukup menjenuhkan. Jam sepuluh tepat waktu 'hot time' gw menuju ruang merokok bareng empat atasan gw dari departemen berbeda. Hanya butuh kurang dari satu menit untuk ruang persegi sempit berdinding kaca itu mendadak jadi cerobong asap mini. Gw liat Lisa masuk ke pantry.

Gw matikan puntung rokok gw dan menyusul Lisa. Dia lagi duduk sambil memegangi selembar tisue yg sudah basah.

Lisa nangis...

"Halo nona manis," gw duduk di seberang mejanya.

Lisa menoleh sebentar lalu menunduk lagi.

"Ada apa?" tanya gw. "Kok elo nangis?"

"Gw ngeluarin airmata, jadi gw nangis..."

"Wah hebat! Gw pikir selama ini orang nangis ngeluarin nanas dari matanya."

".........."

"Tell me girl, what's wrong?"

Lisa usap airmatanya.

"Sejak kapan," katanya. "Gw harus cerita masalah pribadi gw ke lo?"

Gw tertegun. Mencari kalimat yg tepat buat menjawab pertanyaan 'repost' macem ini.

"Sejak hari ini..."

"Oiya? Kenapa gw harus cerita ke elo?"

"Karena...ya karena...nggak baik buat cewek yg lagi PMS, memendam semua masalahnya. Cerita aja. Emang nggak akan menyelesaikan masalah, tapi pasti sedikit mengurangi beban lo."

"Oh jadi kalo gw nggak lagi PMS gw boleh, nggak cerita?"

"Ya enggak gitu juga.."

"Jadi intinya?"

"Intinya...elo lagi PMS enggak?"

Lisa berusaha untuk tidak tertawa dan mempertahankan wajah kusutnya.

"Enggak," Lisa menggeleng.

"Jadi apa dong masalah lo?"

"Kemaren Sisi meninggal..."

"Sisi?"

"Sahabat gw. Udah gw anggep ade malah."

"Oh..gw turut berduka.."

"Gw sedih banget Ri! Elo bisa bayangin kan kalo ditinggal sahabat deket lo? Tempat lo bisa curhat sebebas-bebasnya tanpa takut dihakimi..."

Gw mengangguk pelan. Airmata Lisa meleleh.

"...nggak ada tanda-tanda kalo Sisi bakal pergi ninggalin gw. Dia lucu, imut dan menyenangkan. Gw kehilangan banget..."

"Gw bisa rasain yg elo rasain. Tapi nggak baik juga buat terus bersedih," kata gw sambil dalam hati gw mengingkari betapa susahnya dulu gw ngelupain Echi. "Gw yakin Sisi nggak mau elo terpuruk karena kepergiannya," gw sok bijak. "Kalo boleh tau nih, seberapa deket sih elo sama Sisi?"

Lisa nangis lagi. Dia mengguncang jari tangan gw meminta gw untuk menenangkannya. Gw genggam dan usapi punggung tangannya. Berhasil. Lisa usapi airmatanya.

"Deket banget Ri. Tiap balik kerja gw ke rumahnya. Gw suka curhat juga..."

Gw mencoba berempati.

"...gw paling suka kalo dia udah loncat-loncat gitu. Lucu banget..." Lisa tampak senang mengatakannya.

Loncat-loncat?

"...kumisnya suka bikin geli..."

"K-U-M-I-S???"

"Iya kumis."

"Ini...tunggu dulu. Temen lo tuh cewek apa cowok sih?"

"Cewek."

"Kok punya kumis?"

"Iya punya donk. Semua kelinci kan ada kumisnya?"

"Oh..." gw mendesah dengan sangat frustasi. "Jadi yg lagi kita omongin ini, temen lo yg namanya Sisi, itu seekor kelinci??"

"Iya. Umurnya udah setahun."

"Hufft...oke. Dalam beberapa kasus, cukup normal kok, ngajak ngobrol sahabat."

"Thanks Ri udah dengerin curhat gw."

"Oke, kalo gitu gw balik ke tempat gw dulu. Mau nemuin Santi."

"Santi?"

"Iya. Vas bunga di meja gw, namanya Santi."

"........."

Ada satu kejadian yg nggak terlupakan. Waktu itu menjelang akhir tahun.

Sudah lama kami dikabari akan ada kunjungan oleh tim dari perusahaan pusat kami di Jepang. Semua berbenah. Infrastruktur di jalur produksi jadi prioritas utama karena katanya mereka akan melakukan inspeksi di sana selama seharian penuh. Sudah tentu, gw dan temen-temen staff di Machining Departement kebagian repotnya. Selain relay out, dokumen-dokumen yg dibutuhkan di jalur produksi seperti SOP dan QCS butuh banyak revisi. Belum lagi 'dokumen wajib' kami sendiri. Jadilah suasana kantor mengalami peningkatan grafik kesibukan yg cukup signifikan.

Dan hari yg ditunggu pun datang. Dr. Nakata selaku Chief Technical Research Fellow beserta tujuh anggota timnya tiba di perusahaan sekitar jam delapan pagi. Setelah acara penyambutan di ruang meeting intern mulailah mereka menuju jalur produksi. Ruang atas tempat gw nampak serius. Para supervisor termasuk si Melon mendampingi tim inspeksi turun ke line.

"Jangan lupa bungkukkin badan sambil ucap salam kalo ketemu orang Jepang," kata Lisa di sebelah gw menirukan instruksi Pak Agus. Mata tetep ke monitor dan jari-jari menari di atas keyboard, kami mencuri waktu ngobrol.

"Semoga mereka nggak nyasar kemari deh. Repot gw jawabnya. Bahasa Indonesia mereka buruk banget."

"Wajar lah. Jepang adalah negara yg mandiri. Kebanyakan rakyatnya enggan bersusah payah belajar bahasa asing, karena menurut mereka, justru kita yg seharusnya belajar bahasa mereka," dia tersenyum ke gw.

"Oh..lo tau banyak soal Jepang kayaknya."

"Cuma sedikit kok. Gw selalu suka sama alam Jepang. Kayaknya menyenangkan ya kalo bisa tinggal di sana?"

Gw mengangkat bahu.

"Lo nggak tertarik gitu Ri?"

Gw menggeleng.

"Bukan nggak tertarik, gw cuma belum nemu alasan logis yg bisa membawa gw ke sana."

"Ya berandai-andai kan boleh aja."

"Justru itu. Gw belum mau mengharapkan sesuatu yg belum gw harapkan. Bahasa gampangnya apa yak..."

"Bisa aja kan elo ditugaskan di sana? Supervisor Logistik katanya pernah tugas selama dua tahun di Jepang."

"Ah gw beneran belum mikir ke arah sana Lis. Gw masih betah di Karawang."

"Ya pokoknya kalo elo ke sana ajak gw ya!"

"Ngajak lo? Gimana caranya? Yg ditugasin gw, kok elo mau ngikut."

"Bisa aja! Lo nikahin gw, kan gw jadi ada alasan...mendampingi suami gitu! Hehe," dia melet ke gw.

"Duh coba yak...gw belum gableg apa-apa udah disuruh nikahin anak orang. Kalo lo nya mau gw kasih makan sama nasi campur pasir tiap hari sih nggak papa."

"Enggak! Ogah gw juga makan pasir. Mending jadi perawan seumur idup."

"Perawan tua maksudnya?"

"Eh enggak dink! Idih amit-amit Ya Allaah...gw tadi becanda, semoga nggak ada malaikat yg nyatet."

Gw terkikih pelan.

"Eh gw baru sadar deh," kata gw. "Meja lo kan di belakang gw? Kok bisa ada di sini sih?"

"Relay out...mulai hari ini kita tetanggaan. Yg lain juga diubah tempatnya. Mengikuti perintah Jepang, katanya jangan sampe ada ruang yg terbuang. Bahkan kalo memungkinkan nih, satu kantor dimasukkin semua ke WC biar ngirit lay out," kami berdua tertawa.

"Eh anak onta kenapa tuh?" gw menunjuk Leo Parlindungan yg baru saja datang. Dia senyum-senyum sendiri.

Leo yg ngeliat gw nunjuk dia, berjalan ke tempat kami.

"Napa lu?"

"Ah orang Jepang ternyata tidak lebih pintar dari orang Indonesia," pake logat Batak yg kental.

"Kenapa emangnya?"

"Tadi itu yak..aku kan mendampingi mereka ke jalur, nah salahsatu dari mereka ngajak aku bicara," Leo nyerocos. "Tapi pake bahasa Indonesia yg aneh. Dia tanya gini ke aku : 'hey nama benda ini apa?'. Dia bilang gitu sambil nunjukkin spidol dari kantongnya." Leo memperagakan kejadiannya. "Ya sudah aku tulis di hand table nya dia, S-P-I-D-O-L. Spidol."

"Apa anehnya??"

-TING TONG-

Bel pengeras suara dari resepsionis.

"Panggilan kepada Bapak.....eh, kepada Bapak Spidol.....ditunggu di 5C Line. Sekali lagi...."

"Tuh, itu dia!" kata Leo. "Ternyata yg dia maksud tadi, dia itu tanya nama aku...bukan nama benda itu. Jadilah mereka manggil aku 'Spidol'! Udah ah buru-buru ngambil laporan..." dan dia bergegas ke mejanya lalu turun lagi.

Gw dan Lisa cuma bisa tertawa. Saat itulah handphone gw berdering. Telepon dari Indra.

"Halo Dul."

"Halo Ri. Lagi kerja?"

"Iya."

"Hari ini balik jam berapa?"

"Jam empat. Kenapa?"

"Yaudah balik nanti gw jemput lo deh. Lo tunggu di pos satpam aja."

"Mau kemana emangnya?"

"Ke Rumah Sakit."

"Siapa yg sakit Dul?"

"Bini gw.."

"Bini lo sakit apa?"

"Bukan. Bini gw barusan melahirkan. Anak pertama gw Ri! Gw lagi seneng banget ini!"

"Wouw selamat ya! Laki apa cewek?"

"Cowok."

"..."

"Eh si Meva udah balik belom? Gw ajak Meva juga ya biar anak gw ketemu Om sama Tante nya."

"Oke deh."

"Yaudah tunggu gw ntar sore."

"Sip."

Benar-benar kabar yg sangat membahagiakan! Gw jadi nggak sabar nunggu sore. Pengen liat 'ponakan' gw kayak apa. Gw bisa bayangin si Gundul senengnya kayak apa. Sambil dalam hati gw ngebayangin giliran gw punya anak kapan yak? Hehehe!

Bayi mungil yg terbungkus kain putih itu nampak tenang dalam lelap. Dadanya bergerak naik turun seirama nafasnya. Wajahnya agak kemerahan tapi meneduhkan. Dia mewarisi bentuk wajah ayahnya, tapi hidungnya yg meski masih kecil tapi mancung dan lancip sangat identik dengan ibunya.

-HAFA AL FAYYAD-

Nama yg tertulis di papan penunjuk nama yg ditempel di keranjangnya. Dia satu dari sepuluh bayi di ruangan ini yg sedang menikmati tidur pertamanya setelah terlahir sebagai kehidupan baru yg membahagiakan kedua orangtuanya.

"Hafa artinya hujan yg lembut," Indra menjelaskan. "Al-Fayyad yg berarti dermawan. Gw berdoa kelak anak gw jadi orang yg peduli dengan orang di sekitarnya. Dermawan dan menyejukkan layaknya hujan yg turun dengan lembut." Senyumnya masih tertinggal cukup lama di wajahnya.

"Namanya bagus banget," komentar Meva yg berdiri di sebelah gw. Dia bergerak mendekati keranjang kecil dan usapi pipi Hafa kecil. "Lucu. Bikin gemes."

Indra tampak sangat bahagia. Dua matanya yg agak sayu karena kelelahan, tertutupi saking bahagianya.

"Gw sempet takut kalo mesti cesar," ceritanya. "Sebelum ini dokter sempet bilang janin anak gw agak nyungsang gitu, tapi untunglah istri gw nurut anjuran-anjuran dokter, dan saat persalinan pagi tadi berjalan normal."

Indra lalu menceritakan bagaimana telatennya dia menjaga kondisi istrinya menghadapi kelahiran buah hati mereka. Juga bagaimana kagetnya dia sewaktu pagi tadi mendadak pihak Rumah Sakit meneleponnya. Untunglah dia nggak melewatkan momen bersejarah kelahiran anak pertamanya. Indra ada di samping istrinya mendampinginya melalui detik-detik mendebarkan itu.

"Liat nih tangan gw sampe merah gini gara-gara Dea kuat banget pegangannya," dia usapi bekas luka di lengan kirinya.

"Pah..." kata Meva sambil nengok ke gw. "Kapan nih kita punya anak??"

"Gimana pengen punya anak, Papah disuruh tidur di sofa terus!" balas gw lalu disusul tawa kami bertiga.

Rupanya suara kami mengganggu. Hafa terbangun dan langsung menangis lantang. Suaranya melengking tapi halus. Seorang suster di ruangan itu menghampiri kami tapi Indra berinisiatif menggendong bayinya.

"Elo apain Hafa tadi?" gw berbisik ke Meva.

"Enggak gw apa-apain kok," Meva gelengkan kepala. "Cuma nyubit pipinya doang. Sedikiiiit..."

"Sedikit tapi kenceng ya pantes aja nangis tuh."

"......"

Indra menepuk-nepuk bayi dalam gendongannya.

"Kita ngobrol di luar aja," katanya. "Yg lain nanti pada bangun. Kita bawa Hafa ke mamahnya. Dia laper kayaknya."

Lalu kami didampingi suster tadi menuju ruangan istrinya Indra berada. Karena di sana ada beberapa family yg juga datang menjenguk, gw dan Meva cuma ikut nimbrung sebentar lalu keluar ruangan.

"Thanks ya Ri, Va, udah pada mau jenguk ponakan.." kata Indra sumringah.

Gw dan Meva kompak mengangguk.

"Selamat deh ya," gw menepuk bahunya pelan. "Semoga kelak Hafa bisa jadi seperti yg dicita-citakan kalian."

"Amiin..."

Gw menoleh ke Meva dengan pertanyaan "mau pulang sekarang?". Yg dijawab Meva dengan mengangkat kedua bahunya. Gw liat arloji udah jam setengah tujuh petang.

"Dul gw sama Meva pamit yah...udah malem..." kata gw.

"Oke. Gw anter balik?"

"Boleh kalo lo nggak kecapean."

"Bentar gw ambil kunci mobil di dalem."

Dan kami diantar pulang sampe depan kosan oleh Indra menggunakan mobil pinjeman dari kantornya. Hari sudah benar-benar gelap waktu gw dan Meva sampe di beranda kamar kami. Gw duduk selonjoran di kursi dan Meva di tembok balkon melepas penat. Gw belum sempet ganti pakaian, pulang kerja tadi langsung dijemput Si Gundul lalu dilanjutkan menjemput 'paksa' Meva yg sebenernya masih ada jam kuliah.

"Ri," kata Meva sambil melepas kacamatanya. "Hidup Indra tuh sempurna banget ya?"

Gw tersenyum.

"Dia udah punya segalanya yg dia mau," lanjut Meva. "Pokoknya udah lengkap deh dengan kehadiran Hafa."

Gw juga membayangkan demikian.

"Kira-kira kita bisa nggak ya kayak Indra, beberapa tahun ke depan?" kata Meva lagi.

"Jelas bisa laah. Berusaha dari sekarang. Ngumpulin dulu yg bener.."

"Kalo elo, apa yg lagi lo kumpulin sekarang?"

"Duit buat beli rumah. Kan nggak mungkin selamanya gw ngekos di sini."

"Lo mah enak udah punya kerjaan. Nah gw..."

"Ya elo juga berusaha dong, sesuai keadaan lo saat ini. Lo kan mahasiswa nih, ya lo kuliah aja dulu yg bener. Wisuda. Cari kerja, terus mulai tentuin apa aja yg elo mau. Beli rumah kek, beli mobil...ya target lo aja apa."

"Hehehe. Iya juga yak. Soalnya kadang suka takut sendiri ngebayangin masa depan gw nanti."

"Rejeki udah ada yg ngatur kok."

Meva tersenyum lalu turun dan masuk ke kamarnya. Gw masih duduk sambil pejamkan mata. Dalam hati gw berdoa, semoga kelak gw juga punya kehidupan yg sempurna seperti yg gw inginkan..

Hello, is it me youre looking for?
'Cause I wonder where you are
And I wonder what you do
Are you somewhere feeling lonely
Or is someone loving you?
Tell me how to win your heart
For I haven't got a clue
But let me start by saying
"I love you.........."



Lantunan lagu Lionel Ricchie terdengar sayup-sayup dari salahsatu komputer di ruang staff. Saat itu jam makan siang. Cuma ada beberapa orang di sini, termasuk gw, yg memanfaatkan jam ini buat lanjutin kerjaan yg lagi nanggung ataupun sekedar molor di bawah AC.

-GAME OVER-

Untuk ketiga kalinya gw tewas di level 4. Ngeselin juga. Padahal kalo gw liat Lisa udah berkali-kali namatin ini game. Dia merekomendasikan ke gw buat nyoba maenin "Metal Slug", katanya dia nggak tega tiap liat hamster guling-gulingan dalem bola kaca.

"Lo mikirin nggak sih perasaan tuh hamster tiap kali bolanya pecah?" ini kalimat yg sering dikatakannya ke gw. Atau sekedar bilang, "Ri...kasian atuh hamsternya..."

Gw close game. Masih ada sisa waktu istirahat setengah jam lagi. Gw liat-liat koleksi foto di komputer Lisa. Foto waktu acara family day di Kebun Raya. Ada beberapa foto konyol yg bikin gw cengar-cengir. Dan setelah gw liat-liat lagi, ada satu pertanyaan yg terngiang di kepala gw : kok Leo demen banget foto bareng onta? Ada sepuluh an gambar di mana dia berpose sambil membelai punggung onta.

Lisa sendiri nggak terlalu sering muncul di foto. Kalopun muncul, itu foto bareng temen, itu juga temennya yg ngajakin foto bareng. Ada satu foto lagi yg bikin gw senyum. Foto gw bareng Lisa, di depan pintu masuk Kebun Raya.

Sejenak gw tertegun.

"Cantik....." (Lisa nya yak, bukan pintu masuknya)

Ah, Lisa emang gitu sih. Kadang cantik kadang biasa aja, tergantung dandanannya. Kalo Meva kan didandanin apapun juga tetep cantik. Duh coba yak, kenapa jadi Meva dibawa-bawa?? Hehehe.

Acara "oprek-oprek" berlanjut. Gw nemu satu folder yg menarik perhatian gw. Entah kenapa tiap liat tulisan "Jangan Dibuka" gw justru malah pengen ngebuka. Di folder itu gw nemu satu file tanpa ekstension berjudul "LisA". Ukurannya cuma beberapa puluh kilobyte. Gw buka pake windows media player, nggak bisa. Gw coba masukkin ekstension audio, foto, tetep aja unread.

Ngasal aja gw coba pake ekstension Ms.Word dan.......berhasil ! Icon file itu muncul, dan langsung gw klik. Tengok kanan-kiri, mastiin yg punya komputer belum nongol, lalu gw baca dokumen itu.

Hmm seperti sebuah catatan...

...Kenapa sih, gw selalu mikirin dia? Kenapa juga gw selalu berharap yg hadir di mimpi gw, cuma dia? Kenapa tiap kali gw berangkat kerja, orang pertama yg gw sapa adalah dia? Kenapa di tiap hari gw selalu dia yg bisa bikin gw ceria? Lawakannya kadang-kadang garing, tapi kenapa buat gw itu lucu yaaa??

Gw sakit. Dia yg pertama nanyain keadaan gw...

Gw laper. Dia yg nawarin buat nitip roti ke Bang Jo...

Gw sedih. Dia yg bikinin gw teh anget di pantry...

Gw kesel. Dia jadi pelawak yg hebat! Biar garing tapi tetep lucu.

Sedalam itukah dia hadir di hidup gw? Mungkin dia nggak pernah mikirin gw seperti gw mikirin dia. Mungkin buatnya, semua perhatiannya ke gw hanya satu hal kecil. Tapi buat gw itu berarti banget!

Gw sayang dia, Tuhan...Gw pengen tetep seperti ini. Gw pengen dia yg ada di samping gw tiap gw bangun dari tidur. Gw pengen dia yg membelai perut gw menjelang kelahiran buah hati kami kelak. Gw pengen membangun sebuah keluarga dengannya.....

Tolong katakan Tuhan, apa gw salah berharap seperti ini? Kalo memang salah, biarkan gw belajar bagaimana menjalani hari tanpa harus ada dia. Tanpa harus memanggil namanya. Tanpa harus mendengar semua candaannya. Tanpa harus duduk berdampingan di tempat yg sama. Tapi gw yakin gw nggak sanggup!

Gw udah terlalu terbiasa dengan kehadirannya. Gw belum siap nyeduh teh sendiri tiap gw sedih. Gw belum siap, nggak ada yg sms gw nanyain 'Gimana keadaan kamu sekarang?' ketika gw sakit.

Beberapa hari ini dia kelihatan murung dan sedih. Gw paling nggak bisa liat orang yg gw sayang, seperti itu. Gw akan hibur dia.

Hari ini gw akan menyatakan perasaan gw ke dia. Gw pengen dia tau yg gw rasain selama ini. Mungkin ini akan nggak nyaman buatnya, tapi gw harus jujur ke dia. Gw nggak mau jadi orang paling menyesal di dunia yg nggak pernah bisa mengungkapkan perasaan ke orang yg gw sayang.

Mendung nih. Walaupun gw nggak berhasil menemukan korelasi antara mendung dengan sukses atau nggak nya gw mengungkapkan perasaan, gw akan jujur. Dia lagi sendirian di pantry, semoga ini waktu yg tepat buat gw.....

Gw diam. Pikiran gw melayang kembali ke sore dimana Lisa mengungkapkan perasaannya ke gw. Lalu lebih jauh lagi ke momen-momen yg pernah gw lalui sebelumnya. Becanda bareng, ngecengin Pak Agus secara sembunyi-sembunyi, kongkalikong masukin garam ke kopinya Leo, nitip absen tiap salahsatu telat dateng, nonton bioskop, dinner, semuanya berputar di kepala.

Gw juga terbiasa dengan dia.

Apa mungkin sebenernya gw juga sayang sama Lisa?

I need you...
And I couldn't live a day without you
I need you...
More than everyone could ever know
I need you...
And I wanna build my world around you
I need you...
I need you...



"Ini siapa pula yg nyetel lagu ginian siang-siang kayak begini," Leo menggerutu sambil jalan. "Bikin ngantuk aja."

Dia berhenti di depan meja gw.

"Ah aku kira kau yg nyalain lagunya," lanjutnya.

Gw gelengkan kepala dengan gesture yg mengatakan 'bukan gw..'

"Padahal tempo hari aku baca di Kompas, katanya Michael Jackson udah mati."

"Yg lo baca koran bekas 'kali?"

"Enggak. Edisi terbaru aku beli."

"Nah kalo emang iya udah mati, terus kenapa?"

"Tak apa sih. Aku cuma kasian aja."

"....."

"Hah, aku beneran ngantuk jadinya."

Leo kembali ke mejanya. Hampir bersamaan dengan itu Lisa datang dan langsung mengambil posisi duduk di kursinya. Kayaknya sebelum ini dia ke WC dulu, semprot parfum, rapihin make up minimalisnya, nyisir rambut sekalian olesin lipgloss yg sempet luntur gara-gara makan tadi. Dia wangi banget.

"Kenapa?" Lisa nanya gw yg mendadak tertegun melihatnya.

"Eh, enggak..." gw salah tingkah sendiri. Buru-buru gw sok sibuk buka kerjaan.

"Cantik..."

Lisa mulai sibuk dengan kerjaannya. Untung tadi gw sempat kembalikan catatan yg gw baca ke keadaannya semula. Entah kenapa siang ini kalimat dalam catatan Lisa berputar-putar di kepala gw.

"Ekhem," gw pura-pura berdehem begitu Lisa menangkap pandangan mata gw yg curi pandang ke dia.

"....."

Gw jadi nggak konsen. Agak gelisah sendiri jadinya.

"Ekhem!" giliran Lisa yg berdehem mendahului gw. Lagi-lagi dia ngegep gw lagi curi pandang. Gw pura-pura nggak ngerti aja.

Dan akhirnya kejadian itu berlangsung selama beberapa lama. Curipandang-buangmuka-ekhem!

"Eh bener deh...lo kenapa sih Ri?"

"Mmmh enggak...enggak papa kok. Beneran."

"Lo mendadak aneh siang ini."

"Oiya? Enggak ah."

"Daritadi batuk-batuk terus."

"Gw sakit perut soalnya." Gw jawab dengan bodohnya.

"Emang ngaruh? Baru tau gw sakit perut bisa mengakibatkan batuk."

"Baru tau kan? Sama, gw juga."

"Kenapa daritadi liatin gw kayak gitu?"

"Eh, gw...? Liatin elo? Enggak kok."

"....."

"Gw ke WC dulu ah. Jadi sakit perut beneran."

"Tuh kan yg tadi bohong yak?"

"Enggak kok, yg tadi juga beneran."

Buru-buru gw pergi. Gw nggak sakit perut sebenernya. Gw ke pantry, nyeduh teh manis. Duh napa yak mendadak aneh sendiri gw. Lima menit terdiam di pantry ditemani senandung fals dua OB yg lagi nyuci piring, gw berjalan menuju pintu. Gw terdiam lagi. Berdiri dengan sudut kemiringan 37,85 derajat ke arah timur. Dari sini gw bisa memandang bebas Lisa yg duduk membelakangi gw. Jaraknya cukup jauh, tapi gw masih bisa melihatnya dengan jelas. Gw kembali tertegun. Ada pikiran-pikiran aneh yg mendadak menari di otak gw.

-BIP BIIP-

Handphone gw bunyi. Ada sms. Dari Lisa.

-Lo lagi ngapain sih?? Bengong di depan pantry ngeliatin gw??-

-Tau dari mana? Gw nggak liat ada mata di belakang kepala lo.-

-Leo sms gw.-

Spontan gw memandang ke meja Leo. Dia lagi nyengir lebar ke gw, selebar lapangan bola yg memperlihatkan gigi ontanya yg seukuran sepatu orang dewasa. Dua jari tangannya diangkat seolah mengatakan "Peace..."

"Haduh..." gumam gw menggerutu. Lalu gw kembali ke kursi gw.

"Pak Agus minta daftar rekap lembur bulan ini," kata Lisa begitu gw duduk.

"Bentar gw selesaiin dulu.."

Setelah beberapa lama gw print laporannya.

"Mau ke mana?" tanya gw ke Lisa yg bergegas mengambil kertas dari printer lalu beranjak pergi.

"Nyerahin laporan ini ke Pak Agus lah."

"Apa dia juga minta lo yg nyerahinnya?"

"Enggak. Gw cuma berbaik hati nganterin laporan."

"....."

Nggak kurang dari dua menit kemudian Lisa balik lagi. Masih membawa kertas yg tadi, ditodongkannya ke muka gw.

"Kenapa?" gw ambil kertasnya dan mulai memperhatikan. "Laporannya salah?"

"Cek yg bener lah."

"Ini udah bener kok. Rincian jam sampe TUL nya bener ah!"

"Iya itunya emang bener. Tapi nama-nama karyawannya.........."

Gw langsung cek daftar nama 20 karyawan di laporan lembur gw.

"...........kenapa mendadak semua karyawan namanya Lisa Maharani??? Itu kan nama gw!"

"?????"

Bener. Nama pertama sampe nama terakhir, semuanya Lisa!! KOK BISA YAA??

"Pak Agus sewot tuh tadi."

"Hehehe...Maaf."

"Buruan diganti yg bener. Ditungguin katanya."

"Iya ini gw kerjain."

Lima menit kemudian gw udah selesai mengoreksi nama. Langsung gw print.

"Lo kenapa sih Ri siang ini aneh banget!"

"Enggak kok..."

"Ada yg salah ya sama penampilan gw? Daritadi juga lo liatinnya aneh gitu. Terus kok nama-namanya bisa jadi nama gw semua?"

"Ah, biasa ajah...Mungkin gw lagi nggak konsen ajah."

"Lagi ada yg dipikirin?"

Sejenak gw pengen menggeleng, tapi entah kenapa gw malah ngangguk.

"Mikirin apa?"

"Enggak. Bukan apa-apa." Gw berdiri, mengambil kertas laporan dan bergegas ke ruangan Pak Agus.

"Gw mikirin elo Lis...."

"Entah kenapa.......mendadak siang ini lo keliatan cantik banget............"

Enggak. Berulangkali gw berusaha meyakinkan hati gw, perasaan yg sekarang gw rasakan cuma efek dari catatan yg gw baca. Perasaan gw ke Lisa, enggak sama seperti perasaan gw ke Meva. Gw sayang sama Meva… Lisa? Entahlah, gw belum paham perasaan apa yg ada sekarang.

“Pilihannya cuma dua,” kata Indra beberapa hari yg lalu waktu gw berkunjung menjenguk ponakan. “Elo kejar cinta orang yg elo sayangi, atau elo menerima cinta orang yg menyayangi lo.”

“Kalo itu mah gw juga tau Dul.”

“Nah ya udah, terus apa yg bikin bingung?”

“Ya gw bingung harus pilih yg mana diantara dua itu?”

Indra cuma senyum-senyum aja.

“Belum ada yg minta elo buat milih,” katanya. “Lisa emang udah ngungkapin perasaannya ke elo. Tapi dia nggak pernah minta elo buat milih dia kan? Meva, apa lagi tuh anak…..ngomong soal perasaannya aja nggak pernah kan?”

“So, itu artinya?”

“Berarti lo sok cakep. Belagak bingung mesti pilih yg mana………..”

“Hehehe.”

“Lo jalanin aja dulu. Kalo udah saatnya, baru dah elo tentuin pilihan lo. Pasti bakal ada yg sakit memang, tapi lebih baik gitu kan daripada malah kalian bertiga yg sakit??”

Gw senyum-senyum sendiri inget ‘wejangan’ si Gundul. Harus gw akui, dia memang lebih pengalaman soal kayak ginian. Lagipula kayaknya memang gw nya ke GR an deh. Belum tentu juga kan Meva mau sama gw?? Ah, sebenernya gimana sih perasaan dia ke gw? Apa dia juga bisa rasain yg gw rasain? Gw nggak akan pernah tau kalo nggak nanyain langsung ke orangnya. Tapi gimana caranya? Gw masih belum cukup punya nyali setelah kegagalan di kesempatan pertama gara-gara headset.

Gw belum pernah sepengecut ini sama wanita. Gw selalu berani mengungkapkan perasaan gw ke orang yg gw suka. Tapi Meva? Ah, dia memang unik. Dia berbeda. Dan perbedaan itulah yg justru sebenernya membuat gw sayang ke dia.

Suatu siang di pertengahan Januari 2004………

“Ri,” Meva membuka pintu kamar gw. Dia senyum lebar dengan tatapan matanya yg khas. “Temenin gw makan yuk? Laper nih.”

Waktu itu gw lagi nyetrika seragam.

“Entar yah gw beresin dulu setrikaan gw.” Kebetulan gw juga belum makan dari pagi.

“Oke. Gw juga mau ganti baju dulu.”

“Ganjen amat makan di warteg ajah pake ganti baju segala.”

“Ya iyalah, masa gw ke warung mau pake anduk aja gitu??” dia melotot ke gw.

Gw liat lagi, meva baru selesai mandi. Dia masih pake handuk. Beberapa kali butiran air menetes dari ujung rambutnya.

“Ya udah pake baju dulu sana.”

“Dari tadi juga gw bilang gituh!”

“………”

Meva berlalu. Gw buru-buru selesaikan kerjaan gw. Udah laper banget soalnya. Dan kurang dari sepuluh menit kemudian gw sudah di depan kamar. Mengunci pintu lalu ke menyusul Meva di kamarnya.

“Mau makan apa?” Tanya Meva dalam perjalanan kami menuruni tangga.

“Apa aja boleh.”

“Apa aja yaa……….Mmmh…..Makan pasir, mau?”

“Ada menu yg lain?”

“Sop buntut kecoa. Enak tuh!”

“Waaah…..menunya high class banget yah? Gw yakin kalo lo buka rumah makan Padang, pasti laku keras.” Dengan nada menyindir.

“Ya elo mau makan aja pake bingung. Biasa makan sayur asem sama sambel pete juga.”

Gw tertwa kecil. Kami berjalan keluar gang menuju warung makan langganan kami. Gw pesen nasi telor, Meva katanya lagi pengen makan semur kodok setengah mateng plus jus kutil tapi katanya lagi kosong jadi dia pesen sama kayak gw.

“Gw mau beli motor Va…” gw cerita soal rencana yg sebenernya udah lama pengen gw wujudkan.

“Wah ide bagus tuh!!” Meva mengacungkan dua jempol tangannya.

“Bentar gw tebak. Ide bagus, karena nanti lo bisa maksa gw buat jemput lo di kampus yak??”

“Hebat! Kok tau??”

“Udah kebaca sama gw mah.”

“Yeeeeeeeey emang otak gw sejelek itu yak?” Meva memasang raut muka sedih. “Gw kan juga pengen kayak temen-temen yg laen di kampus, pada jalan sama cowoknya pake motor. Anter-jemput lah.”

“Kenapa lo nggak bilang dari dulu?? Tau gitu kan gw bisa carter tukang ojek buat anter jemput lo ke kampus?”

“Ya Tuhan…tukang ojek? Kejem bener lo Ri.”

“Hehehe…”

“Yah pokoknya gw dukung deh kalo lo pengen beli motor.”

“Gw capek ngojek mulu. Kadang suka telat nyampe kantor juga. Kalo punya motor sendiri kan bisa berangkat kerja semau gw, nggak perlu diburu-buru waktu.”

Kami melanjutkan makan.

“Gimana kuliah lo?”

“Lancar-lancar aja. Cuma agak sibuk sih, udah semakin deket semester akhir soalnya.”

“Baguslah. Belajar yg rajin biar nggak jadi mahasiswa abadi.”

“Tenang ajah, gw pasti bisa penuhi deadline cita-cita yg gw tulis kok. Eh, by the way entar kalo pas gw wisuda, lo hadir yak? Gw pengen ada yg menyaksikan salahsatu momen bersejarah di hidup gw. Ya? Dateng ya?”

“Beresss. Apa sih yang enggak buat elo Va?”

“So sweet bangeet…….” Dia mencubit pipi gw. “Kalo gw minta elo ngambil bunga di tepi jurang, elo mau?”

“Ya enggak lah!”

“Tadi katanya anything for me???”

“Iya kecuali bagian yg ngambil bunga itu.”

“Berarti elo bukan tipe cowok yg mau berkorban demi ceweknya yak?”

“Yg namanya pengorbanan nggak mesti seekstrim itu kali. Lagian lo bukan cewek gw. Ngapain juga berkorban buat lo?”

Meva pasang muka cemberut.

“Gw berharap, seandainya gw punya cowok……gw pengen punya cowok yg mau ngambilin bunga di tepi jurang buat gw….”

“Denger gw Va, kalo suatu saat gw punya cewek dan dia minta gw ngambil bunga di tepi jurang, gw nggak akan mau. Karena kematian gw hanya akan membuat dia sedih. Gw nggak mau bikin orang yg gw sayang menangis. Masih banyak cara buat nunjukkin pengorbanan. Dan cinta nggak mesti selalu berwujud ‘bunga’…..”

“Jadi intinya……….” Kata Meva pelan……..sangat pelan…………

“……”

“Lo mau nggak jadi cowok gw?”

……….

“Hah? Apa tadi, gw nggak denger pertanyaan lo…?”

“Eh, pertanyaan yg mana?? Enggak kok! Enggak! Gw nggak nanya apa-apa..” wajahnya bersemu merah.

Hufffttt……………padahal tadi sempet shockterapy nih jantung. Apa gw salah denger yak?? Tapi kayaknya enggak deh…

“Udah ah, buruan abisin makannya!” Meva mendahului gw berdiri. “Gw bayar dulu yah. Gw tunggu di luar. Cepetan yak mendadak gw sakit perut nih.”

“…..”

Nggak pernah ada yg bisa mengendalikan waktu. Di satu waktu kadang gw merasa waktu sangat lambat berjalan, menahan gw lebih lama dari yg semestinya. Tapi di lain hari, seperti yg gw rasakan hari ini, waktu sangat cepat berlalu meninggalkan hari kemarin. Yg tersisa hari ini, hanya serpihan kenangan yg tertinggal dalam hati, atau bahkan terlupakan begitu saja.

Hampir empat tahun sudah gw di Karawang. Semakin hari matahari bersinar semakin indah menerpa helai demi helai padi di sawah Teluk Jambe. Sinarnya hangat, menyemai benih-benih yg tumbuh dalam hati. Gw...sudah dalam tahap nggak bisa dipungkiri lagi...rasa sayang gw ke Meva tercipta begitu dalam. Menembus semua batas-batas perbedaan diantara kami. Bukan, bukan kecantikannya yg memang sangat mengganggu ketenangan hati gw, tapi kebersamaan kami yg membuat gw seolah memilikinya hidup dan mati. Rasa yg seharusnya nggak boleh terlalu melenakan.

Toh pada akhirnya gw juga sadar, nggak ada yg abadi di dunia. Semua yg bernyawa akan mati. Dan semua pertemuan akan mengalami perpisahan. Adalah Meva yg menyadarkan gw akan hal itu. Di satu pagi yg hangat, ketika matahari baru saja menampakkan diri di balik awan pagi.

Gw baru bangun tidur. Membuka mata, dan mendapati sesuatu yg hangat di pipi gw.

Meva. Dia tertidur pulas di samping gw. Satu tangannya di pipi gw dan satu yg lainnya menopang pipinya. Wajahnya yg damai cukup menceritakan indahnya mimpi yg sedang ia nikmati. Mendadak hati gw mencelos seperti ada sebongkah es yg meluncur dan meliuk-liuk dalam perut.

Tuhan, kalau boleh gw berharap...gw nggak mau momen seperti ini berakhir. Gw mau terus seperti ini. Gw mau ada di sampingnya. Melihatnya terlelap di samping gw dan mengucapkan selamat pagi ketika dia membuka matanya.

Semalam gw temui Meva menangis dalam kamarnya. Suaranya yg serak terdengar menembus dinding pintu.

"Lo kenapa Va?" gw buka pintu kamarnya dan mendapati Meva meringkuk di sudut kamar.

Meva mengangkat wajahnya dan begitu melihat gw, dia bergegas memeluk membenamkan wajah di dada gw. Tangisnya membasahi kaos yg gw pake.

"Ada apa?" gw menepuk pundaknya pelan.

"......"

"Lo puasin dulu deh nangisnya. Kalo udah tenang baru cerita..."

"......"

"...atau tidur kalo lo mau."

"Gw nggak mau tidur Ri..."

"Yaudah yaudah sok atuh sekarang nangis aja dulu."

"Lo gimana sih..." dengan suara sengaunya. "...ada orang nangis bukannya disuruh tenang..."

"......"

"...malah disuruh puasin nangisnya."

"Yaudah lo jangan nangis lagi. Cerita ke gw, ada apa?"

"Gw nggak mau cerita."

"Yaudah kalo gitu silakan nangis."

"Gw nggak mau nangis."

"Kalo gitu gw gampar lo, boleh?"

Meva menarik wajahnya. Sejenak menatap gw, lalu melayangkan telapak tangannya ke pipi gw.

"......"

"Kenapa?" tanya gw ke Meva yg terdiam. Telapak tangannya cuma berjarak setengah inchi dari pipi gw.

"Nggak papa..." Meva menurunkan tangannya. "Gw lagi sedih aja."

Meva melepas pelukannya dan mulai menyeka airmata dengan ujung kemeja putih gombrang yg dipakainya. Kemeja itu sangat besar sampai menutupi hampir ke lututnya. Malam ini Meva tanpa stoking hitamnya.

"Gw lagi sedih Ri..."

"Gw akan dengan senang hati dengerin cerita lo. Kalo lo mau cerita..."

"Nggak ada yg perlu gw ceritain kok. Gw cuma lagi mikirin beberapa hal kecil."

"Apa itu?"

"Gw nggak mau wisuda Ri."

"Kenapa? Lo betah jadi mahasiswa abadi ya?"

"Enggak gitu juga. Gw takut aja..."

"Takut apa?"

"Gw masih takut ngadepin masa depan gw. Gw takut, begitu gw keluar dari kosan ini, gw nggak akan dapetin suasana kayak gini lagi.."

"......"

"...gw nggak mau kehilangan yg udah gw dapatkan saat ini."

"Bukannya emang udah harusnya gitu ya?" gw mulai merasakan yg dikatakan Meva. "Tantangan sebenernya kan saat lo selesai kuliah. Mulai kerja. Mulai ngebangun kehidupan lo tanpa bimbingan siapa-siapa. Mulai mandiri."

"Justru itu! Gw nggak suka, kalo gw mesti mandiri. Gw nggak suka, tanpa bimbingan siapapun. Gw masih labil Ri. Gw masih butuh bimbingan orang di dekat gw..."

"......"

"Gw...masih...butuh...elo....."

Dia terdiam. Airmatanya sudah berhenti mengalir. Dan saat kedua mata kami bertemu, gw bisa merasakan caranya menatap gw, sama dengan cara gw menatap dia.

"Dasar manja."

"Biarin!"

"Terus mau sampe kapan lo kayak gini?"

"Biarin aja. Gw pengen kayak gini terus."

"Berarti lo nggak akan dewasa donk.."

"Biarin!"

"Manja.."

"Enggak papa."

"......"

"Ri..."

"Kenapa lagi?"

"......"

"Apa maksudnya nih, merem-merem kayak gitu?"

"......" Meva mengangkat dagunya.

"Jangan becanda ah..."

"......"

"Gw nggak becanda..." katanya tanpa membuka mata.

"Eh mau ujan tuh, angkatin jemuran sono."

"......"

"By the way kemeja yg lo pake punya siapa? Kok gombrang gitu yaa?"

"......"

"Wah malem ini mendadak kamernya panas."

"......"

"Oiya kemaren gw sempet ke toko bu......"

"......"

".........."

"....................."

"Va?"

"Iya?"

"Jangan buka mata lo............"

"......"

"Va.."

"Ya?"

"Jangan buka mata loe ya..."

"Mmm...kenapa gitu?"

"....."

"....."

"Gw lagi ngupil soalnyah."

Meva membuka matanya, kaget dan secara refleks mendorong kepala gw ke belakang.

"Najong lu!!" dia mengambil bantal dan memukul-mukulkannya ke gw.

"Ya elo juga ngapain pake merem-merem gituh???" gw melindungi kepala gw dengan kedua tangan.

"Jorok banget!" masih memukulkan bantal ke gw. "Nggak sopan ngupil depan cewek!"

"Enggak! Tadi gw boongan Vaa..."

"Gw liat tangan lo di idung!"

"Gw garuk-garuk doang! Gatel.."

"Gatel apaan? Orang jelas tadi gw liat lo lagi ngupil di depan gw!!"

"Makanya tadi gw bilang lo jangan melek!"

"Udah balik sana ke kamer loe!"

"Iya gw balik....tapi berenti dulu lah mukulin gw nya."

Meva melempar bantal ke kasur. Dia berkacak pinggang di depan gw dengan ekspresi wajah yg aneh.

"Sebagai hukumannya, tiga hari ini lo nggak boleh masuk kamer gw!" katanya.

"Iya juragan...ampuun..."

"Yaudah pergi sana! Sebelum gw berubah pikiran buat makan daging orang!"

Gw mencibir lalu beranjak keluar menuju kamar gw. Kayaknya ni anak beneran sewot. Ya abisnya ngapain tiba-tiba dia merem-merem gitu?

Gw baru mau nutup pintu kamar waktu mendadak Meva menahannya. Dia memegang daun pintu dari luar.

"Jangan ditutup," katanya lalu asal masuk ke kamar gw.

"Mau ngapain lo? Tadi katanya gw nggak boleh ke kamer lo?"

"Kan belum ada larangan buat gw ke kamer lo? Yg nggak boleh tuh elo ke kamer gw...kalo gw ke kamer elo..."

"Iya iya elo boleh ke kamer gw!"

"Nah tuh ngerti," Meva menuang teh.

Gw duduk dan menyalakan televisi. Lebih baik gw mah ngalah aja deh kalo sama dia.

"Lo mau teh?" kata Meva.

"Nggak, makasih."

"Kopi?"

"Emang ada?"

"Enggak..enggak ada..."

"......"

"Nih teh gw aja."

"Wuih udah nggak marah lagi nih ceritanya."

"Ini kan kamer elo. Kalo di kamer gw, lain lagi ceritanya."

Hadeuuh...beneran nih cewek gampang bener emosinya berubah!

Meva duduk di sebelah gw dan menyandarkan kepalanya ke pundak kiri. Kedua tangannya memeluk lutut.

"Ganti dong pilemnya nggak seru," katanya.

Tanpa mendebat gw mengganti channel.

"Ini?"

"Nggak asyik. Masa nonton berita?"

"Ini?"

"Sinetron lama ini mah, diulang lagi!"

"Ini?"

"Jangan lah. Ganti ganti."

"......"

"Nah ini dia! Kayaknya bagus nih pilem!"

"INI KAN YG PERTAMA TADI???" Zzzzzt...

Meva cengar-cengir nggak jelas. Dia masih menyandarkan kepalanya. Wangi shampo dari rambutnya mengalir masuk ke rongga hidung. Gw hafal banget sama wangi ini. Meva belum pernah pake shampo selain yg biasa dipakainya.

"Lo kenapa sih Va? Tadi nangis, terus ngamuk...sekarang cengar-cengir gitu?"

"Enggak kok enggak papa. Cuma lagi sensi ajah."

"PMS?"

"Absolutely."

"Oiya udah tanggal muda. Udah waktunya yak? Hehehe."

"......"

Entah karena filmnya yg beneran jelek atau wangi shampo Meva yg 'mengganggu', malam ini mendadak tivi ngebosenin banget.

"Gw takut Ri..." Meva mulai curcol.

"Takut kenapa?"

"Ya takut aja! Secara gw kan udah nggak punya siapa-siapa lagi. Apa jadinya gw begitu wisuda nanti? Nggak ada yg peduli."

"Oma? Tante?"

"Oma udah terlalu tua buat merhatiin cucunya. Tante...yah tentu aja tante gw sibuk ngurusin keluarganya sendiri. Coba lo jadi gw, sedih nggak sih kayak gitu?"

"Iya lah pasti sedih. Gw ngerti kok. Tapi kalo lo nggak lulus-lulus, mau jadi apa?"

"Enggak tau! Ya pokoknya gw belum siap aja, ngadepin masa depan gw sendiri..."

"......"

"...gw ini masih labil Ri. Jujur aja gw ngerasa selama ini gw belum nemuin jati diri gw sebenernya. Gw masih butuh bantuan orang lain buat nemuin itu.."

"Tenang aja, semua pasti ada prosesnya kok. Jalani aja apa adanya."

"Huh...seandainya aja gw bisa muter waktu...gw pengen banget balik ke masa kecil gw......masa-masa di mana belum ada yg namanya beban hidup. Belum ada yg namanya tanggungjawab. Indah banget deh!"

"Boleh aja punya keinginan kayak gitu, tapi lo juga pasti tau kan nggak mungkin kita bisa muter waktu."

"......"

"Di hidup ini ada yg pergi dan akan kembali, ada juga yg pergi tapi nggak mungkin kembali. Kita nggak mungkin muter waktu, tapi kita bisa memanfaatkan waktu yg sekarang kita punya. Meski nggak banyak, kita bisa menggunakannya untuk menciptakan kenangan yg berarti.."

"......"

"Gw yakin suatu saat nanti lo bakal ketawa inget kejadian-kejadian hari ini."

"......"

Meva diam. Mungkin lagi berusaha mencerna kalimat gw tadi. Sepuluh menit tetep nggak ada suara. Gw tengok Meva. Anjrid, pantesan dari tadi nggak nyaut ni anak ternyata molor!

"Kampret," gerutu gw dalam hati.

Gw teruskan nonton tivi nya tanpa bergerak sedikitpun dari duduk gw. Gw takut ngebangunin Meva. Dia pasti kecapekan setelah nangis tadi. Ya sudahlah, akhirnya gw pun tertidur dalam duduk gw......

Gw pandangi lagi wajahnya yg penuh damai. Seolah beban yg semalam diungkapkannya menguap bersama embun pagi yg mulai mengering. Dalam hati gw sebenernya iba melihat keadaannya sekarang. Tanpa ayah dan tanpa ibu, tentu sangat sulit buat Meva yg anak tunggal untuk berjuang sendirian. Dengan masa lalu yg begitu hancur serta trauma yg dialaminya, itu akan menambah berat bebannya.

Meva butuh seseorang yg membantunya keluar dari masa-masa sulit. Dia butuh kuping yg bersedia mendengarkan curhatannya. Dia butuh mulut yg mau memberikan nasihat dan support saat dia terpuruk. Dia butuh tangan yg selalu menuntunnya untuk tetap berada di jalan yg akan membawanya ke ujung impiannya. Dia butuh kaki yg rela meninggalkan jejak, untuk dia ikuti, saat dia tersesat dari jalan yg seharusnya dia tapaki. Dia butuh hati yg mau menerima dia apa adanya seburuk apapun masa lalunya. Dan dia butuh pundak untuk menyandarkan kepalanya ketika dia lelah dengan semua bebannya.....

Telapak tangan Meva terasa hangat di pipi gw. Gw genggam tangannya, sejenak gw tergoda untuk sekedar mencium jari-jarinya yg lentik, sebelum akhirnya gw menaruhnya pelan di sisi tangan yg lainnya. Gw bangun. Tapi belum mau beranjak dari tempat tidur.

Gw terdiam di tempat gw. Memejamkan mata sambil membayangkan seandainya ada satu diantara kami yg pergi. Apa yg harus dilakukan?

Meva nggak lebih dari seorang anak kecil yg merengek-rengek meminta sesuatu pada ibunya saat melihat sesuatu yg disenanginya. Dia masih butuh bimbingan untuk menemukan jati diri sebenarnya. Dia masih labil. Makanya kadang gw suka sok bijak ngasih nasihat gitu. Gw tau Meva adalah tipe orang yg mudah mencerna dan biasanya selalu termotivasi setelah mendengar ocehan nggak jelas gw.

Gw care sama dia. Gw nggak mau sesuatu yg buruk menimpanya. Saat inilah gw sadar tahap sayang gw ke Meva bukan sekedar suka ke lawan jenis, tapi ini adalah tentang bagaimana menjaga orang yg kita sayang supaya nggak terluka. Menjaga hati dan tubuhnya.

Saat gw mengetikkan tiap sms balasan ke Meva, gw telah memberikan tangan gw untuk tetap membuatnya tersenyum dengan banyolan-banyolan garing gw. Setiap dia minta ditemani makan, gw sudah memberikan kedua kaki gw untuk berjalan di sampingnya, menjaganya dari hal buruk yg mungkin saja terjadi ketika dia berjalan. Dia membuat gw terjaga di tengah malam cuma untuk mendengarkan curhatnya, gw telah dengan rela menyerahkan sebagian mimpi indah gw, sebagian waktu yg seharusnya gw gunakan untuk istirahat dan menggantinya dengan ocehan ngawurnya. Gw selalu berdiri di beranda tiap Senin sore yg hujan, mengorbankan mata gw untuk melihat kalau saja Meva pulang kuliah, turun dari angkutan umum dan cuma bisa berteduh di bawah telepon umum rusak. Gw akan selalu segera menjemputnya dengan payung yg menjaganya dari air hujan yg bisa membuatnya sakit. Tiap kalimat yg gw ucapkan, adalah doa semoga dia tetap dalam lindungan Tuhan.

Maafin gw Va, gw bukan bermaksud membuat sebuah perhitungan atas apa yg telah gw lakukan. Gw cuma ngerasa, gw sudah berusaha memberikan semua yg gw miliki buat elo. Entah lo menerimanya seperti apa, gw nggak peduli. Yg jelas, sayang gw ke elo lebih dari sayang seorang lelaki yg rela memetik sekuntum edelweiss di tepi jurang demi wanitanya. Lebih dari sebuah rasa ingin memiliki. Tapi yg gw punya adalah sebuah keinginan untuk menjaga. Gw nggak akan memaafkan diri gw sendiri kalo sampe terjadi sesuatu yg buruk sama lo.

Gw buka mata dan mendapati gw masih terduduk dalam kamar yg pengap ini. Meva...dia masih di sebelah gw. Meringkuk di balik kemeja gw yg digunakannya sebagai selimut.

"Gw sayang elo Va," gw cuma bisa berkata dalam hati. "Gw juga sama seperti lo. Gw nggak mau waktu ini cepet berakhir. Gw pun masih butuh elo, untuk mewarnai pelangi di hidup gw. Elo adalah pelita saat gw di tengah gelap malam. Elo adalah jiwa saat raga gw nggak lagi bernyawa."

Lagi-lagi hati gw berdesir. Ah, shit! Gw kok semellow itu yak??

"Ri..." panggil Meva pelan tanpa terbangun dari tidurnya. Tangannya meraba kasur dengan mata terpejam.

"Gw di sini Va," gw raih tangannya. Dia berhenti bergerak.

"Kenapa Va?" tanya gw.

"Lo jangan kemana-mana ya..." kayaknya ni anak ngelindur. "...temenin gw."

"Iya gw nggak kemana-mana kok.."

"......"

Lama kami diam. Genggaman tangannya mengendur. Gw ambil selimut dari lemari dan menutupi tubuhnya. Sekali lagi gw pandangi Meva.

"Endless Love," gumam gw pelan.

Dan pagi itu gw akhiri dengan mengecup keningnya pelan...........

"Dari dulu juga gw bilang apa..lo tuh suka sama Meva," kata si Gundul. "Sekarang kebukti kan."

Gw cuma senyum lebar.

"Dulu nggak sedalem ini soalnya. Gw masih bisa nutupin perasaan gw waktu itu," ujar gw. "Tapi kok makin lama yg gw rasain kok gw makin nggak bisa tutupi kalo gw sayang dia ya Dul?"

Indra tersenyum lebar. Gw tarik nafas panjang dan mengembuskannya cepat. Gw pandangi bayangan gw sendiri yg tampak melengkung dalam pantulan cangkir putih berisi teh hangat. Indra meraih cangkirnya dan meminum sedikit tehnya.

"Jadi," ucapnya kemudian meletakkan cangkir ke tatakannya. "Apa alasan lo cinta sama Meva?"

Gw termenung.

"Gw...gw....." rasanya bingung mencari kalimat yg tepat untuk dijelaskan. "Gimana yak ngomongnya..?"

"Lo pasti punya alasan donk kenapa lo bisa segitu cintanya sama Meva?"

Gw menggeleng pelan.

"Kalo lo beneran cinta, gw yakin lo punya alasan untuk itu."

Gw tarik nafas panjang lagi. Jujur gw sulit sekali buat ngejawab pertanyaan Indra.

"Menurut gw semua hal itu butuh alasan. Lo makan karena lo laper, lo minum karena haus, lo tidur karena ngantuk." Lanjut Indra lagi. "Nah sekarang lo sayang sama Meva...lo cinta sama dia...itu juga punya alasannya dong?"

Ah, gw nggak berhasil menemukan kalimat yg tepat.

"Gw suka senyumnya yg manis," kata gw sedikit ragu. "Gw suka jarinya yg lentik. Gw suka caranya bicara ke gw. Gw suka teriakannya yg kadang bikin budek kuping gw. Gw suka setiap gerak tubuhnya. Gw suka bentuk matanya yg agak sipit. Gw suka perhatiannya. Gw suka hidungnya yg mancung dan rambut panjangnya. Gw suka perhatian yg dia kasih. Gw suka karena dia selalu ada nemenin gw. Gw suka semuanya deh....."

"......"

"Ya ya ya...gw suka Meva karena itu."

"......." Sejenak kami berdua diam.

"Tapi itu semua bukan alasan gw mencintainya Ndra," kata gw. "Kalo gw bilang gw cinta Meva karena kecantikannya, maka saat dia tua nanti dan mulai kehilangan kecantikannya, gw nggak akan punya alasan lagi untuk mencintainya."

Sejenak gw menarik nafas.

"Kalo gw katakan gw cinta karena perhatiannya, saat nanti dia nggak perhatian lagi, gw pun nggak punya alasan untuk mempertahankan cinta gw. Kalo gw cinta karena dia selalu ada di samping gw, saat dia mati nanti...tentu nggak akan ada alasan lagi buat gw tetap mencintainya..."

"......"

"Gw cinta Meva, karena gw tulus..."

Indra menunduk dan usapi matanya yg sempat berkaca-kaca.

"Lo hebat Ri..." dia menepuk bahu gw pelan. "Gw bahkan belum bisa mencintai istri gw seperti yg elo lakuin ke Meva. Terharu gw sob. Gw nggak tau ternyata lo sedalam itu cinta ke Meva."

Gw masih termenung.

"Tapi, lo nggak kepikiran buat ngungkapin perasaan lo ke dia?"

Gw senyum sendiri. Yg ada di ingatan gw adalah 'tragedi headset'.

"Belum..." jawab gw.

"Kenapa?"

"Gw belum berani Ndra. Gw belum berani ngadepin resikonya."

"Kenapa? Lo takut ditolak? Menurut gw dia juga ada rasa kok ke elo?"

Gw menggeleng pelan.

"Bukan itu...Gw belum berani, kalo ternyata perbedaan yg ada diantara gw dan Meva, cuma akan membuat hubungan kami kandas. Yah seperti yg elo tau, keyakinan Meva kan beda sama gw."

"Bukannya lo pernah bilang yak, kalo perbedaan nggak akan jadi penghalang buat lo?"

"Iya tapi ini dalam konteks berbeda Dul. Gw bukan cuma sekedar pengen jalanin hubungan tanpa tujuan yg jelas. Gw mulai berpikir bahwa gw harus membangun sebuah keluarga, seperti yg udah lo lakukan sekarang. Gw mau itu. Tapi gw juga nggak mau maksa Meva buat melepas yg selama ini diyakininya. Dan gw pun sama, gw akan tetap seperti ini adanya sampe gw tua nanti."

Indra mengangguk perlahan.

"Kalo gitu lo jalanin ajah dulu. Setelah lo pastikan Meva juga punya tujuan yg sama dengan lo, kalian rundingkan deh gimana baiknya. Gw yakin Meva orang yg mengerti soal perbedaan ini."

Gw termenung. Menunduk dan melamun. Mungkin gw orang yg egois. Gw nggak bisa memungkiri hati kecil gw bahwa ingin memiliki Meva seutuhnya, gw ingin kami membangun sebuah keluarga, tapi tentu saja dengan keyakinan yg sama. Nggak mungkin kan dalam satu kapal ada dua nahkoda. Karena gw pun pengen anak-anak gw kelak seiman dengan gw.

Ini dia egoisnya gw! Gw belum bisa terima dia apa adanya! Maybe? Gw nggak peduli dengan masa lalunya yg kelam. Gw nggak peduli dengan kebiasaan anehnya melukai diri sendiri. Tapi kalo soal keyakinan?

"......."

Hufft......Gw tatap lagi wajah damai Meva yg masih terlelap pagi itu. Percakapan gw dan Indra beberapa hari yg lalu saat gw berkunjung ke rumahnya, menguap dalam pikiran gw. Gw cuma bisa memaki diri sendiri dalam hati. Gw masih merasa jadi orang paling egois. Gw ingin memiliki Meva tanpa gw mau menerima satu sisi kecil yg berbeda.

"Maaf Va," kata gw dalam hati. "Gw masih harus banyak belajar untuk bisa mencintai lo apa adanya. Dan kelak ketika saat itu datang...gw akan lakukan apapun demi kita berdua. Bahkan seandainya harus membangun kehidupan di tempat yg menerima perbedaan keyakinan pun, gw akan lakukan itu......"

"Woy kebo," Meva muncul di depan kamar gw sambil kucek-kucek matanya. Kemeja putih gombrang yg dipakainya tampak kusut.

Gw buang puntung rokok yg lagi gw hisap. Gw inget Meva nggak suka liat gw ngerokok. Sejak kepergian Echi, gw memang sudah hampir meninggalkan kebiasaan merokok. Cuma beberapa kali aja di kantor. Itu pun kalo bener-bener lagi sumpek.

"Eh udah bangun loe cing," sahut gw sambil tetap memetik senar gitar warisan si Gundul.

Meva menguap, menggeliatkan badan lalu berjalan mendekati gw di beranda. Tanpa basa-basi dia meminum kopi gw.

"Kok rasanya agak aneh ya? Agak gimanaa gitu.." dia mengamati air berwarna hitam dalam gelas putih di tangannya. "Ini kopi apaan sih?"

"Kopi biasa kok..."

Meva kernyitkan dahi.

"...cuma emang kopi itu gw bikinnya kemaren."

"Jadi ini kopi basi donk?? Ah sialan lo Ri.!"

"Yeey yg salah siapa maen sruput ajah nggak minta ijin dulu."

Meva meludah beberapa kali lalu usapi mulutnya sementara gw ngakak puas.

"Kok doyan sih minum kopi basi??"

"Enggak papa. Gw males nyeduh lagi. Baik buat kesehatan juga kok."

Meva menyeringai jijik.

"Bikinin gw teh lah," pintanya sedikit memerintah.

"Entar lah...lagi asyik nih. Lagi nemu nada, kali aja bisa jadi lagu."

"Buruan bikinin lah."

Zzzztt...mulai nongol deh cerewetnya. Kok bisa ya gw jatuh cinta sama cewek kayak gini?

Gw taro gitar di lantai dan beranjak ke kamar, kebetulan dispensernya udah nyala sejak semalem, kayaknya Meva lupa matiin setelah nyeduh teh buat gw. Gw lagi nyari-nyari dimana gw naro teh, ketika terdengar petikan gitar dari luar. Lalu disusul suara cewek nyanyi.

I can't live...
If livin is without you...
I can't live...
I can't give anymore...

Gw hafal liriknya. Itu lagu "Without You" nya Mariah Carey. Gw pernah denger Meva nyanyi lagunya Jamrud, tapi yg kali ini beda. Suaranya merdu banget. Sangat terlatih.

"Gw baru tau lo bisa maen gitar," kata gw. Gw taro cangkir teh di sebelah Meva.

"Udah biasa kok. Dulu gw sering nyanyi di Kelas Minggu. Tapi sekarang udah jarang ke gereja lagi."

"Hmm...suara lo bagus," gw memujinya.

Meva tertawa pelan.

"Wajar lah gw dulu sempet ikut les vokal."

"Oh..."

Meva turun dari pagar beranda. Dia memberikan gitarnya ke gw.

"Kenapa? Lanjutin aja."

"Gw mau mandi."

"Nah ini teh nya gimana?"

"Buat lo ajah."

Errrr....tadi ngotot minta dibuatin teh anget, sekarang malah ditinggal gitu aja!

"Yaudah," gw dengan kesal meminum habis teh nya.

"Lho kok diabisin!" Meva mengambil cangkir kosong dari tangan gw.

"Katanya buat gw?"

"Ya tapi kan enggak pake diabisin juga kalee!"

"Entar gw bikin lagi deh!" biar kesel tapi gw ngalah aja. Nggak akan mudah buat debat sama Meva.

"Bagus...bagus....entar bikinnya nggak usah manis-manis yak."

"Lo diabetes?"

"Enggak. Gw kan udah manis jadi nggak perlu minum yg manis, soalnya kata dokter nanti gw tambah maniiis...." katanya pede BANGET.!

"Pantesan di kamer lo banyak kecoanya. Ternyata lo manis yak?!" kalimat terakhir gw ucapkan dengan nada menyindir.

Meva cuma nyengir nggak jelas.

"Eh tapi gw agak gendutan nggak sih?" tanyanya entah ke gw apa ke dirinya sendiri. "Ri, menurut lo gw gendut nggak?" dia meraba pinggangnya.

"Enggak." jawab gw males. Paling males gw dapet pertanyaan khas cewek semacam ini.

"Tapi berat badan gw naek loh dibanding bulan kemaren. Jangan bohong laah...gw gendut nggak sih?"

"Enggaak..."

"Bohong ah!"

"Hmmm..iya deh, mungkin lo perlu sedikit diet."

"Ooh jadi menurut lo gw gendut yak!!"



Sempat kepikiran buat loncat bunuh diri tapi karena gw nggak punya asuransi jiwa, jadi gw tunda deh sampe batas waktu yg nggak ditentukan.

"Gw nggak gendut ah segini mah. Iya kan??"

Gw mengangguk terpaksa.

"Jawabnya nggak ikhlas banget."

"......."

Meva menguap lagi. Dia menggeliatkan badan.

"Eh tadi kok pas gw bangun tidur, kancing atas gw kebuka yak?" kata Meva. "Hayyooo......elo ngapain aja semalem?" dia melotot dengan ekspresi dibuat-buat.

"Weiitz tunggu dulu. Kayaknya gw tersinggung nih ditanya ginian." Gw bales melotot. "Elo mimpi berjemur di pantai kalee, kan panas tuh trus lo buka kancing lo sendiri."

"Masa sih?" Meva berpikir keras sambil mengetukkan jari telunjuk ke dagu. Keliatan tolol banget sumpah. "Yakin nih lo nggak ngapa-ngapain?"

"......."

"Oh yaudah. Awas kalo gw sampe kenapa-kenapa, lo yg bakal gw mintain tanggungjawab."

"......."

Meva masuk ke kamarnya. Terdengar suara kran air mengucur deras dari dalam. Limabelas menit kemudian Meva keluar. Masih mengenakan handuk, dia buru-buru bilang.

"Riii.....gw 'dapet'!" katanya setengah berteriak.

"Terus kenapa?? Apa hubungannya sama gw!"

"Ya berarti lo nggak perlu tanggungjawab."

"Duh yak..kita kan ENGGAK ngapa-ngapain semalem!!"

"Hehehe.." Meva nyengir bodoh. "Becanda kok. Beliin gw pembalut yak? Gw nggak ada stok nih."

"Beli sendiri sana!"

"Repot nih. Beliin laah..!"

"Nggak mau!"

"Beliin!"

"...Iya..iya.."

"Tengkyu," Meva balikkan badan dan bergegas masuk lagi ke kamarnya.

"......."

Di salahsatu sudut kafe kecil di daerah Cikarang...

Malam yg dingin disulap menjadi hangat berkat lantunan lagu-lagu jazz dari band pengisi acara. Gw suka banget waktu lagu Fly Me To The Moon nya Frank Sinatra dibawakan versi akustik. Nadanya catchy banget di kuping. Gw liat pengunjung yg lain juga menikmati sajian lagunya.

"Lo mau pesen apa?" tanya Lisa ke gw ketika waitress cewek dengan celemek bertuliskan nama kafe ini menyambangi kami.

"Kentang goreng aja deh..." gw buka pilihan menu di buku yg disodorkan waitress. "Sama wedang jahe.."

"Maaf Pak, di sini nggak sedia wedang jahe" si waitress langsung nyela gw.

"Oh.." kata gw oon. Padahal maksudnya tadi mau candain Lisa doang. Si pelayan tersenyum geli yg segera ditutupinya dengan note book kecilnya. "Kalo gitu lemon tea aja deh."

Lisa kernyitkan dahi mendengar paduan menu yg gw pesan.

"Saya samain aja deh mbak.." ucapnya agak terpaksa.

Waitress itu berlalu meninggalkan kami. Gw senyum sendiri. Di depan gw, duduk dengan tenang Lisa dengan senyum yg seperti nggak ada habisnya buat gw. Malam ini dia membiarkan rambutnya tergerai rapi tanpa menutupi kedua telinganya. Kacamata berbingkai tipis menghiasi bola matanya yg indah. Kalung emas tipis melingkari lehernya yg jenjang. Dress hijau sopan dengan kerahnya yg jatuh manis itu semakin melengkapi penampilan bedanya malam ini.

"Lo pinter milih tempat," komentar gw memandang berkeliling.

"Enggak juga. Ini gw boleh dapet referensi dari temen kok."

Gw mengangguk pelan. Kami ngobrol basa-basi sampai hidangan datang. Sambil ngemil pun kami mulai obrolan ke arah yg lebih serius.

"Selamat ulang tahun ya..." kata gw sambil tersenyum lebar. Lisa tersipu malu. Dia meminum lemon tea nya cuma untuk sekedar menenangkan diri.

"Makasih. Tapi kadonya mana?" jawabnya malu.

"Wah justru itu. Gw mau bilang kalo gw lupa bawa kado. Hehehe..."

"Jiaah," Lisa menepuk jidatnya sendiri. "Gw pikir gw bakal dapet kado.."

"Enggak kok becanda. Gw bawa kok. Tapi ntar aja yah dikasihnya pas mau pulang."

Lisa tertawa kecil.

"Nggak papa kok Ri. Nggak usah ngerepotin. Lo bisa dateng aja gw udah seneng banget."

Gw senyum lagi. Nampaknya malam ini agendanya adalah lomba memberi senyum. Yg paling banyak senyum, dia yg bayarin makanannya. Hehehe.

Besok hari ulang tahun Lisa. Dia ngajakin gw dinner gitu, nraktir katanya. Karena kebetulan hari ini juga libur yaudah gw iyakan ajakannya. Lisa yg milih tempat. Gw tinggal nunggu dijemput depan kosan terus cabut deh. Lumayan jauh memang dari Karawang. Untung tadi berangkatnya sore jadi nggak kemaleman di sini.

"Mungkin nggak sih doa di malam ulang tahun tuh dikabulkan sama Tuhan?" Lisa mengaduk lemon tea nya.

"Hmm jelas mungkin lah. Kapanpun mau doa, Tuhan pasti denger kok," gw sok diplomatis.

"Apa cuma sebatas 'didenger' aja?" Lisa nampaknya memberi penekanan bahwa dia ingin gw tau dia punya satu doa yg seharusnya gw juga tau.

"Enggak juga. Pasti dikabulkan kok."

"Tapi kok ada beberapa doa gw yg dikabulkan Tuhan? Dari dulu lho, sampe sekarang."

Gw tertawa pelan. Gw juga sebenernya nggak terlalu paham sama masalah beginian. Harusnya Lisa curhat aja sama ustad. Hehehe.

"Gini deh, gw mau sedikit cerita, boleh?" kata gw dijawab anggukan kepala Lisa. "Mmmh..jadi gini. Suatu hari ada seorang pelukis dan asistennya yg lagi mengerjakan sebuah lukisan di atap gedung. Objek mereka saat itu adalah pemandangan kota dari ketinggian..."

Lisa memperhatikan secara saksama.

"...selesai lukisannya jadi, si pelukis sangat terkagum-kagum dengan hasil yg dia buat. Dia mulai nyoba ngeliat lukisannya dari arah-arah yg berbeda. Hasilnya tetep sama. Lukisan ini sangat indah di matanya, sementara sang asisten cuma senyum sendiri liat si pelukis yg mulai berjalan mundur, mencari sudut pandang yg lain..."

"......."

"...tanpa sadar, si pelukis berjalan ke ujung gedung. Asistennya kebingungan buat memperingatkan si pelukis. Kalau saat itu dia berteriak, si pelukis pasti terkejut dan malah kehilangan keseimbangan. Jadi si asisten segera ngambil pisau dan mulai ngerobek lukisan indah itu. Si pelukis yg heran kemudian berhenti jalan dan menghampiri asistennya. Dia marah besar. Tapi setelah diceritakan kejadian yg sebenernya, si pelukis menangis terharu dan berterimakasih ke asistennya.."

Lisa menatap gw kalem dari balik kacamatanya.

"Jadi gini loh. Kadang, kita ngerasa kita sudah melukis kehidupan kita dengan begitu indah. Tapi tiba-tiba aja Tuhan 'merusak' lukisan kita. Kita kecewa, tapi kita pasti akan mulai melukis lagi lukisan lainnya yg hasilnya pasti akan lebih baik dari lukisan sebelumnya," gw sedikit ngawur. "Percaya deh, Tuhan 'merusak' lukisan kita karena Tuhan tau ada 'lukisan' lain yg lebih indah yg bisa kita buat..."

Lisa terdiam. Gw juga diam. Sama-sama menatap kosong ke cangkir di depan kami. Lisa tampak mencerna cerita gw tadi. Dia mengangguk pelan.

"Oke. Jadi intinya jangan pernah berhenti berdoa sampe kita berhasil membuat guratan indah lukisan kita.." katanya pelan lalu tersenyum

"Bener banget," gw mengamini ucapan Lisa.

Lisa menunduk dan selama beberapa saat sibuk memandangi minumannya.

"Jadi," katanya kemudian. "Menurut lo kalo gw suka sama cowok, terus si cowok Tuhan nggak ngijinin gw sama dia, itu artinya ada cowok laen yg lebih baik buat gw gitu?"

Gw tertegun. Setelah mencoba membaca raut wajah Lisa, akhirnya gw bicara.

"Masih banyak yg lebih dari gw Lis..."

Lisa melepas sendoknya dan membiarkannya berputar pelan mengikuti arus air.

"Oh iya, gw lupa kalo cowok yg gw bicarakan ada di depan gw..." ujarnya.

"Tapi gw serius loh. Lo pantes dapet cowok yg baik. Banyak yg lebih baik dari gw Lis. Lebih cakep. Lebih tajir. Yah gitu lah gw mah nggak ada apa-apanya, nggak ada lebihnya.." gw tertawa hambar.

"Justru karena lo nggak ada lebihnya, makanya gw suka sama loe.!"

Gw tersenyum. Agak salah tingkah juga sebenernya.

"Gw punya peluang nggak sih Ri, buat gw suatu hari nanti jadi cewek lo?" tanya Lisa dengan raut wajah yg aneh.

Gw diam. Nyoba nyari kata yg tepat buat diungkapkan.

"Apa lo udah cinta mati sama cewek depan kamer lo itu?" cecarnya.

"Meva maksudnya?"

"Iya dia. Lo suka kan sama dia?"

"Mmh....gimana yak," pengen banget gw jawab IYA!! tapi gw nggak mau merusak malamnya yg berbahagia ini. "Bisa nggak kita ngomongin ini laen kali aja? Sorry...Gw cuma nggak mau bikin suasana nggak enak di malem ultah lo Lis."

"Justru itu. Gw pengen tau malem ini juga, pas malem ulang tahun gw." Lisa menenangkan dirinya dengan meminum lemon tea nya. "Apa gw masih punya sedikit aja harapan buat jadi cewek lo?"

Aduh! Gw bingung mesti jawab gimana.

"Gw nggak mau ngebunuh harapan lo. Nggak ada yg nggak mungkin buat gw," kata gw akhirnya. "Tapi gw juga nggak mau bikin lo terlalu berharap."

"Jadi maksud lo, lo ngegantung gitu?"

"Enggak juga Lis. Bukan itu maksud gw. Dengerin dulu yah...Gw belum mikirin ke arah yg lebih jauh soal hubungan kita. Bukan. Bukan karena gw nggak suka sama lo. Lo baik, perhatian dan mapan. Gw yakin nggak ada cowok yg nggak mau sama elo..."

"Iya kecuali lo Ri.."

"...maaf bukan gitu. Gimana yak. Yaa gw lagi pengen sendirian ajah, nggak ada kekangan dari siapapun..."

"Emang kalo pacaran sama gw lo merasa bakal terkekang yah?"

"Enggak gitu juga atuh Neng. Denger gw. Lo itu punya prospek yg bagus di kantor. Kalo kita pacaran terus married, kan salahsatu dari kita harus resign. Peraturan perusahaan. Sayang banget kan. Dimana lagi coba dapet gaji segitu dengan kerjaan yg asyik kayak di tempat kita?"

"Wah gw nggak nyangka lo udah mikirnya sejauh itu. Gw malah mikirin jadian ajah nggak nyampe-nyampe."

Gw tertawa pelan.

"Elo tuh yak...emang apa bagusnya sih gw di mata lo?" gw setengah becanda.

"Enggak ada. Lo itu pemalas. Di kantor kerjaannya ngegame mulu. Jarang cuci gelas tiap abis dipake. Kadang suka ngomong sendiri nggak tau sama siapa. Tapi karena semua itu gw sayang elo."

Gw tersenyum malu.

"Thanks," kata gw lirih.

Kami sama-sama terdiam. Lagu Bon Jovi - Never Say Goodbye jadi backsound saat itu.

"Lo belum jawab pertanyaan gw," kata Lisa.

"Emh yg mana yak?"

"Ah, pikun. Yg tadi tuh. Lo suka sama Meva?"

Gw terdiam. Butuh setengah menit buat gw menjawab.

"Sejujurnya iya," kata gw.

"Terus udah sejauh mana hubungan kalian berdua?"

Gw menggeleng.

"Sama aja kayak gw dan elo. Cuma temen aja kok..."

"Lo udah pernah bilang perasaan lo ke dia?"

"Belum," gw menggeleng.

"Yah seenggaknya gw ternyata lebih gentle dari lo ya Ri.."

Gw tertawa pelan.

"Oke. Enggak papa. Gw ngerti," kata Lisa lagi. "Buat saat ini gw belum punya peluang.."

"......."

"Gw cuma pengen tau itu aja kok..."

"......."

"Nah, sekarang kita cukupkan ngobrol seriusnya sampe di sini. Anggep aja itu intermezzo," kata Lisa lagi. Nada bicaranya lebih ringan dari yg tadi. "Jadi, apa kado buat gw??"

Gw tersenyum melihat perubahan sikapnya.

"Emh apa yak...entar juga tau deh."

"Nggak bisa. Kasihtau sekarang laah..."

"Nanti ajah."

"Wah biar aja gw tinggal lo di sini deh kalo lo nggak mau ngasihtau sekarang."

Gw tertawa pelan. Dalam hati gw kagum sama Lisa. Dia bisa dengan enjoynya, seolah pembicaraan tadi menguap dan bahkan mungkin nggak pernah terjadi. Sebuah pembawaan yg baik.

"Yaudah kalo mau tau, kita balik sekarang ajah.."

Dan setelah membayar bon, kami menuju parkiran. Di sanalah gw serahkan kado gw buat Lisa. Bukan kado mahal sih, tapi lumayan nggak malu-maluin banget lah. Hehehehe.

Lisa keliatannya seneng banget dapet kado dari gw. Setelah itu kami balik. Selama di perjalanan Lisa nggak hentinya 'ngoceh'. Dia terdengar ceria sekali. Gw beneran salut dengan pembawaannya ini. Dan malam ini pun berakhir begitu gw dianter ke kosan.

"Thanks banget yah buat malem ini," Lisa memeluk gw hangat.

"Sama-sama Lis. Makasih juga udah traktir gw. Sekali lagi happy birthday yaa."

"Iya Ri...gw seneng banget deh malem ini."

Dia mengecup pipi gw dan akhirnya berlalu pergi......

"Ciiieee! Yg abis malem mingguan!" seru Meva begitu melihat gw datang. Dia duduk di beranda sambil maenin gitar gw.

"Jahat lo nggak ajak-ajak gw!" ocehnya lagi.

"Ogah gw ngajak elo, nyusahin mulu. Ntar mau kencing kudu dianter lagi," gw duduk di sebelahnya.

"Ah sialan. Gw nggak segitunya ah!" protes Meva.

Gw ketawa sendiri.

"Sama siapa sih?" tanya Meva menyelidik.

Gw diam sejenak.

"Lisa," kata gw pelan.

"CIIIIEEEEEEEE!!!" teriaknya di kuping gw. Tangan gw secara refleks bergerak ngejitak kepalanya. Meva diam sambil mengaduh dan pegangi kepalanya. "Sakit nih! Dasar kebo!!"

"Maaf. Tapi bisa kan Anda tidak berteriak di TELINGA SAYA??"

"BISA! TAPI NGGAK PERLU NYOLOT GITU DONK KEEEBOOO!"

"NYOLOT APAAN? GW BIASA AJA KALEEE...! CACING!"

"IYA ELU BIASA. TAPI SUARA LU ITU BIKIN BUDEG TAU!!"

"KAN ELU DULUAN YG MULAI!"

"ELO!"

"ELO TAU!!"

"ENAK AJAH! ELO TUH!"

"KOK GW???"

Meva melotot ke gw. Kami sama-sama diam beradu pandang.

"Mas...Mbak...tolong donk jangan pada teriak," tiba-tiba penghuni kamar sebelah kamar Meva muncul dari jendela. "Udah malem nih..."

Gw senyum malu. Sambil memberi gesture meminta maaf gw tutup mulut Meva pake tangan gw. Dia udah mau nyerocos aja. Gw tau dah pasti dia mau bilang kalo gw duluan yg teriak-teriak.

"Iya Mas. Maaf," kata gw halus. Lalu si penghuni kamar tadi masuk lagi ke kamarnya.

"Elu siih...." kata gw berbisik. Meva berhasil menepis tangan gw.

"Kok jadi gw yg disalahin??" dia balas nyolot dengan suara pelan. "Kan elo duluan yg teriak!"

"......."

Oke. Lebih baik ngalah. Meva ngedumel sendiri tanpa suara.

"Eh eh tunggu...tunggu..." tiba-tiba Meva naro gitar di lantai dan secara aneh dia mengendus baju yg gw pake kayak anjing pelacak.

"Apaan sih??" gw dorong kepalanya menjauh.

Meva malah ketawa.

"Ahaa...Gw apal banget Ri parfum yg biasa lo pake," katanya.

"Terus apa masalahnya?"

"Enggak masalah siih...cuma agak beda aja malem ini."

"Beda gimana maksud lo?"

"Wanginya ada dua. Satu wangi parfum yg biasa lo pake, yg kedua...bukan wangi lo. Emmmh wanginya Lisa yak! Iya kan? Iya kan? Hayooo abis ngapain hayyoo?"

"Ngapain apanya maksud loe? Gw sama dia makan malem doank kok."

"Masa?? Kalo enggak ngapa-ngapain, kok bisa yaaak.....parfumnya Lisa nempel di baju loe!" tukasnya dengan nada menyindir.

"Zzztt...gw nggak ngapa-ngapain," tandas gw.

"Oke oke gw percaya kok..." tapi raut wajahnya sangat berlawanan dengan yg dikatakannya.

"Ekhem," sahut gw. "Kenapa sih lo nanya-nanya gituh? Jealous yak gw jalan sama Lisa??" ganti gw yg godain Meva.

"Hah? Apaan gw nggak denger?? Tolong ulangi sekali lagi!"

"Lo-cemburu-yaak-gw-jalan-sama-Lisa??"

Meva kernyitkan dahi dengan ekspresi aneh.

"Idiih! Pede amat!" cibirnya.

"Udah ngaku aja laah..." gw senggol tangannya.

"Enggak!"

"Oiya??"

"Ih ngapain gw kudu cemburu sama loe? Bukan urusan gw kalee lo mau jalan sama siapa juga!"

"Masa siih?" gw makin gencar ngetease dia. Wajahnya memerah.

"Gw...nggak...cemburu.....Ariii....."

"Mas..Mbak...toloong....anak saya lagi tidur."

"Iya Mas. Maaf.." kata gw.

"......." Pintu ditutup lagi.

"Huh, oke oke. Jadi lo nggak cemburu yaa...Oke deh kalo gitu."

"Emang enggak. Gw cuma kesel ajah."

"Kesel kenapa lagi?"

"Ya elo bilang kek kalo mau malem mingguan. Kan biar gw bisa nyari kesibukan laen, nggak bengong di kosan."

"Emang lo nungguin gw yak tadi?"

"Iyalah. Kirain lo lagi lembur. Gw dari sore nunggu lo mau ngajak maen catur. Eeh taunya baru balik jam sepuluh.."

"Lah elo nya juga, kenapa nggak sms ajah? Gw bisa balik cepet."

"Ya itu tadi, gw pikir lo lagi lembur."

"Hehehe..."

"Kenapa ketawa?!"

"Enggak papa. Lucu aja."

"Maaf. Lucu di mana nya yak, saudara Ari??"

"Ya lucu aja. Pasti bosen yak sendirian di kamer? Hehehe."

"Iya, sementara lo di luar asyik peluk-pelukan sama Lisa!" dia ngambek.

"Udah gw bilang kan gw sama Lisa tuh cuma makan doank."

"Heh denger yak, tiap gw numpang tidur di kamer lo...paginya tuh pasti deh, di baju gw ada wangi parfum elo nya," ucapnya sedikit menuduh.

"Maksudnya apaan nih? Gw nggak ngapa-ngapain elo kok."

"Yaelaah. Elo nya nggak sadar sih. Lo tuh suka meluk gw pas tidur, dianggepnya gw bantal guling kali yak!"

"Ooh..." gw mencoba membayangkan yg barusan dikatakan Meva.

"Udah nggak perlu dibayangin! Ntar malah ngeres tuh otak," Meva mengacak-acak rambut gw.

Gw nyengir malu.

"Yaah kalo gw emang pernah meluk lo pas tidur, anggep aja itu sebuah ketidaksengajaan yg direkayasa."

"Iya asal jangan pura-pura tidur aja, padahal nyari kesempatan!"

"Eh denger yak, yg numpang tidur kan elo..bukan gw."

"Tetep aja!"

"Yaudah entar kita tidurnya misah deh. Gw di kasur, lo di kamer mandi."

"Ogah! Mending nggak usah tidur sekalian!"

"Yaudah. Mulai sekarang nggak ada lagi acara numpang tidur di kamer gw."

"Oke. Deal!"

Gw dan Meva bersalaman.

"Mas...Mbak......."

"IYA MAS, KITA JUGA DENGER!!" kata gw dan Meva bersamaan.

-ri, sini bentar deh gw mau minta tolong elo-

Bunyi sms dari Meva. Gw yg baru selesai mandi, langsung ketik balesan.

-bukannya gencatan senjata masih dua hari lagi yak? inget perjanjian yg barusan kita buat -

Dan Meva pun bales sms gw. Kemudian terjadi pembicaraan di sms seperti ini.

-kan perjanjiannya 'gw dilarang nginep di kamer lo' bukan 'lo yg ke kamer gw' ??-
-sama aja. lo juga kan yg ngelarang gw masuk kamer lo selama tiga hari ini?-

-yaudah kalo gitu perjanjian pertama dibatalkan. lo boleh, eh HARUS ke kamer gw. sekarang!-

-ngantuk...entar besok aja napa? lagian kamer sebelah lo tuh entar marah-marah lagi-

-kagak bakalan deh..asal jgn teriak kayak tadi aja-

-ogah ah...perjanjian nggak bisa dibatalkan gitu aja. tunggu dua hari lagi baru gw ke elo-

-duh elo tuh ganjen banget. banyak alesan! buru laah gw beneran butuh bantuan-

-bantu apaan?-

-radio gw rusak!-

-beli lagi atuuh-

-malem gini emang ada yak yg jualan?-

-ada tuh tukang nasi goreng di pertigaan-

-maksud gw yg jual radio, DODOL!-

-ooh kalo yg jualan dodol mah agak jauh neng. dari mega mall belok ke arah Goro Dua-

-ARIII!!! gw potong-potong kepala loe mau?? gw jemur di samping pom bensin gw jual diskon 50% kalo nggak kesini sekarang juga!-

-wah kalo gitu gw cari yg diskonnya lebih gede laah-

-heh! kita tuh lagi ngomongin kepala loe!-

-maaf...gw pikir kita lagi ngomongin radio loe yg rusak-


Beberapa detik kemudian handphone gw bergetar.

"Halo..."

"Keboo! Buruan ke sini!" suara Meva memekakan telinga.

"Ngantuk Va..." gw buka gorden kamar dan menatap ke luar jendela, dari sini tampak jendela kamar Meva karena letak kamar kami yg bersebelahan.

"Ayolaah Ri...gw pengen dengerin segmen favorit gw nih..." pintanya mulai memelas.

"Besok lagi deh bisa kan?"

"Enggak! Acaranya tuh tiap malem minggu jam sebelas! Sekarang udah mau setengah duabelas, gw ketinggalan nih.."

"Acara apaan sih?"

"Kayak renungan malam gitu. Penyiarnya baca cerita romantis diiringi lagu mellow trus nanti kita juga bisa curhat atau request lagu!"

"Kalo gw aja yg cerita gimana?"

"Lewat telepon?"

"Iya."

"Cerita apa emangnya?"

"Cerita romantis. Judulnya Romeo dan Juliet..."

"......." gw anggep diamnya Meva sebagai tanda mempersilakan gw bicara.

"...jadi Romeo tuh punya anjing namanya si Tumang..."

"Tumang?"

"Iya."

"Tumang tuh bukannya yg suka jualan nasi goreng yah?"

"Itu TUKANG bukan TUMANG! Udah deh dengerin aja dulu! Jadi suatu hari, si Romeo ngebunuh anjingnya terus dagingnya dikasih ke Juliet..."

"Perasaan kayak kenal sama ni cerita?"

"...Juliet terus ngusir si Romeo karna udah ngebunuh anjingnya."

"Beneran kayak kenal deh..."

"Beberapa tahun kemudian mereka berdua ketemu lagi. Romeo jatuh cinta sama Juliet, tapi Juliet punya syarat minta dibendungin Kali Ciliwung sama dibuatkan perahu mewah. Semuanya harus dikerjakan dalam satu malam..."

"Asli sumpah familiar banget ceritanya. Tapi apaan yak? Gw lupa."

"Ternyata Romeo nggak bisa ngelaksanain permintaan Juliet. Keburu pagi dulu soalnya. Terus perahu yg baru setengah jadi itu ditendang dan akhirnya jadilah..."

"Gunung Tangkuban Perahu!! Itu kan cerita Sangkuriang sama Dayang Sumbi?? Lo ngawur banget!!!"

Gw ketawa cekikikan.

"Ah, enggak lucu! Buru kesini lah!!" nadanya mulai mengultimatum.

"Iya gw ke situ." Gw tutup gorden dan bergegas ke kamar Meva.

Meva menyambut gw dengan muka berlipat-lipat kusutnya.

"Nih benerin," dia menyerahkan radionya ke gw.

Gw bukan montir elektronik dan nggak punya pengalaman nyervis barang ginian. Nothing to lose aja gw ngerjainnya. Setelah hampir setengah jam nyoba, akhirnya gw nyerah.

"Nggak bisa gw," gw kembalikan radio ke Meva. "Nanti aja besok bawa ke tukang servis."

"Yaah.....padahal udah gw tungguin dari siang juga......pengen dengerin lagu-lagu. Biasanya yg diputer di radio tuh lagunya enak buat pengantar tidur."

"Yaudah gw aja yg nyanyi deh."

"Boleh. Tapi jangan ngaco ke Dayang Sumbi lagi!"

"Iya enggak atuh neng. Hehe.."

"Yaudah sok atuh ambil dulu gitarnya."

Gw kembali lagi dalam waktu kurang dari satu menit dengan gitar nilon kesayangan gw.

"Mau nyanyi lagu apa?" Meva bertanya dengan antusias.

"Emh apa yak..." gw mikir. Sebenernya tadi gw nggak serius ngajuin diri buat nyanyi. "Lagu ciptaan gw sendiri deh."

"Emang lo bisa bikin lagu?"

"Bisa. Ini lagu malah gw ciptain khusus buat elo."

"Masa sih??? Sejak kapan lo bisa bikin lagu?"

"Barusan dapet ilham."

"Buruan nyanyiin! Gw mau denger!" dia antusias banget.

"Justru itu, karna ini dadakan, gw baru nemu judulnya."

"Apa tuh judulnya?"

"Judulnya 'Sakura Bunga Cinta'."

"Wah kayaknya romantis nih lagu! Ceritanya tentang apa?"

"Tentang seorang cowok yg punya anjing, namanya Tumang..."

"AAAAAARRIIIIII!!!"

Dan buru-buru gw keluar sebelum sendal jepit mengenai kepala gw. Akhrnya malam itu gw malah nggak bisa tidur gara-gara susah berhenti ketawa.

"Selamat paagiiii!!!"

Baru bangun tidur kuping gw udah budeg sama teriakan Meva. Gw duduk sambil kucek-kucek mata. Jam setengah satu siang. Semalam gw baru bisa tidur jam setengah empat pagi. Lumayan lama lah.

Meva di samping gw, lagi asyik nonton film. Dia nyengir lebar ke gw. Gw usapi kepala gw yg pening sambil mencoba mengingat mimpi aneh yg barusan gw alami.

...gw lagi duduk di pantai sendirian. Backsound lagu 'Kemesraan' nya Iwan Fals yg entah dari mana. Lalu tiba-tiba turun bidadari berseragam putih abu-abu dari langit. Wajahnya familiar banget buat gw tapi gw nggak kenal siapa dia.

"Rangga?" tanyanya ke gw.

"Rangga?" sahut gw bingung. Gw yakin nama gw masih Ari, bukan Rangga.

"Kamu Rangga kan? Yg suka bikin puisi itu?" tanya cewek cantik di depan gw.

"Cinta?" entah darimana mendadak nama itu meluncur dari mulut gw.

"Kamu nyenengin kalo lagi bingung. Bingung aja terus deh," dia senyum lebar ke gw.

"Kamu ngapain ke sini?"

"Dagang kacang rebus," jawabnya polos. Tapi ada yg aneh. Kali ini suaranya mendadak ngebass dan 'laki' banget.

"Lho? Kamu Cinta kan?"

"Bukan. Saya Pak Wardiman," suaranya beneran cowok!

Busett dah! Aduh yak...jadi Mbak ini siapa sih? Cinta? Pak Wardiman? Apa tukang kacang???

"Kamu ngapain ke pantai?"

"Aku bosan dengan semua penat ini!" jawab cewek di depan gw. Sekarang suaranya cewek lagi. Tapi kali ini ada backsound petikan gitarnya. Lagu iwan fals yg tadi lenyap. "Aku lari ke pantai...teriakku!"

"Pecahkan saja gelasnya biar ramai! Biar mengaduh sampai gaduh!"

Duh! Ini ngomong apa sih??

"Hay Rangga," tiba-tiba datang cowok hitam berambut kriwil. "Cabut yuk?"

"Ayo," gw mengiyakan.

Gw baru aja mau pergi ketika cewek di samping gw menarik tangan gw.

"Rangga...jangan pergi....." matanya berkaca-kaca.

Hey, kayaknya gw inget nih. Mukanya mirip Dian Sastro!

"Aku sayang kamu..." dia meluk gw. Beberapa petugas bandara memperhatikan kami.

Eh...

Bandara?? Kok gw tiba-tiba ada di bandara?

"Aku harus ke New York sekarang..." ah, gw makin ngawur!

"Jangan pergi..."

Kedua mata kami bertemu. Hmm mata yg indah. Semakin dekat jarak wajahnya dengan wajah gw... Hidung kami bahkan sekarang bersentuhan. Kayaknya dia mau nyium gw. Merem aah.

Sunyi.....

Sepi.....

Lalu.........

"SELAMAT PAAGIII!!!"

Aah, gw ngeh sekarang. Gw lagi mimpi, dan suara berisik dari tivi masuk ke mimpi gw, lalu Meva ngerusak endingnya. Padahal kapan lagi kan gw bisa pelukan sama Dian Sastro!!

Gw jitak kepalanya.

"Heh! Apa-apaan lu maen jitak kepala gw aja!" Meva protes dan bales ngejitak gw.

"Lo ganggu mimpi gw."

"Ganggu apanya??"

"Ah udahlah susah dijelasinnya." Gw usapi wajah gw.

"Dasar aneh," komentarnya pendek.

Gw ke dispenser, niatnya mau nyeduh teh.

"Nih tehnya. Gw udah bikinin buat elo," Meva menyodorkan gelas berisi teh hangat.

Tanpa basa-basi gw minum tehnya.

"Tumben lo baik. Pasti ada maunya nih," kata gw.

"Hehehe. Lo tau ajah. Abis mandi anterin gw ke dokter gigi yah?"

"Mau ngapain?"

"Cek kandungan."

"Hah? Ke dokter gigi tuh bukannya cek gigi yak?" gw bingung.

"Nah itu tau! Ngapain nanya!"

"Eh biasa aja donk ngomongnya! Nyawa gw belum kumpul nih. Masih belum ngeh gw."

"Ooh...jadi yg tadi bareng ama gw di kamer mandi itu nyawa elo yak? Pantesan gw udah nggak pake apa-apa juga didiemin ajah." Meva cekikikan sendiri.

"Masa sih?? Kalo gitu reka ulang yuk!" gw gandeng Meva.

"Enak aja!" Meva menepis tangan gw. "Udah mandi sana! Cuci juga otak lo biar nggak mesum isinya!"

Gw mencibir. Dibalas dengan juluran lidah Meva. Akhirnya gw mandi. Selesai mandi gw makan nasi yg dibeli Meva sewaktu gw mandi. Lalu gw dan dia berangkat ke dokter gigi di daerah Johar pake motornya Raja. Setau gw dokter gigi yg tetep praktek pas libur cuma di sana.

Sampe di sana gw nemenin Meva periksa gigi. Meva bilang seminggu ini giginya sering sakit. Dokter menyarankan untuk mencabut giginya. Meva setuju. Dasar nih anak emang rada-rada psycho. Cabut gigi bukannya sakit, Meva malah seneng waktu darah keluar dari mulutnya. Ckckck...

Selesai dari sana Meva ngajakin ke Karang Pawitan. Kami duduk di pinggir alun-alun. Gw menikmati momen-momen gw ngecengin Meva. Gw makan mie ayam dan pesen dua botol soft drink.

"Seneng lo yee bikin gw kabita!" omel Meva kesal.

"Hehehe. Biarin. Nikmati aja puasanya."

Gw tertawa lagi. Dokter tadi bilang Meva nggak boleh makan dulu selama satu jam ini. Dia cuma boleh makan es krim. Nah itu dia, di sini nggak ada yg jualan es krim jadi dia cuma bisa gigit bibir deh liatin gw makan. Maap ya Neng... Hahaha!

"Eh coba liat," Meva mengambil tutup botol soft drink gw. "Ada tebakannya nih. Coba lo jawab ya pertanyaan gw."

"Boleh."

"Mmmh bis apa yg paling manis??" Meva membaca pertanyaan di tutup botol.

"Bis jurusan Jawa dikasih gula."

"Ngawur! Yg bener...bis yg paling manis yaa...'bis-a jadi gue'!!"

Meva ketawa seneng. Dasar ni anak nggak ada matinya. Lagi sakit gigi juga bisa aja ngakaknya!

Akhirnya kami di sana sampe sore dan balik begitu Meva merengek minta es krim..

Selain Endless Love, ada beberapa lagu yg cukup 'identik' dengan Meva. Memang Endless Love mungkin adalah lagu paling cocok untuk jadi 'theme song' cerita gw dan dia, tapi beberapa lagu lain juga punya history sendiri. Kapanpun dan dimanapun gw mendengarnya, termasuk ketika Meva tertidur di samping gw, selalu ada kerinduan yg muncul lewat alunan nadanya. Bahkan saat gw gerakkan jari-jari gw untuk menulis part ini, ada semacam kerinduan tersendiri yg menari-nari dalam hati gw.

"Ri pinjem gitar loe..." Meva menunjuk ke sudut kamar, tempat gitar nilon tua warisan Indra bersandar dengan lelahnya setelah gw pake semalaman.

"Mau ngapain? Berisik ah udah malem," gw menolak dengan halus. "Lagian kan perjanjiannya lo nggak boleh nginep di kamer gw lagi."

"Namanya 'nginep' kan berarti 'tidur'. Nah karena sekarang gw nggak tidur, jadi gw nggak bisa dibilang nginep. Dan karena gw nggak nginep jadi gw nggak melanggar perjanjian donk!" Meva nyerocos tanpa jeda.

"Yaudah gw ralat perjanjiannya. Lo dilarang begadang di kamer gw!"

"Kalo gitu gw tidur aja deh."

"........"

"Udah coba sini gitarnya! Gw mau nyanyi."

"Sekarang udah jam duabelas Va! Ntar tetangga sebelah marah-marah lagi sama kita!"

"Tenang aja gw pelan-pelan kok nyanyinya."

"Besok gw kerja!"

"Besok juga gw kuliah."

"Tapi gw pagi-pagi mesti berangkat, dodol!"

"Gw juga sama. Cuma gw agak siangan berangkatnya. Jadi intinya?"

"Intinya gw ngantuk! Gw mau molor!!"

"Molor mah molor ajah. Ngapain jadi sewot gitu sih? Lo kan emang udah hobinya ngebo?"

"Iya masalahnya gw nggak bisa tidur kalo lo nya ngoceh aja kayak gini!"

"Yaudah gw nggak ngoceh deh. Gw nyanyi aja yah?"

"Sama aja, caciiing.........." gw kesel. "Gigi dicabut malah tambah cerewet ya loe?"

"Biarin!" Meva melet ke gw. "Sini laah gitarnya. Pelit amat lo Ri jadi orang."

Tuuhaaan! Gw sebenernya waras nggak sih bisa suka sama cewek model gini??

Dengan terpaksa gw ambil gitar dan menyerahkannya ke Meva.

"Satu lagu aja," gw mengultimatum. "Abis itu lo ke kamer lo sana."

"Oke." Meva menyetujui. Dia memetik senar. Karena dirasa bunyinya fals, dia memutuskan menyetemnya. Kurang dari dua menit dia sudah selesai nyetem. Gw sempat kagum juga ternyata Meva mahir juga maenin gitar.

"Udah buruan nyanyi. Kelamaan ah," gw pura-pura tetep kesel dan nggak mau keliatan 'kagum' soalnya dia pasti bakal tambah GR.

"Iya bentar. Lagi nyari nadanya dulu."

"Cari aja di laci. Tadi gw taro di situ nadanya."

"Ngawur! Lo pikir bantal, ditaro di laci?!"

"Bantal mah mana bisa ditaro di laci! Emang muat??"

"Muat aja kok! Kalo diabisin dulu kapasnya."

"Eh jadi lo ini lagi nyari nada apa nyari bantal sih?? Bertele-tele ah!"

"Dua-duanya." Meva nyengir lebar. Dia menggeser posisi duduknya.

"Lo mau gw nyanyiin lagu apa?" tanyanya ke gw.

"Lagunya GNR yg 'Welcome To The Jungle'."

"Jangan yg kayak gituan atuh," enak banget dia ngejitak gw. "Lagu yg kalem aja. Lagu pengantar tidur."

"Yaudah lagu nina bobo ajah."

"Itu mah mana ada romantis-romantisnya! Cari lagu laen napa?"

"Serah lo aja deh. Gw mah tanpa lagu juga bisa tidur. Kalo lo keluar sekarang, nggak nyampe semenit gw pasti udah tidur."

"Ih elo nggak ada terimakasihnya pisan! Orang mau dinyanyiin juga protes mulu!"

"Yaudah yaudah apa aja lah!" gw mulai kesel beneran. Gw udah ngantuk banget.

"Mmmh..." Meva diam berpikir, dengan pose khasnya yg tolol : mata menatap atap kamar, kepala agak miring ke kiri, sementara telunjuk tangan kanan mengetuk-ngetuk jidat. Kalo aja dia nggak cantik, udah gw bungkus dia pake kantong plastik item terus gw buang ke Sungai Musi deh! Eh tapi nggak jadi dink. Susah nyari barang kayak ginian. Hehehe

"Ah gw tau," kata Meva tiba-tiba. "Ada lagu yg cocok. Lo tau lagunya Mayumi Itsuwa?"

"Kokoro No Tomo?" sahut gw malas.

Meva mengangguk semamgat.

"Yaudah nyanyiin gieh. Kayak yg apal aja liriknya," gw setengah mengejek.

"Eh gw apal kok! Gw juga tau artinya."

"Bagus deh. Gw nggak apal plus nggak tau artinya. Hebat kan??"

Meva ngejitak gw lagi.

"Berisik lo. Udah dengerin aja..."

Gw diam. Bukan takut, males aja. Meva berdehem pelan sekali terus bilang gini.

"Lagu ini pas banget buat elo Ri. Dengerin yah..."

"........"

Kemudian terdengar petikan gitar khas Meva. Disusul suara halusnya..

Anata kara kurushimi o ubaeta sono toki...

Watashi nimo ikiteyuku yuuki nga waite kuru..

Anata to deau made wa kodoku na sasurai bito..

Sono te no nukumori o kanji sasete...


*Ai wo itsumo rarabai...

Tabi ni tsukareta toki...

Tada kokoro no tomo to...

Watashi o yonde..........

Entah berapa lama Meva menyanyi. Nampaknya gw berhasil dininabobo-kan oleh Meva.

Ini yg pertama kalinya Meva nyanyiin lagu buat gw. Biasanya dia yg minta dinyanyiin. Jujur aja waktu itu gw memang belum tau makna lagu ini. Yg gw rasakan, lagu ini versi Meva lebih merdu. Lebih catchy. Lebih enak didengar. Lebih mengena di hati. Karena gw tau, Meva menyanyikan lagu ini pun tulus dari hati.............

Tanpa terasa hidup gw terus berpacu dengan waktu. Hari demi hari yg berlalu telah menumpuk menjadi gunungan kenangan. Dalam beberapa kesempatan, gw sering tersenyum mengenang kejadian-kejadian lucu dan menggelikan. Tapi nggak jarang juga gw menyesali diri dan berkata 'kenapa harus seperti ini?'. Atau seringkali gw berpura-pura melupakan beberapa kejadian pahit, yg sebenarnya malah membuat gw semakin mengingatnya.

Gw tau, gw nggak mungkin terus stuck di satu titik dalam hidup gw. Akan ada titik-titik lain yg harus dilewati. Dan masih banyak titik yg harus gw capai. Kadang gw seperti melompat dengan cepat ke titik selanjutnya, tapi adakalanya gw seperti di tengah lautan yg tenang, yg butuh waktu lama buat mencapai daratan.

Gw bukan manusia hebat dan sempurna. Gw pernah frustasi. Gw pernah menangisi kegagalan gw. Gw juga pernah iri dengan keberhasilan orang lain. Tapi gw nggak pernah, atau seenggaknya berusaha untuk itu, menunjukkannya di depan orang lain.

Gw yakin Tuhan menciptakan semuanya berpasangan. Ketika Dia memberi gw cobaan, sebenarnya Dia juga menunjukkan jalan keluarnya. Hanya saja kadang kemampuan tiap orang untuk menemukan jalan tersebut berbeda. Dari keyakinan itulah gw selalu berusaha bangkit dari frustasi yg mendera dan tidak berlarut-larut menangisi kegagalan gw. Rasa iri yg tumbuh dalam hati, gw jadikan energi positif untuk memotivasi diri gw sendiri. Karena pada dasarnya manusia itu sama, jadi kalo orang lain bisa kenapa gw enggak?

Gw sangat bersyukur atas apa yg Tuhan telah berikan di hidup gw. Keluarga, sahabat dan cinta....menurut gw tiga hal itulah yg membuat gw bisa seperti ini. Gw bersyukur dilahirkan dalam keluarga yg bahagia. Gw punya ayah yg patut diteladani. Gw punya ibu yg sangat gw cintai. Dan gw punya saudara-saudara yg menyayangi gw.


Di suatu pagi di bulan Juli 1993.....

Gw duduk memandangi roda sepeda di hadapan gw. Hingar bingarnya pasar tradisional di belakang gw nggak mengusik lamunan gw. Sudah hampir satu jam gw nunggu nyokap gw belanja. Agenda rutin gw tiap pagi, setelah solat Subuh, gw mengantar nyokap belanja bahan jualan. Nyokap gw biasa jualan makanan di dekat sekolah dasar tiap harinya. Dengan bokap yg cuma pegawai sipil dengan pangkat rendah, nyokap memutuskan membantu perekonomian keluarga yg pas-pasan. Dan gw sebagai anak, selayaknya gw membantu sesuai porsi gw.

"Ri, udah selesai nih. Ayo pulang," suara nyokap menyadarkan gw dari lamunan.

"Ayo Mah," gw mengambil belanjaan nyokap dan menaruhnya di keranjang depan. Nyokap gw duduk di jok boncengan di belakang.

Beginilah tiap pagi. Sepeda tua kesayangan almarhum kakek gw selalu mengangkut beban melebihi porsinya. Berat memang membonceng orang yg lebih gede dari kita, tapi karena nyokap nggak bisa nyetir sepeda, jadi gw yg bertugas sebagai driver. Hehe.

Nyokap gw orangnya supel. Dia nggak pernah matok harus belanja di satu penjual, jadi cukup banyak orang pasar yg kenal nyokap gw. Bahkan tukang becak pun selalu memberi salam tiap kami lewat.

"Moga hari ini nggak ujan ya Ri..." kata nyokap gw penuh harap. "Biar jualannya laku."

"Iya Mah. Kalo ujan kan anak-anak sekolahnya pada nggak keluar dan langsung balik," sahut gw mengamini.

Dan obrolan-obrolan ringan pun menemani perjalanan pulang kami. Sampai tiba di sebuah jembatan kayu tua. Mungkin karena pagi ini gw nggak begitu fit, gw rasa beban di belakang gw lebih berat dari biasanya. Sepeda kumbang tua ini seperti berontak. Di tengah jembatan mendadak ban depan membentur bambu yg mencuat. Gw hilang keseimbangan. Alhasil kami pun jatuh.

"Maaf Mah...tadi nyenggol kayu," kata gw menyesal sambil bantu nyokap berdiri.

"Enggak papa kok." Nyokap gw langsung membereskan belanjaan yg berserakan. "Mending bantu Mamah beresin ini. Ayo."

Gw ikut bantu nyokap gw. Sayang, beberapa butir telor pecah dan ada belanjaan yg jatuh ke sungai di bawah kami.

"Maaf Mah jadi pada pecah kayak gini..." kata gw.

"Udah nggak papa. Gampanglah ntar beli di warung yg deket rumah."

"Tapi kan harganya lebih mahal?"

"Udahlah kamu nggak usah mikirin itu. Ayo jalan lagi, nanti kamu terlambat sekolah."

Gw raih setir. Gw tatap nyokap gw sebentar lalu berkata.

"Mah, kalo nanti Ari udah gede dan bisa cari uang sendiri, Ari akan bonceng Mamah pake motor Ari sendiri. Jadi nggak pake sepeda kayak gini lagi," kata gw polos.

Nyokap gw tersenyum dan merangkul gw...........

**

3 Februari 2004...

Akhirnya gw bisa beli motor. Nggak mewah memang, tapi cukuplah mengurangi biaya ongkos kerja yg biasanya buat ojek.

"Kok diem aja sih?" kata Meva dari belakang gw. "Ayo jalan. Lo gugup ya? Ciiee! Ini pertama kalinya motor ini dipake euy. Masih bau toko. Gw orang pertama yg dibonceng nih."

Gw tersenyum.

"Kita mau ke mana?" tanya gw.

"Kemana aja deh, puterin Karawang juga boleh!" jawab Meva semangat.

"Oke. Peluk gw yg kenceng yak!"

Gw tarik gas dan roda pun bergerak perlahan menyusuri jalanan Karawang..

Terimakasih Mah, tanpa Mamah nggak mungkin Ari bisa seperti sekarang ini

Selalu saja terjadi hal yg sama dalam hidup ini. Yg datang akan pergi, dan yg pergi mungkin saja nggak akan kembali. Kalaupun kembali mungkin dalam jangka waktu yg lama.

Masih di awal Februari 2004. Sebuah kabar datang dari Lisa. Entah gw harus menyebutnya kabar baik atau kabar sedih.

Di satu sore yg mendung. Ketika gw duduk di pantry setelah seharian lelah bekerja. Jam dinding menunjukkan pukul lima sore. Harusnya gw balik setengah jam yg lalu. Tapi karena sekarang gw udah punya kendaraan sendiri gw rasa nyantai-nyantai dulu nggak ada salahnya.

Gw seduh teh hangat dan mulai memandangi pemandangan yg sama yg setiap hari gw lihat dari jendela pantry ini.

"Ri," Lisa masuk ke pantry.

"Hay Lis," balas gw. Gw duduk di kursi. Lisa duduk di samping gw. "Kirain udah balik. Abis bel tadi lo maen ngilang ajah."

"Tadi gw dipanggil Pak Agus ke ruangannya."

"Dia nggak ngapa-ngapain elo kan?" kata gw becanda.

"Ya enggak lah!" Lisa sedikit malu.

"Hehehe. Becanda kok. Ada apaan dipanggil Pak Agus?"

"Duh gimana ya bilangnya," Lisa garuk-garuk rambutnya. Dia melepas kacamatanya lalu bicara. "Gw nggak tau ini kabar baik apa kabar buruk. Tadi gw dipanggil Pak Agus buat ngomongin kemungkinan penugasan gw di luar."

"Tugas luar? Kan udah sering? Biasanya juga Pak Agus maen teriak-teriak aja di telpon nyuruh kita ke customer."

"Bukan...bukan itu. Ini bukan luar kota."

"Jadi di mana atuh?"

"Luar negeri." Jawabnya agak hampa.

Sejenak gw diam. Gw cukup terkejut. Lisa yg nampaknya sudah mengalami keterkejutan ini sejam yg lalu, tampak sedikit lesu.

"Maksudnya," kata gw mencoba memperjelas. "Lo mau ditugasin ke luar negeri?"

"Jepang." Jawabnya mantap. "Ya, gw dapet wacana tugas di sana."

"Wouw! Beneran?? Hebat dong! Kesempatan bagus tuh!!" mendadak gw senang dan menyalami Lisa penuh semangat.

"Lo kayaknya seneng banget gw pergi."

"Bukan gitu Lis...." gw jadi nggak enak sendiri. "Gw beneran seneng kok. Bukan karena kepergian lo. Tapi gw seneng lo punya kesempatan yg sangat baik buat karir lo. Nggak semua orang dapet lho kesempatan kayak gini."

"......."

"Kapan berangkatnya?"

"Ini baru wacana doang kok Ri. Belum pasti juga gw bakal berangkat ke sana. Perusahaan kita yg di sana udah mengajukan permohonan 'peminjaman' tenaga ahli dari sini, tapi belum secara resmi. Masih dalam tahap pembicaraan awal. Dan Pak Agus rencananya akan ngajuin gw kalo itu memang beneran terjadi."

"Gw pasti dukung lo! Hebat lo Lis bisa dapet kesempatan emas kayak gini."

"Tapi kok gw nggak pernah dapet kesempatan buat buka hati lo yaa....." tiba-tiba Lisa berkata lirih.

"......."

Kami terdiam. Jadi nggak enak sendiri kalo udah ngomongin hal ini.

"Ya jangan sambung-sambungin masalah kerjaan sama yg itu laah," kata gw malu sambil nyengir lebar.

Lisa tertawa pelan.

"Sory sory..." katanya. "Abisnya kalo gw pergi, ntar gw nggak ketemu lagi sama tukang ngegame yg suka ninggalin kerjaannya!"

"Eh gw nggak ninggalin kerjaan gw yak! Gw ngegame kalo kerjaan udah beres!"

"Yakin udah beres??"

"Yaa setengahnya deh minimal."

"Beneran?"

"Iya iya gw ngaku. Yg penting kan gw udah kerjain awalnya, jadi pas ketauan ngegame kan gw punya alibi."

Kami berdua pun tertawa. Suasana yg tadi mendadak agak kaku langsung mencair berkat pembawaan Lisa yg luar biasa ini.

"Oiya berapa lama lo tugas di Jepang?" tanya gw pengen tau.

"Katanya sih dua tahun. Tapi nggak tau juga lah. Gw beneran masih bingung mesti ambil kesempatan ini atau enggak."

"Kenapa bingung? Ambil aja! Kalo gw yg dapet kesempatan itu, bakalan gw ambil tanpa banyak pikir. Kesempatan emas buat kemajuan karir lo. Gajinya juga gede kan tuh!"

Lisa tertawa lagi.

"Kalo soal gaji mah nggak usah ditanya," katanya. "Gw mau ngomongin sama ortu gw dulu deh gimana baiknya."

"Bener tuh konsultasi dulu ke orangtua. Tapi sebagai rekan kerja yg baik, gw dukung elo 1000 persen!"

"Makasih ya Ri..."

"Sama-sama."

Kami diam lagi dengan senyum yg masih tersisa di ujung bibir kami.

Jujur gw ikut senang denger kabar dari Lisa sore ini. Ini adalah kesempatan yg jarang terjadi. Ini kesempatan emas. Karirnya akan melaju cepat, gw yakin. Tapi entah kenapa jauh dalam lubuk hati gw, gw merasakan kehilangan yg mulai mengaduk perasaan. Gw sedih memikirkan akan ditinggal rekan kerja yg selama ini klop banget sama gw. Gw sedih, apa nanti pengganti sementara Lisa akan sebaik dia? Gw sedih menebak-nebak apa yg akan terjadi setelah dua tahun yg akan datang.

Ah, tapi itu kan belum terjadi! Ngapain mesti gw pikirin sekarang?

"Atau jangan-jangan....." gw mulai ragu dalam hati.

Gw ngerasa sedih karena gw akan ditinggal orang yg gw sayangi?

Meski baru wacana dan masih dalam ketidakpastian, tapi nampaknya Lisa sudah cukup dibuat bingung dengan kemungkinan tugas luarnya. Entah apa yg jadi pokok pertimbangannya, dia seperti sangat berat buat meninggalkan kantor di Karawang. Padahal menurut gw ini peluang besar. Tapi suntikan semangat dari gw nampaknya belum cukup meredam kebimbangannya.

"Gw masih butuh waktu buat mikir baik buruknya," kata Lisa ketika gw tanyakan keputusan yg akan diambilnya.

"Orangtua lo udah tau kan soal ini?" kata gw sambil tetep fokus ke monitor.

"Udah."

"Terus gimana pendapat mereka?"

"Ya gitu deh. Ortu gw mah dukung aja keputusan gw. Mau diambil atau enggak, katanya terserah gw."

"Keputusan yg bijak yaa.."

"Sekaligus ngambang," sahut Lisa sambil menekan 'Enter' dengan keras. Dia sesaat mengamati layar di hadapannya, menarik nafas panjang dan menghenyakkan punggungnya di sandaran kursi.

"Kok elo kayak yg stress gitu sih?" tanya gw lagi.

"Masa sih? Kok sampe segitunya ya gw. Haduh bingung lah. Gw masih takut aja. Kan di Jepang gw nggak punya siapa-siapa. Kalo lagi butuh duit, mau ngutang ke siapa? Terus kalo bosen, mau ngobrol sama siapa?"

"Yah elo mah yg dipikirinnya yg gituan. Yg kayak gitu mah nanti juga terbiasa dengan sendirinya kok."

"Ya intinya gw belum punya keputusan."

Kami sama-sama diam. Cuma terdengar suara jari-jari gw beradu dengan tuts kecil di papan tombol. Antara setuju dan tidak setuju, dalam hati gw mulai memikirkan apa yg akan gw ambil seandainya gw ada di posisi Lisa. Ah, sulit juga ternyata.

"Gw udah diajukan secara resmi ke pihak sana," lanjut Lisa.

Gw benar-benar diam sekarang. Ujung jari gw cuma beberapa milimeter dari keyboard.

"Jujur gw seneng," kata gw akhirnya. Gw putar kursi gw menghadap Lisa. "Ini akan jadi kemajuan besar buat karir loe."

"Tapi Pak Agus juga katanya sedang mempertimbangkan buat masukin tambahan orang ke daftar karyawan yg akan ke Jepang nanti."

"Maksudnya?"

"Dari lima orang yg diminta, kita mau ngajuin satu orang tambahan."

"Oiya? Emang bisa?"

"Bisa aja. Kalopun nggak bisa, kan masih bisa ngubah daftar nama yg mau diajukan sekarang."

"......."

"Gw diminta Pak Agus ngajuin nama buat dicalonkan. Dan lo tau siapa yg gw pilih?"

Kedua mata Lisa sudah menjawab sendiri pertanyaan itu.

"Pasti gw ya?" kata gw.

Lisa tersenyum lebar dan mengangguk mantap.

"Lo bilang ini adalah kesempatan emas buat memajukan karir. Jadi gw pikir nggak ada salahnya gw ngebantu elo dapet kesempatan buat memajukan karir lo."

Gw senyum lebar.

"Thanks Lis," kata gw.

"Tapi nanti semua juga harus melewati tes kelayakan kok. Maksudnya, nanti akan ada tes interview dari bos kita, terus ada interview langsung sama pihak sana yg akan datang ke sini bulan depan. Yah prosesnya cukup ribet lah."

Gw terdiam. Mendadak wajah Meva berkali-kali berkelebat dalam kepala gw. Gw langsung dijalari perasaan takut yg entah darimana datangnya.

"Kenapa? Kok mendadak lo kayak bingung?" tanya Lisa menyelidik.

"Ah enggak kok. Emang kaget ajah, kerja belum nyampe empat tahun udah mau dikirim ke Jepang aja," gw tertawa kecil.

"Eh tapi jangan bilang-bilang yah. Senior-senior kita banyak yg protes dan nggak terlalu suka karyawan baru kayak kita udah diajukan aja. Menurut mereka sih seharusnya yg diutamakan senior dulu. Kan lebih pengalaman."

"Biar senior kalo nggak layak kan sama aja bohong."

Lisa tertawa pelan.

"Menurut gw elo layak kok Ri."

"......."

"Tuh gw kurang baik apa sama elo. Gw calonin nama lo buat ikut ke Jepang."

"Ah itu mah saking elo nya aja yg mau nempel sama gw terus."

"Yeeee pede lo!" Lisa tertawa lagi. Wajahnya memerah.

Secara keseluruhan hari ini kerjaan nggak begitu menyibukkan. Beberapa menit setelah bel pulang gw buru-buru balik. Datang di kosan gw sedikit aneh. Kamar gw mendadak rapi banget padahal pagi tadi gw belum sempet beres-beres. Hmm pasti Meva yg beresin. Tuh anak kalo lagi waras kadang-kadang emang menguntungkan juga.

Gw langsung mandi terus beli nasi di warung depan. Lewat satu jam tapi Meva belum menampakkan diri juga. Ini bukan hari Senin, harusnya dia udah balik. Iseng gw sms tanyain dia ada di mana tapi nggak dibales.

Waktu itu hampir maghrib, ketika handphone gw menerima sms balasan dari Meva. Gw yg lagi asyik nonton tivi langsung ambil handphone.

-tunggu gw di depan kamer jam 7 malem. nggak usah dibales! tunggu aja pokoknya!-

Gw sedikit kernyitkan dahi bertanya-tanya dalam hati. Tapi karena Meva minta gw nggak bales sms nya ya udah akhirnya gw taro handphone gw lagi. Gw lanjutin nonton tivi sambil terus bertanya apa sebenernya yg direncanakan 'anak cacing' yg satu ini.......

Jumat malam itu sebenernya nggak berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Beberapa menit setelah magrib, mendadak hujan. Gw jadi makin lengket di kasur, tiduran nonton tv sambil makan cemilan. Gw hampir lupa soal sms Meva tadi sore. Begitu jam dinding menunjukkan pukul setengah delapan malam pintu kamar gw diketuk. Di luar suara hujan masih terdengar beradu dengan atap. Dan dengan malasnya gw buka pintu.

"Meva???" gw terperanjat begitu lihat siapa di depan gw. Gw langsung inget sms yg gw terima tadi sore. Gw liat lagi jam dinding, jam setengah delapan. "Sory gw lupa. Sekarang udah jam sete......"

"......."

"Eh tunggu dulu," kata gw. Gw amati sosok di hadapan gw dengan saksama. "Kok kayak ada yg beda yaa..."

Meva masih berdiri diam. Cuma sedikit senyum yg tersungging di sudut kiri bibirnya. Beberapa bagian tubuhnya nampak basah.

"Gw keujanan," katanya kemudian.

Gw amati lagi Meva dari atas ke bawah.

"Bukan itu Va..."

"......."

"Elo dandan yak??" tanya gw setelah menyadari betapa berbedanya sosok yg sekarang sedang berdiri di hadapan gw dengan sosok cewek berkaos kaki hitam yg bawel.

"......." Kedua pipi Meva merona merah.

"Kok tumben?" lanjut gw. "Mau kondangan Neng?"

Meva menutup mulutnya ketika tertawa kecil.

"Kenapa? Gw jelek ya??" ucapnya malu. "Padahal udah ke salon dari sore, malah keujanan gini. Maaf ya..."

Gw geleng-geleng kepala sambil nyengir.

"Tunggu dulu. Gw belum ngerti nih. Lo minta gw nunggu di depan jam 7 malem. Trus lo dateng dengan dandanan kayak gini...ini maksudnya apa yak? Gw mau disuruh nemenin lo kondangan?? Tumben lo niat banget dandannya."

"Gw jelek yaa emangnya kalo dandan?" wajahnya berubah sedih. "Tadi mah lumayan kok. Gw nggak tau aja ternyata bakal ujan jadi nggak sempet bawa payung."

"Enggak. Lo cantik banget sumpah," kalimat ini meluncur begitu saja dari mulut gw. Meva nampak terkejut mendengarnya. "Eh enggak dink. Maksudnya...ya lumayan laah. Gw belum pernah liat lo seniat ini dandan, jadi agak aneh aja buat gw."

"Tuh kan gw jelek yak! Yaudah deh bentar ya gw salin dulu di kamer."

"Eh eh tunggu! Maen kabur ajah lo," gw raih tangannya. "Jelasin dulu ke gw, ada apa sama malem ini? Ultah lo udah kelewat, ultah gw apa lagi, mmh tujuhbelasan masih jauh lah yaa...jadi, tolong kasitau gw ada apa."

Meva senyum malu. Beberapa tetes air jatuh dari ujung rambutnya. Malam itu dia mengenakan sebuah dress pendek hijau muda kalem tanpa lengan. Kalung salibnya melingkar indah di dadanya. Rambut Meva disanggul dengan style 'asal-asalan'. Satu tusuk konde warna cokelat berbentuk mirip sumpit tertancap diantara gulungan rambutnya itu. Dengan beberapa helai rambut yg dibiarkan jatuh menambah kesan kasual yg feminin. Gelang perak, stoking hitam khasnya, dan sepatu hak setinggi hampir tiga senti, nyaris membuat gw nggak mengenalinya. Gw harus jujur, malam ini Meva manis bangeeeeeett......

"Besok lo libur kan?" kata Meva.

"Iya besok hari Sabtu."

"Bukan itu. Mmh maksud gw, besok tanggal berapa?" suaranya kalem.

"Empatbelas. Tenang aja masih setengah bulan lagi bayar kosan."

"Ini bulan apa?" tanyanya lagi masih kalem.

"Februari. Daritadi nanyain tanggal, lo lagi pikun yak? Apa gw perlu bawa kalender?"

"Duh yak!! Elo itu beneran nggak sensitif banget! Besok tuh valentine!! Tadinya gw mau ngajak lo keluar, tapinya ujan jadi yaudah deh nggak tau mau ngapain sekarang!!"

"Ooh..." gw paham sekarang. "Tapi kok sampe dandan kayak gitu sih. Valentine kemaren-kemaren juga lewat gitu aja kan?"

"Yaa...gimana yaa...gw pengen valentine yg sekarang beda aja. Ini kan tahun terakhir gw di sini. Gw pengen bikin malam spesial gitu lah niatnya. Eh taunya malah ujan gini..." dia pasrah. Wajahnya tampak kecewa.

"Lo nya juga nggak bilang-bilang sih. Tau gitu kan gw jemput lo di salon abis itu jalan kek kemana."

"Ini kan surprise?? Masa gw kasihtau dulu!"

Gw mengangguk. Selama beberapa detik gw pandangi Meva dari ujung rambut ke ujung kaki. Yeah, dia sudah berusaha keras membuat penampilan yg sangat jarang gw liat. Malem ini dia cantik BANGET!!

"Eh gini Ri. Gw tau, lo nggak ngerayain yg namanya valentine. Jadi tolong jangan diliat dari situnya yah. Anggep aja yah anggep aja..."

"Gw ngerti kok Va," gw senyum lebar.

"Syukur deh. Gw takut lo nggak enakan gitu."

"Nggak papa nyantai aja."

Kami terdiam.

"Jadi...?"

"Jadi apanya?"

"Ya malem ini jadi gimana? Tadinya gw mau ngajakin lo makan malem gitu. Tapi kan masih ujan."

Gw berpikir sebentar.

"Yaudah karna lo juga udah capek-capek dandan malem ini, kita dinner di sini aja."

"Di sini?" Meva menunjuk lantai tempatnya berdiri.

"Iya. Kita makan malem di sini."

"Emang ada makanannya?"

"Ada. Gw punya stok mie rebus. Nanti kita rebus terus makan di sini. Pemandangannya juga lumayan tuh dari sini. Mau?"

"Emmh yaudah boleh lah gw juga udah laper nih."

"Oke."

Dan akhirnya kami bergegas ke kamar, menyalakan dispenser, nyeduh teh dan menyiapkan 'makan malam' dadakan ini.

Momen pas dinnernya akan gw ceritakan di next part ya...

the dinner

"Ehm gw perlu ganti baju nggak?" tanya Meva ragu. "Aneh aja kalo ada yg liat di tempat kayak gini pake pakean ini..." sambil pegangi dress nya.

"Udah nggak papa," gw taro dua mangkok mi rebus di atas meja kecil diantara kursi kami. "Sayang kan udah dandan kayak gitu nggak dinikmati?"

"Maksudnyah??? Emang gw makanan pake dinikmati!" Cerewetnya udah mulai kambuh lagi nih.

"Ya maksud gw, lo dandan kan biar keliatan cantik. Udah cantik kayak gini kalo nggak diliatin kan mubazir," gw setengah becanda.

"Ngeliatinnya biasa aja lah!" pipinya memerah lagi. Jujur aja gw seneng banget liat Meva tersipu kayak gitu. Pemandangan yg jarang dan hampir nggak pernah gw liat, kecuali saat dia lagi 'waras' kayak malem ini.

Gw tertawa pelan.

"Kenapa sih ketawa mulu!" Meva protes. "Dandanan gw kayak badut yak!"

Gw menggeleng.

"Nggak gitu kok. Lo cantik. Gw nggak pernah liat lo seperti ini sebelumnya. Masih shock aja tau nggak."

"Ah terlalu mendramatisir loe."

"Hahaha. Ngomong-ngomong, kalo lo nggak nyaman pake sepatu hak, lepas ajah. Ganti sendal jepit."

"Enak aja! Nggak nyambung banget pake dress gini bawahnya sendal jepit!"

Gw tertawa lagi. Hujan semakin mereda tapi masih menyisakan gerimis cukup deras.

"Udah makan aja dulu," kata gw. Kami berdua lalu makan mie rebus yg kami buat sendiri. Ditemani teh anget sebagai penutup "dinner" kali ini, malam yg dingin perlahan berubah menjadi hangat.

"Kenapa sih lo dari tadi nggak bisa berhenti senyam-senyum ketawa-ketiwi nggak jelas kayak gitu!!" ucap Meva sekembalinya gw mengembalikan mangkok di kamar.

Gw malah ketawa lebar.

"Udahlah nevermind..." gw juga susah jelasinnya. Entah kenapa malam ini bibir gw nggak bisa berhenti tersenyum. Gw duduk di beranda, menghadap ke arah Meva.

"Makasih ya udah bikin kejutan yg nggak mengejutkan malem ini," ujar gw.

"Seneng loe yak liat gw keujanan tadi! Capek tau nggak sih dandan di salon! Laen kali ogah deh, mending dandan sendiri aja!"

Gw cuma senyum menanggapinya.

"Lo pasti aneh ya liat gw kayak gini Ri?" lanjut Meva.

"Bukan aneh, cuma kaget aja soalnya kan lo sebelumnya nggak pernah segitunya. Emang ada apa sih? Tumben-tumbenan banget, ngajakin makan pake dandan kayak gitu?"

"Iiih kan udah gw jelasin tadi?! Gw pengen ngerasain malem valentine yg berkesan!" kata Meva sedikit ngambek. "Seumur hidup tuh gw nggak pernah dapetin momen-momen yg kayak gini. Natalan aja lo tau sendiri kan kayak gimana! Ultah gw pun nggak ada yg ngasih kado...termasuk elo!"

"Waduh! Iya ya gw lupa! Tapi kan gw selalu ngasih ucapan ke elo? Yaah biarpun kadang terlambat...besoknya setelah ultah baru gw ucapin."

"Duh yak! Coba deh sekali-kali romantis-in gw! Kasih kado atau kasih ucapan tepat di hari ulang tahun gw! Lo jadi cowok tuh nggak sensi banget kalo masalah yg kayak ginian," cecarnya semangat.

"Yaelaah lo kan udah kenal gw lama? Harusnya lo apal donk sifat gw kayak gimana. Lo ingetin gw lah tiap mau ultah, biar gw inget beli kado buat lo."

"Emang dasarnya lo nggak pernah perhatian ke gw!!" wajahnya cemberut.

"Duh yak jangan cemberut gitu atuh. Rusak make up nya," goda gw.

"Biarin!"

Gw tertawa lagi. Ah, malam ini bener-bener malam yg aneh buat gw.

"Jadi...agenda kita apa nih setelah ini?" gw mencari topik lain.

"Masih ujan yaa. Yaudahlah ngobrol-ngobrol aja. Lagian udah malem juga. Abis ini tidur deh."

Gw turun dan berjalan ke kursi di sebelah Meva. Untuk beberapa saat kami sama-sama terdiam. Cuma terdengar bunyi hujan yg bergemericik disela suara jangkrik yg saling bersahutan.

"Gw masih bingung setelah lulus nanti mau kemana," Meva memulai pembicaraan.

"Kenapa? Bukannya lo udah punya planning ya? Di buku diary lo."

"Enggak tau," Meva menggeleng. "Setelah nyokap pergi, gw kayak limbung dan kehilangan semua gairah gw buat merealisasikan cita-cita gw. Gw lagi dalam masa-masa yg berat Ri."

"......."

"Kenapa Tuhan nggak adil ya? Dia bisa ngasih kehidupan yg sempurna ke orang lain, tapi kenapa hidup gw kayak gini! Yg ada tuh nangis dan nangis terus gw. Capek!"

Kami diam lagi. Gw nggak perlu bersusah payah membayangkan yg diceritakan Meva. Gw paham betul soal ini.

"Hidup gw tuh kelam teruss..." lanjut Meva. "Kalo ibarat hujan nih, tiap hari tuh turun hujan terus kayak malem ini!"

"Tapi nggak ada hujan yg nggak reda kan?" gw coba menengahi pergulatan hatinya. "Gw belum pernah nemuin hujan yg nggak reda."

"......."

Meva tertunduk. Dia sepertinya enggan mendebat gw. Dia cuma diam memandangi ujung sepatunya. Kami biarkan hening diantara kami. Gw diam-diam menangkap ekspresi takut dalam pandangan Meva. Rasa yg sebenarnya juga hadir dalam hati gw saat ini. Rasa takut akan kehilangan.

"Sederas apapun, hujan pasti reda. Dan akan selalu ada pelangi yg indah untuk kita lihat setelah hujan," kata gw lagi. Kalimat yg sebenarnya bertentangan dengan yg gw rasakan dalam hati gw.

Gw pandangi lagi wajah Meva. Lo tau apa yg gw pikirkan sekarang Va? Seandainya lo adalah hujan, maka gw nggak akan pernah sedetikpun berharap hujan itu reda.......

Di suatu tempat di seberang pelangi,
Nun jauh dan tinggi
Ada satu tempat yg pernah kudengar hanya dalam lullaby...

"Lo pernah nggak sih Ri bertanya dalam hati lo," kata Meva memecah kesunyian dan kedinginan yg sempat menyelimuti kami.

Sudah hampir jam dua pagi dan kami masih bertahan di beranda.

"Tanya apa?" gw balik tanya. Jari-jari gw udah berasa kebas buat memetik senar gitar dalam pelukan gw.

Meva diam sejenak. Wajahnya nampak sedikit lelah tapi sedikitpun itu nggak merusak penampilannya pagi ini. Beberapa helai rambut yg acak-acakan justru makin memancarkan sisi feminin nya yg selama ini jarang gw lihat.

"Menurut lo, pelangi itu nyata atau nggak sih?" lanjutnya datar.

Sesaat gw diam lalu tertawa kecil.

"Kebiasaan nih, kalo udah malem kayak gini pasti deh bakal muncul pertanyaan-pertanyaan aneh lo," kata gw.

Meva cemberut.

"Ya abisnya gw mau tanya ke siapa lagi kalo bukan ke elo? Satu-satunya yg kenal gw kan cuma elo..." katanya dengan nada merajuk.

"Iya tapi pertanyaannya tuh yg biasa aja lah. Gw suka bingung deh kalo udah ditanya yg kayak ginian."

"Ah, pertanyaan biasa kan cuma dijawab sama orang biasa. Kalo lo kan bukan orang biasa, yaah katakanlah lo tuh 'orang tua' yak jadi kan udah banyak pengalaman dibanding gw yg masih muda plus imut kayak gini.."

"Kita cuma beda dua taun doank!"

"Tetep aja tua an elo kan?!"

"......."

"Udah jawab ajah, menurut lo pelangi itu beneran nyata nggak?"

Gw gelengkan kepala.

"Enggak. Pelangi kan cuma efek pembiasan cahaya. Jadi gimana yak. Duh gw bukan ilmuwan sih jadi nggak bisa jelasinnya."

Meva tersenyum.

"Kenapa?" tanya gw.

"Enggak papa. Pas tadi lo bilang soal hujan yg reda dan pelangi setelahnya, gw jadi inget waktu kecil dulu..." Meva mulai curhat. "Dulu, sebelum tidur gw sering didongengin banyak cerita sama nyokap gw. Dan ada satu cerita favorit gw, cerita tentang pelangi."

Meva melirik gw, mengecek apakah gw tertarik mendengar kelanjutan ceritanya. Gw mengangguk sebagai tanda gw tertarik.

"Dongeng China kuno, tentang sepasang kekasih bernama Hsienpo dan Yingt'ei. Pernah denger?"

Gw menggeleng.

"Mereka berdua adalah sepasang kekasih yg terpisah dan harus menunggu ada pelangi supaya bisa bertemu. Dan pada akhirnya Hsienpo menjadi warna merah dalam pelangi sementara Yingt'ei menjadi warna biru. Mereka hidup bahagia selamanya."

"......."

"Gw suka nangis loh waktu dulu denger dongeng ini," dia tertawa pelan mengenang masa lalunya. Matanya menatap kosong langit hitam di depan kami.

Gw terdiam. Baru pertama kali ini gw denger dongeng pelangi.

Di suatu tempat di seberang pelangi,
Langit selalu biru
Dan apapun yg kau impikan
Menjadi nyata di situ...

"Masa belum pernah denger sih?" tanya Meva lagi.

"Yah waktu gw kecil mah paling juga didongengin si kancil sama si keong yg lomba balap karung. Nggak pernah gw dapet dongeng kayak gitu."

Kami berdua tertawa.

"Dulu gw pengeeen banget bisa terbang dan pergi ke pelangi!" lanjut Meva antusias. "Gw pernah baca, menurut orang Yunani, pelangi adalah jembatan yg dipake Dewi Iris untuk bertemu Dewa di langit. Sampe sekarang pun gw kadang masih suka berkhayal seandainya gw bisa ke pelangi..."

Gw tertawa mendengarnya.

"Ada-ada aja ah lo," komentar gw.

"Biarin. Namanya juga mengkhayal, kan bebas? Gratis juga!"

"Hehehe. Iya iya. Tapi sayang yak di sini nggak pernah muncul pelangi bulan."

"Pelangi bulan?"

"Iya, pelangi bulan. Kalo pelangi yg muncul setelah hujan kan namanya Rainbow, nah kalo yg ini namanya Moonbow. Munculnya di malam hari. Katanya sih lebih indah dari pelangi biasa. Nggak tau deh gw juga belum pernah liat soalnya."

Meva memandang takjub.

"Pasti indah yaaa..." gumamnya. Dia memandang berkeliling ke penjuru langit, berharap secara ajaib moonbow muncul tiba-tiba. Meva langsung tersenyum begitu tau yg diharapkannya nggak mungkin terjadi.

"Ri," katanya. "Kalo gw adalah pelangi, lo jadi apanya?" tanya Meva tiba-tiba.

"......."

"Ayo jawab.."

"Duh yak gw mana bisa jawab kalo lo nanya tapi muka lo sedeket ini sama muka gw??" gw dorong wajahnya menjauh.

Meva cuma nyengir lebar.

"Ayo jawab laah.."

"Emh jadi apa yak? Kayaknya gw jadi manusia biasa aja deh."

"Lho, kenapa? Lo jadi hujan nya atau apanya kek! Nggak ada romantisnya banget ah dodol!"

Gw tersenyum lalu menjawab.

"Gw pilih jadi manusia biasa, karena dengan begitu gw akan selalu bisa menikmati keindahan sang pelangi kapanpun dia muncul."

"......."

Kedua pipinya bersemu merah. Sebelum dia sempat bicara gw bilang gini.

"Boleh gw nyanyiin lagu buat lo?"

Meva mengangguk semangat.

"Lagu apa?" tanyanya.

"Over The Rainbow..."

Dan akhirnya malam valentine yg panjang itu pun ditutup dengan nyanyian fals gw...


Di suatu tempat di seberang pelangi,
Burung-burung biru beterbangan datang dan pergi..
Bila burung-burung kecil itu dg gembira beterbangan melampaui jembatan pelangi,
Mengapa aku tak bisa ?.........

Dan benar bahwa hidup memang nggak selalu seperti yg kita inginkan. Karena Tuhan menciptakan segala sesuatunya berpasangan. Seperti halnya nggak ada hujan yg nggak reda, maka nggak ada kemarau yg selamanya kering.

Di suatu malam gw terjaga di tengah derasnya hujan yg menderu atap kamar. Mungkin suara berisiknya yg membuat gw terjaga di jam dua pagi ini. Gw terduduk lemas sandarkan punggung di dinding kamar. Dada gw terasa sesak. Ditambah dingin yg menusuk dada, rasanya kepala gw seperti mau pecah.

Gw merangkak ke dispenser. Menuang segelas air hangat dan segera meminumnya untuk sekedar mengurangi rasa dingin dalam tubuh gw. Gw terduduk lagi. Diam. Cuma deru hujan yg terdengar meredam kamar yg gelap ini.

Gw pejamkan mata. Mencoba sesegera mungkin terlelap, tapi yg muncul di benak gw adalah kejadian tiga hari yg lalu. Ketika gw duduk dengan lemas di kursi favorit gw di pantry.....

Jam kantor sudah berlalu hampir satu jam yg lalu. Tinggal gw dan beberapa orang lagi di kantor yg hari ini lembur. Seperti biasa, ditemani secangkir teh manis hangat gw duduk memandang langit di balik jendela.

Gw kangen keluarga gw di rumah. Sudah hampir dua tahun gw nggak mudik. Cukup lama buat seorang perantau seperti gw. Maklumlah beberapa waktu terakhir memang lagi banyak job. Libur lebaran pun terpaksa lembur demi beberapa lembar rupiah.

Gw lagi asyik mengenang masa-masa kecil gw bareng temen SD dulu, ketika handphone gw bergetar. Sms dari Lisa. Dia nanyain gw di mana, gw jawab kalo gw lagi di pantry. Dia bales lagi minta gw ke tempatnya sekarang.

"Ada apa?" tanya gw sesampainya di kursi gw.

Lisa masih cukup sibuk menyelesaikan laporannya.

"Enggak papa. Gw khawatir aja," jawabnya memandang gw tersenyum.

Ah, senyum yg paling manis yg pernah gw liat dari seorang Lisa.

"Perhatian banget lo sama gw," kata gw sedikit menggoda.

"Yaiyalah gw kan emang baik hati dan tidak sombong? Rajin nabung pula," balasnya. Dia meng close tab yg belum selesai dikerjakannya. "Jadi gimana?" lanjutnya.

"Gimana apanya?"

"Hasilnya laah.."

"Duh hasil apaan? Yg jelas atuh nanyanya," gw iseng maen hamsterball.

"Hasil medical check up kemaren. Gimana, oke kan? Kita jadi berangkat bareng kan ke Jepang??" tanya Lisa semangat.

Bola hamster gw jatuh dan pecah.

"Mmmh....." gw ketukkan jari-jari gw di meja.

"......."

"Justru itu..."

"Justru itu kenapa? Sekarang lo yg nggak jelas ah!"

"Gw nggak lolos Lis. Hasil medical kemaren jelek," kata gw hambar.

Lisa terdiam saking kagetnya.

"Ah elo becanda aja!" dia menepuk pundak gw pelan. Gw diam. Lagi nggak semangat gw.

"Gw beneran Lis."

"Masa sih? Kok bisa?? Gw liat elo sehat banget kok! Apanya yg salah???"

Gw tersenyum kecut. Pembicaraan gw dan Pak Agus beberapa jam yg lalu di ruangannya terngiang di telinga gw.

"Ginjal gw Lis," kata gw sedikit ragu.

"Ginjal?" Lisa belum menemukan benang merah pembicaraan kami.

Gw mengangguk pelan.

"Dari hasil medical check up kemaren, katanya gw punya kelainan di ginjal gw..."

"......."

"Gw serius Lis. Lo tau kan abis makan siang tadi gw dipanggil Pak Agus ke ruangannya? Kita ngomongin itu."

"Gw belum percaya ah! Lo yg sehat kayak gini kok punya kelainan ginjal?"

"Hmm...kadang sesuatu yg keliatan baik di luar, nggak seperti itu di dalamnya," gw lebih terdengar menghibur diri sendiri.

"......."

"Mungkin belum rejekinya gw kali. Ya udahlah gw terima aja kok."

"Yaaah...nggak bisa gitu lah! Masa gw sendirian ke sananya?"

"Kan masih ada yg laen? Lo nggak sendirian kok."

"Iya tapi beda lah! Duh tau gini mah mending gw ngundurin diri dari awal aja!" Lisa tampak sedih.

"......."

"......."

Kami terdiam beberapa saat.

"Gw kecewa nih.." kata Lisa.

"Sama Lis. Gw juga. Tapi yg bikin gw down sebenernya bukan karena gw gagal ke Jepang. Tapi yaah gw sendiri nggak nyangka aja ternyata gw punya penyakit yg gw sendiri nggak pernah menduga kalo gw mengidap penyakit itu!"

"Apa separah itu ya?"

"Nggak tau. Gw harus konsultasi langsung ke dokter. Semoga aja nggak papa yah..."

"Harus lah! Gw yakin lo baik-baik aja!" Lisa menyemangati gw, meskipun itu nggak berhasil menutupi kesedihannya.

"Semoga," gw mengamini.

Kabar tadi siang benar-benar cukup mengejutkan. Sebuah shocktherapy yg sangat memacu jantung gw. Untunglah setelah beberapa cangkir teh hangat gw habiskan, sekarang sudah agak mendingan.

"Lo harus ke dokter, malem ini." kata Lisa lagi. "Pastikan kalo penyakit yg lo punya itu nggak mempengaruhi keadaan lo sekarang. Oke?"

"Iya, rencananya Sabtu ini gw mau ke dokter."

"Nggak bisa. Harus malem ini. Balik lembur gw anter deh ya?!"

Gw tersenyum dan akhirnya mengangguk.

"Gw yakin lo baik-baik aja Ri," kata Lisa sambil menepuk bahu gw pelan...


Sudah hampir satu jam gw terjaga. Keringat dingin mulai bercucuran dari tubuh gw. Hujan di luar belum juga reda. Malah sekarang makin deras.

Gw pejamkan lagi mata gw. Dan dalam kegelapan itu, yg terbayang di benak gw cuma sesosok wanita berkaos kaki hitam.

Entah Meva...

Ah, atau Lisa......?

"Ri bangun Ri," sebuah suara lembut tapi agak sengau di telinga membangunkan gw. Ada tangan hangat yg menepuk pipi gw.

"Bangun dulu minum obat..." lanjutnya lagi.

Gw terjaga dan nampak Meva duduk di sebelah gw sambil pegangi segelas air putih.

"Minum obat yuk," kata Meva lagi begitu melihat gw terjaga.

Gw bangun. Mencoba duduk tapi mendadak semua terasa berputar. Gw segera sandarkan punggung ke dinding.

"Lo kayaknya parah banget yak Ri," Meva berkomentar.

"Gw nggak papa kok," jawab gw. Sebuah jawaban yg bodoh tentu saja.

"Halaah tepar gituh masih ajah nggak ngaku." Meva tersenyum dengan manisnya, meskipun itu nggak menutupi wajahnya yg pucat.

Jam dinding menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Jendela kamar gw masih tertutup tapi gw bisa merasakan hangatnya sinar matahari masuk ke kamar gw. Sangat kontras dengan keadaan semalam.

"Udah ah, nih sarapan dulu abis itu minum obat," Meva menyodorkan sesendok bubur ke mulut gw.

"Lo sendiri udah makan belum?"

Meva menggeleng pelan.

"Gampang lah gw mah.." katanya.

"Ya udah lo makan aja dulu deh entar aja gw mah, lagi nggak nafsu makan."

"Duh yak orang sakit mana ada sih nafsu makan kalo nggak dipaksa??" sendok bubur itu masih di depan mulut gw. "Buruan makan! Beberapa sendok aja deh."

"......." Gw paksakan menelan suapan bubur dari Meva.

Meva terbatuk-batuk beberapa kali.

"Tuh kan elo sendirinya juga lagi sakit, buruan makan bareng deh..." kata gw prihatin.

Meva tertawa kecil dan mulai makan buburnya.

"Kita tuh lucu yak!" ucapnya kalem. Rambutnya yg masih kusut karena belum mandi tergerai di dua bahunya. Gampang banget buat tahu kalo dia lagi sakit. Apalagi Meva pake sweater tebal warna putih.

"Lucu di mana nya ya mbak??? Orang kesiksa gini dibilang lucu!"

"Ya lucu ajah! Mana ada coba orang sakit barengan gini??"

"Barengan? Gw ralat yak, kita tuh enggak barengan. Lo yg nularin sakit ke gw."

"Apaan? Itu mah lo nya aja bodo, udah tau gw lagi sakit, malah makan sisa mie rebus gw!"

"Ya...yah....ya......ya gw laper soalnya. Males beli ke luar yaudah gw makan aja sisa elo."

"Yaudah jangan salahin gw atuh."

"Iya iya iya. Tapi gw sengaja sakit kok, biar bisa senasib sepenanggungan gituh sama elo..." gw bohong. Padahal emang gw yg bodoh, kemarin makan sisa mie nya Meva.

"Halaah...bilang aja lo lagi ngerayu biar gw nggak maksa lo buat minum obat. Iya kan??"

"Eh, ternyata selain cantik, elo pinter juga ya Va...baru tau gw."

"Haduh! Jangan banyak omong deh, orang udah dua hari nggak mandi gini mana ada cantiknya sih?! Udah buruan makan lagi."

"Oiya? Tapi kok elo kayak bukan yg dua hari nggak mandi ya? Kayak yg udah bertahun-tahun nggak ketemu air gitu!"

Dan sebelum sempat ketawa Meva keburu menjejalkan bubur ke dalam mulut gw. Dengan susah payah gw memakannya.

Sebenernya gw setuju sama Meva. Ini cukup bisa dikatakan lucu. Dua hari yg lalu gw dapati Meva terbaring lemas di kasurnya. Dia demam cukup tinggi. Mungkin karena terlalu memporsir tenaganya buat menyelesaikan tugas kuliah yg makin menumpuk. Eh, sekarang giliran gw yg ketularan Meva gara-gara makan sisa mie rebusnya. Sebenernya bukan mutlak gara-gara itu. Tubuh gw memang lagi nggak fit. Ditambah virus dari mie rebus tadi, ya jadilah gw kayak gini.

"Thanks deh udah nemenin gw sakit," ujar Meva.

"......."

"Ntar sore kita periksa bareng yah ke dokter," saran Meva.

Gw setuju aja. Baru tiga hari yg lalu gw cek up ke rumah sakit bareng Lisa, dan hasilnya baru akan keluar hari Senin nanti. Yah gw berharap semoga semua baik-baik aja.

Pagi itu gw dan Meva barengan menghabiskan sepiring bubur. Karena belum sempat ke dokter, kami minum obat warung seadanya.

"Gw tidur di sini yah?" Meva rebahkan diri di kasur.

"Yaudah tidur aja, gw mau nelpon bos dulu lapor hari ini nggak masuk kerja."

"Yaudah atur aja deh, asal jangan nelpon ke kantor imigrasi aja. Hehehe."

"......." Sempet-sempetnya Meva becanda di saat kayak gini! Badan lemes, kepala pening plus kaki pada pegel-pegel. Gw memang butuh banyak istirahat kayaknya.

Gw telpon Pak Agus dan mengabarkan keadaan gw sekarang. Sementara Lisa pas gw telepon, dia marah-marah karena gw nggak segera ngasih kabar kalo gw sakit. Sore ini dia mau nengok gw ke kosan.

"Lisa perhatian banget ya sama elo Ri," kata Meva tanpa membuka matanya. Dia pasti tadi nguping pembicaraan kami. Ya iyalah secara Meva ada di sebelah gw.

"......."

"Pasti seneng banget yah punya orang yg bener-bener care sama kita?"

"Ah ngomong apa sih loe? Mulai ngelantur deh kalo demamnya kambuh kayak gini," gw pegang leher Meva. Panas banget.

"Ri, kalo ada dua cewek yg sama-sama care ke elo, tapi dengan latar belakang yg sangat berbeda. Yg satu perfect, dan yg satu bukan apa-apa. Lo akan pilih yg mana?"

"Hmmm..." gw berpikir keras. "Rahasia perusahaan deh! Hehehe."

"Dih nggak lucu pisan!" Meva ngambek. Dia melempar bantal ke gw. Setelah itu dia sembunyi di balik selimut.

Selama beberapa saat gw diam melamun sebelum akhirnya terlelap lagi.....

Gw bangun sore harinya ketika jam di kamar menunjukkan pukul lima lewat beberapa menit. Gw langsung keingetan Meva karena kami punya janji berobat ke dokter sore ini. Meva nggak ada di sebelah gw, kayaknya dia udah balik ke kamarnya. Meski dengan lemasnya buru-buru gw cuci muka plus gosok gigi lalu keluar hendak ke kamar Meva. Tapi ternyata gw tertahan di depan kamar gw.

Meva ada di beranda. Dia lagi duduk di tembok pembatas. Tapi bukan dia yg membuat gw terkejut, melainkan orang di sebelahnya.

Seorang wanita dengan setelan kemeja putih panjang dipadukan rok abu-abu sopan dengan stoking hitam. Lisa langsung tersenyum melihat gw.

"Hai Ri," sapanya. "Udah bangun loe?"

"Eh, udah....." gw masih belum percaya dengan yg gw lihat. Gw perhatikan lagi ekspresi wajah kedua cewek di hadapan gw. Canggung, malu, tapi tetap tenang dan seolah nggak ada apa-apa. Yah mungkin memang nggak ada apa-apa?

"Ng...dateng jam berapa?" tanya gw ke Lisa.

"Belum lama kok. Pas bel balik gw langsung ke sini. Ketemu sama Meva di sini," dia melirik Meva yg membalasnya dengan senyum malu. "Yah gw tanya-tanya gimana keadaan loe. Terus lo nya bangun deh."

Gw lirik Meva. Dia tampak seperti seorang mahasiswa yg baru kepergok nyontek pas ujian. Gw baru sadar kedua pipinya bersemu merah.

"Kita nggak ngomongin yg macem-macem kok! Beneran! Sumpah!" Meva nyerocos tanpa gw tanya. Jawaban yg justru menimbulkan kecurigaan.

"Yaah terserah kalian kok mau ngomongin apa juga," kata gw kalem. Duh bingung juga kalo keadaannya kayak gini. "Eh, elo tadi masuk kerja Lis?"

Lisa kernyitkan dahinya.

"Kan lo liat nih gw masih pake pakean kayak gini emangnya abis dari mana?"

Duh sorry gw hilang konsentrasi!

"Oh.." gw nyengir malu.

"Lo udah minum obat?" tanya Lisa.

"Udah," jawab gw.

"Boong tuh Lis. Terakhir minum tuh pas pagi. Itu juga susahnya minta ampun kudu dipaksa dulu!" Meva menyela dengan nadanya yg khas.

"Yg penting kan diminum obatnya?" sergah gw.

"Iya tapi susah!" Meva mulai nyolot lagi kayak biasa.

Lisa cuma diam memperhatikan kami dengan tatapan heran sekaligus tertarik. Baru tau dia gimana gw sama Meva kalo ngobrol.

"Eh mau ngobrol di dalem?" gw menawarkan sekedar mencairkan suasana yg agak kaku.

Lisa dan Meva kompakan geleng kepala.

"Di sini aja," jawab Lisa.

Gw duduk di kursi. Makin lama berdiri kaki gw makin lemes.

"Kalian mau ke dokter kan?" kata Lisa lagi. "Gw anter aja gimana?"

Gw kernyitkan dahi.

"Gw bawa mobil kantor kok," Lisa menjawab tatapan heran gw. "Dari awal gw emang berniat nganter lo ke dokter, makanya gw pinjem mobil kantor. Tapi ternyata yg sakitnya ada dua. Yaudah sekalian gw anter deh ya?" dia mengakhiri dengan senyuman lebar di bibirnya.

Gw dan Meva sejenak saling pandang. Gw buru-buru alihkan pandangan gw sebelum kami saling lempar sendal.

"Nggak ngerepotin elo emangnya?" gw basa-basi.

"Ya enggak lah," jawaban yg udah gw duga sebelumnya.

"Gimana Va?" tanya gw ke Meva.

"Boleh aja. Biar lebih cepet juga."

"Yaudah bentar yah gw ganti baju dulu."

Gw ke kamar, ganti pakean sambil dalam hati bertanya-tanya kok bisa yak? Meva sama Lisa keliatan akur, biarpun masih dengan sangat jelas ada kecanggungan diantara mereka.

Dalam sedan Mitsubishi hitam yg membawa kami bertiga ke rumah sakit, gw nggak hentinya geleng kepala. Meva duduk di bangku depan di samping kemudi sementara gw sendirian di belakang. Mereka berdua ngobrol-ngobrol mengakrabkan diri. Dan parahnya, kadang-kadang mereka kayak nganggep kursi belakang kosong! Nggak ada gw!

Datang di rumah sakit kami langsung ke ruangan dokter kenalannya Lisa. Gw dan Meva diperiksa bergantian. Dan benar, kami kena penyakit yg sama. Selesai berobat kami langsung balik ke kosan. Karena sudah malam Lisa memutuskan langsung balik tanpa mampir dulu ke kosan.

"Cepet sembuh ya biar bisa maen hamster lagi," kata Lisa sebelum pergi.

Gw dan Meva berdiri diam memandangi mobil yg melaju meninggalkan kami di depan gerbang. Gw lirik Meva. Dia, yg memang punya insting tajam seperti elang, langsung menangkap lirikan gw.

"Ngapain liatin gw kayak gitu?" tanyanya sok ketus.

"Ge-Er," balas gw.

Meva melet lalu balikkan badan berjalan masuk ke kosan. Gw menyusulnya di belakang.

"Va gw mau tanya donk?" kata gw tanpa menghentikan langkah.

"Tanya apa?" sahutnya tanpa menoleh.

"Sebelum gw bangun tidur, lo sama Lisa ngobrol apa aja? Ngomongin gw yah?"

Meva berhenti, menghadap gw, lalu kepala gw ditoyornya.

"Ge-Er," jawabnya singkat. Dia berbalik lagi dan lanjutkan naik tangga.

"Ya terus ngomongin apa donk? Nggak mungkin juga kan kalian ngomongin soal sejarah terciptanya bumi?"

"Ngawur lo!"

"Ya makanya bilang aja apa susahnya sih?"

"Buat apa? Nggak penting juga kali. Lagian mau tau aja loe ah."

"......."

Gw dan Meva sampai di kamar jam tujuh lewat limabelas menit. Gw memutuskan nggak ngebahas lagi soal Lisa. Meva juga demikian. Kami makan bubur yg tadi dibeli dalam perjalanan pulang, lalu minum obat dan setelah itu duduk nonton tivi sampe malem...

Nggak ada yg aneh setelah pertemuan tak terduga antara Meva dan Lisa. Meva tetep bawel dan ngeselin seperti biasanya. Yah itu memang bawaan dia sejak lahir kali ya? Sementara Lisa, dia juga sama. Gw absen dua hari dan setelah masuk kerja lagi, semua biasa aja. Nggak ada yg aneh atau mencurigakan dari Lisa, yg sebelumnya gw yakin banget dia ngomongin sesuatu sama Meva.

Weekend...

Gw lagi nemenin Meva jemur pakaian di halaman bawah. Sebenernya gw nggak mau, tapi Meva maksa gw buat ikut ke bawah soalnya gw juga nitip cucian ke dia.

"Pagi ini mau sarapan apa?" tanya gw ke Meva.

"Apa aja deh yg penting gratis," jawab Meva sambil tetap jemur pakaian.

"Yaelah baru juga nyuciin baju gw satu biji, udah minta ditraktir. Nggak ada pahalanya banget lo Va?"

"Duh yak wajar dong. Di dunia ini tuh nggak ada yg gratis. Orang kencing di terminal aja bayar? Lagian baju lo emang satu, tapi temennya banyak! Liat noh sampe seember gituh!" dia menunjuk ember di samping gw.

Gw nyengir lebar.

"Udah buru bantuin gw jemur lah jangan bengong doang!" tandasnya.

Gw turuti perintahnya. Gw bantu jemur pakaian. Cuma pakaian gw doang sih sebenernya, pakaian Meva ada di ember terpisah dan dia sendiri yg ngejemur.

Selesai beresin jemuran gw dan Meva ke depan gang, ke warung bubur kacang ijo di pinggir jalan, tempat favorit kami kalo lagi pengen ngemil. Di sana belum banyak pembeli. Gw dan Meva duduk di kursi panjang yg menghadap ke jalanan. Kepulan asap dari dua mangkuk kecil bubur kacang ijo menyapa kami dua menit kemudian.

"Eh Ri, gw mau tanya tapi jawab yg jujur nih yak," kata Meva sambil makan bubur kacang.

"Tanya aja," jawab gw acuh.

"Menurut lo...gw cantik nggak sih???"

Sendok gw terhenti di depan mulut. Gw palingkan wajah ke Meva sambil senyum ngejek. Gw sempat ngelirik tukang bubur di dekat kami, dia senyum-senyum, kayaknya dia tadi denger pertanyaan Meva.

"Udah ah liatinnya biasa ajaaa," Meva mencubit lengan gw. "Jawab aja napa?"

"Tumben amat lo tanya ginian," komentar gw berusaha sebisa mungkin nggak ngejawab pertanyaannya.

"Ya enggak papa. Gw pengen tau aja pendapat lo gimana tentang gw. Semua cewek di dunia ini pasti pernah menanyakan hal yg sama ke orang terdekatnya."

Gw senyum.

"Senyam - senyum mulu. Mau jawab enggak? Kalo enggak yaudah, biar gw tanya Mamang bubur ajah," Meva mengultimatum. Dia nengok ke tukang bubur yg sekarang nyengir lebar ngeliatin gw dan Meva. Deretan giginya yg nggak beraturan tampak mencolok. Meva nengok ke gw lagi dan bicara dengan suara pelan. "Eh nggak jadi deh. Gw tanya ke elo aja, si Mamang nya nyeremin."

Gw tertawa lebar sementara Meva berubah cemberut.

"Denger gw ya Va," gw menjawab sok diplomatis. "Pada dasarnya semua cewek itu cantik."

"Tapi.....?"

"Tapi.....ada tingkatannya juga."

"Maksudnya?" Meva tampak sangat tertarik dengan jawaban gw.

"Maksud gw, tiap cewek punya tingkatan cantiknya masing-masing. Ada cewek yg di level sangat cantik, ada juga yg cantik doang. Terus ada yg sedikit cantik...ada yg nggak begitu cantik...dan terakhir ada yg nggak cantik samasekali. Nah, silakan lo menilai sendiri lo ada di kasta yg mana," gw lalu ketawa.

"Ah sama aja nggak ngejawab itu mah!" Meva nyubit gw lagi.

"Ya abisnya gw juga serba salah. Kalo gw bilang lo jelek, ntar nggak ada lagi yg nyuciin baju gw. Kalo gw bilang loe cantik, wah itu namanya kebohongan publik."

"Duh emang gw sejelek itu yaaa???" Meva tampak murung. Dia kayak yg sedih banget.

"Eh eh enggak kok gw becanda Va. Ah, lo mah gitu aja dimasukin ke hati," gw senggol tangannya. Meva mencibir lalu makan buburnya tanpa gairah. Beberapa kali Meva mengaduk-aduk bubur tanpa memakannya.

Wah kayaknya yg gw katakan tadi menyinggung perasaannya. Tapi nggak biasanya ah Meva kayak gitu!

"Iya deeh gw ralat. Lo cantik," kata gw.

"Nah gitu donk! Itu baru jawaban jujur!!" Meva sumringah. Dia nyengir lebar lalu menghabiskan sisa buburnya dalam beberapa sendokan saja.

"Dasar cewek," batin gw dalam hati.

Gw menghabiskan bubur gw semenit kemudian. Meva yg nampaknya sudah mendapatkan mood nya lagi, dari tadi nggak hentinya senyum.

"Jadi, udah akur niih sama Lisa?" pancing gw.

"Emang dulu gw pernah nggak akur? Enggak ah."

"Oh yaudah kalo gitu lupain aja yah gontok-gontokan yg pernah terjadi," sindir gw.

Meva cuma nyengir lebar.

"Waktu pertama ketemu Lisa, kalian ngomongin apa sih?" gw mulai dengan pertanyaan utama.

"Enggak ngomongin yg macem-macem kok. Yah namanya juga cewek. Cuma tukeran gosip ajah."

"Pasti gw yg digosipin yahh??"

"Pede banget!" dengan refleksnya Meva noyor kepala gw.

"Ya abisnya kalian berdua kan saingan tuh ngerebutin gw. Jadi ya wajar aja laah kalo gw digosipin," gw becanda setengah ngarep pendapat gw benar.

"Enak aja!! Sapa juga yg ngerebutin elo??" Meva memukul gw beberapa kali.

"Kan gw bilang 'siapa tau'? Kalo enggak yaudah sih nyantai aja lah!"

Meva mencibir.

Dan pagi itu akhirnya Meva yg bayarin makan karena ternyata gw lupa bawa dompet.

"Udah lengkap semua barang yg mau dibawa Ri?" nyokap gw membuka resleting ransel gw.

"Udah Mah," jawab gw sambil membalas sms di handphone. Nyokap gw melakukan pengecekan selama dua menit.

"Bekal makanannya udah dibawa?" tanya nyokap gw lagi.

"Sip. Udah lengkap semua Mah."

Nyokap gw menutup ransel dan berdiri. Gw juga berdiri.

"Ati-ati di jalan yah," kata nyokap gw.

"Pasti," gumam gw pelan.

"Kapan balik lagi Kak?" adik perempuan gw yg baru masuk SMA muncul dari dalam kamar.

"Emh ntar akhir tahun deh kalo ada libur pasti balik."

"Jangan lupa oleh-oleh dari Jawa ya. Laen kali bawa batik kek, kan katanya batik Jawa bagus-bagus tuh. Pengen tau batik Jogja kayak gimana."

"Huss kamu ini banyak mintanya," nyokap gw mengingatkan setengah becanda.

"Nggak papa lah Mah, kan Kak Ari juga baliknya setaun sekali pas lebaran doang. Oleh-oleh gitu doang mah wajib kudu lah."

"Huh kamu ini maunya."

Kami bertiga tertawa. Tawa yg lepas. Tawa yg selalu mengundang kerinduan untuk melakukannya lagi bersama-sama.

"Yaudah buruan berangkat nanti ketinggalan pesawat lho," nyokap gw mengingatkan.

"Eh iya. Nanti kalo ke sini ajak juga Kak Meva yaa?" celetuk adik gw.

"Meva?" nyokap gw memandang heran.

"Pacarnya Kak Ari."

"Wah kamu udah punya calon Ri?" nyokap gw antusias.

"Eh enggak kok," jawab gw buru-buru klarifikasi. "Itu...temen! Bukan pacar."

"Ah boong! Di dompetnya Kak Ari banyak tuh foto berduaan! Pake dinamain segala di belakangnya. Kalo bukan pacar kok dipajang di dompet yaa??"

"Enggak! Beneran bukan siapa-siapa ah!" gw malu.

"Ah masa siih??" adik gw seneng banget tuh godain gw.

"Yaudah bawa ke sini apa salahnya, kenalin ke Mamah sama Papah. Kalo cocok kan tinggal nyari tanggal aja," nyokap gw juga ikutan.

"Haduh apaan sih..." gw malu sekaligus mengamini dalam hati.

"Yaudahlah, Kakakku yg jelek! Ati-ati di jalan yah, kalo jatuh bangun sendiri lho," adik gw meluk gw. "Salam buat Kak Meva!!"

Gw jitak kepalanya.

"Jangan lupa ngabarin ya kalo udah sampe Jawa," kata nyokap gw.

Kali ini gw yg bergerak memeluk nyokap.

"Jangan lupa solat ya Ri," bisiknya di telinga gw. "Kita semua di sini selalu doain kamu."

"Makasih Mah. Ari pasti jalanin pesen Mamah..." jawab gw penuh haru. Gw memeluk nyokap gw erat.

Dan tanpa dapat ditahan lagi bulir airmata gw jatuh ke pipi. Rekaman kejadian dua tahun yg lalu terbayang dengan jelas seolah baru saja terjadi kemarin.

Benar, rasanya baru kemarin gw memeluk nyokap gw. Rasanya baru semalam gw dibacakan dongeng menjelang tidur masa kecil gw. Kecupan hangat di kiri kanan pipi gw tiap gw mudik, masih terasa lembut. Seolah semua baru saja terjadi beberapa saat yg lalu.

Tapi mendadak semua terasa jauh. Sangat jauh. Bahkan hampir tak tergapai. Pelukan itu, kecupan sayang itu, mendadak bias. Tersapu airmata yg kini mengalir butir demi butir.

Kalau saja gw tau bahwa saat itu adalah saat terakhir pertemuan kami, tentu gw akan ungkapkan betapa sebenarnya gw sangat menyayanginya. Akan gw ungkapkan betapa beruntungnya gw terlahir dari rahim seorang ibu yg bijaksana. Akan gw tunjukkan bangganya gw jadi seorang Ari, anak yg begitu menyayangi ibunya.

Dan dalam kesendirian malam itu gw senandungkan beberapa bait nada sekedar untuk menenangkan hati gw yg berkecamuk.

Mama...
Kau telah memberikan kehidupan padaku
Telah mengubahku dari seorang bayi menjadi lelaki dewasa

Mama...
Apa yg telah kau berikan
Adalah janji cinta seumur hidup

Dan sekarang aku tahu
Bahwa tak ada cinta seperti cinta seorang ibu pada anaknya
Dan sekarang aku tahu
Sebuah cinta yg sempurna
Suatu hari nanti harus pergi
Harus mengucapkan selamat tinggal

Selamat Tinggal adalah kata yg paling menyedihkan yg pernah ku dengar
Selamat Tinggal adalah saat terakhir ketika aku dapat memegangmu lebih erat

Suatu hari kau akan mengucapkan kata itu dan aku akan menangis
Mendengarmu mengucapkan selamat tinggal, itu akan menghancurkan hatiku

Mama...
Kau telah memberikan cinta padaku
Telah mengubahku dari seorang remaja menjadi lelaki dewasa

Mama...
Semua yg pernah kubutuhkan
Adalah jaminan bahwa kau mencintaiku
Karena aku tahu
Bahwa takkan ada cinta seperti cinta seorang ibu pada anaknya

Dan itu sangat menyakitkan
Bahwa sesuatu yg begitu kuat, suatu hari akan menghilang
Harus mengucapkan selamat tinggal

Tapi cinta yg telah kau berikan padaku akan selalu hidup
Kau akan selalu berada di sana setiap aku terjatuh
Kau adalah cinta yg paling hebat bagiku
Kau mengambil kelemahanku dan membuatku kuat
Dan aku akan mencintaimu hingga keabadian tiba

Dan ketika kau membutuhkanku
Aku akan selalu ada untukmu
Aku akan selalu ada sepanjang hidupmu
Aku akan selalu ada

Aku berjanji padamu, Mama..
Mama aku akan menjadi terang untuk melalui malam yg paling gelap
Aku akan menjadi sayap yg akan melindungimu dari perjalanan yg menyakitkan
Aku akan menjadi tempatmu berlindung dari amukan badai
Dan aku akan mencintaimu hingga keabadian tiba

Hingga saat kita bertemu lagi,
Hingga saat itu.....

**







Mah, Ari bangga jadi anak Mamah

Akan terasa sangat singkat seandainya kita menghitung waktu menuju satu titik bernama perpisahan. Bahwa kebersamaan selama ini, ternyata bukanlah waktu yg lama dan cukup untuk menggambarkan kehilangan yg dirasakan. Bahwa setiap hari yg telah dilalui, adalah momen yg paling berharga. Dan hari-hari yg tersisa, akan terasa lebih berharga lagi.

Belum habis duka gw ditinggal nyokap, beberapa waktu yg akan datang gw harus mulai membiasakan diri tanpa rekan kerja terbaik gw. Lisa, yg sudah dipastikan akan terbang ke Tokyo pertengahan Juni nanti, sudah mulai mengikuti pelatihan khusus Bahasa Jepang di Jakarta sejak awal April. Dia mendapatkan dispensasi untuk absen dari kegiatan kantor dan tinggal di Jakarta selama dua bulan ke depan. Posisinya digantikan Mbak Retno, salahsatu karyawan senior di tempat kami. Terasa sekali perbedaannya berganti mitra kerja dengan yg baru. Kaku dan samasekali nggak ada chemistry seperti yg sudah terbangun antara gw dan Lisa.

Meski berada di beda kota, Lisa masih sering contact gw. Dia selalu menanyakan kabar dan kerjaan di kantor. Jam bubar kerja jadi waktu yg rutin buat kami telepon-teleponan. Gw tau Lisa sebenernya nggak begitu menginginkan pekerjaan ini, tapi karena keprofesionalannya dia tetap menjalankan tugas sebaik mungkin. Benar-benar sosok wanita yg bertanggungjawab.

Dan di suatu malam ketika bulan purnama menampakkan diri sebelum waktunya..

Langit cerah dihiasi bintang malam yg indah. Gw duduk terdiam di atas kursi, menengadah ke atas memandang hiasan angkasa di langit. Bukan bintang-bintang itu yg membuat gw menengadahkan kepala. Tapi gumpalan airmata di pelupuk mata ini, yg pasti akan terjatuh kalau gw menundukkan kepala. Gw lebih memilih seperti ini daripada mesti menjatuhkan airmata.

Gw nggak mau menangis. Gw sudah lelah menangis. Hampir setiap hari airmata gw mengalir tanpa bisa sedikitpun gw tahan. Luka dalam hati gw karena kehilangan sosok wanita yg paling berjasa dalam hidup gw nggak mudah begitu saja terhapus. Kadang terbersit keinginan untuk pergi dari Karawang, dan mulai membangun hidup di kampung halaman. Gw pikir dengan lebih dekat keluarga di rumah, seenggaknya gw bisa berbagi kehilangan ini bersama-sama. Kesedihan ini nggak semestinya gw tanggung sendiri. Ada adik dan bokap gw yg pastinya akan terus men support gw dan berjuang bersama membangun kehidupan yg lebih baik.

Tapi ada alasan lain yg membuat gw bertahan di sini. Entah gw sadari atau nggak, gw nggak pernah bisa sehari saja nggak bertemu Meva. Rasanya aneh sekali, satu hari nggak liat wajahnya. Dialah alasan gw melanjutkan perjalanan di kota ini. Sebuah perjalanan tak tergantikan yg nantinya sangat menentukan kehidupan gw kelak. Meskipun jujur aja, sampai saat ini gw belum menemukan alasan yg tepat kenapa Meva bisa sepenting ini buat gw.

Huffft... Sambil terus memandangi langit malam yg bersih tanpa awan, beberapa kali gw harus berkedip dengan cepat untuk mencegah airmata gw jatuh. Setelah gw rasa airmata di mata gw sudah mengering baru gw tundukkan kepala gw.

Saat itulah mendadak dua tangan halus melingkar di dada gw. Beberapa helai rambut yg tergerai menimpa pipi gw. Dagunya tepat menempel di atas kepala gw. Wangi parfumnya yg khas, menyadarkan gw dari lamunan yg tadi sempat melayang entah ke mana.

"Purnama nya indah yaa..." katanya setengah berbisik. Dagunya bergerak di kepala gw ketika dia bicara.

"......."

"Langitnya bersih," lanjutnya. "Banyak bintangnya lagi. Indah yaa..."

"......."

Kami terdiam selama beberapa saat. Dia bergerak melepas pelukannya. Dua tangannya menepuk bahu gw pelan.

"Jangan sedih terus donk," bisiknya lagi. "Kita sekarang sama, ditinggal orang yg paling kita cintai di hidup kita. Gw tau gimana rasanya. Dan gw selalu bersedia kok dengerin curhatan elo. Apapun itu, selama bisa membuat lo merasa lebih baik, ungkapkan aja...."

"Thanks Va," jawab gw akhirnya.

Walaupun gw nggak liat, tapi dari gerakan dagunya gw tau dia tersenyum.

"Nggak perlu gw jelaskan gimana hancurnya gw dulu waktu ditinggal nyokap," kata Meva. "Dan nggak perlu juga gw banyak bicara buat ngehibur loe. Yg akan gw lakukan sekarang adalah sama kayak yg lo lakukan waktu itu ke gw. Gw mau bantu lo keluar dari masa-masa sulit lo, seperti dulu lo bantu gw bangun setiap kali gw jatuh. Gw mau jadi lilin kecil dalam gelapnya malam lo sekarang, sama kayak dulu lo terangi malam gw. Gw...."

Seperti ada air yg menetes di rambut gw. Buru-buru Meva mengusapnya beberapa kali.

Gw bisa merasakannya. Degupan jantung Meva, berdetak di tengkuk gw. Selama beberapa saat kami terdiam. Cuma desiran angin yg jadi lagu malam kami.

"Gw sayang lo Ri...."

"......."

Gw sudah nggak bisa menahannya. Airmata gw mendadak mengalir deras tanpa tertahan.

Gw pejamkan mata gw, berusaha untuk berhenti menangis.

"......."

Jari-jari halus itu mengusap airmata gw.

"Jangan sedih lagi yaa....."

"......."

Gw diam. Meva juga diam.

Gw pandangi langit tanpa bicara sepatah kata pun. Ah, malam ini mendadak bulannya indah sekali.......

Gw buka mata gw perlahan.....

Di hadapan gw nampak dinding tinggi bercat biru muda dengan aroma yg aneh. Bukan cuma wanginya, tapi desain kamar ini juga aneh. Gw nggak pernah merombak kamar gw jadi sedemikian rupa.

Gorden putih besar menutupi yg nampaknya adalah jendela yg besar. Untuk beberapa lama pandangan mata gw buram. Dan setelah gw kembali normal, ruangan tempat gw berada ini nampak semakin aneh dan asing buat gw. Gw telentang di atas sebuah tempat tidur. Di samping tempat tidur gw ada lemari kecil yg rupanya merangkap meja karena di atasnya ada sepiring bubur dan semangkuk kecil sayur di sebelahnya.

Ada di mana gw sebenarnya?

Gw coba buka selimut yg menutupi tubuh gw, tapi mendadak punggung tangan gw terasa nyeri. Ada sesuatu yg menusuk.

Jarum...

Selang bening berdiameter kecil...

Infus.....

Lagi, pertanyaan yg sama muncul, ada di mana gw sekarang??

"Va..." gw coba memanggil Meva yg entah ada di mana. Lama tanpa jawaban.

"Mevaaa..." kali ini suara gw lebih keras dari sebelumnya.

Tetap sunyi.

"Mevaaa" gw memanggilnya lagi.

Dari arah kiri terdengar suara pintu dibuka yg kemudian disusul derap langkah yg mendekat ke gw.

"Ari?" panggilnya.

"Meva?" mendadak gw rasa itu pertanyaan bodoh karena suara yg memanggil gw tadi jelas suara laki-laki.

"Ri, lo udah bangun! Syukurlah.." katanya lagi.

"Indra?" gw coba mengenali suaranya.

"Iya ini gw Ri," dan dia muncul di sisi ranjang gw. "Lo mau apa? Mau minum? Bentar ya tadi gw udah panggil dokternya."

"Dokter?" kernyit gw heran.

Indra tersenyum menenangkan sementara kepala gw terasa sakit mencerna keadaan yg sedang gw hadapi.

"Dokter?" kata gw lagi memastikan.

"Iya, tadi udah gw panggil dokternya begitu gw denger suara lo."

"Gw...ada di mana sih gw sekarang Dul?" punggung tangan gw nyeri.

"Lo di Rumah Sakit, Ri."

"Rumah Sakit? Emang gw kenapa? Gw baik aja kok!"

"Kemaren malem lo pingsan di depan kamer lo. Ya udah gw bawa ke sini aja," Indra menjelaskan.

"Pingsan?" gw heran.

Indra mengangguk.

"Lo kurang asupan gizi karena jarang makan. Terus lo malah mabok, yaudah deh pantes aja lo pingsan."

"Kok bisa?? Kapan gw mabok? Kapan gw nggak makan??" gw setengah protes dan menganggap Indra becanda.

"Sst...jangan kenceng-kenceng ngomongnya, sayang tenaga lo baru sadar juga."

"Iya tapi gw nggak kenapa-kenapa kok! Ngapain gw dibawa ke sini?"

"Coba lo inget lagi deh, terakhir kali di kosan, lo ngapain?"

Gw diam berpikir. Otak gw bekerja keras menemukan jawaban pertanyaan Indra.

"Meva? Gw, gw lagi sama Meva di beranda! Gw nggak minum Ndra. Sekarang mana Meva nya?"

"Dia udah gw suruh pulang. Kasian dia dari semalem jagain lo terus. Dia juga butuh istirahat. Gw suruh gantian sama gw. Ntar malem juga kayaknya dia ke sini lagi."

Gw diam. Mendadak ingatan gw seperti berputar cepat. Gw coba mengingat lagi kejadian semalam. Ah, yg gw inget cuma Meva!

"Gw nggak minum Ndra..." gw setengah mengiba.

Indra senyum lalu bicara.

"Gw ngerti kok. Lo lagi berduka atas kehilangan nyokap lo, dan salahsatu cara lo ngadepinnya dengan 'minum'. Gw paham banget kok, dalam keadaan tertentu kadang kita butuh pelarian. Tapi yg penting sekarang, kita nggak usah bahas soal semalem. Yg penting lo beneran sadar aja dulu yah.."

Gw diam lagi. Apa bener yg dibilang Indra? Sebentar, gw cek mundur kronologinya.

Gw duduk di kursi beranda. Ada Meva, dia peluk gw...

Setelah itu gw lupa.

Tapi sebelum Meva datang, gw kayak lagi minum sesuatu.

Ah, sial! Bener kata Indra, gw inget sekarang! Gw emang lagi 'minum' buat mengusir kesedihan gw! Ada dua botol kecil kalo nggak salah...

Dan hasilnya?

"Halo Mas Ari," sebuah suara membuyarkan lamunan gw. Seorang lelaki berjas putih.

"Eh, halo Pak Dokter," jawab gw.

"Gimana udah ngerasa baikan belum?" tanyanya lagi.

"Nggak tau nih Dok. Saya juga nggak begitu sadar semalem. Pas bangun tau-tau ada di sini."

"Ya iya lah mana ada orang mabok yg sadar?" Dokter itu tertawa pelan. "Sebentar ya Mas Ari, saya cek tensi sama darahnya dulu yah.."

"......."

Gw dan Indra saling pandang sesaat, lalu Indra mengangguk.

Dan Dokter pun melakukan tugasnya.

"Tekanan darahnya rendah banget. Laen kali jangan diulangi lagi ya Mas," katanya begitu selesai. "Nggak makan berhari-hari, terus 'minum'. Ya iy aja pingsan mah."

Gw nyengir malu.

"Lo mau gw hubungin keluarga lo di rumah?" tanya Indra begitu Dokter pergi.

Gw menggeleng.

"Gw nggak mau bikin mereka cemas," gw beralasan.

"Oke. Kalo gitu sekarang lo makan dulu, abis itu minum obat."

Gw setuju aja.

"Oiya Ndra, kok elo bisa tau gw pingsan?"

"Meva. Dia yg nelpon gw. Yaudah langsung gw bawa lo ke sini."

Gw mengangguk mengerti.

Gw sandarkan kepala gw ke bantal. Gw pejamkan mata gw. Meva...

Mendadak gw nggak bisa mengingat dengan jelas kejadian semalam. Tapi rasanya ada sesuatu yg mengganjal dalam hati gw. Tapi apa?

Gw pejamkan mata gw lebih dalam lagi. Tubuh gw terasa lemas dan semakin nggak mampu menemukan jawabannya. Lama gw diam. Sampai akhirnya gw malah terlelap kembali.....

"Selamat paaagiiiii!" nada tinggi ceria khas Meva melengking di penjuru kamar berukuran 4 x 3 meter.

Gw cuma tersenyum. Dalam hati gw bersyukur pagi ini masih bisa mendengar suaranya. Meva berdiri di sisi ranjang gw. Dia tersenyum, mengecup punggung tangan gw lalu mengusap rambut gw pelan.

"Apa kabar kebo ku yg makin jelek aja??" katanya lalu tertawa senang. "Maaf yah semalem gw mau ke sini malah ketiduran. Kecapean kayaknya nih gw."

"Enggak papa kok," gw menggeleng pelan.

"Eh Indra mana? Udah balik?" Meva celingukan nyari Indra.

"Iya udah balik tadi subuh. Dia shif pagi minggu ini."

"Oiya gw lupa. Gw ingetnya jadwal kuliah gw hari ini siang. Hehehe."

Meva tertawa kecil. Ekspresinya ceria banget. Seolah semua beban yg selama ini ditakutinya, menguap begitu saja. Gw maklum dia bersikap seperti ini juga supaya gw ikut terbawa ceria. Gw masih sering inget almarhum nyokap gw soalnya.

"Lo udah sarapan?" tanya Meva.

"Belum jam tujuh Va. Dolly makanan belum muter kayaknya."

"Gw bawa roti. Lo mau?" Meva meraih tas nya.

"Boleh."

"Tapi roti basi. Nggak papa?" tanyanya polos.

Gw kernyitkan dahi heran.

"Hahaha! Gw becanda kali! Enggak kok ini roti beneran. Nih, tadi gw beli pas di jalan mau ke sini." Meva mengeluarkan sebungkus roti dari dalam tas nya.

"......."

"Gw beli di toko makanan basi."

"Meva!"

"Hahaha. Boongan kok. Serius, itu roti baru. Makan aja. Kalo nggak percaya cek tanggal kadaluwarsanya deh."

Gw mencibir. Meva mengambilkan selembar roti tawar, menuangkan susu cokelat sachet di atasnya dan terakhir merangkapnya dengan selembar roti lagi. Dia menyerahkannya ke gw.

"Abis ini minum obat yaah," kata Meva lagi.

Gw anggukkan kepala. Meva cuma duduk berpangku dagu sambil menonton gw makan. Beberapa kali dia nyengir seolah dia ada di sebuah panggung pertunjukan ludruk tengah nonton pelawak favoritnya. Dan yeah, tatapan matanya cukup membuat gw risih.

Begitu roti habis terlahap, dengan cekatan Meva menuangkan segelas air dari botol mineral yg dibawanya kemudian mengeluarkan beberapa butir obat dari laci meja di samping ranjang.

"Thanks Va..." kata gw menerima obat darinya.

Meva tersenyum lebar.

"Eh Ri, sumpah deh lo jelek banget yak kalo belum mandi kayak gini! Udah berapa hari sih lo puasa mandi??" dan Meva pun tertawa.

"Sialan lo," omel gw. "Kemana aja selama ini baru nyadar kalo gw jelek."

"Haha. Gw becanda kok, bo. Gitu aja diambil ati ah. Eh tadi rotinya pasti kelewat manis yak?" tanya Meva.

"Enggak ah. Kenapa?"

"Masa sih biasa aja? Kan lo makannya di deket gw? Harusnya manisnya nambah donk!" tambahnya dengan penuh percaya diri.

Gw mendengus pelan. Ni anak belum sembuh juga over pede nya! Meva nyengir lebar dan menampakkan deretan giginya yg rapi dan putih.

"Pede lo."

"Biarin!" Meva menjulurkan lidahnya.

Gw taroh gelas di atas laci.

"Gimana udah mendingan kan sekarang?" tanya Meva.

Gw mengangguk beberapa kali.

"Gw kaget banget lho malem itu pas lo mendadak nggak bergerak kayak orang mati," ceritanya.

"Oiya? Duh gw malah lupa gimana kronologinya sampe gw bisa ada di sini."

"Yaiyalah mana ada orang mabok bisa inget!" Meva cemberut. "Kenapa sih mesti minum minuman kayak gitu?? Kan masih banyak cara buat ngilangin stres! Bukan malah teler kayak kemaren!"

"Ya namanya juga lagi stres Va. Mana bisa gw berpikir jernih? Itu juga masih untung gw masih bisa mikir."

"Makanya kalo emang gak bisa dipikirin sendiri, libatkan orang lain donk buat bantu mikir. Kan ada gw? Gw pasti bersedia meluangkan waktu gw buat dengerin cerita lo. Itu lebih baik daripada ngelamun sambil minum."

"Iya maafin gw..."

"Laen kali gw liat lo pegang minuman kayak gitu lagi, gw cabut kuku jempol lo."

Gw meringis ngilu.

"Lo tau kan, ngeliat lo ngerokok aja gw nggak suka. Ini lagi teler!" lanjut Meva.

"Iya Va, gw minta maaf.."

Meva pasang wajah cemberut.

"Awas lo kayak gitu lagi....."

"Iya iya. Gw janji nggak minum lagi..."

"LO TAU NGGAK SIH GIMANA TAKUTNYA GW MALEM ITU???" mendadak nada suaranya meninggi. "LO TAU APA YG ADA DI PIKIRAN GW BEGITU TUBUH LO TERKULAI NGGAK BERDAYA?! LO UDAH NGEBAHAYAIN NYAWA LO SENDIRI TAU NGGAK!"

"......."

"Gw paling nggak suka liat orang yg bertindak bodoh tanpa mikirin akibatnya..."

"Gw tau gw salah Va," mendadak gw ciut kayak anak kecil yg diomeli ibunya. "Makasih udah ngingetin gw."

"Udahlah, pokoknya jangan sampe lo bertindak bodoh lagi. Lo pikir lo akan kuat kalo tiap hari nggak makan? Sedih mah sedih aja, tapi makan jangan ditinggalin donk."

"......."

Kami terdiam. Selama beberapa saat mata kami bertemu pandang. Gw menunduk malu. Mendadak kamar jadi sepi.

"Emh, maaf Ri...gw kok jadi marah ke elo yaa," kata Meva memecah kesunyian.

"Nggak papa kok. Gw malah makasih banget lo perhatiin gw."

"......."

Meva berdiri dan berjalan ke jendela. Membuka gordennya lalu berdiri diam menatap keluar jendela. Kami terdiam lagi. Larut dalam keheningan.

Gw pandangi Meva yg berdiri dalam diam.

"Thanks Va. Semua perhatian lo berarti banget buat gw," ucap gw lirih...

Setengah sadar gw buka kelopak mata gw. Gw gerakkan kepala gw ke kanan dan kiri untuk melenturkan leher yg terasa kaku. Terdengar suara rendah tapi gaduh.

"Dia bangun!"

"Hey lihat..."

Nampak siluet hitam mengelilingi gw. Ada orang. Cukup banyak orang. Ada beberapa yg gw kenali suaranya.

"Meva," gw memanggil lirih.

"Hey apa katanya?" sahut suara yg lain.

"Dia manggil gw," kata sebuah suara lagi yg sudah sangat akrab di telinga gw.

"Syukurlah..."

Seseorang menggenggam tangan kiri gw. Hangat.

"Ari..." panggilnya. "Ini gw Meva, Ri..."

Suaranya seperti menggema di kepala gw. Gw belum bisa melihat dengan jelas. Bayangan orang di samping gw nampak buram. Tapi ada yg aneh dengan hidung gw. Seperti ada yg meniup-niup masuk ke lubang hidung.

"Meva.." cuma nama itu yg bisa gw ucapkan dalam keadaan yg serba aneh ini.

"Iya Ri ini gw," sahut suara yg tadi. Seketika suara-suara di belakangnya lenyap. "Gw di sini."

"Lo di mana Va?"

"Ini, di sini. Di sebelah lo.."

Gw picingkan mata. Lambat laun penglihatan gw membaik. Indra, Dea istrinya, Pak Agus, Leo, dan dua petugas medis berdiri memandang gw penuh minat.

Dan Meva. Dia duduk di tepi ranjang dengan menggenggam tangan gw erat.

"Lo udah sadar Ri.." kata salahsatu dari mereka.

Sejenak gw diam.

"Gw kenapa lagi Va?" tanya gw begitu menyadari ada yg nggak beres. Gw sudah seratus persen terjaga sekarang.

"Lo nggak papa kok. Cuma tadi sempet nggak sadar aja," kata Meva tetap menggenggam tangan gw.

"Nggak sadar?" tanya gw lagi.

"Emh, maaf, tapi mungkin Mas Ari perlu beristirahat dulu buat memulihkan kesadarannya," kata suara laki-laki yg belum pernah gw dengar. "Mari yg lain ikut saya keluar. Kalian bisa masuk lagi setengah jam setelah ini."

"Oke Ri, gw keluar dulu," kata Indra. "Kalo ada apa-apa panggil gw aja yah."

Dan mereka pun beranjak pergi. Tinggal salahsatu dari dua petugas tadi dan Meva yg ada di dalam kamar.

"Mbak," petugas itu memberi isyarat pada Meva buat pergi.

Gw dan Meva saling pandang.

"Saya mau dia di sini, Dok. Boleh kan?" pinta gw.

Dia diam sebentar lalu mengangguk.

"Maaf saya suntik dulu ya Mas Ari," lanjut petugas tadi. Di tangannya ada jarum suntik yg sudah siap.

Gw nggak pernah takut sama yg namanya jarum suntik. Tapi kali ini gw cukup nggak bernyali yg kemudian gw alihkan dengan menggenggam tangan Meva sekuatnya. Tusukan jarum di lengan gw terasa ngilu.

Saat itulah gw baru sadar, ada selang kecil di wajah gw. Melintang di antara hidung dan bibir gw. Selang inilah yg rupanya sejak tadi meniup lubang hidung gw. Selang oksigen.

"Gw kenapa Va?" tanya gw memelas, berharap segera menemukan jawaban yg pasti.

"Lo kemaren nggak sadarkan diri selama dua hari Ri," jawab Meva diikuti airmata yg mengalir dari pelupuk matanya.

"Gw nggak inget apa-apa," ujar gw pelan.

"Tapi sekarang lo udah sadar. Nggak usah khawatir lagi," katanya penuh haru.

"Separah itu ya gw?" kata gw setengah frustasi dan sedih.

Gw alihkan pandangan ke dokter yg sibuk menulis di hand table nya.

"Sebenernya saya kenapa, Dok?" tanya gw penuh harap.

Dokter lagi-lagi diam sebelum akhirnya menjawab.

"Mas Ari nggak apa-apa kok. Cuma memang kondisinya lagi lemah banget." jawabnya.

"Kalo emang nggak apa-apa, kenapa saya bisa nggak sadarkan diri Dok? Apa ini ada hubungannya sama ginjal saya?" cecar gw. Sebenernya gw nggak mau nanya ini, gw takut dapet jawaban yg nggak gw harapkan.

"Emh...sebagian besar memang akibat komplikasi di ginjal Mas Ari. Ditambah lagi kurangnya asupan makanan yg baik buat tubuh, jadilah hasilnya seperti ini. Ada sedikit gangguan pada fungsi ginjal Mas Ari," jawab Dokter dengan hati-hati.

Gw terperangah. Gw tatap Meva, berharap menemukan keteduhan yg bisa mengusir kegalauan dalam hati gw saat ini. Tapi sepertinya sia-sia. Kali ini wajah manisnya nggak cukup menenangkan gw.

"Apa itu parah Dok?" tanya gw lagi.

"Ri, Ri, udah lo jangan pikirin itu dulu," Meva menyela. Dia menepuk pelan punggung tangan gw yg sejak tadi digenggamnya. "Yg penting sekarang adalah, lo udah sadar. Itu udah lebih dari cukup!"

"Tolong jawab Dok," gw acuhkan Meva. "Apa sakit saya ini parah?"

"Ari..."

Mendadak ketakutan yg amat sangat datang menyelimuti gw. Bulu kuduk gw merinding. Sekujur badan gw yg sejak tadi lemas, semakin melemas. Keringat dingin masih saja mengucur.

"Please, jangan bilang kalo itu benar..." gw berdoa dalam hati.

Dokter masih diam.

"Apa saya.....Apa saya akan mati Dok??" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut gw.

"Ari!!" Meva setengah berteriak mengingatkan. Dia menangis sesenggukan. "Lo akan baik-baik aja Ri..." katanya.

Kami diam lagi.

"Tenang aja Mas Ari, semua akan membaik dalam waktu dekat..." akhirnya Dokter menjawab.

Gw pejamkan mata gw. Mendadak bayangan-bayangan aneh berkelebatan di benak gw. Wajah-wajah itu, mereka menatap iba gw. Jawaban tadi belum mampu menenangkan gw. Gw punya firasat buruk tentang ini.

Gw takut setakut-takutnya. Rasa yg dulu nggak pernah ada.

Apa yg harus gw lakukan? Oh God, help me please......!!!

"Oke itu hak lo Va," kata gw dengan beratnya. "Kalo memang itu bisa nenangin diri lo."

Meva mengembuskan nafasnya di leher gw. Sensasi merinding langsung merambati tubuh gw. Bukan, bukan hanya karena embusan nafasnya yg lembut. Tapi lebih karena ketakutan gw kehilangan Meva. Gw bisa merasakan jantungnya berdegup pelan di dada gw. Pelukannya nggak begitu erat, cukup menjelaskan keraguan dalam dirinya sendiri. Airmata sempat menggenangi pelupuk mata gw tapi gw menahan diri buat menangis.

"Tapi gw akan sangat berterimakasih kalo lo mau balik lagi ke sini," lanjut gw.

Shit! Airmatanya nggak mau menghilang dari mata gw. Mungkin setelah ini gw harus mencari cara buat menghadapi momen kayak gini.

"Apa lo akan kesepian kalo gw pergi?" tanya Meva.

"Bodoh...." kata gw spontan. "Lo pikir enak maen catur sendirian?"

Meva tertawa pelan.

"Apa lo bakal kangen sama gw?" tanya nya lagi.

"Bodoh banget," gw lalu senyum.

Kami terdiam sejenak.

"Kalo lo kangen sama gw, lo dengerin aja Endless Love."

"Kenapa Endless Love?"

Meva diam sebentar.

"Itu lagu favorit gw."

"......."

"......."

"Apa ini...apa ini artinya...lo nggak akan balik lagi?" gw sedikit terbata.

Meva diam. Dia embuskan lagi nafasnya tepat di tengkuk gw.

"Jangan bodoh," bisiknya pelan. "Lo pikir kenapa Endless Love jadi lagu favorit gw?"

"Mana gw tau?"

Meva tertawa lagi.

"Endless Love," dia menepuk pundak gw pelan. Melepas peluknya, tersenyum dan berlalu ke kamarnya.....



**



Gw terjaga lagi. Pagi-pagi. Di tengah ruangan yg senyap. Cuma detakan jam yg menempel di dinding yg terdengar memenuhi ruangan. Sedikit bergetar gw menyapu pandangan ke penjuru kamar. Masih ruangan yg sama dengan saat pertama kali gw terjaga. Tabung oksigen, selang infus, gorden biru...

Dan Meva.

Meva duduk di kursi, tertidur bersandar di dinding. Dia nampak sangat kelelahan. Pundaknya bergerak naik turun perlahan seirama dengan hela nafasnya. Ah, wajahnya damai sekali...

Dalam keheningan pagi seperti ini, kadang sisi sentimentil dalam diri kita cenderung lebih menguasai hati. Dan gw, entah kenapa mendadak gw kembali diselimuti rasa takut.

Sejujurnya, gw nggak begitu takut mati. Gw selalu yakin kematian hanyalah sebuah tidur panjang. Tempat dimana mimpi-mimpi yg kita bangun selama hidup akan terwujud di kehidupan abadi kelak. Satu-satunya yg gw takutkan dari kematian adalah perpisahan dengan orang-orang sudah begitu dekat dengan gw. Akan sangat aneh mendengar tangis mereka, melihat mereka mengguncang tubuh gw yg terbaring nggak berdaya dan lafaz ayat suci dari mulut mereka, sementara gw cuma bisa terpaku menatap mereka dalam dimensi berbeda. Tangisan gw, teriakan gw, nggak akan pernah sampai di telinga mereka. Sentuhan tangan gw pun nggak akan mungkin mereka rasakan. Lalu melihat tubuh gw terbenam tanah. Hanya sebuah batu yg tertancap di atasnya sebagai tanda bahwa pernah ada gw dalam hidup mereka. Dan perlahan gw melayang. Jauh.

Semakin menjauh.

Sangat jauh..........

"Astaghfirullahaladzim," gw beristighfar mengusir bayangan-bayangan buruk yg tadi menghinggapi gw.

Meva.

Dia masih di sana, terlelap di kursinya. Masih dengan wajah teduhnya.

"Enggak," batin gw dalam hati. Gw nggak boleh serapuh ini. Belum tentu juga kan sakit yg gw rasakan sekarang akan membuat gw mati? Gw percaya Tuhan sudah menentukan waktunya buat semua orang. Dan gw belum mau berpisah sama lo sekarang Va.

Gw akan berusaha semampunya lepas dari kesakitan ini. Gw akan berjuang melawan keadaan ini. Gw yakin gw akan sembuh secepatnya.

Pagi ini mendadak gw kangen maen catur lagi. Gw kangen duduk di beranda sambil main gitar dan becanda bareng lo Va. Gw kangen alun-alun Karang Pawitan. Ah, gw kangen segalanya tentang elo.

Dan dalam keheningan ini sebuah lirik melantun dengan merdunya di kepala gw..


My Love,

There's only you in my life

The only thing thats right..

My First Love,

You're every breath that I take

You're every step I make...


And I want to share all my love with you

No one else will do

Your eyes,

They tell me how much you care

Oh yes,

You will always be,

My Endless Love.....


Ya, lebih dari segalanya yg pernah gw ungkapkan, lo adalah segalanya buat gw...............

Dan waktu pun terus berputar. Setelah dua minggu menginap di Rumah Sakit, gw dinyatakan sembuh tapi masih harus rutin melakukan pemeriksaan ginjal setiap seminggu sekali. Selama opname di Rumah Sakit, gw sengaja nggak mengabari keluarga di rumah karena nggak mau membuat mereka cemas.

Lambat laun kehidupan gw kembali normal. Gw mulai bekerja kembali di minggu keempat sejak gw opname. Meva pun sudah mulai sangat disibukkan skripsi dan tugas akhir menjelang wisuda. Kami jadi semakin jarang bertemu dengan kesibukan yg kami jalani. Meva sering pulang malam. Sementara gw karena memang masih dalam masa penyembuhan, gw butuh lebih banyak waktu istirahat. Gw jadi sering tidur di bawah jam sembilan, suatu hal yg dulunya sangat jarang gw lakukan. Tapi meskipun sibuk, Meva masih menunjukkan perhatiannya ke gw. Hampir tiap pagi dia bangunin gw begitu masuk waktu Subuh, dan selesai sholat biasanya selalu ada secangkir teh hangat dan nasi bungkus yg dibeli Meva buat gw. Meva menyempatkan menemani gw sarapan dan ngobrol-ngobrol ringan sebelum berangkat kerja. Setelah itu biasanya dia tidur lagi dan menjelang siang berangkat kuliah. Praktis waktu buat gw ketemu Meva cuma di pagi hari. Tapi gw maklum dan kadang-kadang gw bantu dia sebisanya. Dari situlah gw semakin bisa menempatkan Meva sebagai sosok wanita hebat yg tentu saja, punya tempat tersendiri di hati gw.

Dan Lisa, dia pun semakin disibukkan kegiatannya menjelang keberangkatan ke Jepang. Gw dan Lisa sudah hampir lost contact setelah gw keluar dari Rumah Sakit. Tapi gw masih bisa ngerasain kok, perhatian Lisa nggak pernah berubah sedikitpun meski kami jarang berhubungan langsung.

.....


Awal Juni 2004. Beberapa hari sebelum keberangkatan Lisa ke negeri matahari terbit.

Sudah sejak lama Lisa minta gw nganter dia ke bandara. Setelah mendapat ijin dari sachou, gw rencananya ikut dalam rombongan yg berangkat ke Jakarta pertengahan bulan nanti.

Gw lagi nyari baju mana yg seharusnya gw pake pas hari H, ketika gw menemukan sesuatu di sudut lemari baju gw. Sebuah papan catur kecil dari bahan plastik bermagnet.

Sejenak gw terdiam mengamati papan catur di tangan. Ingatan gw menari-nari dalam kepala. Dan momen-momen itu pun seperti terulang lagi, diputar dalam sebuah tape usang. Momen bersejarah yg penuh kenangan, ketika gw baru kenal yg namanya Mevally, si cewek aneh yg punya kebiasaan aneh. Gw senyum-senyum sendiri.

Lama gw pandangi deret kotak hitam putih itu. Entah apa yg merasuki otak, perhatian gw sudah teralih sepenuhnya ke papan catur ini. Gw duduk dan gw letakkan di lantai lalu gw susun pion-pion sesuai pos nya. Diam-diam gw tersenyum dan berharap Meva ada di hadapan gw, mendorong maju bidak di depan raja dan di depan kuda, langkah awal favoritnya tiap maen catur bareng gw. Tapi begitu nengok keluar dan mendapati lampu kamarnya mati, tanda bahwa yg punya kamar belum balik, khayalan itu menguap. Gw lalu teringat sebuah 'filosofi catur' yg pernah membuat Meva sangat termotivasi. Sebuah filosofi dadakan yg sebenernya cuma ocehan gw aja saking stres nya gw karena kalah terus. Hahaha.

Tapi harus gw akui, filosofi itu secara nggak langsung juga memotivasi gw sendiri. Biar bagaimanapun gw yakin semua orang ingin mendapatkan yg terbaik dalam hidupnya. Dan Meva, gw yakin sepenuh hati, suatu hari nanti dia akan jadi orang yg hebat dan disegani. Gw yakin akan ada saatnya nanti dia dipandang utuh sebagai dirinya dan bukan hanya dari masa lalunya yg kelam. Sepenuhnya gw percaya, Meva mampu melewati kotak demi kotak nya untuk sampai di kotak terakhir dan ber metamorfosa menjadi 'menteri'.

Gw masih duduk melamun dengan papan catur di hadapan gw. Gw tarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan.

Hmm kalau saja nggak ada papan catur ini, mungkin gw nggak akan pernah sedekat ini dengan Meva. Dan soal filosofi itu, biarlah tiap orang menerimanya sesuai dengan pemahamannya masing-masing. Karena hari ini, besok, atau lusa, akan ada bidak yg berubah jadi menteri. Tinggal bagaimana dan sekuat apa bidak itu melewati kotak-kotaknya.

tiba saat mengerti
jerit suara hati
yg letih meski mencoba melabuhkan
rasa yg ada

mohon tinggal sejenak,
lupakanlah waktu..
temani airmataku..
teteskan lara..
merajut asa..
menjalin mimpi..
endapkan sepi-sepi.....



Gw pulang sangat larut dari mengantar Lisa ke Jakarta ketika sayup-sayup terdengar lagu dari kamar Raja di lantai dua. Sejenak terpikir buat mampir ke kamarnya, tapi gw urungkan niat gw. Raja pasti baru balik kerja dan gw terlalu lelah buat ngobrol-ngobrol. Gw pengen buru-buru tidur. Besok hari Sabtu, jadi gw bisa 'balas dendam' sepuasnya.

Gw naiki tangga tanpa suara sedikitpun. Semua penghuni kosan pasti sudah terlelap jam segini. Maka gw cukup terkejut saat menemukan Meva sedang duduk memeluk lutut di atas tembok beranda, asyik menatap langit sambil mendengarkan lagu dari headphone di discman nya.

Gw hampiri dia yg rupanya nggak menyadari kedatangan gw.

"Hay Va," gw menyapanya. "Kok belum tidur?"

"......."

Meva terlalu asyik dengan lagu di telinganya. Mulutnya bergerak pelan tanpa suara mengikuti lagu yg didengarnya.

"Woyy," gw tarik lepas headphone dari telinganya.

"Eh gw kirain siapa!" Meva terkejut melihat gw. Dia turun dan berdiri di sebelah gw. Tersenyum dengan manisnya sambil melipat tangan di depan dada. Gw liat arloji gw menunjukkan pukul setengah satu pagi.

"Lo belum tidur jam segini?" tanya gw.

"Menurut lo, gw tidur belum?" dia menaikkan kedua alisnya.

"Maksud gw, kenapa jam segini lo belum tidur?" pandangan gw menyapu seluruh kamar di hadapan gw. Semua penghuni benar-benar sudah tidur, yg terdengar cuma suara jangkrik dan sayup-sayup musik dari kamar Raja.

"Gw belum ngantuk," jawab Meva sambil menggeliatkan badan dan menguap lebar.

"......."

"Lagian gw juga mau sedikit bernostalgia di sini," dia balikkan badan memandang sawah di belakangnya. "Udah lamaaa banget kayaknya gw nggak nongkrong di sini lagi. Gw kangen sama bau embun pagi yg menyegarkan kayak gini. Gw kangen liat padi-padi melambai ditiup angin. Ah, gw kangen masa-masa gw belum sesibuk ini!"

"Oh..." gw tarik kursi dari depan kamar dan duduk di samping menghadap Meva. "Tadi lo balik kuliah jam berapa?"

"Baru dua jam yg lalu," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan.

"Wah sibuk banget ya dirimu, lebih sibuk dari wanita karir malah," canda gw.

Meva tertawa pelan.

"Capek tau. Kalo bisa nggak sibuk mah gw juga nggak mau sibuk kayak gini," lanjutnya.

"Yah ini kan demi masa depan lo sendiri.."

Meva tersenyum. Kali ini dia menatap gw dengan manis.

"Semoga yg gw lakukan sekarang ini ada artinya yaa..." ujar Meva.

"Pasti dong," gw mengamini.

"Huuh nggak kerasa tinggal dua bulan lagi gw di sini. Kayaknya baru kemaren deh gw dateng ke kosan ini, minta kamer yg di bawah, malah dikasih yg di atas sini," sejenak Meva menatap pintu kamarnya lalu kembali menatap langit. "Makanya dulu gw sampe ngekos di dua tempat. Awalnya gw nggak begitu suka tempat ini. Sebelum ketemu loe..." dia melirik gw dan mengedipkan mata kirinya.

Gw tertawa pelan menutupi grogi nya gw. Kalau saat itu ada kaca gw yakin gw bisa liat wajah gw merah banget.

"Hadeh...gw inget banget, dulu awal kenal elo, gw ngerasa lo itu nyusahin banget! Banyak maunya!" gw tertawa lagi sementara Meva cemberut malu.

"Lo juga ah," sergahnya. "Suka nggak mau nepatin janji. Kudu dipaksa dulu biar mau."

"Eh siapa juga yg janji? Ada juga kan elo yg bikin deal sepihak!"

"Tapi kan elo nya nggak nolak?? Jadi yaudah gw anggep lo setuju!"

"Tuh kan masih aja kayak gitu..."

"Hahaha! Tapi gw ngangenin kan? Hayo ngaku aja...waktu gw nggak ke sini setengah tahun, lo kangen gw kan! Waktu nungguin lo di rumah sakit si Gundul cerita ke gw tuh! Katanya lo sampe mau mewek gitu! Hayo ngaku.....??" Meva menjulurkan lidahnya.

"Waduh kebangetan tuh si Gundul buka kartu gw!"

Meva tertawa puas. Ah, shit! Gw nggak bisa berkilah lagi kalo udah terpojok kayak gini. Pengen rasanya bilang kalo semua itu bohong, tapi sebagian dari diri gw justru bahagia Meva tahu hal ini.

"Ya ya ya gw emang kangen kok," gw mencoba beralibi. "Tapi cuma sedikit. Sedikiiiiiit banget!"

"Bodo amat! Tetep aja namanya kangen!" Meva melet lagi. [Duh, ngegemesin^^]

Gw senyum-senyum sendiri. Lelah gw mendadak hilang berkat obrolan pagi ini.

"Eh kira-kira setelah gw wisuda nanti, kita masih bisa kayak gini enggak yaa?" tanya Meva tiba-tiba.

Mendadak hati gw mencelos. Gw seperti baru sadar, tinggal kurang dari dua bulan lagi Meva wisuda. Setelah itu, yah gw belum bisa membayangkannya.

"Gw masih pengen nikmatin masa-masa bebas kayak gini," Meva merentangkan kedua tangannya. Dihirupnya nafas dalam-dalam. "Ah, seandainya gw bisa menghentikan waktu!"

"......."

Kami lalu terdiam. Meva menurunkan tangannya.

"Eh Ri gw mau mastiin, wisuda gw nanti lo bisa hadir kan?" katanya.

"Pasti," gw sedikit terenyuh menjawabnya.

"Makasih banyak yak!" Meva menepuk pipi gw pelan dan berlalu ke kamarnya.

Tinggal gw, dan sayup-sayup alunan lagu dari kamar Raja di keheningan malam.

cinta kan membawamu kembali.....

Gw buka kedua mata gw. Dengan nafas sedikit terengah gw gapai gelas di kiri gw dan menuang air ke dalamnya. Tenggorokan gw langsung terasa dingin begitu air mengalir masuk ke dalam tubuh. Selama beberapa saat gw duduk terdiam dalam kamar yg gelap. Gw bangun lalu membuka pintu kamar, dan hembusan angin malam yg sejuk langsung menerpa wajah dan tubuh gw. Gw berjalan menuju beranda. Jantung gw berdetak cukup kencang.

Gw butuh sesuatu untuk menenangkan hati gw. Gw kembali ke kamar, menyulut sebatang rokok, kemudian kembali lagi ke beranda. Ah, selalu menyenangkan rasanya berdiri dari sudut ini dan memandang bulan sabit di atas sana. Ditemani angin malam yg mengembus sejuk, gw berdiri diam beberapa menit.

Kenapa?

Lagi-lagi mimpi itu...

Kenapa setiap gw tidur selalu memimpikan mimpi yg sama? Sudah hampir seminggu ini, kejadiannya selalu sama. Ini bukan yg pertama kalinya gw terjaga di tengah malam dan kemudian berdiri sambil merokok di beranda. Sejak empat malam sebelum ini, malam ini adalah malam ke lima, gw selalu melakukan beberapa hal yg sama meski waktunya relatif berbeda. Kalau sudah terjaga seperti ini, sulit buat gw kembali tidur. Biasanya gw akan menghabiskan pagi di beranda dan masuk ke kamar begitu adzan subuh terdengar. Begitulah yg terjadi selama seminggu ini.

"......." gw usapi airmata yg hampir mengering di pipi gw. Gw nggak sadar gw terjaga dengan airmata yg terasa basah di ujung mata. Kali ini gw menangis dalam mimpi gw...

Jam setengah dua pagi, setengah jam lebih cepat dari waktu kemarin gw terjaga. Rokok di tangan gw semakin pendek, tapi gw belum mau membuangnya. Gw masih ingin menikmati racun yg entah kenapa hampir selalu bisa menenangkan gw. Praktis selama seminggu ini gw seperti jadi seorang pecandu rokok lagi. Padahal kebiasaan ini sudah benar-benar gw tinggalkan sejak keluar dari Rumah Sakit.

Apinya semakin mendekati ujung. Gw menyerah dan akhirnya gw lempar puntung rokoknya sejauh gw bisa melempar. Gw lalu terdiam lagi.

Kenapa? Kenapa mimpi itu selalu hadir di tidur gw?

"......."

Gw terduduk lemas di kursi di bawah jendela kamar. Mata gw menghadap lurus pintu kamar Meva.

"Apa arti mimpi itu?" gw bertanya dalam hati.

Gw gelengkan kepala, menolak argumen yg sempat melintas di benak gw. Nggak. Mimpi hanya bunganya tidur.

"......."

Gw sudah jauh lebih tenang sekarang dan bisa berfikir jernih. Tanpa sadar gw berjalan menuju pintu kamar Meva, memutar handle nya, dan tersenyum kecil begitu mendapati pintunya nggak dikunci. Meva ada di dalam sana. Sedang menikmati mimpinya. Terpejam sambil memeluk sebuah guling hijau. Wajahnya tampak damai sekali.

Gw berjalan masuk dan duduk di sampingnya. Ah, wajahnya terlihat polos dan meneduhkan.

Lagi-lagi bayangan mimpi itu berkelebat di kepala gw. Buru-buru gw buang jauh-jauh.

Setelah beberapa kali menghela nafas gw tersenyum. Nggak mungkin. Mimpi itu nggak mungkin terjadi. Itu mimpi yg aneh, dan nggak akan pernah terjadi di kehidupan nyata.

Gw menggeleng sendiri.

Tanpa sengaja gw melihat kalender di atas rak buku. Kalender ini sudah hampir penuh coretan di tiap angkanya dan hanya menyisakan beberapa lagi.

Juli hampir habis. Itu artinya tinggal tersisa sekitar tiga minggu lagi sebelum hari wisuda Meva. Hati gw mencelos menyadari hal ini.

Gw cuma terdiam. Dalam hati gw memaki ketidakberanian gw selama ini. Gw cuma seorang pecundang. Gw nggak pernah mampu mengungkapkan isi hati gw ke Meva. Bahkan di hari-hari terakhirnya di sini, gw belum punya cukup keberanian menyatakannya. Bodoh sekali gw.....

Tapi gw bukan pecundang! Gw cuma takut...

Gw terlalu takut kehilangan Meva. Gw nggak mau pengakuan gw nantinya malah merusak apa yg sudah ada selama ini.

"Lalu apa bedanya dengan pecundang??" sebagian dari diri gw kembali memaki diri gw sendiri.

"......."

Gw sayang elo Va. Karena itu gw nggak mengungkapkan perasaan gw ke lo, karna gw yakin lo pun bisa merasakan itu. Lo selalu bisa lebih tau bahkan dari diri gw sendiri.

"......."

Gw inget beberapa hari yg lalu Meva pulang dengan sangat gembira. Bahkan dia sempat berteriak saking bahagianya. Dia menceritakan tentang sidang nya yg berjalan mulus, dan dia juga cerita banyak tentang bahagianya dia setelah berhasil menamatkan study yg sempat terkatung-katung.

Oh God, sampai sekarang gw nggak pernah melupakan hari itu. Hari dimana Meva dengan bahagianya tertawa lepas. Momen itu terekam dengan baik di kepala gw.

Huuffft......Sekali lagi gw pandangi Meva. Gw singkirkan rambut yg menutupi wajahnya. Ahh, tak pernah bisa dijelaskan dengan kata-kata, bahagianya gw menatap wajahnya. Gw usapi rambutnya pelan, lalu gw kecup keningnya.

Sebagian diri gw berontak dan menyalahkan ini, tapi sebagian lainnya menangis. Dan sebelum perasaan gw semakin nggak karuan, gw kembali ke kamar gw. Bersembunyi di balik selimut, ketika sebuah pesan singkat masuk ke handphone gw.

-dasar kebo...gw belum tidur tau^^-

Gw tersenyum kemudian mencoba pejamkan mata sambil berharap mimpi kali ini akan indah...............

Malam itu gw ke beranda dengan secangkir kopi dan sedikit cemilan di piring. Gw duduk di kursi favorit gw, lalu mengirim sms ke Meva.

-gw di beranda nih. keluar donk temenin gw ngobrol...-

Dan kurang semenit kemudian Meva sudah duduk di tempat favoritnya di tembok beranda. Dia mengenakan setelan kaos dan celana jeans panjang hitam. Rambutnya disanggul ke atas, kali ini menggunakan konde berbentuk sumpit warna cokelat. Tapi yg membedakan malam ini adalah Meva memakai soft lens hijau. Dengan make up tipis dan seadanya dia tampak sederhana tapi manis.

"Nggak lembur?" tanyanya sambil mencicipi cemilan.

Gw jawab dengan gelengan kepala.

"Kok gw nggak denger suara loe dateng yah tadi sore?" tanyanya lagi, heran.

"Gw pake 'silent mode' soalnya," jawab gw lalu tertawa.

"Eh, kok tumben lo ngopi Ri?" Meva mengangkat cangkir kopi gw. "Bukannya lo nggak suka kopi ya?" dia menaruh lagi cangkirnya.

"Gw suka kok. Cuma jarang aja ngopinya."

"Oooh...baru tau gw. Duh kemana aja yak gw!" Meva menepuk jidatnya seolah baru tau kalo gw suka kopi adalah sebuah dosa besar buatnya.

Sejenak kami terdiam.

"Eh nanti lusa jangan sampe lupa yak!" Meva mengingatkan soal wisudanya.

Gw tersenyum lalu menjawab, "Beres itu mah. Gw udah ambil cuti dua hari, besok sama lusa. Jadi gw bisa nemenin lo pas wisuda."

Meva tertawa kecil dan mendadak seperti mengusap airmata di matanya dengan jari telunjuknya.

"......."

"Nggak papa kok, nggak papa," Meva buru-buru menjawab pertanyaan dalam hati gw. "Saking senengnya nih gw sampe mendadak nangis."

"......."

"...Ri, sebenernya dari dulu gw berharap banget, nyokap gw bisa hadir di wisuda gw. Gw pengen nyokap liat anaknya berhasil menamatkan kuliahnya. Buat gw itu berarti banget, sebagai langkah awal gw nanti ngebangun kehidupan gw sendiri," kali ini Meva menggunakan lengan kaosnya usapi airmatanya yg perlahan jatuh di pipinya yg halus.

Gw terenyuh, dan memori di kepala gw memutar adegan wisuda beberapa tahun yg lalu, dan dalam hati gw bersyukur di hari itu gw bisa bersama kedua orangtua gw lengkap. Sebuah momen yg sangat berharga dan nggak akan gw lupakan.

"......."

"Tapi gw yakin Mamah di sana juga pasti bangga ya liat gw wisuda," Meva menghibur dirinya sendiri.

"Dan akan lebih bangga lagi kalo setelah wisuda ini, lo bisa menentukan masa depan lo dengan baik," sahut gw.

Meva mengangguk semangat mengamini pernyataan gw.

"Gw pasti buktiin itu," ucapnya lebih ke dirinya sendiri. "Gw anggap wisuda ini adalah kotak pertama gw, dan masih banyak kotak lagi menuju kotak terakhir buat jadi menteri."

Kami berdua saling pandang.

"Lo masih inget kan soal 'menteri' yg lo bilang dulu?" Meva mengingatkan.

"Masih," jawab gw pendek.

Meva tersenyum lagi. Dia turun, berjalan mengelilingi kamar-kamar yg ada di lantai atas sini, dan kembali ke tempatnya. Berdiri lalu tersenyum lebar.

"Hmmm....Suatu hari nanti, kalo gw udah nggak di sini lagi, gw akan merindukan momen-momen seperti ini..." ucapnya menatap lurus ke depan.

"......."

"......."

"Apa ini artinya lo bakal pergi, Va?"

Meva menoleh ke gw.

"Kecuali ada yg 'menahan' gw buat tetap di sini," dia mengedipkan sebelah matanya lalu tertawa.

"Ohya? Kalo gitu apa yg bisa menahan lo tetap di sini?"

"......." Meva diam berpikir, dengan gaya tolol khas nya.

"Masa lo nggak tau sih?" tanyanya kemudian.

Gw menggeleng. Nggak mengerti.

"Yaudah kalo gitu cari tau dulu deh. Hehehe..." dia menjulurkan lidahnya.

Gw mendengus pelan.

"Wah ada yg lagi pacaran nih kayaknya," tiba-tiba si Gundul Indra muncul di ujung tangga, dengan kantong hitam di tangannya. Indra, yg sejak married nggak pernah membiarkan rambutnya gundul lagi, berjalan menghampiri kami. Gw menjabat tangan Indra semangat.

"Boleh gabung? Nih gw bawa softdrink sama cemilan biar nggak asem tuh mulut," Indra meletakkan kantongnya di lantai. Dia duduk di ujung tembok dan bersandar ke dinding kamar. Menyulut sebatang rokok lalu nyengir lebar.

"Denger-denger ada yg mau wisuda ya," katanya melirik Meva.

Meva mengangguk semangat, dan mulai ngoceh menceritakan gimana deg-deg an nya dia waktu sidang dulu. Indra dan gw sesekali tertawa tiap mendengar konyolnya Meva ngejawab pertanyaan dosennya. Topik pembicaraan selain itu tentu saja, nostalgia masa dulu kami bareng di kosan ini.

"By the way tumben lo ke sini Dra, Kak Dea nggak nyariin ya emangnya?" tanya Meva setelah panjang lebar cerita.

"Gw udah ijin kok, sengaja mau reunian sama kalian. Nggak tau kenapa seharian ini gw kangen banget sama kosan ini! Apalagi sama kamer gw," Indra menunjuk kamar yg dulu ditempatinya. Dia melamun sebentar lalu tersenyum. "Seribu hari yg indah rasanya nggak akan sanggup mengganti masa-masa itu ya. Dua tahun yg akan datang belum tentu kita bisa kayak gini lagi."

Ah, gw jadi mellow. Dan akhirnya malam itu kami bernostalgia di beranda sempit ini. Satu hal yg gw sadari malam itu adalah, entah kapan waktunya, semua ini akan berlalu. Dan gw selalu yakin, ini semua akan berakhir indah nantinya.......

Dan akhirnya hari itu pun tiba...

Gw duduk dengan tenang di dalam aula besar yg sudah riuh rendah oleh orang banyak. Gw duduk di lima deretan paling belakang dekat pintu keluar di deret selatan kursi yg menghadap sebuah panggung cukup besar setinggi setengah meter. Deretan depan diisi para wisudawan yg sudah siap dengan kostum toga hitam-hijau nya. Sementara para undangan seperti gw ditempatkan di deret belakangnya.

Setelah berjam-jam mendengarkan 'sepatah-dua patah kata' super membosankan dari jajaran rektorat dan para profesor, di atas panggung sana sedang dimulai acara inti pengukuhan wisuda. Gw senyum-senyum sendiri inget momen gw wisuda dulu. Gw bisa merasakan aura kebahagiaan mereka di dalam aula ini.

Meva, duduk di deret ke dua dari depan. Beberapa kali dia menoleh dan melempar senyum ke gw. Benar-benar pemandangan yg menakjubkan, melihatnya duduk di sana berbalut jubah toga hitam-hijau. Senyum kebahagiaan selalu hadir di wajahnya yg manis, pertanda bahwa hari ini memang hari yg membahagiakan. Bukan cuma buat dia sendiri, tapi buat gw pun hari ini adalah hari yg sakral. Memang, dengan wisuda kita belum punya jaminan apapun tentang masa depan kita. Wisuda juga belum bisa jadi ukuran kesuksesan seseorang. Tapi gw rasa semua pasti setuju bahwa wisuda adalah langkah pertama untuk menjalani hidup yg sebenarnya. Di sinilah titik awal yg menentukan seperti apa masa depan kita kelak. Dan tentu saja, langkah awal yg baik akan selalu menghasilkan perjalanan yg baik. Biar bagaimanapun sejauh-jauhnya perjalanan, selalu dimulai dari langkah pertama...

Gw tetap duduk tenang meski kaki gw terasa panas karena duduk berjam-jam dalam ruangan panas ini. Tapi melihat betapa bahagianya Meva di depan sana, lelah dan bosan karena menunggu lama, seperti lenyap tak berbekas. Gw benar-benar merasakan kebahagiaan yg dirasakannya hari ini. Perjuangannya selama ini melewati masa-masa sulit dalam hidupnya, mulai menghadirkan titik cerah. Dengan sedikit lagi perjuangan, gw yakin Meva akan mendapatkan apa yg dia impikan selama ini.

Lihat ke langit luas
Bersama musim terus berganti
Tetap bermain awan
Merangkai mimpi dengan khayalku
Selalu bermimpi dengan hadirku...

Entah kenapa tiba-tiba lagu ini terngiang di benak gw......

Di atas panggung MC sudah memanggil nama Meva. Meva berdiri, menoleh ke gw, gw balas dengan anggukkan kepala, lalu dia mulai berjalan menuju panggung.

Pernah kau lihat bintang
Bersinar putih penuh harapan
Tangan halusnya terbuka
Coba temani dekati aku
Selalu terangi gelap malamku..

Meva sudah di atas panggung sekarang. Dan di sinilah momen seremonial yg nggak terlupakan itu terjadi. Pemindahan tali toga sebagai simbol bahwa setiap wisudawan kini harus lebih memperkaya ilmu dalam otak kanan mereka, pengalungan selendang gelar, kemudian dilanjutkan penyerahan gulungan sertifikat yg diikat dengan seutas pita hijau. Urutan kejadian ini terekam dengan baik dalam ingatan gw.

Hmmm sulit dijelaskan rasanya melihat bahagianya Meva di depan sana. Dia mengangkat gulungan kertas di tangannya di tangannya dengan senyum penuh kemenangan. Gw berdiri dari duduk untuk kemudian bertepuk tangan dan spontan diikuti semua orang dalam ruangan ini.

Meva bergegas turun dari panggung, sedikit mengangkat jubah bawahnya, dan berjalan cepat ke arah gw. Kami bertemu di sisi luar kursi, dan saat itulah Meva memeluk gw. Dia menangis di pundak gw sampai nggak menyadari topinya terjatuh. Mau nggak mau gw jadi terharu juga. Mata gw berkaca-kaca menikmati momen bahagia ini.

"......."

"......."

Selama beberapa saat Meva larut dalam tangis bahagianya.

"Hari ini gw bangga sama lo Va," bisik gw di telinganya.

"......."

Meva cuma memukul-mukul pundak gw pelan.

"Thanks Ri..." sahut Meva di sela isaknya. "Hari ini gw bahagia banget! Ini hari terindah di hidup gw! Thanks yah buat semuanya!!!"

Gw tersenyum, tanpa berusaha menyembunyikan rasa haru yg membubung dalam dada gw.

"Gw selalu bahagia kalo lo bahagia Va..." gw sampe speechless.

"Thanks Ri......." Meva mempererat pelukannya.

Dan hari itu pun memang benar-benar jadi hari yg paling membahagiakan. Semua kerja kerasnya selama lebih dari lima tahun ini terbayar dengan kebahagiaan dan nilai kepuasan yg nggak akan pernah sepadan dengan apapun. Gw benar-benar bisa merasakannya, ketika detak jantungnya berdetak di dada gw. Ketika nafasnya berembus di leher gw. Dan ketika jari-jari tangannya dengan hangat menggenggam tangan gw erat.

Saat itulah gw sadar, Meva adalah ciptaan terindah yg pernah Tuhan ciptakan di hidup gw...


Dan rasakan semua bintang
Memanggil tawamu terbang ke atas
Tinggalkan semua
Hanya kita dan bintang...

Suatu malam di awal Januari tahun 2005. Waktu itu hampir lima bulan setelah wisuda Meva...

Bulan malam ini bulat utuh dan terang. Sinarnya memantul pada bagian luar benda kecil yg tengah gw pegang. Dia berputar lemah seiring gerakan tangan gw. Sesekali asap putih dari mulut gw menghalangi pandangan benda ini dari mata gw.

"Bintang keberuntungan," gw bergumam pelan menatap putarannya yg semakin melemah. Setelah beberapa saat berputar-putar dia berhenti bergerak. Gw taruh di telapak tangan kiri gw.

Sebuah gantungan kunci kecil dan manis, dengan bandul berbentuk bintang. Di bagian tengahnya ada ukiran huruf 'M'. Agak samar dan nyaris hilang. Gantungan kunci ini jelas sudah lama dipakai. Ada bagian-bagian di sisinya yg mengelupas. Beberapa detik lamanya gw pandangi lekat-lekat bintang kecil ini.

Dan sekali lagi gw putar.

Lalu ingatan gw melayang mundur beberapa langkah ke belakang, dan gw mendapati diri gw ada di dalam kamar gw, sedang menatap benda yg sama dg yg gw pegang sekarang.

Waktu itu beberapa hari setelah wisuda Meva...

"Itu bintang keberuntungan," suara Meva terdengar halus di telinga gw seolah gw benar-benar melewati lubang waktu dan kembali ke masa lalu.

Gw alihkan pandangan gw ke sosok wanita yg sudah mengisi hari-hari gw beberapa tahun terakhir ini. Meva duduk bersimpuh di hadapan gw, menatap gw dengan gaya tengilnya yg khas.

"Gw dapet dari Oma gw," lanjutnya.

"Wah Oma lo baik juga yah. Banyak mewariskan barang antik buat cucunya," gw berkomentar.

Meva mengangguk semangat.

"Oma gw memang Oma terbaik yg pernah ada di dunia ini," Meva nyengir lebar.

"......."

"Gw dikasih itu waktu pertama gw balik ke Indonesia. Tadinya gw pikir Oma gw bohong soal bintang keberuntungan, tapi beberapa kali bintang ini menyelamatkan gw."

"Ohya? Kok bisa?" gw mulai tertarik untuk mendengar lebih lanjut.

Sekali lagi Meva mengangguk dengan semangat.

"Tiap Natal yg gw lalui, cuma gw lewatkan di kamar seorang diri sambil curhat sama bintang ini. Terakhir, waktu gw berniat balik ke Jakarta pas malem natal beberapa tahun yg lalu...bintang ini seperti bicara ke gw dan menahan gw buat tetap di sini. Dan ternyata emang bener, lo nggak jadi terbang kan waktu itu? Coba kalo gw balik, mau tidur di mana loe malem itu?" Meva lalu tertawa renyah.

Gw senyum sendiri. Walau nggak sepenuhnya percaya soal 'keberuntungan', tapi gw percaya bintang ini punya makna sendiri buat Meva.

"Sekarang," kata Meva lagi. "Gw pengen lo jaga bintang ini baik-baik yah.."

Gw kernyitkan dahi.

"Ini, buat gw gitu maksudnya?" gw memastikan.

Meva mengangguk lagi.

"Anggep aja bintang ini adalah gw," ujarnya. "Lo taroh di dompet lo atau dimana kek. Jadi tiap lo kangen sama gw lo tinggal liat aja bintangnya..."

"Terus lo akan dateng gitu?" gw tau ini adalah pertanyaan bodoh dan klise yg cuma ada dalam novel-novel bertema cinta. Tapi entah kenapa gw pun mulai merasa kisah yg terjadi antara kami berdua layaknya sebuah roman yg ditulis seorang pujangga. Maka gw biarkan pembicaraan kami seperti itu.

"Enggak juga laah," Meva membuyarkan lamunan gw. "Gila aja kalo gw bisa ngilang dan dateng tiap lo liat bintangnya."

"Yaudah kalo gitu gw liat bintangnya semenit sekali deh, biar lo nya capek bolak-balik!"

Dan kami pun tertawa lepas...

Malam itu, persis seperti malam saat gw sekarang duduk di beranda ditemani bulan purnama yg cerah. Hanya ditemani bulan purnama yg cerah.....

Tanpa Meva......

Tanpa suaranya yg memekakan telinga.....

Dan tanpa sosoknya yg dulu dengan mudah gw temui di samping gw......

Gw tatap pintu kamar di hadapan gw.

Di balik pintu ini, betapa gw punya banyak kenangan. Di balik pintu ini, pernah ada seorang wanita 'aneh' yg berhasil membuat gw memahami arti cinta sesungguhnya. Di balik pintu ini, pernah gw simpan sebuah harapan tentang indahnya hidup. Dan di balik pintu ini juga, pernah ada sebuah kisah tentang sepasang kaos kaki hitam.....

Empat bulan berlalu setelah kepergian Meva. Dia memutuskan pulang ke Jakarta untuk kemudian bersama-sama Oma kembali ke Padang dan memperbaiki hubungan dengan keluarga besarnya yg selama ini renggang. Soal karir, dia juga memilih untuk mencoba peruntungan di tanah kelahiran ibunya.

Nggak banyak yg bisa gw lakukan buat menahan Meva untuk tetap di sini. Sudah waktunya dia menemukan hidupnya sendiri. Perbedaan yg ada antara kami, ternyata sangat mempengaruhi pilihan gw. Gw belum siap sepenuhnya menghadapi perbedaan itu.

Dan kini, setelah kepergiannya, gw cuma bisa terdiam mengenang waktu yg pernah terlewatkan antara kami. Gw nikmati lagi menit-menit itu, yg gw sadar sepenuhnya, nggak akan pernah kembali lagi.

"......."

Gw berdiri, menggenggam erat bintang di tangan gw. Tanpa gw sadar airmata mengalir mulus di kedua pipi gw. Terlambat buat gw mengusapnya. Airmata ini mengalir begitu saja tanpa sempat gw tahan. Airmata penyesalan yg gw sadari sepenuhnya, takkan pernah berarti apa-apa.

Entah berapa lama gw berdiri dalam diam. Gw tatap langit hitam yg menutupi bintang-bintang dari peraduannya. Hemmmppph.... Dan belum pernah gw lihat langit segelap ini....................

Seandainya pernah kenal dan hidup bersama Meva adalah sebuah mimpi, maka gw yakin itu adalah mimpi paling indah yg pernah gw temui di hidup gw. Kadang gw berharap nggak akan pernah terjaga dari mimpi indah ini. Tapi gw tau, semua hal di dunia ini ada masanya. Bukankah ketika kita memulai sesuatu, justru sebenarnya kita sedang maju satu langkah untuk mengakhirinya? Waktu hanya sebuah pilihan dari Tuhan untuk manusia. Ada yg bisa menggunakannya dengan bijak, tapi banyak juga yg nggak demikian. Satu yg pasti, waktu nggak pernah berputar mundur, meski hanya sedetik. Dan gw seharusnya lebih bisa menerima apa yg sudah jadi pilihan gw. Tapi kadang hati kecil ini seperti nggak mau berhenti merongrong untuk terus menyesalinya.

Airmata yg pernah gw teteskan untuk seorang Meva, adalah bukti betapa sebenarnya gw belum sanggup mengosongkan sebelah hati gw yg selama empat tahun ini terisi oleh sosoknya. Gw sudah sangat terbiasa mendengarkan celotehannya. Lengan gw mungkin sudah ratusan kali dicubit setiap gw menggodanya. Maka sangat aneh rasanya ketika pagi-pagi gw terjaga dan mendapati kamar gw begitu sepi. Bukan hanya kamar gw, tapi jauh dalam hati gw hari-hari ini gw merasakan kekosongan yg menyakitkan. Kekosongan yg hanya akan terobati dengan kehadirannya di samping gw.

Gw kangen ucapan selamat pagi yg khas dari Meva. Gw kangen tingkah usilnya kalo lagi nggak ada kerjaan. Gw kangen tatapan matanya. Gw kangen semua hal yg ada pada dirinya...

Gitar tua warisan Indra, yg biasanya kami mainkan setiap mengisi waktu malam, sekarang hanya tersudut diam di pojok kamar. Beberapa kali pernah gw mainkan lagu yg sering kami nyanyikan bersama, tapi semenjak kepergian Meva gitar ini seperti kehilangan nadanya. Senar-senar yg gw petik nggak mampu lagi menghadirkan nada indah. Lirik yg gw nyanyikan pun menguap begitu saja tanpa makna yg jelas.

Kemudian gw melangkah ke beranda. Berdiri menatap langit malam dengan ribuan bintangnya. Tapi nggak pernah lagi gw temui indahnya malam seperti dulu. Bintang-bintang itu seperti redup dan tenggelam dalam gelapnya langit malam. Mereka seperti enggan memancarkan lagi sinar terindahnya.

Tapi gw masih bisa melihatnya. Gw bisa melihat mereka. Dua orang yg sedang asyik melewatkan malam dengan bermain catur di beranda. Seorang laki-laki, seperti yg selalu gw lihat setiap gw bercermin. Seorang lagi wanita, dengan stoking hitamnya yg khas. Mereka nampak sangat menikmati momen itu. Berbincang dan tertawa lepas setiap satu dari mereka mengeluarkan banyolannya.

Tanpa sadar gw tersenyum kelu menatap mereka.

Lalu sosok keduanya berangsur-angsur menjadi tipis dan transparan, sebelum akhirnya benar-benar menghilang dari benak gw......

"Kejadiannya selalu sama," suara Indra membuyarkan lamunan gw. "Ada yg pergi untuk kembali, tapi ada juga yg pergi dan nggak mungkin kembali."

Gw termenung sesaat.

"Tapi sebelum pergi Meva bilang dia akan balik lagi," gw mencari pembenaran dari harapan dalam hati gw. Meskipun gw sendiri nggak yakin dengan hal itu.

Indra mendesah pelan. Dia hembuskan asap rokok dari mulutnya dan membiarkannya berbaur dengan asap putih dari rokok gw.

"Setelah dia pergi, kalian masih sering berhubungan?" tanyanya ingin tau.

Gw mengangguk. Sangat pelan dan lemah.

"Beberapa bulan pertama, kita masih sering telpon-telponan. Tapi kayaknya dia makin sibuk setelah mulai keterima kerja, jadi yah praktis waktu buat kita contact semakin berkurang..." sedikit terenyuh gw ceritakan keadaan gw dan Meva sekarang.

"Dan lo, sampe sekarang masih belum berani ungkapin perasaan lo ke dia?"

Gw menggeleng. Kali ini lebih lemah dari anggukan gw sebelumnya.

"Gw selalu pengen Meva dapet yg terbaik buat hidupnya. Gw nggak mau kalo nantinya pengakuan gw cuma akan mengganggu apa yg dia dapat sekarang..."

"Kalo itu memang pilihan lo berarti mulai sekarang lo harus siap kehilangan dia," tandas Indra.

Gw tersentak. Mendadak tubuh gw terasa panas. Gw seperti baru dibangunkan dari mimpi indah yg melenakan.

"Lo harus menata ulang hati lo lagi," lanjut Indra. "Gw nggak minta lo lupain Meva, tapi mulai sekarang lo harus bisa membedakan antara masa lalu dan realita. Jangan sampe lo jatuh terlalu lama dalam kehilangan. Bukan cuma Meva, tapi lo juga berhak dapet yg terbaik buat hidup lo."

Gw tertunduk lesu. Tiap hari nafas gw jadi semakin berat. Nggak pernah bisa dipungkiri, gw mencintai Meva lebih dari yg pernah gw bayangkan sebelumnya. Dan sekarang, rasa ini perlahan mulai terasa menyakitkan.

"Gw tau sayang lo tulus ke Meva," kata Indra lagi. "Tapi sekarang pilihannya cuma dua, lo kejar Meva sampe dapet atau lo bener-bener tinggalin semuanya dan mulai menata hidup lo."

"......."

"Kalo gw sih, bakal gw kejar tuh Meva," Indra menyenggol lengan gw lalu tersenyum penuh makna. "Kapan lagi coba dapet cewek kayak dia?! Bego aja kalo sampe lo tinggalin."

Gw nyengir lebar. Entahlah, yg gw lakukan selama ini adalah sebuah kebodohan tau bukan, gw nggak mengerti. Yg gw tahu cuma satu hal, sekarang lah saat nya gw untuk membuat satu pilihan terakhir. Pilihan yg akan sangat membuktikan seberapa dalam sebenarnya sayang gw ke Meva.....

“Jadi ini pilihan yg lo ambil?” tanya Indra dari belakang gw.

Gw terdiam. Tangan gw tertahan di reseleting tas yg baru saja gw tutup. Gw berdiri dan balikkan badan menghadap Indra.

“Lo udah yakin sama pilihan lo?” lanjutnya memastikan.

Gw mengangguk pelan.

“Nah, itu baru namanya temen gw! Yakinlah sama pilihan lo. Dan kejar apa yg harus lo kejar! Oke?” dia menghampiri dan menjabat tangan gw penuh semangat.

Indra memandang berkeliling kamar gw yg sekarang sudah sangat rapi. Tanpa perabot yg berserakan, dan tanpa kasur dan bantal yg terhampar tak berdaya di tengah ruangan.

“Gw bakal kangen banget sama kamer ini,” katanya kemudian.

“Apalagi gw Dul.”

“Gw inget banget saat-saat pertama dateng di kosan ini. Gw kangen sama masa-masa itu. Pengen deh gila-gilaan lagi bareng anak-anak..”

“Hahaha…mengenang masa muda ya Pak?!”

“Errr gw belum tua banget kali. Belum juga kepala tiga. Masih belum pantes dipanggil ‘Bapak’.”

“Terus anak lo mau dikemanain kalo lo masih belum cocok dipanggil Bapak?” ejek gw.

Dan kami pun tertawa lebar.

“Hemmm…..ini salahsatu tempat bersejarah ya buat kita. Ini tempat kita merangkai mimpi kita. Tapi ketika semua impian itu sudah kita capai, pada akhirnya kita harus meninggalkan tempat ini.”

Gw bersandar pada dinding kamar yg terasa dingin di punggung gw. Gw menyulut sebatang rokok dan dengan cepatnya ruangan kecil ini sudah dipenuhi kepulan asap putih tipis dari mulut gw.

“Buat gw ini bukan sekedar tempat merangkai mimpi,” sahut gw. “Ini juga tempat ketika gw pernah bermimpi indah…” dan gw mulai mengenang kembali hari-hari gw di sini bersama Meva.

“Yaah satu per satu kita akhirnya ninggalin tempat ini. Setelah gw, Meva, dan sekarang elo Ri. Dan akhirnya tempat ini jadi saksi ‘kejayaan’ kita.” Dia tersenyum kosong.

Gw mendesah pelan. Bukankah dari dulu juga seperti itu?, gw bertanya dalam hati. Pada akhirnya semua akan berujung ke satu titik bernama perpisahan, meskipun nggak semuanya adalah perpisahan yg hakiki. Echi dan nyokap gw….adalah bukti tak terbantahkan. Lalu Indra, Lisa, dan kemudian Meva….

“Semoga gw nggak pernah menyesali pilihan gw ya Dul,” gw sedikit ragu.

“Gw selalu di belakang lo, pokoknya gw dukung apapun pilihan lo.”

“Thanks sob,” gw embuskan lagi asap putih dari mulut gw. “Sejak awal, gw yakin Meva pantas mendapatkan yg terbaik buat hidupnya. Dia layak sampe di kotak terakhirnya untuk bertransformasi jadi menteri…” gw berjalan ke jendela, menyibak gordennya dan mendapati pintu kamar di seberang tertutup rapat.

“…………”

“…Dan gw, gw nggak mau kalo kehadiran gw hanya jadi pion kecil yg manghalangi langkahnya menuju kotak terakhir…”

“…………”

“Yakinlah Tuhan selalu tau yg terbaik buat kita,” Indra menyemangati gw. “Selamat berjuang di tempat baru ya!!”

Gw mengangguk mantap.

“Kapan-kapan kalo senggang mampirlah ke rumah gw,” ujar Indra. “Pintu rumah gw selalu terbuka lebar buat sahabat terbaik gw. Lagian Jakarta – Karawang nggak jauh-jauh amat kok. Ntar kita undang juga temen-temen yg laen buat reunian di kosan ini.”

“Oke. Kabari gw yah kalo ada acara sama anak-anak.”

Gw tersenyum lebar, dan sebelum gw semakin mendramatisir perpisahan kecil ini gw angkat tas gw keluar kamar sementara Indra bantu mengangkat tas yg lain. Tiba di depan kamar kami sama-sama terdiam. Indra menghampiri pintu kamarnya dulu, yg saat itu tertutup ditinggalkan penghuninya kerja. Nampaknya dia ingin sedikit bernostalgia dengan kamarnya. Sementara gw melangkah pelan menuju pintu kamar di seberang kamar gw. Pintu yg selalu tertutup selama hampir setahun ini.

Setelah kepergian Meva memang nggak ada lagi yg menghuni kamar ini. Gw sengaja membayar uang sewa kamar ini supaya nggak ada yg menghuninya. Gw nggak mau kenangan gw tentang Meva ‘rusak’ dengan kehadiran penghuni baru. Gw mau apa yg sudah ada biarkan apa adanya, sampai akhirnya gw meninggalkan tempat ini.

Gw berdiri terpaku di depan pintu. Rasanya nafas gw sedikit sesak kalau mengingat hari-hari itu..

Perlahan gw putar handle dan nampaklah sebuah ruangan gelap dengan aroma debu yg cukup menyengat. Setelah mata gw terbiasa dengan kegelapan ruangan ini gw melangkah masuk. Ini masih kamar yg sama dengan yg terakhir kali gw masuki ketika terakhir bertemu Meva. Tata letak perabotnya, nggak ada yg bergeser seinchi pun. Hanya saja ruangan ini sudah nyaris tenggelam oleh debu tebal yg nggak pernah dibersihkan. Gw tertegun.

“Aaaaaaaaaaarrrrrrrrriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii…! !!”

Sebuah suara yg sudah sangat akrab di telinga gw, seperti berdengung di dalam kepala gw. Perlahan sosoknya hadir di hadapan gw. Berdiri sambil tersenyum mengejek seperti yg biasa dilakukannya.

Dada gw terasa sesak. Gw alihkan pandangan ke sudut lain kamar, dan saat itulah gw melihatnya lagi. Entah kenapa kemanapun gw melihat, selalu ada Meva di sana….

***

“Lo bakal kangen nggak sama gw kalo gw pergi?” suaranya lembut menggelitik telinga gw.

“Kangen? Mmmh……kangen enggak yaaaa?” jawab gw sambil becanda sementara Meva menunggu jawaban gw dengan raut wajah yg sulit dijelaskan.

“Kangen nggak??” ulangnya.

“Kangen aja deh!” gw tertawa kecil.

“Kok pake ‘deh’ sih?? Nggak ikhlas banget kangennya!!” protesnya.

Gw nyengir bego.

“Tapi lo bakal balik lagi ke sini kan?” gantian gw yg tanya.

“Mmmh…balik enggak yaa?” melirik gw nakal. “Balik aja deh!” dan menirukan gaya bicara gw barusan.

Gw jitak kepalanya.

“Sakiiiit!” Meva balas mencubit gw.

“Jawab yg serius napa??”

“Kan elo juga jawabnya gitu!! Eh, ngomongnya biasa aja yak nggak usah pake nyolot gitu!!! Jelek tau nggak???”

“Yg nyolot siapa yaaaa??????”

Meva memasang raut wajah marah. Tapi entah kenapa justru gw malah pengen ketawa liatnya.

“Udah ah buruan berangkat, entar keabisan bus lho,” kata gw dengan nada normal.

“…………”

“Kok diem?”

Meva menatap gw curiga.

“Kok kayaknya lo seneng banget nih gw pergi??” tanyanya menyelidik.

“Iya lah seneng. Kalo lo pergi kan itu artinya eggak bakal ada yg gangguin gw lagi tengah malem buat curhat. Enggak ada lagi yg teriak pagi-pagi di kuping gw. Enggak ada lagi yang……”

“…………”

“…heh, kok nangis?” gw perhatikan Meva yg menunduk sambil usapi pipinya.

Meva masih menunduk. Gw jadi serba salah sendiri. Gw tarik tangannya untuk memastikan dia nangis beneran atau enggak.

“Va..? Lo enggak kenapa-kenap….”

“Dasar K-E-B-O-O-O-O-O-O-O-O!!!!” Meva teriak di telinga gw. “Jadi cowok enggak sensitif bangeeet!!”

Gw jitak lagi kepalanya saking kagetnya. Kali ini Meva balas menjambak rambut gw.

“S-A-K-I-T!!” teriaknya.

“Ih, apa-apaan sih lo?” gw usapi kuping gw yg berdengung gara-gara teriakannya. “Mentang-mentang mau pergi jadi bales dendam gitu??”

“Hehehehe… Peace!” Meva nyengir bloon sambil mengacungkan dua jari tangannya. “Udah yuk berangkat, anter gw ke terminal.”

“Ogah! Berangkat aja sendiri!”

“Yaaah kok marah gitu siiih………”

“Bodo ah.”

“Hehehehe. Udah ah gitu aja ngambek. Kapan lagi coba nganter gw balik?” Meva mengangkat tas besarnya dan dengan sembarangan menyerahkannya ke gw. “Buru lah jalan.”

Errrr ni cewek seenak jidatnya aja!

Meva mengunci pintu kamarnya, lalu kami bersama-sama berjalan menuruni tangga. Dan itulah terakhir kalinya gw melihatnya di kosan ini..

***

Hari ini hampir setahun setelah kepergian Meva. Pada awalnya kami memang masih berhubungan lewat telepon. Tapi semakin ke sini semakin jarang kami lakukan. Entahlah, yg gw tahu Meva sedang mulai disibukkan aktifitas kerjanya. Meski miris, tapi gw coba menerima ini sebagai proses perjalanan hidup yg harus dilalui. Toh seperti yg sudah gw pilih hari ini, melihat Meva menjadi seorang ‘menteri’ adalah jauh lebih membahagiakan dari hal membahagiakan apapun di dunia ini. Gw harus mulai bisa menerima jarak yg ada diantara kami. Benar seperti yg dibilang Indra, gw pun harus mulai membangun hidup gw.

Gw punya kehidupan sendiri yg harus gw tata. Sudah saatnya gw menjalankan langkah pertama gw. Gw yakin akan ada yg lebih membahagiakan dari ini di kotak terakhir gw nanti. Meski tanpa Meva, mungkin…?

“Ayo Ri….” Suara Indra membuyarkan lamunan gw. “Kita berangkat sebelum tambah malem.”

Gw menoleh ke sudut kamar, ke tempat tadi gw melihat Meva.

Nggak ada siapapun di situ…

“Eh, ayo…” gw melangkah keluar. Di luar sini gw bisa merasakan udara segar masuk ke hidung gw. Indra berdiri tersenyum dan menepuk pundak gw.

“Meva pasti akan dapet yg terbaik di sana,” katanya. “Dan sekarang giliran lo yg mendapatkan hal itu. Gw selalu ada buat lo, kapanpun lo butuh gw lo bisa hubungi gw. Jarak antara Jakarta dan Karawang bukan suatu penghalang. Saat apapun lo butuh gw, gw akan selalu bantu lo sebisanya.”

“Makasih banyak buat semuanya Ndra,” gw menjabat tangannya kemudian memeluknya sesaat.

Kami sama-sama tersenyum.

“Sebentar,” gw menoleh ke pintu kamar Meva.

Pintunya masih terbuka. Gw raih handle nya dan menariknya hingga menutup. Entah kenapa kali ini gw seperti menarik sebuah pintu dari baja yg enggan bergeser. Bukan, bukan karena tebalnya debu yg sedikit menahan laju pintu ini, tapi karena banyaknya kenangan yg ada di sini, yg membuat tangan gw seperti kaku dan tertahan untuk menutupnya.

“Ri,” panggil Indra. “Lo tau kenapa kenangan itu terasa indah?”

“…………”

“Karena dia nggak akan terulang lagi. Itu yg membuatnya jadi berarti…”

“…………”

Gw tarik nafas berat. Dan perlahan akhirnya gw tutup pintu itu.

“Selamat tinggal,” ucap gw lirih seiring gerakan pintu yg akhirnya benar-benar menutup.

Dan malam ini, gw biarkan semua kenangan tentang Meva tertinggal di balik pintu kamarnya. Suatu hari nanti, ketika gw buka lagi pintu itu, gw berharap gw sudah benar-benar siap dan mengerti bahwa perbedaan nggak seharusnya jadi suatu penghalang dan titik mati buat seseorang menyatakan cintanya. Suatu hari nanti ketika gw buka lagi pintu itu, gw berharap ada Meva yg hadir untuk menyambut kedatangan gw.

Suatu hari nanti………………

Suatu sore yg cerah di pertengahan November 2008..

Gw dan dua rekan kerja gw baru saja selesai meeting di sebuah gedung stasiun televisi swasta di kawasan Kapten Tendean Jakarta, dalam sebuah merger sponsor untuk event ulangtahun stasiun televisi itu pertengahan bulan depan. Stasiun televisi berlogo mirip belah ketupat itu memilih perusahaan kami sebagai salahsatu sponsor untuk event ulangtahun mereka yg ke tujuh sudah sejak enam bulan yg lalu, dan pertemuan hari ini hanya membahas beberapa kesepakatan akhir saja.

Arloji di tangan gw menunjukkan pukul setengah lima sore ketika kami bertiga sampai di area parkir menuju sebuah avanza hitam yg akan membawa kami kembali ke tempat kerja.

“Enaknya kita makan di mana ya?” kata Rinto, ketika kami sampai di mobil kami.

“Di FX aja gimana?” sahut Nila, dia satu-satunya cewek dalam rombongan sore itu. Dia juga yg kelihatan paling lapar.

“Ya gw sih oke aja, gimana Pak?” tanya Rinto ke gw.

“Eh....ng......makan ya? Kenapa nggak di warteg aja?” kata gw becanda. “Kan banyak menunya tuh. Murah lagi...”

Nila dan Rinto tertawa mendengar jawaban gw. Nila membuka pintu samping dan menaruh tas berisi dokumen dan laptop di sebelah ujung kiri kursi. Sementara Rinto mengambil posisi di belakang kemudi dan gw sendiri di sebelahnya. Dalam sekejap gw merasakan sejuknya AC di dalam sini. Sore itu sebenarnya cukup sejuk dan juga tadi gw terus berada di ruang ber AC, tapi nggak tau kenapa gw tetap kepanasan. Deru mesin terdengar halus dan teredam. Rinto sedang warming up mesin.

“Kangen sama jengkol dan kawan-kawan ya boss? Hehehehee...” goda Nila.

“Yah sekalian bernostalgia ke masa kuliah dulu kali,” timpal Rinto. “Saya aja dulu waktu kuliah favorit banget sama masakan rawon depan kosan.”

“Kalo saya nggak sempet tuh ngerasain ngekos. Waktu kuliah gw tinggal sama bokap nyokap gw soalnya,” kata gw. “Baru pas mulai kerja saya ngekos deh.”

Nila menyodorkan tangannya dari belakang, mengajak gw bersalaman.

“Kita sama Pak,” katanya.

“Hahaha...” gw tertawa kecil sambil menjabat tangannya.

“Eh eh, tadi kalian liat nggak ada Pasha Ungu sama Onci nya juga lho. Sayang nggak sempet foto bareng sama mereka,” Nila bercerita dengan sangat antusias. “Waah kayaknya kalo kerja di tempat kayak gini enak yahh bisa sering-sering ketemu artis yah? Pasti menyenangkan sekali.....!”

Gw dan Rinto cuma senyum geli.

“Tiap hari juga kita kan ketemua artis?” kata Rinto.

“Artis? Di mana?” Nila berusaha memahami ucapan Rinto tadi.

“Di kantor lah.”

“Kantor? Emang ada yah artis di tempat kita??” dia masih berusaha mencerna kalimat tadi.

“Ada lah! Si Encek, dia kan mirip sama Cristian Sugiono!” ujar Rinto, dan meledaklah tawa kami di dalam ruang kecil itu.

“Dia bukan mirip sama Tian, Pak.” Kata Nila. “Tapi Tian nya yg mirip sama dia!”

Kami tertawa lagi. Di tempat kerja kami memang ada seorang office boy, yg menurut gw mirip sama salahsatu pelawak srimulat. Kami biasa memanggil dia ‘encek’. Kami memang sering becanda dengan mencari-cari kemiripan teman kerja kami dengan artis, dan hasilnya ya ngaco lah. Kadang beberapa orang disepakati mirip dengan beberapa artis meskipun pada kenyataannya jaaaaauuuuuh banget! Yah itu salahsatu cara kami melepaskan kepenatan di tempat kerja. Menyegarkan pikiran dengan humor selalu menyenangkan.

“Jadi, kita makan di mana nih??” tanya Rinto lagi memastikan. “Jangan sampe kita balik ke kantor kayak orang yg abis diet tiga bulan.”

Rinto dan Nila menatap gw.

“Ya udah terserah kalian aja di mana. Mau di Senayan atau di warteg juga boleh.”

“Gimana kalo di Citos aja??” Nila mengajukan usul.

“Kejauhaaan ituuuu........” timpal Rinto.

“Ya udahlah dimana aja, asal makan.” Akhirnya Nila menyerah.

Gw usap wajah gw beberapa kali. Hari ini cukup melelahkan. Perjalanan balik ke kantor jam segini pasti akan memakan waktu lama mengingat jam segini adalah jam sibuk. Rinto baru saja memasukkan perseneling waktu pandangan mata gw menemukan seseorang di luar sana. Agak jauh dari mobil kami, seorang wanita dengan seragam serba hitam khas stasiun televisi ini, membawa tas jinjing, berjalan menuju sebuah inova silver di sudut parkiran.

“Tunggu,” kata gw tanpa menoleh ke Rinto ataupun Nila di belakang.

“Kenapa Pak?” tanya Rinto.

“Kalian tunggu dulu di sini. Saya mau ke sana sebentar,” gw menunjuk mobil yg dituju wanita itu.

“Ada apa emangnya? Ada yg ketinggalan?” giliran Nila yg mencari tahu.

“Enggak, saya mau ketemu teman lama dulu. Tunggu bentar aja yah..oke?”

Walaupun dengan seribu pertanyaan di otaknya, Rinto mengangguk setuju. Maka bergegas gw lepaskan safety belt yg sempat melingkar di badan gw, membuka pintu, dan segera berjalan cepat menuju wanita di luar itu. Walau dengan degupan jantung yg mungkin mencapai seribu detak per detik nya, gw terus berjalan. Gw bahkan hampir terjatuh karena kaki gw terasa bergetar dan kehilangan keseimbangannya saat berjalan. Wanita itu baru saja sampai di mobilnya dan hendak menaruh tas nya di bagasi, ketika gw sampai di tempatnya berdiri...

Gw mendehem pelan. Dia secara refleks menoleh ke arah gw. Dan saat itulah kedua mata kami bertemu pandang. Dia, menatap gw terkejut. Sama dengan cara gw menatapnya. Selama beberapa detik kami sama-sama terdiam dan bergulat dengan ingatan di otak kami.

“……….”

“Meva………?” ucap gw pelan, setengah percaya dan setengah masih nggak percaya dengan yg gw lihat di hadapan gw.

ID card di dada kirinya menunjukkan jabatan yg dipegangnya sekarang.

“Kamu......................” dia menutup mulutnya dengan jemari tangannya yg lentik dan manis. Dia nampak sangat shock melihat kehadiran gw. Sama, gw juga shock berat!!!!

“Yeah, ini gw..............” kata gw.

Meva tertawa heran.

“Ini Ari, si kebo itu??????” ucapnya menunjuk gw. Dia menatap gw seperti gw ini adalah objek aneh dari luar angkasa yg baru pertama dilihatnya. “Ya Tuhan, mimpi nggak nih!!”

Gw mengangguk.

“Iya va, ini gw...............................” butir airmata menggumpal di pelupuk mata gw, tapi sebisa mungkin gw tahan untuk nggak menetes. Dada gw seperti diaduk-aduk. “Ini gw Ari. Orang yg biasa lo ajak main catur di depan kamer, tujuh tahun yg lalu................”

Gw sudah nggak peduli dengan kusutnya wajah gw saat itu. Gw tau kemeja yg gw pakai juga nampak lecek karena terlalu lama membungkus badan gw seharian ini. Yg gw pedulikan hanya sosok wanita di hadapan gw sekarang. Sosok yg selama bertahun ini hilang dari mata gw, dan hanya tersimpan di kepala bersama ratusan kenangan lainnya. Dia sosok yg sama dengan wanita yg gw lihat pertama di kosan dulu, meski tentu saja, sama seperti gw, dia nampak lebih berumur. Tapi tatapan matanya masih sama. Senyumnya, caranya tertawa, bahkan gesture tubuhnya, gw nggak pernah lupa. Dia adalah Mevally yg gw kenal......

Saat ini, kami berdiri di tempat dan keadaan yg berbeda dari tujuh tahun yg lalu. Dia ada di depan gw, tapi bahkan untuk menyentuh tangannya sekalipun gw nggak memiliki keberanian untuk itu. Yg bisa gw lakukan hanyalah membiarkan otak gw bermain bersama kenangan-kenangan yg selama ini tersimpan rapi dalam ingatan gw. Ini benar-benar terasa sangat aneh. Sangat aneh dan sulit untuk gw jelaskan.

“Lo kemana aja Va?” suara gw tercekat di tenggorokan.

“Emang kamu nyariin aku yah?” katanya. Suaranya bahkan masih sama seperti teriakannya yg dulu sering memecahkan gendang telinga gw. Hanya saja, bahasanya.......yah bahasanya sedikit berubah.

“Aku selalu nyari kamu Va.......” gw berusaha tampak tenang. Kedua bahu gw bergetar hebat.

Meva tersenyum manis. Sangat manis...

“Jujur, aku kaget banget liat kamu ada di sini sekarang. Di depan aku....” kata Meva. Matanya juga mulai berkaca-kaca. “Gimana kabar kamu?”

Ah, bahkan gw lupa dengan pertanyaan yg biasa diajukan kepada orang yg sudah lama nggak gw temui.

“Aku baik,” kata gw. “Dan kamu sendiri gimana?”

“Aku juga baik kok,” jawabnya.

Gw nggak bisa mengelak dari situasi serba kikuk seperti ini. Gimana nggak, dia menghilang dari hidup gw lebih dari empat tahun yg lalu. Dan sekarang...................dia muncul lagi, di hadapan gw. Dia nyata. Berdiri di depan tempat gw berdiri sekarang. Dia bukan sekedar bayangan yg selalu muncul di tiap malam sebelum tidur gw. Dia juga bukan seserpih debu yg mengotori memori di kepala gw. Lebih dari itu, dia Meva! Wanita berkaoskaki hitam yg gw kenal delapan tahun yg lalu...

“Kayaknya lama banget yah kita nggak ketemu,” kata Meva.

“……....”

“Kamu...masih di tempat kerja kamu yg dulu itu?” dia berusaha mencari bahan pembicaraan yg bisa mencairkan kekakuan ini.

“Enggak kok. Aku pindah, setahun setelah kamu wisuda..”

Kami lalu terdiam.

“Dan sekarang, kamu di Jakarta?” tanyanya lagi tetap dengan logat dan intonasinya yg khas.

“Iya. Udah dapet tiga tahun aku di sini. Kamu kerja di sini?”

Meva tersenyum lagi. Lalu anggukkan kepala.

“Kamu sekarang udah sukses ya?” kata gw. “Bukan lagi mahasiswa yg sering ketinggalan tugas.”

Meva menatap ID card nya sesaat lalu tertawa pelan.

“Kalo kesuksesan itu diukur dari materi, mungkin sekarang jawabannya adalah iya,” katanya. “Tapi toh seperti yg dulu kamu selalu bilang ke aku, selalu ada yg lebih baik dari sekedar kesuksesan materi.” Dia tersenyum. “Eh kita cari tempat duduk aja yukk. Nggak enak ngobrol berdiri kayak gini.”

Dia menutup bagasi mobilnya, menekan tombol pengaktif alarm dari kunci di tangannya, lalu berjalan di samping gw. Gw mengikuti dia. Saat itu gw memang sudah melupakan keberadaan dua orang rekan kerja gw di mobil. Tak apalah, kapan lagi gw akan menemui momen seperti ini....

“Kamu keliatan tua Ri,” kata Meva tertawa kecil. “Plus gemuk lagi. Haha..”

“Oiya?” gw juga tertawa. “Tapi kamu kayaknya awet muda yah?”

Meva tersenyum. Kami duduk di tepi kolam depan pintu utama masuk gedung. Ada sebuah air mancur kecil di tengah kolam, bergemericik pelan mengiringi suasana sore yg teduh. Selama beberapa detik kami terdiam. Gw sedang mencoba mencari bahan pembicaraan.

“Oh iya Lisa, sekarang gimana kabarnya?” tanya Meva. “Dia kan fans berat kamu tuh. Hehehe..”

“Ah, iya Lisa. Gw nggak tau kabarnya sekarang. Kami lost contact sejak dia di Jepang. Dan gw juga pindah sebelum dia balik ke Indonesia…jadi belum sempat ketemu.”

Meva mengangguk paham.

“Gimana sama Indra?” tanyanya lagi.

“Kayaknya tuh anak dilahirkan memang buat jadi orang sukses. Terakhir kami contact pas lebaran kemaren. Katanya dia hampir menyelesaikan study pasca sarjananya dan lagi berjuang buat promosi jabatan di tempat kerjanya. Hebat yaaa dia..”

“Dan kamu sendiri?” Meva menatap gw penuh minat. “Kayaknya sekarang juga kamu nggak beda jauh sama si Gundul..”

“Haha,” gw tertawa pelan. “Entahlah. Gw selalu termotivasi kalo liat keberhasilan yg dicapai si Gundul. Tapi kayaknya gw harus berusaha lebih keras buat bisa mengejarnya.”

Meva tersenyum.

“Eh, terus gimana tuh kosan kita, masih ada apa udah ganti fungsi jadi museum tuh? Lama banget nggak kesana! Yah kali aja sekarang dibangun monumen bersejarah untuk memperingati kita berdua. Hehehe..”

“Setau aku sih masih sama, cuma ada beberapa perbaikan tentunya. Indra sering nelpon gw kalo kebetulan dia lewat kosan kita. Kangen katanya, mau reunian. Tapi yah tau sendiri lah sekarang mah susah banget mau ketemu juga. Sama-sama sibuk,” gw merasakan kerinduan yg menggelitik dalam hati. “Emmh..kamu masih sering maen ke Karang Pawitan?”

“Enggak. Terakhir kali ke sana ya pas sama kamu itu. Abis itu, nggak pernah sekalipun. Apalagi setelah kerja di sini.”

Gw mengangguk pelan. Angin sore yg panas mendadak terasa sejuk.

“Thanks ya Ri...” kata Meva tiba-tiba.

“Untuk apa?” tanya gw.

“Selama kita barengan di kosan dulu, aku banyak belajar dari kamu,” ceritanya. “Hidup aku juga banyak berubah setelah kenal sama kamu.”

Gw tersenyum. Otak gw langsung merewind kejadian-kejadian yg sudah berlalu sekian lama. Hati gw mencelos…..

“Kamu masih inget tentang pion catur yg berubah jadi menteri?” katanya lagi. Gw jawab dengan anggukan kepala. “Menurut kamu, sekarang aku adah bisa dibilang jadi menteri belum?”

“Seperti yg kamu bilang tadi. Kalo ukurannya materi, jelas kamu udah bertransformasi jadi menteri. Bukan hanya menteri, kamu malah jadi ratu, mungkin?”

Meva tertawa kecil.

“Aku selalu pegang kata-kata kamu soal pion catur itu,” ucapnya. Pandangan matanya menerawang jauh melampaui batas ingatannya. “Aku jadiin sebagai salahsatu pedoman hidup aku. Dan hasilnya sekarang...seenggaknya buat diri aku sendiri, aku merasa lebih baik dari dulu. Jauh lebih baik, kalo aku boleh bilang.”

“Aku turut bahagia Va..”

“Thanks Ri. Kamu emang selalu ada saat aku sedih ataupun bahagia.”

“Ya, begitulah aku...” ucap gw lirih. “Oiya, aku mau tau gimana cerita kamu sampe kamu bisa dapet posisi yg sangat baik di sini.?”

Meva tertunduk malu, tertawa kecil dan mengibaskan rambutnya pelan sebelum menjawab.

“Emh...enggak begitu istimewa siih. Waktu itu kebetulan ajah ada temennya Tante Ezza yg punya info lowongan kerja di sini. Aku kirim deh lamaran aku, dan yah syukurlah aku lulus.”

Gw tarik napas panjang.

“Tapi aku sempet frustasi juga lho, tiap inget target aku di diary. Inget kan?” kata Meva.

Gw mengangguk.

“Tapi lo tetep bisa sampe di titik ini, dan itu hebat!” kata gw jujur.

“Haha... aku cuma belajar dari pengalaman.”

“Kamu sekarang udah pinter yah?” komentar gw.

“Haha.. itu juga gara-gara sering gaul sama kamu.”

Sejenak kami terdiam.

“By the way kamu masih inget sama kalung ini?” Meva menarik keluar sebuah kalung tua yg sedikit usang dari balik kerah seragamnya. Sebuah kalung salib dengan selotip hitam di salahsatu sisinya, sama persis dengan yg gw lihat di kamar gw waktu itu. Itu memang kalung yg selalu dia pakai. Kalung warisan dari neneknya.

“Kamu masih pake kalung itu?”

“Selalu,” jawabnya mantap. “Ini salahsatu saksi sejarah hidup aku. Aku akan selalu pake kemanapun dan apapun yg aku lakukan.”

Gw diam. Airmata gw mendadak sulit ditahan.

“Kamu tau Ri?” lanjut Meva lagi. Suaranya terdengar bergetar kali ini. “Kalung ini udah ratusan kali mengalami bongkar pasang selotip, tapi nggak pernah sedikitpun mengurangi makna di baliknya. Sekarang kamu liat deh.....”

Gw angkat kepala, menengok ke arahnya. Dia sedikit membuka gulungan selotip di kalungnya.

“Kamu inget nggak pertama aku pasang selotip ini?” di balik gulungan selotipnya ada gulungan lain yg sangat lusuh. “Ini selotip yg aku pake waktu pertama nyambung kalung ini, selotip yg aku minta dari kamu. Aku nggak pernah ngelepasnya. Cuma aku dobel aja di luarnya, dan itu yg sering aku ganti......”

“Kenapa Va......?” gw sedikit terisak. “Kenapa kamu masih inget dengan jelas semua itu?”

“Emang kamu udah lupa?” dia balik tanya. “Aku selalu inget kok. Samasekali nggak bisa dilupain. Lagian, setiap kali kita pengen ngelupai sesuatu, justru saat itu kita mengingatnya. Iya kan?”

Gw usapi airmata yg makin banyak jatuh.

“Kamu kok sekarang jadi mellow?” Meva berkomentar. “Ini pertama kalinya aku liat kamu nangis.”

Gw gelengkan kepala.

“Aku nangis bukan karena sedih,” gw berusaha menjawab dengan jelas. “Tapi karena bahagia Va. Aku bener-bener bahagia hari ini.”

Meva diam, memberi kesempatan gw berbicara.

“Aku bahagia bisa ketemu kamu. Aku bahagia liat keadaan kamu sekarang, kamu udah nunjukin dan buktiin ke aku apa yg selalu kamu bilang soal ‘pengen jadi menteri’... aku bahagia banget. Dan aku bahagia, karena kamu nggak pernah lupa cerita tentang kita.....”

Dan Meva memeluk gw. Wangi parfumnya semerbak masuk ke rongga paru-paru gw. Parfumnya masih sama dengan yg dulu. Ternyata dia cuma sedikit nampak lain di luar, di dalamnya dia tetap Meva yg sama yg selalu gw kenang selama ini. Gw raih punggungnya dan balas memeluk. Hangat...... Gw tau Meva juga menangis. Kedua bahunya bergetar...

“..................”

Hheeeemmmmppppphhhh...........gw nggak mau cepat-cepat ini berakhir. Gw masih belum mau melepaskan pelukan ini. Sebagian hati gw mulai menyesali kebodohan diri gw di waktu yg lalu.

“Mafin aku Va,” kata gw.

“Maaf buat apa?..”

Gw terdiam. Masih sama seperti dulu, gw speechless.

“Ada yg nggak bisa aku ungkapin ke kamu waktu itu...” gw mencoba ungkapkan. Gw tahu ini satu-satunya waktu yg tepat buat mengatakan ini.

“Apa itu?.....”

Lama kami terdiam. Waktu seperti berhenti berputar. Diam-diam gw berharap waktu memang benar-benar berhenti.

“Aku sayang kamu Vaa......” akhirnya, gw mampu mengatakan itu.

Sebuah kalimat yg selama bertahun ini selalu takut untuk gw ungkapkan. Setelah kepergiannya, gw selalu ingin mengatakan ini. Dan sekarang, akhirnya gw bisa melakukannya.! Meski mungkin sudah terlambat………….

“Itulah alasan kenapa aku ada di sini..”

Gw tertawa pelan.

“Kamu masih suka pake kalimat itu?” gw ingat momen waktu kami ‘lomba ngerayu’ di kamer gw.

“Cuma itu stok aku soalnya...”

Kami tertawa. Melepaskan pelukan, lalu sama-sama usapi airmata di pipi kami.

“Kamu masih inget bintang keberuntungan yg pernah kamu kasih ke aku?” Tanya gw.

Meva sedikit terkejut, lalu tertawa kecil.

“Ohh, kamu masih nyimpen ya?” tanyanya senang.

“Iya donk. Kan dulu kamu minta aku jaga baik-baik bintang itu.”

“………….”

“Ini,” gw mengeluarkan sebuah gantungan kunci dari dompet gw. “Seperti yg pernah kamu bilang dulu, tiap aku kangen sama kamu, aku selalu liat bintang ini. Tapi kamu kok nggak pernah muncul yaaa..?” gw sedikit becanda.

Dan kami pun tertawa.

“Aku pikir kamu udah buang bintang itu.”

“Enggak lah. Buat aku, ini juga salahsatu saksi sejarah. Semua yg pernah kita lalui, terangkum dalam satu bintang ini……”

Gw menunduk lemas. Saat ini rasanya gw benar-benar ingin melompat ke masa lalu. Tapi sebuah suara menyadarkan gw.

Seperti bunyi dering handphone. Dari kantong celana Meva. Dia mengeluarkan handphone nya, yg bahkan jauh lebih mahal dan bermerek dari handphone gw. Di layar nya yg lebar itu tampak foto seorang laki-laki sedang memeluknya.

“Sebentar ya aku jawab dulu,” katanya pelan.

“Halo sayaang,” Meva menjawab telepon. Suaranya sedikit serak.”Iya ini mau balik. Enggak kok, paling jam tujuh an nyampe rumah. Iya iya biar bibi aja dulu yg ngurusin.”

Dan dia mengobrol sekitar dua menit dengan si penelepon sebelum menutup telepon dan memasukkan handphone nya ke saku baju.

“Maaf yah, tadi suami aku....” kata Meva sedikit malu.

Gw mengangguk paham.

“Udah berapa lama?” tanya gw.

“Belum begitu lama. Baru dua tahun kok. Dan udah punya si kecil yg cakep, mirip ayahnya lho..” dia tersenyum senang saat mengatakan ini. “Kalo kamu gimana?”

“Aku udah punya dua, cewek semua.” kata gw. “Malah udah mau tiga aja. Baru empat bulan siih. Doain aja yaah moga lancar-lancar aja.”

“Oiya? Wah aku kalah produktif donk sama istri kamu! Hahaha,,,”

Gw juga tertawa. Betapa hari ini adalah hari yg menakjubkan! Gw bisa tertawa lepas, setelah tadi berkubang dalam tangisan bersama masa lalu. Gw dan Meva ngobrol cukup banyak sore ini. Kami sama-sama mengungkapkan yg selama ini hanya bisa terpendam dalam hati. Dan sekarang, kami dengan lantangnya bertukar cerita tentang keluarga kami masing-masing. Meva menikah dengan seorang lelaki keturunan Belanda yg dikenalnya di gereja. Mereka sama-sama aktif dalam acara yg diadakan organisasi kerohanian di sana. Dari sanalah kemudian mereka memutuskan mengikat hubungan dalam status yg resmi pada Februari 2006 yg lalu. Sementara gw, gw menceritakan wanita yg kini selalu menemani hari-hari gw. Tentang rumah kecil kami di pinggiran Jakarta yg kumuh. Tentang dua buah hati gw yg lucu dan imut, yg kelak akan jadi kebanggaan ayah dan ibunya. Juga tentang impian-impian yg belum sempat tercapai, dan sedang kami tapaki hari-hari ini..

“Coba liat deh,” Meva menunjukkan foto anaknya di handphone nya. “Cakep banget yaaaaa.............. Aku kasih nama Prince Mevally. Bagus nggak namanya?”

“Keren banget tuh,” komentar gw.

“Kalo kamu, nama anak kamu siapa? Eh, kamu beneran keliatan tua banget deh, anak aja udah dua coba!! Hahaha...” Meva ngejek gw.

“Baru juga dua ah! Masih pantes disebut bujangan. Hehehe..” timpal gw. “Anak pertama aku kasih nama Aisyah, dan yg bungsu udah di booking sama ibunya bahkan sebelum dia sendiri hamil, dengan nama Ratu Lanny Fauzaty.”

“Waah...sesuai sama muka mereka yg cantik-cantik yah?” kata Meva sambil melihat foto dua buah hati gw yg gw perlihatkan di handphone.

Ah, dunia ini memang unik. Dulu rasanya tabu untuk membicarakan yg namanya pernikahan dan sekarang, kami malah sudah membicarakan soal anak-anak kami. Benar-benar aneh rasanya! Meskipun sedikit berat, gw sadar semua memang harus berubah seiring waktu yg selalu berlalu…

Kami asyik berbincang dan tanpa sadar matahari sudah terbenam begitu handphone gw bergetar berkali-kali menerima panggilan dari dua rekan kerja gw yg pasti sudah sangat kesal karena ditinggal di parkiran. Meva berdiri, gw juga berdiri. Rasanya ini sudah terlalu malam buat kami terus duduk mengobrol di sini.

“Nomer HP kamu berapa?” tanya Meva sambil menyiapkan handphone nya. “Biar nanti kita bisa ngobrol panjang lebar lagi. Dan siapa tau kita bisa saling berkunjung ke rumah? Iya kan?” dia tersenyum lebar.

Gw menggeleng.

“Kenapa? Kamu nggak mau ngasih nomer kamu ke aku?” tanya Meva.

Sejenak gw diam.

“Aku cuma takut,” kata gw menjelaskan. “Aku takut aku akan meminta lebih dari ini, kalo kita tetap berhubungan dengan leluasa. Aku nggak mau ada yg tersakiti. Aku sangat menghormati kamu dan suami kamu. Aku juga nggak mau ngecewain istri aku. Mungkin akan lebih baik kalo kita biarkan semua berjalan apa adanya...”

Meva tampak kecewa. Dia menutup handphone nya lalu memasukkannya lagi ke kantong celananya.

“Oke, kalo menurut kamu itu lebih baik,” katanya penuh pengertian. “Padahal aku cuma pengen bernostalgia aja sama kamu.” Dia tersenyum lebar.

“Maaf, aku cuma takut...”

Meva mengangguk.

“Enggak papa, aku ngerti kok.” Katanya jujur.

“Kamu tau kenapa tiap kenangan itu terasa indah dan manis?”

Meva kernyitkan dahi lalu menggelengkan kepala.

“Karena dia nggak akan terulang lagi,” jawab gw. “Itu yg bikin kenangan jadi berarti...”

Meva tersenyum dan dia memeluk gw lagi. Saat itulah jauh dalam hati gw sadar, mungkin ini adalah kali terakhir gw memeluk Meva. Maka gw biarkan diri gw menikmati tiap detik yg berlalu, sangat perlahan. Bahkan gw bisa merasakan getaran jantungnya di dada gw. Sampai saatnya kami lepaskan pelukan kami, saat itulah gw sadar bahwa hidup kami sekarang sudah sempurna. Dan kesempurnaan itu jauh lebih sempurna dari sekedar cerita masa lalu. Kami sama-sama sadar bahwa sekarang kami punya tanggungjawab kepada keluarga kami masing-masing. Dan kami harus bisa menjaga kepercayaan yg sudah diemban kepada kami.

Semuanya telah berbeda sekarang. Gw bukan lagi teman kosannya yg dengan leluasa keluar masuk kamarnya. Dan Meva bukan lagi bidak catur yg kecil dan nggak berdaya. Meva sekarang adalah menteri, bagi dirinya, dan seorang istri yg baik bagi suaminya. Tentu saja dia juga ibu yg penuh cinta untuk anaknya. Kalau dilempar lagi ke masa lalu, rasanya nggak pernah terpikirkan akan menemukan cerita semanis ini. Manis dan pahit, yeah tentu saja….

“……….”

“Oiya, sebelum kamu pergi, ada satu hal yg harus kamu tau,,” lanjut Meva.

“Apa itu?”

Meva diam sejenak, mengatur nafas, lalu bicara.

“Berat buat ngomong ini, tapi aku yakin kamu harus tau. Waktu kamu ungkapin perasaan kamu ke aku dulu,” ucapnya. “Sebenernya aku lagi nggak dengerin musik. Lagu di headset aku udah mati waktu kamu ngomong. Jadi….jadi sebenernya aku denger dengan jelas semua yg kamu ungkapkan waktu itu……..”

Gw tertegun. Ingin rasanya melompat kembali ke masa lalu dan mengulang hari itu. Tapi gw sebisa mungkin segera menguasai diri gw.

“Kenapa Va….?”

“Maafin gw Ri………”

“………”

“Bodoh banget yah?! Waktu itu aku bermaksud ngetes kamu,” ucapnya dengan nada menyesal. “Waktu itu aku yakin kalo kamu bener-bener sayang sama aku, kamu pasti bakal nembak aku untuk yg ke dua kalinya. Tapi…….”

“Tapi aku nggak pernah bisa ngungkapin itu…” sambung gw. Sangat sakit mendengar ini. Bukan, bukan karena pengakuan Meva, tapi gw sakit karena ternyata gw samasekali nggak pernah menyadari hal ini. Gw nggak pernah menduganya.

“Tapi,” kata Meva lagi. “Sekarang aku sadar…yg namanya cinta itu nggak melulu harus diungkapkan lewat kata-kata. Ada yg jauh lebih memahami itu……..”

“……….”

“Di sini…………..” Meva menyentuh dada gw. Hangat gw rasakan dari telapak tangannya yg lembut merambat di dada gw. Gw terdiam tanpa bisa menahan airmata di pipi gw. “Kamu mungkin nggak pernah mengungkapkannya Ri, tapi hati kecil aku tau. Semua yg pernah kamu lakukan, semua yg pernah kamu berikan, dan semua yg pernah kamu korbankan buat aku, itu jauh lebih berharga dari sekedar ungkapan cinta……”

Gw raih tangannya dan memeluknya lagi. Kali ini sangat erat. Gw sudah nggak bisa menahan laju airmata yg terus jatuh. Wajah gw sudah sangat basah sekarang. Tapi gw nggak peduli. Karena gw tahu, hari ini, gw mengerti sesuatu. Apapun keadaannya sekarang, kami sama-sama punya satu tempat spesial dalam hati kami. Samasekali nggak bermaksud mengkhianati pasangan kami saat ini, tapi apa yg sudah terjadi di masa yg lalu tentunya nggak bisa begitu saja terabaikan. Dan gw tentunya tau batasan yg ada.

“……….”

“……….”

“Ri…”

“Ya?”

“Sejak aku pergi, berapa kali kamu dengerin lagu Endless Love?” tanya Meva di sela isaknya, masih dalam pelukan gw.

Gw tersenyum sejenak lalu menjawab.

“Selalu,” jawab gw. “Setiap malam menjelang tidur, aku selalu dengerin Endless Love.”

Meva tersenyum. Sedih...

“Kamu tau, kenapa aku suka banget sama Endless Love?”

Gw menggelengkan kepala.

“Pertama kalinya aku denger lagu itu……..waktu aku meluk kamu di halaman rumah aku. Sejak saat itu aku suka banget lagu ini…”

“……….”

“So…” lanjutnya sambil melepas pelukannya. Kami saling pandang. “Lagu apa yg harus aku dengerin, kalo aku kangen kamu?”

Gw balas tersenyum. Menatap awan di langit selama beberapa detik, lalu menjawab.

“Over The Rainbow,” kata gw pelan. “Aku selalu suka sama lagu itu.”

Meva tersenyum lagi lalu usapi airmatanya yg kembali jatuh…

Dan sore itu jadi sore yg nggak pernah terlupakan di hidup gw. Saat semua kerinduan terobati. Saat semua pertanyaan akhirnya terjawab. Saat semua pengakuan akhirnya terungkapkan. Dan saat semua mengerti bahwa ada batasan antara masa lalu dan masa kini. Gw nggak pernah sedikitpun menyesali apa yg sudah terjadi di masa lalu. Tanpa masa lalu, gw nggak akan pernah ada di sini. Dan tanpa Meva, mungkin gw nggak akan pernah jadi gw yg sekarang.

Dan sore itu, dalam kepala gw, seperti mengalun sebuah lagu…….


My love..
There's only you in my life
The only thing that's right

My first love..
You're every breath that I take
You're every step I make

And I
I want to share
All my love with you
No one else will do...

And your eyes
They tell me how much you care
Ooh yes, you will always be
My endless love…

Two hearts,
Two hearts that beat as one
Our lives have just begun
Forever,
I'll hold you close in my arms
I can't resist your charms

Oh, love
I'll be a fool for you
I'm sure
You know I don't mind
Oh, you know I don't mind

'Cause you,
You mean the world to me
Oh..
I know
I've found in you
My endless love

And yes..
You'll be the only one
'Cause no one can deny
This love I have inside
And I'll give it all to you
My love,

My Endless Love………….




~Selesai~
16 Juli 2011
pujangga.lama a.k.a Ari

0 komentar

Post a Comment